Jatuh dari puncak pegunungan ke sisi yang lain, lalu hilang entah ke mana. Benar-benar mengerikan.
Semua anak terdiam begitu mendengar ucapan Sera.
Namun dibanding memikirkan sesuatu yang menakutkan, Piri justru terpikir oleh sesuatu yang lain. "Hei, bagaimana jika di luar sana ... ternyata ada mangkuk-mangkuk yang lain?"
Berpasang-pasang mata yang tadi ketakutan kini menatapnya ragu.
"Ada dunia-dunia yang lain," lanjut Piri memperjelas maksudnya.
Yara mengangguk-angguk, kembali bersemangat. "Ada anak-anak lain juga?"
"Ada Kakek yang lain juga?" Jiro menyahut, lalu nyengir.
Mereka semua tertawa mendengarnya.
"Dan ada Menara Hitam lain juga ..." Piri berkata lambat-lambat untuk menakut-nakuti Sera. "Dengan sepasang mata kuning, yang terus menatap kita saat malam. Menatapmu, Sera."
Sera menjerit. "Hentikan!"
Piri tertawa, lalu menatap anak perempuan di sebelahnya yang bersorot mata cemerlang. "Menurutmu kita bisa ke sana, Yara?"
Yara mendongak. "Pertama, kita harus mendaki dulu."
"Tetapi, bagaimana jika Kakek benar?" kata Sera tetap ngotot. "Kita bisa jatuh di atas sana!"
"Aku akan naik, Sera," balas Yara.
"Kakek akan marah jika kamu membantah kata-katanya!"
"Kakek tidak melarang apa pun, jadi aku juga tidak membantah apa pun." Yara mengangguk-angguk, tampaknya kembali senang dengan kata-katanya sendiri.
Anak perempuan itu lalu berdiri tegak sambil berkacak pinggang, menantang. "Jadi, ada yang mau ikut?"
"Kamu benar-benar mau pergi?" Jiro balas bertanya. "Kapan?"
"Sekarang."
"Sekarang?"
"Ya," tukas Yara. "Itu satu-satunya yang ingin kulakukan saat ini, jadi kenapa harus menunggu atau melakukan yang lain?"
Piri tertegun. Rupanya perkiraannya tadi salah. Yara memang sudah benar-benar bertekad bulat untuk pergi!
"Yara, gunung itu tinggi sekali," tukas Jiro. "Kamu tahu berapa lama kamu akan berjalan?"
"Mendaki, bukan hanya berjalan," sahut Buro.
Yara mengangkat bahu. "Beberapa hari. Kelihatannya jarak awan itu tidak jauh, dibandingkan dengan pegunungan di seberang lembah."
"Bukan berarti lebih dekat," kata Buro. "Itu cuma kelihatannya!"
"Oh, jadi menurutmu berapa jauh?" tukas Yara.
"Lebih jauh daripada ke pegunungan seberang. Lebih lama daripada lima hari!"
"Kalau begitu tidak masalah. Aku bisa pergi sekarang dan kembali kemari sepuluh hari lagi."
Piri ternganga. Yara mengatakannya seolah-olah itu hal yang biasa!
"Yara, kamu serius?" Piri berusaha meyakinkan.
"Kenapa kamu pikir aku tidak serius?"
Piri menghela napas perlahan. "Baik, baik. Berarti kamu harus membawa bekal. Berapa buah allumint yang mau kamu bawa?"
"Untukku, satu kantong. Untukmu, kalau kamu mau ikut, ambil saja dua kantong. Kalau kamu berani ikut, tentu saja."
"Aku ikut," Jiro tiba-tiba berkata.
Lalu Buro, yang tak pernah mau kalah dari Jiro. "Aku juga."
"Kamu, Piri?" Yara bertanya.
Piri merasa, dibanding Jiro dan Buro tampaknya Yara memang lebih mengharapkan dirinya yang ikut dengan dia, tak peduli selama ini keduanya sering berbeda pendapat.
Piri menatapnya beberapa saat, lalu mengangguk. "Baik."
Yara tersenyum, lalu menawari Sera dan Nere. "Kalian?"
Kedua anak perempuan itu saling menatap.
"Kami ... kami ikut," Sera menjawab pelan, sementara Nere hanya mengangguk tanpa ekspresi wajah yang jelas.
"Nah!" Yara bertepuk tangan penuh semangat. "Berarti kita bisa bersiap-siap. Pertama, kita harus mengumpulkan buah allumint. Hmm, kita harus membawa sebanyak mungkin. Harus ada caranya—"
"Hei! Kalian mau kemana?" Suara lantang tiba-tiba terdengar.
Si gagah Tero datang dengan langkah-langkah cepat. Matanya menyorot tajam ingin tahu.
"Kalian mau pergi ke pegunungan seberang, ya?" ia bertanya dengan suaranya yang keras. "Kalian berani pergi tanpa mengajak aku?"
