Memoriografi

By inziati

27.8K 5.6K 746

「"Mawar peach artinya ketulusan, ranunculus berarti menarik, dan lisianthus putih bermakna seumur hidup. Jadi... More

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

1

4.1K 362 68
By inziati

DALAM perjalanan pulang dari sekolah, di bawah matahari Mekarjati, Arun akhirnya mendapat jawaban untuk kejahatan paling kejam yang tak bisa dibawa ke kantor polisi: mencuri kenangan.

Teman-teman satu kelompoknya memulai pembahasan itu setelah menyelesaikan tugas mereka. Selagi guru menunggu semua lembar kerja terkumpul, para siswa bergerombol di meja-meja yang disatukan, tiap grup duduk melingkar. Ditemani ketukan pulpen dan zip cepat dari ritsleting tas, satu per satu mengemukakan opininya.

'Selingkuh.' Suara Rani menekan di tiap suku kata.

Jia mengernyitkan dahi. 'Kalau udah nikah, selingkuh bisa dipenjara, loh.'

'Belum selesai.' Rani membela diri. 'Selingkuh hati. Mau udah nikah kek, mau baru pacaran kek, yang namanya selingkuh hati itu salah banget. Walaupun nggak pegang-pegang, tapi semua perhatiannya tetap ke selingkuhannya, bukan untuk pasangan resmi. Batinnya nggak dinafkahin.'

Arun terkesiap hingga memundurkan badannya. Meski kakaknya sudah menikah, dia tetap tak terbiasa dengan istilah-istilah dewasa seperti nafkah batin.

'Aku tahu yang lebih parah,' sergah Uchi. Lehernya menjulur. 'Ce-pu.'

Rani dan Uchi kompak ber-ugh panjang, kemudian tertawa kecil. Membocorkan rahasia sepertinya punya arti lain bagi mereka.

'Nyolong mangga.' Haris, cowok selain Arun yang sedang lewat, berpendapat.

'Eh! Nenek-nenek ambil singkong aja dipidana!' Rani sampai memutar kursinya.

Haris duduk sebelum menanggapi. 'Ya, makanya. Harusnya lihat-lihat dulu siapa yang nyolong. Dan nyolong di mana. Kalau nenek-nenek kelaparan, mestinya jangan cuma dibiarin ambil singkongnya, tapi juga dikasih makanan lain. Kalau anak bocil dari kompleks cluster, mampir ke kampung dan nyolongnya dari pohon mangga babeh gue? Itu yang nggak boleh. Tapi nggak bisa dituntut juga, kan? Siapa yang tega nuntut bocil? Nanti gue malah dihujat netizen.'

'Detail juga ya, Ris.' Arun menyeringai.

Jia menoleh padanya. 'Kalau kata Arun, apa?'

Setelah itu, bel terakhir berdentang. Dia belum sempat memikirkan apalagi mengutarakannya. Baru ketika kakinya tinggal dua langkah lagi menuju pagar rumah, kata mencuri kenangan itu tebersit. Karena bentuk materi apa lagi yang lebih berharga daripada uang dan pangkat selain kenangan? Kenangan membentuk seseorang. Kenangan memberi hidup seseorang arti yang sangat personal. Jika kenangan itu dirampas, ke mana lagi seseorang harus mencari serpihan dirinya?

Beruntunglah Arun tidak mendapat giliran bersuara. Pasti penjelasannya akan terlalu panjang dan sulit dan melankolis bagi yang lain.

Usai melepas sepatu dan mengucap salam, Arun memasuki ruang tamu. Dia selalu merasa rumah dua tingkat ini tinggi ke atas ketimbang panjang ke belakang sehingga lebih mirip gedung alih-alih hunian, bahkan setelah dia beranjak besar dan kedua orang tuanya tinggal ke Riau. Bunda dan Ayah seakan sudah berencana bahwa kelak Mbak Drina menikah tepat sebelum mereka pindah, meski Bunda mengaku 'tak sengaja' dan 'spontan' membeli rumah di pulau seberang. Di saat mereka berdua menikmati masa pensiun, Arun masih bersekolah, menempati lantai atas yang dekorasinya tetap seperti dahulu. Sedangkan Mbak Drina dan suaminya merombak lantai bawah dengan earthy chic—bahasa Mbak Drina sendiri—mengganti perabot Jawa klasik berukir milik Bunda dan Ayah menjadi minimalis berskema warna terakota, karamel, dan khaki.

