"Kami tidak protes, kami hanya bilang!" seru Yara kesal.
Piri mengangkat bahu. "Aku hanya merasa ... kalian seperti kehilangan semangat. Kamu, Yara, tidak sesemangat seperti saat hendak meraih awan. Kamu, Tero, tidak sesemangat seperti saat hendak menangkap kupu-kupu bintang. Ya, tentu saja tidak, karena semua kupu-kupu itu sudah ada di sini sekarang!"
"Aku tidak kehilangan semangat!" seru Tero marah.
"Aku juga tidak!" bantah Yara. "Aku tadi hanya mengatakan pendapatku! Apa itu tidak boleh?"
"Mmm ... tetapi, Piri," Tero menggaruk-garuk kepalanya. "Kamu tadi bilang Yara hendak meraih awan? Apa maksudnya?"
"Bukan apa-apa!" Yara berusaha mengelak.
"Ya." Piri mengangguk. "Bukan apa-apa."
Tero menatap curiga pada keduanya. Lalu ketiganya terdiam.
Setelah beberapa lama Piri menarik napas dalam-dalam. "Maaf, aku salah tadi, menganggap kalian kehilangan semangat. Sudahlah, aku akan naik ke rongga gua itu. Tidak ada salahnya mencoba."
"Sekarang?" Kedua alis tipis Yara bertaut.
"Kalau menunggu besok, kupu-kupu ini mungkin akan pergi, dan tempat ini bakal lebih gelap daripada sekarang."
"Tetapi apa kamu tidak lelah?"
Piri tidak menjawab. Tentu saja ia lelah, tetapi ia tidak mau memikirkan hal itu. Ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya, mempersiapkan diri. Ia mendongak memperhatikan celah-celah yang bisa ia pegang atau injak, lalu mulai memanjat.
Sepertinya, karena ruangan kini lebih terang ia bisa memanjat dengan lebih yakin. Jari-jarinya mencengkeram lebih kuat, dan kedua kakinya menjejak lebih kokoh. Mungkin pikiran memang bisa menguatkan tubuh, pikirnya.
Sedikit demi sedikit ia naik, dua kali, dan akhirnya tiga kali tinggi tubuhnya. Ia tiba di 'lubang' yang ia percayai sebagai lubang.
Ratusan kupu-kupu yang tadi hinggap di dinding beterbangan, lalu hinggap lagi di sekujur tubuhnya.
"Sekarang kamu benar-benar terang!" Tero tertawa dari bawah.
"Tetapi hati-hati!" teriak Yara. "Apa yang kamu lihat?"
"Lubang, tentu saja! Aku benar!" seru Piri.
Ia menggerakkan sebelah tangannya untuk mengusir beberapa kupu-kupu yang masih hinggap di sekeliling lubang. Ia mengangkat tubuhnya ke dalam rongga. Lubangnya sedikit lebih tinggi daripada tubuh Piri, sehingga ia bisa berdiri tegak.
Seperti perkiraannya, lubang itu panjang. Memang lorong, dan tampaknya mengarah ke suatu tempat. Berpuluh-puluh kupu-kupu bintang menempel di sepanjang dinding lorong, sehingga ia bisa melihat sampai beberapa langkah ke dalam.
Sayangnya, ia belum bisa melihat ujungnya.
Kecuali, jika itu ...
"Piri! Ada apa di sana?!" Yara berteriak.
"Sudah kubilang, lubang! Ini lorong gua, seperti gua di sungai itu, cuma lebih kecil. Aku akan masuk ke sana!"
"Tidak! Tunggu!" Yara melambai-lambaikan tangannya. "Piri! Kamu tidak tahu ada apa di sana. Jangan masuk dulu!"
"Lalu aku harus apa di sini? Diam saja?" Piri membalas. "Buat apa aku capek-capek naik? Aku akan masuk, sebentar saja, untuk melihat-lihat. Kalian tidak usah khawatir!"
Sebenarnya ada sesuatu yang membuat Piri tertarik. Di dalam tampak pendar-pendar cahaya merah. Mirip warna buah tuirrint. Cahaya itu muncul dari balik batu besar di ujung lorong.
Untuk beberapa saat ia terdiam, menebak-nebak apa itu gerangan. Tetapi ia tak punya jawaban. Ia menghilangkan rasa takutnya, lalu melangkah.
Sebagian tubuh Piri tertutup kupu-kupu, membawa terang bersamanya. Setelah sepuluh langkah ia sampai di batu besar yang tingginya sepinggangnya.
Ia melongok ke balik batu. Di sana, di atas tanah, tergeletak sebuah batu sebesar kepalan tangan berwarna merah. Benderangnya melebihi terang sayap kupu-kupu bintang. Batu itu demikian indah.
Tanpa berpikir panjang Piri mengulurkan tangannya, menyentuh, mengambil batu merah itu.
Seluruh kupu-kupu yang hinggap di tubuh Piri mengepakkan sayap.
