Piri mengumpulkan semangatnya, lalu menghampiri dinding tanah yang paling tidak curam serta memungkinkan untuk didaki.
Ia mencari lubang-lubang kecil yang bisa dipakai untuk menyelipkan jari tangannya, dan juga untuk dasar pijakan kedua kakinya. Ia berusaha melupakan rasa sakit, sedikit demi sedikit merayap naik.
Tetapi beberapa kali mencoba ia terus tergelincir, dan akhirnya turun lagi sampai ke tempat semula.
Dalam gelap Yara berkata di sampingnya, "Mungkin sebaiknya istirahat dulu. Lagipula sebentar lagi malam."
Piri mengangguk. Yara benar, jika ia nekat mendaki saat gelap, apalagi jika kepalanya masih pusing, bisa-bisa ia tergelincir jatuh dan mengakibatkan luka fatal. Apa boleh buat, sebaiknya ia memang beristirahat dulu.
Ia duduk di antara Yara dan Tero, lalu ketiganya berbaring.
Mereka memandang celah langit yang beranjak gelap. Saat langit berubah dari terang menjadi gelap, atau sebaliknya, selama ini selalu menjadi saat-saat yang paling menakjubkan bagi mereka. Itu adalah sesuatu yang tak pernah kehilangan keindahannya walaupun terjadi setiap hari.
Tetapi kali ini, bagi Piri dan kedua temannya, keindahan itu tertutup rasa gelisah dan takut. Mungkin sama dengan rasa takut yang biasa dialami Sera kala ia melihat Mata Kuning.
"Menurut kalian, apa yang akan terjadi pada kita?" gumam Tero.
"Jangan pikirkan itu terus!" tukas Yara.
Tetapi bagaimana mungkin tidak memikirkannya, kata Piri dalam hati. Tak mungkin Yara juga tidak memikirkan hal tersebut.
"Kalau saja kita tidak pergi," Tero berkata, "kalau saja aku tidak menuruti kata-katamu untuk mencari kupu-kupu bintang ..."
Yara langsung marah mendengarnya. "Kalau kamu mau, bisa saja kamu tidak ikut. Kamu yang memaksa ikut! Lagipula ini salahmu. Kalau saja kamu tidak memaksa naik pohon allumint itu, kalau saja kamu tidak mematahkan dahannya, kalau saja kamu tidak jatuh, kita semua akan baik-baik saja!"
"Tetap saja, kalau saja kita tidak pergi naik pegunungan, ini tidak akan terjadi! Itu awal dari semuanya!" balas Tero ngotot.
Yara terduduk, siap melontarkan lagi amarahnya.
Cepat-cepat Piri berkata, "Yara, tadi kamu tidak suka aku berkata keras-keras, kenapa sekarang teriak-teriak? Berbaringlah lagi. Kamu juga, Tero. Apa gunanya bicara 'kalau saja'? Ini sudah terjadi."
Yara cemberut, mengempaskan tubuhnya ke tanah.
Ketiganya terdiam. Piri membiarkan saja. Diam sejenak akan membuat mereka lebih tenang.
Namun ternyata Tero kembali berkata, "Aku tetap punya satu pertanyaan, Piri. Untuk Yara. Kamu benar-benar melihat kupu-kupu bintang, Yara, di pegunungan ini?"
"Ya, aku melihatnya," Yara menjawab, dan Piri tahu itu tidak benar.
Dulu Yara menggunakan alasan itu hanya untuk membuat Tero ikut pergi tanpa banyak protes.
"Benar?" Tero bertanya lebih keras.
"Ya! Aku pernah melihatnya!"
"Di mana?"
"Di kaki pegunungan, di tepi sungai!" seru Yara.
"Kapan?" tanya Tero.
"Du—dua hari ... ya, dua hari yang lalu!"
Tero menggeleng. "Sebelumnya kamu bilang kupu-kupu bintang ada di pegunungan seberang, lalu kamu bilang ada di pegunungan ini. Mana yang benar? Atau jangan-jangan tidak ada yang benar?"
Yara terduduk marah. "Kamu menuduhku berbohong?"
"Apa kamu berbohong?" Tero ikut duduk.
"Aku tidak berbohong!" Yara menjerit.
"Mmm ... Yara," kata Piri ragu, "mungkin sebaiknya—"
"Aku tidak berbohong, Piri!"
"Maksudku, bukankah kita sebaiknya—"
"Kata-kataku benar, Piri! Kata-kataku benar! Kenapa kamu tidak percaya?" Ucapan Yara tegas, dan tatapan matanya tajam menusuk, marah, bercampur ... kecewa?
Piri tertegun, dan mulai ragu. Apakah benar yang dikatakan oleh Yara?