"Makan, Run." Mbak Drina menyahut, tampaknya dari dapur.

Arun melepas tasnya di kursi, lalu merebahkan diri. "Ya, Mbak. Masak atau GoFood?"

Ternyata Mbak Drina muncul dari ruang kerjanya. "Ck, ngomongnya, ya. Ya, GoFood, lah!" Mereka berdua tertawa sebelum Mbak Drina lanjut berjalan. "Mbak lagi ngurusin pesanan dulu, makanya nggak sempat masak. Masih dibungkus di dekat kompor. Buka sendiri, ya."

Berhubung hari ini Selasa, pasti Mbak Drina tak mungkin memesan dari restoran ayam bakar favorit mereka yang hanya tersedia di akhir pekan, dan sekarang belum pukul tiga yang berarti kedai Chinese food murah dan enak itu belum buka. Arun beranjak ke dapur untuk memeriksa order makan siangnya dan menebak masakan Padang sebelum membukanya—yap, betul.

"Kamu pulang lebih awal kayak gini sampai kapan?" tanya Mbak Drina.

"Seminggu ini. Besok mulai classmeeting." Arun mencuci tangan. Dicarinya lap lalu dikeringkan tangannya. "Sama remedial buat yang kena."

"Yakin, nih, bakal dapat nilai bagus?"

"Ya, mudah-mudahan aja. Yang penting udah usaha. Pesanan apa, Mbak?"

"Pesanan—sebentar. Perasaan disimpan di sini."

Arun keluar dari dapur dan mendapati Mbak Drina membuka-buka laci di meja dekat ruang tamu. Setelah mengambil sebundel kawat hijau, Mbak Drina berbalik, bahunya terlonjak kaget ketika melihat Arun berdiri di depannya. Arun hanya meringis.

"Banyak, Mbak, pesanannya?" Arun masih ingin tahu.

Mbak Drina berjalan menuju ruang kerjanya lagi, diikuti Arun. "Hm, gimana ya, bilangnya? Jadi—"

Di ruang kerjanya, yang dulu dipakai Ayah menyimpan peralatan memancing, berjajar rak-rak setinggi dinding yang berisi suplai kerajinan untuk produk dagangannya—tumpukan kontainer bersekat berisi manik-manik, jumbaian rantai beragam ukuran, serta deretan stoples bening yang memuat lem tembak, gunting, selotip, tang khusus prakarya, dan gulungan benang. Sebuah maneken dengan permukaan kain menempati salah satu pojokan, di samping produk setengah jadi, dan duh, Arun lupa lagi nama benda-benda di separuh rak sebelah kiri. Kadang Mbak Drina bisa jadi sangat rapi dengan ruangan ini, kadang pula seperti sekarang, ketika satu-dua helai bahan flanel mencuat dari kotaknya dan beberapa bunga kain jatuh di lantai seakan sedang musim semi. Arun mengambil satu yang berwarna ungu, kemudian menaruhnya di rak terdekat.

"Gini," mulai Mbak Drina, "Mbak, kan, biasanya cuma jual aksesoris buat suvenir nikahan atau hampers. Tapi, Mbak juga suka terima request teman buat bikin yang lain, tulisin wedding sign misalnya. Nah, bulan kemarin teman Mbak ada yang minta dibuatin buket, dari bunga asli. Tapiii ..."

"Tapiii ..." Arun membeo. "Bunga aslinya?"

"Syukurlah dia punya koneksi ke petani bunga yang biasa suplai ke florist. Kalau nggak, agak susah carinya karena kebun bunga di Mekarjati nggak sebanyak dulu. Masalah utamanya, buat pembayaran, dia minta pakai koin e-wallet, jadi Mbak pasang produknya di akun e-commerce," jelasnya. Mbak Drina memakai nama Drina Craft sebagai branding-nya. "Daaan, hari ini, ada yang pesan produk itu."

