"Dunia ini seperti sebuah mangkuk yang biasa kalian pakai untuk makan dan minum. Kalian yang tinggal di lembah seperti hidup di dasarnya, dan pegunungan batu yang mengelilingi lembah ini adalah dindingnya."
Itulah pelajaran dari Kakek hari ini. Pelajaran yang langsung membuat anak-anak terpana dan berebutan bertanya.
Dunia seperti mangkuk? Mangkuk apa? Kenapa seperti mangkuk?
Bukannya menjawab semua itu, Kakek malah tertawa.
Ia membiarkan mereka terus berteriak-teriak, sebelum berkata, "Akan Kakek jelaskan, setelah itu kalian boleh bertanya."
Maka keseluruh penghuni lembah, yang terdiri dari tiga puluh tiga anak, duduk rapi di rerumputan, memandangi wajah Kakek tanpa berkedip.
Kakek adalah sosok yang biasa muncul di tepi sungai tak lama setelah sinar pagi datang, di atas batu datar di samping pohon karamunt.
Dari pohon rindang itu setiap paginya siulan lembut mengalun. Sebenarnya itu hanyalah suara ranting dan dedaunan yang saling bergesek, tetapi bagi anak-anak itu artinya panggilan dari Kakek.
Mereka cepat-cepat bangun, meraih sulur-sulur yang menggantung di samping rumah pohon masing-masing dan bergegas turun. Mereka berlarian ke tepi sungai dan menunggu.
Permukaan batu datar itu lalu memendarkan cahaya putih. Serbuk-serbuk halus beterbangan, berputar-putar di atasnya.
Kemudian, setelah putaran terhenti wajah Kakek muncul di tengah-tengah kabut. Kabut itu bergumpal-gumpal seperti awan di tepiannya, tetapi terang di tengahnya.
Bagi anak-anak, wajah Kakek tampak seperti mereka. Punya sepasang mata untuk melihat, satu hidung untuk bernapas dan satu mulut untuk berbicara. Tetapi sekaligus juga berbeda. Rambut putih tebal melintang di atas mata dan bibir Kakek.
Rambut tebal serupa menempel di dagunya, panjang dan lebat hingga menutupi leher, bahkan mungkin lebih panjang lagi, jika saja anak-anak bisa melihat seluruh bagian tubuhnya hingga ke mata kaki.
Dulu, saat pertama kali melihat wajah Kakek, anak-anak ketakutan. Tidak ada makhluk lain yang tinggal di lembah itu selain ketiga puluh tiga anak, jadi tentu saja mereka terkejut.
Selain itu, bagi mereka wajah Kakek terlihat sangat mengerikan, sehingga saat pertama kali muncul tak ada yang berani melihatnya.
Selama berpuluh-puluh hari mereka juga tak pernah bertanya kenapa dia bisa punya rambut putih sepanjang itu.
Namun suatu ketika, ketika anak-anak semakin besar, mereka akhirnya memberanikan diri bertanya.
Mendengar pertanyaan mereka Kakek tertawa.
"Itulah kenapa aku dipanggil dengan sebutan 'Kakek'," katanya.
Anak-anak bertatapan bingung, belum paham maksudnya.
Kakek melanjutkan sambil terkekeh, "Suatu hari nanti anak laki-laki juga akan berwajah seperti ini."
Sebagian anak langsung tertawa sekeras-kerasnya, terutama yang perempuan. Sementara yang lainnya menjerit ketakutan.
Seorang anak berseru, "Aku lebih suka rambutku yang berwarna hitam, bukan putih!"
Mereka yang tadi tertawa berkata, "Tapi dagu berambut itu lucu juga!"
Lalu yang lain membalas, "Tidak mauuu!"
Begitulah, mereka tetap lebih suka wajah mereka saat ini, yang bersih tanpa rambut. Walau demikian, setelah beberapa lama, mereka senang juga memandangi Kakek saat ia membelai-belai rambut panjangnya.
Seperti yang tengah dilakukannya saat ini.
Tangannya yang berkeriput muncul dari bawah, di dalam kabut, saat dia mengelus-elus rambutnya.
Dia mengajukan pertanyaan, "Siapa di antara kalian yang membawa mangkuk?"
Anak-anak senang makan buah-buahan yang dicampur dengan madu, dan juga senang minum. Hampir semuanya selalu membawa-bawa mangkuk ke mana pun mereka pergi.
Maka tanpa ragu mereka pun mengacung-acungkan benda itu. "Aku! Aku! Aku!"
Kakek memandang berkeliling.
Kemudian, tatapannya tertuju ke satu arah.
"Piri," panggilnya, "kemarilah."