Sesaat kemudian ia melihat titik cahaya berwarna kuning terbang berputaran tak jauh di atas kepala mereka.
Ia mendongak dan napasnya pun tertahan.
Itu adalah ...
"Kupu-kupu bintang!" Yara berseru riang. "Lihat! Itu kupu-kupu bintang! Sekarang kalian percaya?"
"Kupu-kupu bintang!" Tero berteriak.
Piri tertawa keras-keras, demikian pula Tero. Keduanya senang karena yang muncul di atas mereka bukan hanya satu, melainkan segerombolan binatang menakjubkan itu.
Kupu-kupu bintang memiliki sayap lebar berwarna keemasan. Saat siang warna sayapnya kuning bergaris-garis hitam dan tampak seperti kupu-kupu biasa, namun saat malam sinar terang terpancar dari kedua sayap itu, dan ketika mereka terbang serbuk-serbuk berwarna emas seolah terlepas menghiasi angkasa.
Anak-anak jarang melihatnya. Binatang itu hanya muncul sesekali di waktu malam, hampir tak pernah tampak saat siang. Kakek dulu berkata bahwa kupu-kupu bintang kehilangan cahayanya saat siang, sehingga sulit dibedakan dengan kupu-kupu lainnya. Tetapi menurut Tero, saat malam pun dia tak pernah bisa menemukan makhluk itu.
Kini, siapa sangka mereka bisa begitu banyak berada di tempat ini, datang entah dari mana dan mengubah rongga gelap menjadi hampir seterang siang?
Tero berdiri, seperti lupa pada seluruh kemalangan dan sakit di kakinya, lalu mengangkat kedua tangannya menyambut makhluk-makhluk indah itu.
"Kupu-kupu bintang yang kucari ke mana-mana ternyata ada di sini!"
Senyumnya berseri-seri saat ia menatap Yara. "Maafkan aku, seharusnya aku tadi percaya padamu."
"Iya." Yara tersenyum pula. "Tidak apa."
Piri yakin, seperti halnya dirinya, Yara dan Tero pasti juga punya banyak pertanyaan tentang bagaimana kupu-kupu bintang bisa ada di tempat ini, lalu apakah ini memang sarangnya, dan lain-lain.
Tetapi mungkin pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Lebih baik mereka menikmati saja keindahan ini, karena siapa tahu, kupu-kupu itu pun hanya akan muncul sebentar.
Ketiga anak memperhatikan seluruh kupu-kupu yang berputar-putar di atas mereka. Begitu banyaknya hingga suaranya menderu-deru, lebih keras daripada putaran angin meniup pepohonan yang seringkali didengar anak-anak di Dunia Mangkuk. Namun setelah beberapa lama, tiba-tiba setiap binatang itu hinggap di dinding tanah.
Hening. Ketiga anak saling memandang.
"Apa ini berarti kita akan tidur diterangi mereka?" Piri meringis.
"Maksudmu, mereka sengaja melakukannya pada kita?" tanya Yara. "Baik sekali!"
Tero nyengir. "Kalau melihat kupu-kupu bintang sebanyak ini, bagaimana aku bisa tidur?"
"Aku akan tidur, dan Piri juga. Terserah kalau kamu tidak mau." Yara lalu menoleh. "Bukan begitu—hei, Piri, kenapa?"
Piri menatap ke salah satu sudut dinding tanah di atasnya yang tertutup ratusan kupu-kupu bintang. Yara dan Tero mengikutinya.
"Kalian lihat?" tanya Piri. "Lubang itu?"
"Lubang?" Tero menggeleng. "Tidak."
"Itu, yang tertutup kupu-kupu!"
"Semua dinding ini tertutup kupu-kupu!"
"Rongga biasa," kata Yara. "Bukan lubang."
"Tadi kulihat ada sebagian kupu-kupu yang masuk ke sana, dan tidak keluar lagi," kata Piri. "Ada lubang di sana, mungkin semacam lorong, yang mengarah ke suatu tempat!"
"Ke mana?" tanya Yara tak yakin.
"Ke luar! Mungkin ada jalan keluar di sana!"
"Jalan keluar kita di atas, bukan di lubang itu," tukas Tero.
"Itu juga kalau benar itu lubang," sahut Yara. "Itu cuma rongga biasa. Kupu-kupu yang kamu lihat tadi bukan masuk, cuma hinggap sebentar di dalam rongga lalu tertutup kupu-kupu yang lain."
"Bagaimana jika aku benar?" kata Piri.
Lama terdiam, Yara mengangguk. "Ya bagus."
"Nah itu dia, lalu kenapa kalian protes?"