"Apa? Tentu saja tidak," ujar Piri cepat sambil melirik ke arah Yara. Tiba-tiba ia mendapat ide. "Kami akan mengajakmu juga."
Yara membalas tatapan Piri, untuk sesaat bertanya-tanya, lalu mengangguk mengerti.
Yara berkata pada Tero, "Betul. Kamu hendak mencari kupu-kupu bintang, kan? Ikut saja. Tetapi mungkin tidak seperti perkiraanmu, aku tadi melihat kupu-kupu itu terbang ke arah lain."
"Hah? Di mana? Ke mana?"
"Ke atas pegunungan ini. Lebih dekat, kan? Mau ikut?"
Tero menggaruk-garuk kepalanya bingung sambil memandangi lereng pegunungan di seberang sungai. "Benarkah? Mereka pergi ke sini?"
Ia lalu menyeringai lebar. "Ya, sudah. Kalau begitu, ayo pergi!"
Tero benar-benar menjawab tanpa berpikir panjang!
"Ya, ayo." Mata Yara berbinar. "Tetapi sebelum itu, karena nanti perjalanan akan panjang, kamu bisa sedikit membantu kami?"
Tero sepertinya percaya begitu saja pada ucapan Yara. Tanpa banyak cakap anak laki-laki itu memanjat pohon allumint untuk mengambil buah.
Sementara itu Piri, Buro dan Jiro memetik di pohon sebelahnya. Di bawah, Yara, Sera dan Nere menganyam daun-daun lebar pohon karamunt.
Dari daun-daun tebal itu mereka membuat kantong-kantong seukuran kepala. Akar berpilin diikatkan di kedua ujungnya sehingga kantong-kantong itu bisa disampirkan di bahu atau dililitkan di pinggang.
Sera yang terampil mampu membuat kantong yang paling bagus dan tidak gampang rusak.
Buatan Nere juga lumayan, tetapi anak itu selalu lebih banyak melamun atau bersenandung dibandingkan menganyam, sehingga hasinya tidak banyak.
Sedangkan Yara yang tak sabaran hanya tahan membuat paling banyak dua kantong.
"Piri," Buro memanggil dari dahan terbawah, berbisik, "Sampai kapan kita bisa menyembunyikan soal ini dari Tero?"
Piri terus memanjat. Buah allumint yang paling besar dan enak selalu berada paling atas, dan saat sedang berburu ia tidak ingin berpikir soal lain.
Maka Jiro yang menjawab, "Sampai kita sampai di puncak pegunungan!"
Si kurus itu tertawa.
"Ia pasti sudah langsung bertanya di hari pertama," kata Buro. "Salah satu dari kita pasti tidak akan tahan dan langsung bercerita tentang rencana Yara yang sebenarnya."
"Pasti kamu," sahut Jiro. "Kamu yang paling cerewet."
"Apa? Aku tidak!" bantah Buro.
Ia lalu melirik ke arah Tero yang memanjat di pohon sebelah, takut suara kerasnya terdengar sampai ke sana.
"Kalian tahu, aku tidak suka bicara dengannya," bisik Buro. "Kalau sedang bicara, dan tertawa, suaranya kencang sekali. Berisik. Dan ia suka memukul punggung kita, sambil tertawa-tawa juga."
"Dia tidak memukul," balas Jiro santai. "Dia cuma suka menepuk punggung kita. Itu kebiasaannya kalau sedang menyapa."
"Cara menyapa yang buruk. Dia kasar. Aku tak mengerti kenapa Piri dan Yara mengajaknya ikut." Buro menimang buah allumint di tangannya. Tanpa terkendali tangan itu terangkat dan buah tersebut mampir ke mulutnya.
Sambil mengunyah ia mendongak. "Hei, Piri, kamu dengar apa yang kami bicarakan?"
"Ya," jawab Piri sambil lalu.
Ia sedang berusaha mencari dahan-dahan yang cukup kuat untuk diinjak. Semakin tinggi harus semakin hati-hati. Tetapi ia mendengar semuanya.
"Bisa kamu jelaskan, kenapa kamu mengajak Tero?" Tanya Buro.
Piri berpegangan erat pada sebuah dahan di atas kepalanya, lalu mengangkat tubuhnya. "Tanya Yara saja. Dia lebih pintar dariku, dan suka menjelaskan segala sesuatu, kalau lagi senang."
Buro mencibir. Kekesalannya dilampiaskan dengan gigitan pada buah allumint di dalam mulutnya.
Jiro tertawa. "Buro tidak akan pernah mau bertanya pada Yara, karena ia takut kelihatan bodoh!"
"Kamu juga tidak akan berani, padahal kamu juga tidak tahu!"
"Siapa bilang? Aku tahu!' seru Jiro. "Tero diajak karena jika tidak, ia akan ribut bercerita pada seluruh anak yang lain tentang rencana kita."
"Tetapi apa salahnya mereka tahu?" sahut Buro.
"Jika semua tahu, nanti tidak akan seru!" jawab Jiro.