WERELDEN

By arraasyabilla

112 31 91

"Bukan seseorang yang pandai bermain hati, tapi seseorang yang pandai bermain tak-tik." Arlene, seorang perem... More

BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9

Titik awal

25 7 13
By arraasyabilla

Gue gak suka kalau ada orang yang ngatur hidup gue, apalagi takdir. Tapi, kalau untuk keselamatan Mama, gue bisa apa selain nurut?

--Arlene Aurora Arabela Aires--

DUA setengah tahun sudah Arlene bersekolah di sekolah Merpati. Dua setengah tahun juga ia mendapatkan banyak kritikan dari teman-temannya perihal kebiasaannya yang sangat malas dan sering bolos.

Beruntung, masih ada orang yang mau berteman dengannya. Mereka adalah Aira dan Aria. Anak kembar berambut keriting yang menemaninya sejak kelas satu menengah atas.

Aira, atau bisa di sebut dengan Ira, Ia adalah orang yang pintar di bidang pelajaran. Sedangkan Aria atau Ria. Kakaknya, ialah orang yang pintar di bidang Seni.

Jangan bilang karena mereka kembar pasti mempunyai sifat yang sama. Justru, mereka mempunyai sifat yang sangat bertolak belakang. Aira yang selalu memberikan nasihat baik sedangkan Aria selalu memberikan nasihat buruk.

Seperti halnya malaikat nyata yang berdiri di samping kanan dan kirinya Arlene.

"Len. saran gue, lo ilangin sedikiiiit aja sifat lo yang permanen itu biar di pandang sama si Wilis, gue tau kok si Wilis itu sebenarnya su-" Belum sempat menlanjutkan perkataannya, Aria sudah menyekanya.

Lagi dan lagi.

"Ira. Adikku yang buluk, tolong, yah. yang namanya suka itu gak mandang dari kepribadaian, mau dia jamet kek, orgil kek, janda kek, bocil kek, dan lain-lain lah. Yang namanya suka tuh dari hati ke hati bukan dari mata baru turun ke hati." Aria mengangkat dagunya bangga dengan ucapannya barusan.

"Gue buluk?" Aira terkekeh lalu kembali berkata, "terus lo apa dong? Lumutan? Kan kita satu cetak."

"Masa bodo, Ira. Asalkan lo bahagia," ucap Aria sambil mengangkat bahunya tidak peduli.

"Berarti Arlan buat gue, ya? Biar gue bahagia."

Aria melotot. Ia menghentikan langkahnya lalu menatap nanar kembarannya. Aira hanya cengegesan. Sensi sekali memang kakaknya ketika membahas soal tikung menikung.

Arlene menghela napas berat. "Gak usah ngatur-ngatur. Gue tau yang terbaik buat diri gue sendiri," ucapnya meninggalkan kedua makhluk yang masih loading itu ke dalam kelas.

Aria menginjak kaki Aira kencang. "Tuh dengerin!"

-W e r e l d e n-

Jam pelajaran Fisika memang sangat membosankan. Selain caranya yang belibet, penjelasannya juga sangat panjang dan terulang-ulang seperti Sejarah.

Melipat tangannya di meja, Arlene menutup matanya untuk tidur. Bosan rasanya mendengarkan guru yang sedang mengoceh tak henti-henti.

Berbeda sekali dengan Aira, satu murid yang sangat bersemangat di pelajaran Fisika.

"Jadi begitu. ya, Nak, Lanjut ke pembahasan sebe-"

drtt ... drtt ... drtt ....

"-Sepertinya Ibu ada urusan sebentar. Kalian jangan berisik, Ibu tunggal dulu."

Anak IPA XI-II bernapas lega ketika derap langkah Buk Nuri sudah tidak terdengar. Mereka mulai sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang tidur, ada yang bermain game, ada pula yang berkumpul untuk merumpi.

BRAK!!

"ARLENE! MAMAH LO JATUH KE JURANG!"

Deg.

Suasana menjadi hening seketika, ketika Wilis-Ketua OSIS berucap demikian. Arlene mengangkat wajahnya ke atas. menatap orang di depannya yang tengah menatapnya dengan tatapan serius seperti tidak ada kebohongan di wajahnya.

