Makhluk yang baru muncul itu bentuknya serupa dengan anak-anak, tapi jauh lebih besar. Jika nanti Piri berdiri, jika ia berani melakukan itu, kepalanya tak akan lebih tinggi daripada jarak pinggang makhluk tersebut ke tanah.
Lingkar pinggang makhluk itu pun begitu besar, lebih besar daripada batang pohon karamunt.
Namun, yang membedakan sosok ini dengan makhluk aneh di gua adalah dia memiliki wajah yang bersih. Tak ada rambut kotor dan berantakan di sekitar hidung besar dan bibir tebalnya. Rambut itu hanya ada di atas kepala, tipis dan pendek serta berwarna kelabu seperti batu.
Satu lagi yang membedakan, sekujur tubuh makhluk itu mulai dari bawah leher sampai ke siku dan lutut tertutup lapisan aneh tebal berwarna coklat yang disambung-sambung sedemikian rapi dan rumitnya.
Piri heran, oleh Kakek selama ini anak-anak hanya disuruh menutup tubuh di bagian kemaluan saja, dengan lembaran daun pohon karamunt, lalu kenapa makhluk ini menutup rapat hampir seluruh tubuhnya?
Apakah dia merasa malu dengan tubuhnya itu sehingga semuanya perlu ditutup sedemikian rupa?
Piri belum berani bertanya tentang itu. Berbeda dengan makhluk aneh di gua, yang selalu meringkuk ketakutan padanya, makhluk besar di hadapannya ini berdiri tegak menjulang dan menatap tajam, terlihat berbahaya.
Piri terdiam, jongkok merapat di antara Tero dan Yara yang juga belum berani berkata-kata. Tiba-tiba Piri teringat, si makhluk aneh di gua takut padanya karena ia memiliki batu merah.
Sekarang, di mana batu merah itu?
Kali ini tanpa pikir panjang Piri mendongak dan bertanya dengan lantang, "Di mana batu merahku? Apakah kamu mengambilnya?"
Si makhluk besar balik menatap. Kedua alis tebalnya bertaut.
"Batu apa?" Suaranya terdengar berat. Pengucapan kata-katanya terasa sedikit aneh, namun nadanya cukup lembut.
"Batu merah yang ... " Piri terdiam, tiba-tiba ragu.
Namun, merasa bahwa si makhluk besar sepertinya tidaklah berbahaya, ia bertanya lagi, "Hei, apa yang terjadi? Kenapa kami ada di sini?"
Si makhluk besar tertawa terbahak-bahak, cukup untuk membuat perutnya tampak bergoyang-goyang di balik lapisan penutup tubuhnya.
Ia lalu berjalan keluar ruangan, meninggalkan sepotong dinding tetap terbuka. Piri dan kedua anak lainnya saling memandang, kemudian cepat-cepat melongok mencoba melihat apa yang ada di luar ruangan.
Sayangnya, belum sempat mereka melihat makhluk itu sudah kembali, kali ini dengan membawa dua buah mangkuk besar.
Yang pertama berisi belasan buah-buahan utuh berwarna-warni. Ya, mestinya itu buah-buahan, pikir Piri, karena diletakkan di mangkuk.
Yang kedua, isinya lebih mirip buah tuirrint merah yang ditumbuk sampai hancur dan dicampur dengan air sungai hingga berair dan lengket. Hanya saja Piri tak yakin itu adalah isi buah tuirrint, karena baunya berbeda, yang ini lebih menyengat.
Di dalam mangkuk ada kayu kecil sepanjang satu jengkal, yang terbenam sebagian dan sepertinya digunakan untuk mengaduk.
Makhluk itu duduk bersila di depan anak-anak dan menyodorkan kedua mangkuknya. "Ini, makan buahnya, satu atau dua buah. Setelah itu cicipi bubur merah ini. Kalian sudah pernah memakannya?"
Anak-anak menggeleng.
Si makhluk termangu. "Terserah kalian, mau yang mana dulu."
Piri mencium aroma bubur itu, dan langsung kehilangan selera. Ia juga masih ragu mengambil buah-buahan di mangkuk pertama.
Ia menatap Yara dan Tero. Kedua anak itu sepertinya belum berniat untuk berbicara, mungkin karena masih takut.
"Kami belum lapar," kata Piri. "Di tepi sungai tadi kami makan cukup banyak, dan—"
"Kalian tertidur. Yang kalian makan di tepi sungai itu buah maullavaloa. Kalau makan terlalu banyak kalian akan mengantuk."
"Buah mallava—apa?" tanya Piri.
"Maullavaloa," kata Yara.
"Betul." Makhluk itu memandangi Yara. "Kau tahu namanya?"
"Tidak." Yara menggeleng.
"Tapi kau pintar mengucapkannya."
"Aku hanya meniru apa yang kamu katakan."
"Namanya susah! Kami punya nama sendiri untuk buah itu, yang lebih gampang diingat," Tero kini berbicara. "Teropiriyaraint."