Arun melongo. "Loh? Kok bisa? Lagian kenapa masih dipajang?"

"Mbak lupa hapus habis buketnya kejual."

"Produknya Mbak tulis cuma satu, kan?"

"Nggak, Mbak nggak list jadi cuma satu. Salahnya di situ." Mbak Drina menepuk dahi.

"Terus gimana? Bisa dibatalin nggak, pesanannya?"

Di luar dugaan Arun, Mbak Drina bergumam panjang. "Sebetulnya, Mbak bisa aja bikin pesanan itu."

Setangkai mawar peach, mawar krem berkelopak lebih bulat, dan mawar—kenapa semuanya terlihat seperti mawar tapi berbeda?—putih diambil satu-satu dari meja di belakang Mbak Drina. Arun terlalu fokus pada perihal pesanan Mbak Drina sampai-sampai tak menyadari keberadaan bunga-bunga itu. Namun, Mbak Drina tak kunjung meneruskan perkataannya. Jemarinya malah memutar-mutar daun yang tumbuh di tangkai bawah salah satu bunga.

Arun mendengus di balik senyumnya. "Terus masalahnya di mana, Mbak cantik?"

"Sush." Tangan Mbak Drina menepis udara. "Mbak lagi mikir. Dan jangan bilang Mbak cantik lagi kalau nggak niat, Arun ganteng."

Arun menghela napas. Berkat bunga segar itu, ruangan ini jadi tercium sedikit lebih wangi di tengah bau khas bahan dan samar-samar logam-meski aroma itu juga jauh lebih baik dari bau ikan asin yang dibawa tas dan pancingan Ayah. Saat Arun SD dan Mbak Drina seusianya sekarang, teman-teman Arun menyangka mereka berdua tak banyak memiliki waktu bersama. Kenyataannya, Mbak Drina yang paling mengerti Arun. Mbak Drina dapat mengajar Arun matematika dengan metode yang lebih mudah dipahami daripada ajaran gurunya. Alih-alih mendukung Bunda menyita gimnya di pekan ujian, begitu orang tua mereka tidur, Mbak Drina menyembunyikan PSP dan memberikannya pada Arun selama tiga puluh menit agar dia bisa santai sebelum masuk sekolah besok. Mbak Drina juga yang repot-repot masak dua kali agar Arun bisa menyantap tumis kangkung tanpa saus tiram atau sayur lodeh tanpa santan untuk Mas Kal, suaminya. Itu sebabnya Bunda dan Ayah percaya Arun tinggal di sini, sampai waktunya dia kuliah atau hidup terpisah sendiri.

Dan, dengan alasan yang sama, Arun memahami Mbak Drina dan mencoba mengurai kekhawatirannya.

"Sekarang buketnya belum siap, kan?" tanya Arun. "Masih bisa dibatalin?"

"Ya, paling sepuluh menit lagi juga jadi, Run."

"Kalau masalahnya bukan di suplai atau kemampuan Mbak Drina, berarti di pengiriman, dong? Emang kenapa sama kurirnya? Kan, ada GoSend atau same day?"

Mbak Drina meletakkan bunganya untuk mengambil ponsel dari saku celana. Setelah jempolnya menekan beberapa kali, diserahkannya ponsel itu ke Arun. "Baca ini."

Di layar, tampilan chat pembeli dan penjual terpampang. Arun menelusuri dari yang ditunjukkan saja, yaitu ketika Mbak Drina membalas dia bersedia, kemudian ditanggapi sebuah permintaan.

"'Kalau begitu, boleh tidak saya mengirim seseorang untuk menjaga buketnya?'" baca Arun. Dia mendongak heran sebentar, lalu meneruskan. "'Supaya saya tahu pasti sampai.' Maksudnya?"

"Baca lagi sampai bawah."

Arun menurut. Ternyata maksud dari permintaan itu sesuai tulisannya; bahwa sang pembeli ingin ada seseorang dari pihaknya yang mengawasi pengiriman buket itu. Namun, Mbak Drina belum membalas lagi ketika sang pembeli menanyakan alamat.