Tubuh Piri kecil dan sebagian tertutup oleh tubuh teman-temannya yang lebih besar di depan, tetapi tetap saja Kakek bisa melihatnya!
Mungkin itu gara-gara mangkuknya.
Piri selalu percaya ia harus makan lebih banyak supaya tubuhnya bisa jadi lebih besar dibanding anak-anak lainnya, karena itu mangkuknya juga lebih besar dibandingkan dengan yang lain.
Mungkin gara-gara itu Kakek mengenalinya!
Piri berdiri, lari ke depan lalu duduk di samping batu besar.
Kakek memintanya berbalik menghadap anak-anak yang lain.
"Ambil biji-biji ini, letakkan di mangkukmu," Kakek berkata sambil melirik ke bawah.
Piri memperhatikan beberapa butir biji karamunt seukuran ujung kuku yang terserak di tanah.
Ia mengambilnya, lalu meletakkannya di dalam mangkuk.
Tero, seorang temannya yang bertubuh besar dan jika sedang bersemangat suaranya bisa terdengar sampai ke seberang sungai, tertawa.
"Itu 'kan rasanya pahit! Apa Piri harus memakannya?"
Anak-anak tertawa, dan Piri ikut tertawa.
"Kenapa tidak? Mungkin saja Piri suka." Kakek tertawa pula.
Lalu dia menjelaskan, "Dengar, Kakek hanya ingin menunjukkan. Seperti halnya biji kecil di tengah mangkuk besar itu, kalian juga ada di tengah dunia yang luas, yang kebetulan bentuknya mirip dengan mangkuk."
Anak-anak melongo, masih belum bisa paham maksudnya.
Semuanya menunggu penjelasan Kakek, tetapi dia masih terus diam, seolah membiarkan setiap anak berpikir lebih jauh.
Satu anak perempuan lalu berkata, "Tetapi, Kakek, kami sudah pernah berjalan sampai ke kaki pegunungan yang sebelah sini, di seberang sungai, dan jaraknya tidak terlalu jauh."
Dia bernama Yara. Sorot matanya cemerlang dan dia anak yang tak pernah ragu berbicara.
Yara menunjuk ke arah berlawanan, jauh ke ujung lembah. "Jadi jarak ke kaki pegunungan di seberang sana mestinya juga tidak jauh. Artinya, dunia kita sama sekali tidak luas. Seperti halnya mangkuk, dunia kita kecil."
Dia selalu pandai meniru kata-kata Kakek, atau membolak-balikkannya sehingga membuat anak-anak lain bingung.
Kakek langsung memberinya pertanyaan, "Menurutmu, Yara, berapa jauh jarak ke pegunungan di seberang itu?"
"Lima hari," jawab Yara yakin. "Bisa lebih cepat jika kita terus berjalan tanpa henti."
"Tanpa henti? Aku tidak mau terus berjalan tanpa tidur," Tero menukas dengan suara kerasnya, "atau tanpa makan dan minum."
"Ya!" yang lain berseru. "Siapa yang mau?"
"Bukan. Bukan itu maksudku!" seru Yara kesal. "Kalian ini ..."
"Piri, bagaimana menurutmu?" tanya Kakek.
Piri tertegun. Setahunya ia lebih dikenal karena cekatan memanjat pohon, sehingga sering dimintai tolong mengambil buah-buahan oleh anak lain. Tetapi mestinya bukan itu yang membuat Kakek bertanya.
Mungkin karena Piri jarang berbicara, tetapi jika berkata seringkali ia benar, dan yang benar itu seringkali berbeda dengan pendapat Yara.
Ia balik bertanya, "Maksud Kakek, apakah aku mau berjalan tanpa tidur? Aku tidak mau."
"Bukan itu pertanyaannya!" seru Yara kesal. "Soal jarak ke pegunungan dari tempat ini, itu pertanyaannya!"
Piri nyengir. Tentu saja ia mengerti pertanyaan Kakek. Ia tadi menjawab seperti itu karena ingin membuat Yara semakin kesal.
"Jarak dari sini ke Menara Hitam sekitar dua hari," ujar Piri. "Jadi ..."
Ucapannya terhenti begitu ia menoleh dan menatap bangunan berbentuk seperti batang pohon jangkung berwarna hitam di kejauhan, yang tinggi menjulang seolah mencakar awan. Serta-merta cengirannya padam.
Mau tak mau semua anak menoleh ke arah yang sama dan ikut merinding.
Kakek selalu berkata tak ada yang perlu mereka khawatirkan dari Menara Hitam, tetapi mereka tahu, ada sesuatu di sana yang selalu membuat mereka takut.