Girls Like You (TAMAT)

By stanzaalquisha

1K 298 150

[Rated 18+ for non-explicit mature themes and language] [TW: Psychological trauma] Ophelia atau Ophe merasa h... More

CHAPTER 1: Behemoth, Kraken, dan Castiel
CHAPTER 3: Tamu Tengah Malam
CHAPTER 4: Coffee O' Clock
CHAPTER 5: Persikarya vs. PS Taruna Perkasa
CHAPTER 6: Shelter Sahabat Bulu
CHAPTER 7: Guilty Gallery
CHAPTER 8: You Like Him!
CHAPTER 9: Ketoprak Candid
CHAPTER 10: Over My Dead Body
CHAPTER 11: Two Cups of Vinchetta
CHAPTER 12: The Other Side
CHAPTER 13: How to Forget the Past
CHAPTER 14: Is It Worth It?
CHAPTER 15: Too Close To Comfort
CHAPTER 16: UNWIB
CHAPTER 17: Rahasia dan Utang Budi
CHAPTER 18: Tidak Mungkin Salah
CHAPTER 19: Freak
CHAPTER 20: A Much Needed Vacation
CHAPTER 21: Bertindak Sendiri
CHAPTER 22: Jalan Keluarnya
CHAPTER 23: Find Her
CHAPTER 24: Osoto Gari
CHAPTER 25: Sampai Ketemu Lagi
CHAPTER 26: I Will Be

CHAPTER 2: Here Goes Nothing

68 16 16
By stanzaalquisha

Slogan "quirky-quirky cool" yang digembar-gemborkan Katja membuat Ophe membayangkan seseorang yang artsy tapi klimis. Mungkin dengan fashion style yang mix-and-match, misalnya pakai suspender di luar kemejanya tapi kepalanya ditutupi kupluk plus sepatu boots kulit. Ophe berpikir, okelah, boleh juga. Setidaknya cowok-cowok kayak gitu biasanya rapi dan wangi.

Tapi orang yang Katja bilang namanya Mikael itu tidak sedikit pun serupa dengan apa yang Ophe bayangkan. Dia duduk di seberang meja, menatap Ophe dengan pelupuk mata setengah tertutup yang bikin Ophe yakin dia sepertinya lagi setengah tidur, adalah cowok yang sumpah. Mati. Nggak. Banget.

Rambutnya yang lebih mirip sikat kawat jelas nggak pernah ketemu sisir. Hoodie yang dia pakai mungkin tadinya warnanya kuning terang, tapi sekarang yang tersisa cuma warna kayak dempul butek. Untuk "menyempurnakan" penampilannya, cowok ini megenakan jeans butut robek-robek. Robek-robeknya bukan karena gaya lho ya, tapi saking bututnya jeans itu jadi sudah robek di berbagai tempat. Dan bukannya parfum atau apa kek gitu yang wangi, cowok ini malah menguarkan aroma yang Ophe curigai sebagai bau kencing anjing.

Ophe nggak yakin cowok ini pernah mandi—atau bahkan kenal apa itu konsep yang namanya mandi. Dia langsung menyesali keputusannya menuruti Katja untuk bela-belain berdandan dan memakai dress demi bertemu Mikael, cowok yang jelas-jelas nggak ada usaha untuk bahkan pakai baju yang layak.

Dengan geram, Ophe menendang pergelangan kaki Katja di bawah meja. Katja tidak terlihat berjengit sedikit pun dibalik make-up dan tatanan rambut sempurnanya. Malah, cewek itu melemparkan senyum kualitas supermodel-nya kepada cowok di hadapan mereka.

"Jadi, lo kerja di mana nih, El?" tanya Katja, terlihat tidak terpengaruh sama sekali oleh tendangan maut Ophe atau cubitan-cubitan rahasia yang Ophe layangkan ke pinggangnya.

Cowok yang tadi memperkenalkan diri sebagai Kael itu balas menatap mereka dengan wajah yang tanpa minat. Seolah-olah dia lagi ngobrol sama tumpukan debu di pojok ruangan.