"Sebetulnya cancel lebih gampang, sih, tapi Mbak nggak enak aja. Takut kelihatan nggak profesional, terus ngaruh ke penilaian konsumen di lapak Mbak. Lagian harga buket teman Mbak lumayan juga, loh. Sayang kalau nggak dibuat, apalagi Mbak tahu Mbak mampu."

"Sebentar," kekeh Arun, tangannya diangkat. "Jadi nanti orang suruhannya naik di jok belakang motor kurirnya, gitu? Atau gimana?"

"Mana Mbak tahu." Mbak Drina mengangkat bahu.

Arun menahan tawanya dan berpikir. "Mbak takut awkward ngejelasin ke kurirnya?"

"Bukan awkward lagi, tapi sungkan. Kalau orang yang diminta jagain buketnya kelamaan datang, nanti rezeki kurirnya ketahan juga karena harus nunggu. Jadi nggak bisa ambil penumpang atau pesanan lain. Kasihan, kan?"

"Ya udah, kalau gitu. Sama Arun aja."

Mata Mbak Drina membelalak. "Kamu mau naik motor?"

"Sepeda?" jawabnya retoris.

"Alamatnya lima belas menit dari sini pakai motor, loh! Gimana kalau pakai sepeda?"

"Yah, udahlah. Nanti Arun pikirin lagi. Yang penting sekarang Mbak nggak galau."

"Yang ada malah makin galau, Run! Beneran kamu mau? Terakhir kamu sepedaan jauh gitu waktu ikut tur komunitas Ayah pas kelas sepuluh, kan?"

"Dan Arun dapat medali, kan?" Arun sengaja menunjuk ke arah luar, merujuk medali keikutsertaan di atas meja ruang tamu. Yah, meski bukan pemenang, tapi dia berhasil finis. "Sekarang Arun mau makan dulu, Mbak Drina bikin buketnya. Pas kita udah sama-sama beres, Arun anterin. Oke?"

Arun mengacungkan jempol, kemudian berbalik untuk ke dapur. Mbak Drina menahannya dengan mengacak-acak rambutnya dan pura-pura memitingnya dengan satu tangan. Arun ikut pura-pura tersiksa dan berusaha meloloskan diri, sebelum sama-sama tertawa.

"Makasih, ya." Wajah Mbak Drina, yang hanya terpaut sejumput perbedaan di mata yang lebih lentik dan muka yang lebih oval dari Arun, tersenyum. "Jangan kapok direpotin lagi."

"Yeh, bilang gini kek, dari tadi," balas Arun dengan cengiran.

Keduanya bertolak arah, Arun ke kanan dan Mbak Drina kembali ke dalam ruang kerjanya. Bahkan setelah Arun mengambil suapan pertama pun, Mbak Drina berseru, Nanti Mbak kasih uang buat angkot kalau capek! sebelum disahuti Arun dengan, Daripada buat ongkos mending buat Diamond!. Sisanya, Arun menikmati nasi Padang berlauk ikan bakar dalam diam.

Beberapa menit selesai Arun mencuci piring, pagar rumah diketuk. Arun sempat meragukan pendengarannya, tetapi akhirnya mengintip juga ke jendela. Seseorang baru saja meletakkan motornya di bawah pohon kenanga depan rumah dan mengucap salam cukup keras. Mbak Drina juga menyadari karena dia keluar menghampiri Arun, melempar tatapan tanya. Arun membuka pintu.

"Permisi, dengan Drina Craft?"

Continue Reading

You'll Also Like

2.7K 546 21
Kue ulang tahun dan lilin. Biru dan Grace. Persamaan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lahir di tanggal yang sama dan tinggal di lingkungan yang s...
94.8K 7.4K 33
[Sudah diterbitkan oleh KMC Publisher] [Complete wattpad version] [KMC Romance Series] Afra Gaia Puteri (Rara) melarikan diri dari perjodohan yang di...
306K 34.8K 29
Janina Ilana Halim, seorang perempuan yang terjebak dalam kesepian dan mencari seorang yang mau mengulurkan tangan padanya agar bisa terlepas dari ke...
1.5M 129K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...