Piri merasakan tubuhnya menghangat, tetapi ia tahu itu bukan gara-gara ratusan kupu-kupu di sekelilingnya itu, melainkan berasal dari batu merah di tangannnya.
Senang, ia menimangnya, lalu tersenyum. Ia tidak tahu batu jenis apa itu, tetapi ia tahu satu manfaatnya. Ia mengangkat sebelah tangan, menghadapkan batu itu ke depan, mengarahkan cahaya merahnya.
Sebuah lubang lain ternyata ada di sebelah kiri, lebih kecil, tadi tersembunyi di balik batu besar. Piri ragu, ia harus sedikit membungkuk jika ingin masuk ke sana, tetapi kemudian ia teringat ucapannya sendiri. Bagaimana jika benar lorong ini bisa membawa mereka keluar?
Ia kembali melangkah. Begitu ia masuk ke dalam lubang baru itu, sesuatu yang berbeda terasa. Hawanya lebih dingin. Hangat di tubuhnya berkurang, dan seluruh kupu-kupu bintang yang tadi hinggap di tubuhnya beterbangan melepaskan diri.
"Piri!" Sayup-sayup terdengar suara Yara. "Kau tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa!" jawabnya. "Aku keluar sebentar lagi!"
Piri membungkuk dan melanjutkan langkahnya, masuk lebih dalam. Batu merahnya diacungkan ke depan. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan.
Dinding tanah yang mengapitnya bercahaya. Air. Tanah ini basah.
Piri belum mengerti kenapa seperti itu, jadi ia berjalan terus.
Lorong yang dilaluinya kemudian menurun, dan becek, hingga akhirnya, pada suatu titik, ia terpeleset. Ia jatuh terjengkang.
Jalan yang licin membuat tubuhnya meluncur kencang. Piri menjerit. Ia terguling, dan akhirnya terhempas di sebuah tanah lembek.
Sakit mendera tubuhnya, membuat ia tak mampu bergerak selama beberapa saat. Begitu kesadarannya pulih rasa takut kembali menerpa.
Ia terduduk, mengacungkan batu merahnya ke sana kemari. Rongga gua tempatnya berada kini jauh lebih besar daripada lorong yang tadi ia lewati. Batu-batu besar tampak di berbagai sudut.
Di salah satu sudut, Piri melihat sepasang titik cahaya berwarna hijau. Kali ini bukan batu. Cahaya itu berkedip.
Benda itu hidup!
Sekali lagi Piri menjerit.
Makhluk di depannya balas menjerit dengan lengkingan tajam menyayat, lebih keras daripada jeritan Piri. Mendengarnya, Piri menjerit lebih keras, dan sebagai balasannya makhluk itu menjerit semakin keras.
Pada akhirnya, sakit yang timbul di kepala akibat suara itu mengalahkan rasa takut Piri. Ia berhenti berteriak dan menutup kedua telinganya.
Makhluk itu ikut terdiam.
Piri mengacungkan batu merahnya. Makhluk itu pun menguik ketakutan. Dia mundur lebih jauh ke sudut dan meringkuk.
Piri bisa melihat sosoknya lebih jelas. Makhluk itu mempunyai sepasang tangan dan kaki, namun lebih besar daripada Tero.
Dia ... seperti Kakek. Ada rambut panjang di sekitar mulutnya, namun bedanya rambut itu berantakan. Rambut di kepalanya panjang acak-acakan, dan rongga matanya cekung, dengan mata berwarna hijau.
Mata itu selalu berusaha menghindar dari sorot batu merah.
"Siapa ... siapa kamu?" seru Piri.
Makhluk itu tak menjawab, malah semakin meringkuk.
"Kamu ... tinggal di sini?" tanya Piri lagi.
Dia tetap tidak menjawab. Kepalanya disembunyikan di antara kedua lutut, dan ditutupi lagi oleh kedua tangannya.
Piri akhirnya paham, makhluk itu mungkin lebih takut pada Piri dibandingkan sebaliknya. Penyebabnya mungkin batu merah ini.
Piri menurunkan tangannya, sehingga sinar merah batu itu tak lagi memancar ke wajah sang makhluk. Makhluk itu mengangkat wajah.
"Nah ... kamu bisa mengerti kata-kataku?" tanya Piri.
Makhluk itu mengangguk kecil.
"Jadi siapa kamu?"
Suara lemah makhluk itu terdengar.
"Apa ...?" tanya Piri. "Kamu bilang apa?"
"Ja ... ngan ..."
"Apa?"
"Jangan ..."
Piri menatap waspada. "Jangan apa?"
"Jangan ... bawa ..." Bibir si makhluk bergetar. "Batu itu."
"Ini? Aku harus membawanya. Kalau tidak aku tak bisa melihat."
"Jangan ... bawa ... batu itu."
"Tempat ini terlalu gelap," Piri membalas. "Aku harus membawa batu ini untuk menerangi jalan."
"Jangan ... bawa ... batu itu."