"Ah .... Jadi rupanya kalian tahu juga buah itu. Lalu kenapa kalian memakannya sampai kenyang?"
Piri menggeleng. "Kami baru pertama kali melihat buah itu."
Tero mengangguk. "Aku lalu memberinya nama sesuai nama kami. Kami penemunya. Aku Tero, dia Piri, dan ini Yara."
"Nama-nama yang lucu, dan aneh. Apakah kalian berasal dari ...?" Kilat aneh tampak di mata si mahkluk besar, tetapi menghilang dengan cepat.
"Kalian penemu buah itu? Baiklah." Ia tertawa. "Kalau aku, namaku Jenasin. Kalian boleh memanggilku Pak Jenasin."
"Pak? Apa itu 'Pak'?" tanya Yara.
"Hmm? Itu panggilan, karena aku lebih besar dan lebih tua dibanding kalian. Kalian tidak tahu?"
Anak-anak tidak menjawab, karena memang tidak paham.
Tero malah balik bertanya, "Namamu Jenasint? Menurutku itu lebih cocok menjadi nama buah. Buah yang besar dan gemuk."
Pak Jenasin terbahak-bahak lagi. "Kalian memang lucu! Ah, namamu tadi Tero, bukan? Pergelangan kakimu bengkak. Biar kuobati. Tetapi makanlah dulu. Kalian pasti lapar. Kalian sudah tidur selama sehari semalam!"
Piri terperanjat, demikian pula Yara dan Tero. Mereka sudah tidur selama itu? Piri menoleh dan melirik celah tinggi benderang di belakangnya.
Rupanya ini sudah berganti hari!
Tero mengangkat bahu tidak peduli. Ia mengambil buah yang berbentuk bulat dan berwarna merah.
"Kamu coba yang kuning itu, Piri, dan kamu yang coklat, Yara. Kita lihat mana yang paling enak."
Buah kuning kehijauan yang disodorkan Tero juga berbentuk bulat, sementara buah coklat untuk Yara lebih lonjong.
Piri dan Yara sudah bersiap menggigit buah-buah itu, ketika Pak Jenasin lalu menahan, "Kalian kupas dulu kulitnya, baru dimakan."
Sungguh cara makan yang menyulitkan, pikir Piri. Atau makanan yang menyulitkan. Semua harus dikupas, tidak bisa langsung dimakan.
Tetapi ia dan Tero serta Yara harus mengakui, bahwa buah-buahan ini memang lezat, tak kalah, atau bahkan lebih lezat daripada buah allumint mereka.
"Sedikit asam," kata Tero sok tahu tentang buah yang berwarna merah. "Tetapi segar, banyak airnya, dan ada manisnya juga."
"Yang ini agak keras," Yara berpendapat tentang yang coklat. "Bijinya besar-besar. Tetapi enak juga dagingnya."
"Banyak mana airnya dengan ini?" ujar Piri sambil menunjukkan yang kuning. "Kurasa ini yang paling enak! Tetapi biji-biji kecilnya jangan tergigit, rasanya pahit."
Pak Jenasin menjelaskan, ketiga buah itu bernama tilaruola, kenelatui dan aramulao.
Piri tak habis pikir, kenapa harus memberi nama yang susah-susah untuk buah-buah sesederhana itu. Ia akan meminta Tero mencarikan nama baru nanti.
Setelah setiap anak memakan tiga buah, Pak Jenasin berkata, "Nah, sekarang cobalah bubur merah ini."
Ketiga anak menatapnya ragu.
"Dibanding buah maullavaloa, bubur merah agak pedas, namun manfaatnya lebih banyak. Setelah memakannya, tubuh kalian akan terasa lebih kuat. Kalian membutuhkan itu."
Piri mengulurkan tangannya, hendak memasukkan bubur merah itu ke dalam mangkuknya, namun Pak Jenasin cepat-cepat mencegah, "Pakai sendoknya. Ambil buburnya dengan kayu itu. Begitu cara makannya."
Sekali lagi, cara makan yang sulit, pikir Piri. Tetapi ia menurut saja.
Ia menyendok bubur merah dengan sendok kayu, lalu mendekatkannya ke mulut, kemudian menjilatinya. Tidak terlalu manis, bukan kesukaannya, tetapi Piri terus memaksakan diri memasukkan bubur itu ke dalam mulutnya. Tanpa banyak mengunyah, ia langsung menelannya.
"Apa ... itu enak?" tanya Tero.
"Tidak," jawab Piri tanpa ragu, "Tetapi, kurasa ini bisa dimakan."
"Kalau menurutmu sih ikan juga bisa dimakan," tukas Yara.
"Ah, kalian suka makan ikan?" tanya Pak Jenasin. "Biar nanti kuambil di sungai dan kubakarkan untuk kalian."
"Tidaaak!" ketiga anak menjawab secepatnya.
"Kami makan ini saja," kata Yara. Ia dan Tero menyusul Piri.