"Gue foto-fotoin orang."

"Oh, lo fotografer maksudnya?" suara ceria Katja yang jelas dibuat-buat membuat Ophe harus menahan diri untuk tidak muntah di atas dress-nya. "Keren banget! Lo fotografer wedding apa gimana?"

"Nggak. Gue mangkal di spot-spot pariwisata, foto-fotoin turis, terus gue jual fotonya ke mereka. 20 sampe 50-ribuan per foto."

Ekspresi di wajah Katja berubah drastis. "Oh ... Asyik juga tuh."

"Ya. Musim liburan gini emang lagi lumayan rame," jawabnya. Sambil lalu, Kael menggaruk kepalanya, dan rambutnya yang awut-awutan jadi makin tidak keruan. Ophe berdoa semoga tidak sampai ada kutu menampakkan dirinya dari situ.

"Eh, Ophe juga kerjaannya keren, lho. Gimana Phe? Ceritain, gih!"

"Gue dibayar buat ngebanting orang," gerutu Ophe di antara rahangnya yang merapat.

"Dia bercanda, kok," Katja langsung berusaha menetralkan suasana. Salah satu caranya, mendaratkan stiletto-nya yang ber-heels 15 sentimeter di atas kaki Ophe sambil mempertahankan ekspresi tenang. "Ophe ini instruktur judo di SMA Prima Harapan. Lo tau kan, SMA elit yang pendidikannya kayak militer tapi eskulnya macem-macem itu?"

Alis Kael naik sepersekian senti. "Oh. Tau."

Ophe membalas dengan geraman tak acuh, sementara nyeri di kakinya berkat gilasan mesra killer heels stiletto milik Katja semakin berdenyut-denyut. Katja sepertinya juga sudah kehabisan topik pembicaraan. Atau lebih tepatnya, dia sudah menyerah untuk bisa mengajak ngobrol orang segaring Kael. Dia akhirnya mengeluarkan ponselnya dan sibuk sendiri.

Ophe melirik Kael yang sedang bengong memperhatikan suasana kafe di sekeliling mereka. Jelas, cowok itu juga tidak ada minat untuk mengajak Ophe bicara. Atau setidaknya untuk melihat Ophe sekalipun. Dari pada harus dia yang duluan mengajak ngobrol, Ophe lebih memilih untuk scrolling akun Instagramnya tanpa tujuan yang jelas.

Keheningan yang jatuh di antara mereka itu serasa seperti berlangsung ratusan tahun buat Ophe.

Akhirnya, dia nyaris mengembuskan napas lega saat meja mereka kedatangan Wisnu dan seorang temannya. Walaupun Ophe nggak pernah suka sama Wisnu, yang dia anggap angkuh dan sok ganteng, setidaknya kedatangannya berhasil mencairkan kecanggungan di antara mereka tadi.

Wisnu sebenarnya menarik, dengan janggut dan cambang yang dipelihara rapi, rambut yang diolesi bergalon-galon pomade, dan kemeja yang dengan pas memeluk tubuh kekar hasli nge-gym. Tapi Ophe kurang suka kepada selera humornya. Apa yang Wisnu anggap "yah elah, kan cuma bercanda", sebenarnya bisa sangat menyinggung. Pernah di suatu kesempatan, Wisnu memperhatikan Ophe dari ujung rambut sampe ujung kaki, dan dengan nada sangat meremehkan, bertanya, "Cewek kayak lo kok bisa sih jadi temen Katja?"

Belum sampai sepuluh detik Wisnu duduk, dia sudah menyalakan sebatang rokok baru. Setiap kata yang keluar dari mulutnya diiringi oleh hembusan asap yang tebal.

"Tumben udah pada dateng. Apalagi lo, El. Lo kan kerjaannya telat mulu kalo tiap kita ngumpul."

"Gue bisa aja tepat waktu kalo gue mau," gumam Kael. Wisnu sepertinya tidak mendengarnya.

"Gimana, udah pada kenalan kan? Udah pada ngobrolin apa aja nih?"