"Lo kalau mau bercanda gak usah bawa-bawa mamah gue deh, gak lucu!"

"Gue gak lagi ngelawak, Arlene. Mamah lo jatuh ke jurang pas lagi ngambil kayu bakar di hutan." Jelas Wilis sekali lagi. Kali ini dengan nada tenang.

Tanpa pikir panjang, Arlene bangkit dari duduknya. Berlari sekuat tenaga untuk keluar dari sekolah tanpa memperdulikan panggilan dari si kembar.

Duk!

"Ya Tuhan...."

Arlene menatap Bu Nuri--Orang yang di tabrak nya yang kini telah merapikan kertas yang berserakan.

Tapi saat itu juga ia kembali berlari tanpa ada rasa ingin membantu sedikit pun, karena baginya itu terlalu drama.

"HEY! MAU KEMANA LAGI KAMU ARLENE! DASAR MURID PINTAR! KERJAANNYA MEMBOLOSS TERUS! IBU PASTIKAN KAMU TIDAK AKAN NAIK KELAS BESOK!"

"Dasar tidak tau sopan santun, sudah menabrak tapi tidak mau bertanggungjawab. Jadi basah 'kan kena air hujan, memang dasar murid yang pintar." Gerutu bu Nuri sambil merapihkan hasil ujian anak anak kelas XI.

Menengok ke samping, bu Nuri membulatkan matanya ketika Wilis berlari tanpa rem menuju ke arahnya. "Aaahh!" teriaknya saat Wilis semakin dekat. Sepuluh detik kemudian ia membuka matanya.

"Loh, loh, loh, loh, kok nembus!?"

Bu Nuri mengerjapkan matanya berkali-kali ketika Wilis menembusnya begitu saja tanpa ada rasa sakit sedikitpun. Saat melihat ke samping, ia masih menemukan Wilis yang berlari mengejar Arlene. Tapi saat mengerejapkan matanya kembali, sosok Wilis hilang begitu saja.

"Astaga! Astaga! Astaga! Sejarah baru di sekolah!" pekiknya antara takjub dan takut.

Tak lama dari itu ia lari terbirit-birit masuk ke dalam kantor. entahlah, sepertinya ia ingin menceritakan masalah tadi.

- W e r e l d e n -

Sore menjelang petang, Arlene baru sampai di hutan Angkara. Hutan tempat orang-orang mencari kayu untuk bahan bakar.

Perlu di garis bawahi, Arlene adalah orang tidak berkecukupan yang hidupnya di tanggung oleh sumbangan warga. Dan Arlene benci hal itu.

Di tepi jurang, Arlene berdiri didekat pohon besar. Tangannya di tempatkan di sisi mulutnya seolah-olah itu adalah toa.

"MAMA!!"

"MAMA DI MANA!!"

"MAMA GAK PAPA, KAN?!"

"MAMA DENGER AKU GAK?!"

"MAMA!"

"MA-"

Teriakan Arlene terhenti. ketika matanya menangkap sosok yang ia cari tengah terbaring tak berdaya tertiban ranting kayu di atasnya.

Tanpa pikir panjang, di tengah derasnya hujan, Arlene lompat dari atas jurang yang bisa terbilang cukup tinggi.

Otaknya kembali berpikir, tau dari mana Wilis jika mamahnya jatuh ke jurang?

Saat ingin menyingkirkan ranting kayu, tiba-tiba sekelebat bayangan hitam menyerupai kunang-kunang itu muncul di depannya.

Perlahan, hewan itu berubah menjadi sosok manusia berkulit pucat.

Arlene mendongak ke atas, sosok itu tersenyum hangat kepadanya, lalau berkata. "Aku bisa membantu mu, Arlene. Ibu mu sudah tidak bernapas," ucapnya.

"Lo, si-" ucapan Arlene lagi-lagi dipotong, ketika sosok itu lebih dulu menyebutkan namanya.

"Aku Matilda. Pemilik hutan ini."

"Oh. jadi lo, orang yang udah bu-"

"Aku tidak melukai Ibu mu, adikku yang telah mendorongnya hingga tewas."

"...."

"Pilihanmu hanya dua, ikut denganku dan menjalani perintahku, atau mengikhlaskan Ibumu dan kamu akan menjadi gelandangan," tawar Matilda.

Arlene berpikir sejenak, kapan dia mempunyai mata batin sehingga dapat melihat sosok ini? Dan sejak kapan nyawa seseorang ada di tangannya?

Otaknya yang bodoh serasa ingin meledak memikirkan hal aneh ini.

"Roh Ibumu aman bersamaku jika kau mau menjalankan perintahku." Matilda menggerakkan tangannya acak sampai tiba-tiba muncul suatu gambar yang memperlihatkan Ibu nya sedang ber istirahat di kasur mewah.

Arlene melotot. Tangannya terangkat untuk menyentuh air melayang di depannya. tapi saat itu juga, air itu terjatuh ke bawah bersamaan dengan gambar Ibunya yang menghilang.

"Bagaimana?"

Ketika ingin menjawab Matilda lebih dulu menyekanya.

"Aku bukan orang jahat, tapi aku penyelamat. Mungkin, kamu merasa aku sama saja seperti adikku, Magdalena. Sama-sama memanfaatkan keadaan untuk ke untungan sendiri, jika aku bisa menembus dinding tebal ke alam fiksi, mungkin aku sudah melakukannya untuk menembus kesalahan adikku. Tapi sayang, aku tidak bisa."

"Hanya anak kandungnya saja yang bisa mencari obat penawar itu di negri fiksi." lanjut Matilda.

"Gue gak percaya sama yang namanya sihir, karena sihir itu emang gak ada."

"Jika itu jawabanmu ya sudah, aku hanya memberikan tawaran."

Setelah mengatakan itu, Matilda menjauh lalu menghilang di balik pohon oak. Seakan-akan ada pintu di baliknya.

Arlene menatap Ibunya lama. Ada goresan kecil di hatinya ketika melihat wajah ayu itu pucat dan perutnya yang sudah tidak bergerak.

Hatinya berkecamuk, antara iya atau tidak. Di satu sisi, ia tidak percaya jika sihir itu ada. Tapi di sisi lain, perkataan Matilda tadi seolah-olah meyakinkan jika Ibunya akan hidup kembali jika dia mengikuti perintahnya.

Matanya memanas. Hingga tak sadar satu butir air mata jatuh membasahi pipinya. Lalu di susul kembali oleh air yang lebih deras.

Untuk kesekian kalinya Ia menangis karena seorang ibu. Dan untuk sekian lamanya air mata itu baru menetes sekarang.

Arlene mengusap pipinya kasar, lalu mendongak ke atas, menatap langit berwarna Oranye yang masih setia membasahi bumi.

Ia memejamkan matanya erat-erat sebelum sedetik kemudian ia menyesali keputusannya. Arlene menghilang bersamaan dengan jasad ibunya.

Sementara itu. di atas jurang, ada Wilis yang memperhatikannya sambil tersenyum senang.

"New games will soon be at the start"

Faktanya, sosok menyerupai Wilis itu memang tidak nyata.

Seketika, sosoknya berubah menjadi wanita cantik keturunan bangsawan.

Dia, Magdalena.

- W e r e l d e n -

Siap temani aku dari nol, vren?

Semoga terhibur, sampai jumpa di chapter selanjutnyaa🕊✨

Continue Reading

You'll Also Like

124K 4K 55
Bagaimana rasanya menikah dengan iblis? Kenyataan itu benar benar gila DEVIL Denial Villen adalah nama siluman yang menjadi pengantar dongeng anak-an...
1.3M 130K 48
Di novel 'Kisah Naqila', Nathaniel Varendra adalah sosok antagonis paling kejam. Ia bahkan tak segan membunuh seseorang yang dianggap mengusik ketena...
137K 15.3K 47
Seorang pria yang bertransmigrasi di dalam novel yang terakhir ia baca. Dunia dimana sihir adalah hal normal di sana. Terlahir kembali menjadi orang...
193K 21.4K 24
NOT BXB!! NOH UDAH PAKE CAPSLOCK, BIAR KELIATAN. Ardi si CEO, Yudha si remaja narsis, dan Ozan si pencuri, tiga orang yang mengalami kejadian di luar...