"Oh, banyak banget, macem-macem," jawab Katja nyengir. Ophe mencengkeram—atau lebih tepatnya, mencekik—gelas minumnya seolah-olah gelas itu benda paling berdosa di dunia, dan menyeruput minumannya dengan berisik.

Bleh. Pahit.

Dia pikir ice coffee Kahlua yang tadi dia minum tidak pakai alkohol. Dia benci alkohol bukan karena alasan apa-apa, tapi karena rasanya. Kalau bisa minum yang manis, ngapain pilih yang pahit?

"Tinggal nungguin temen lo satu lagi ya Kat?" tanya Wisnu, mencabut rokok dari bibirnya yang kehitaman karena tembakau. "Si ... Marshella?"

"Iya, Shella," jawab Katja. "Dia paling lima menitan lagi dateng."

Ophe melirik cowok yang dibawa Wisnu. Dia memperkenalkan diri sebagai Randy, teman sekantor Wisnu. Randy bertubuh kurus, berwajah boyish, dan berambut belah tengah dicat semi-coklat. Kacamatanya ber-frame bulat tipis dan kemejanya bercorak lebih cerah dari dress-nya Ophe. Tidak salah lagi, penampilan seratus persen tipe Shella banget.

Wisnu dan Katja berpandangan selama beberapa saat, sebelum membuang muka mereka masing-masing. Wisnu mulai mengobrol lagi dengan Randy, sementara Katja menyibukkan dirinya lagi dengan ponselnya. Ophe harus menahan cibirannya. Dia sudah terlalu hapal pada kelakuan dua manusia nyebelin ini yang kerjaannya putus nyambung dan terus-terusan bilang kalau mereka "cuma temenan".

Entah sudah berapa kali apartemen yang dia kontrak berdua bersama Katja kedatangan Wisnu di tengah malam buta, ketika Katja mengira Ophe tengah tertidur lelap. Kadang di jam 2 pagi, kadang di jam 3, kasak-kusuk dari arah ruang tamu ditambah dengan suara bisikan-bisikan pelan langsung membangunkan Ophe dan memberitahunya siapa yang sudah diam-diam datang. Apalagi besok paginya, ketika Ophe sarapan ditemani bau tembakau tengik yang menguar kuat dari arah kamar Katja. Bahkan Ophe pernah menemukan puntung rokok dengan merk kesukaan Wisnu tersumpal di salah satu pot bunga Katja di tepi jendela dapur.

"Cuma sekali ini aja kok," Katja membela diri, wajahnya merah padam karena tersipu. "Kan gue sama dia temenan doang!"

Ophe tidak percaya padanya sedikitpun. Paling-paling weekend depan bakal ada lagi kejadian yang seharusnya "cuma sekali ini aja".

Dan dugaannya hampir selalu benar.

Bukan berarti Ophe belum pernah membicarakan soal itu dengan Katja. Tapi Katja, yang memang usianya empat tahun lebih tua dari Ophe, hanya menatapnya dengan pandangan yang seolah berkata "lo masih muda jadi lo nggak bakal paham soal ginian", dan kemudian cepat-cepat mengganti topik pembicaraan mereka. Ophe pun lama kelamaan menyerah mencoba membantu sahabatnya itu. Biar semesta saja yang campur tangan dengan urusan hubungan mereka.

Sayangnya, Katja justru berpikiran seratus delapan puluh derajat berbeda mengenai kehidupan percintaan Ophe. Ophe memang memilih untuk tidak pacaran selama kuliah. Bahkan sekarang setelah lulus dan bekerja, Ophe masih belum terpikir untuk mencari pacar. Bagi Katja, itu adalah sebuah masalah yang urgensinya mengalahkan global warming. Ophe menegaskan kalau dia tidak butuh laki-laki di hidupnya, thank you very much.

Tapi kalau soal saingan kepala batu di antara mereka berdua, Katja jelas yang paling tak tergoyahkan. Ophe sebenarnya sudah hapal benar sifat Katja sejak mereka berbagi apartemen bersama hampir dua tahun lalu. Katja, yang dulu adalah senior Ophe di kampus, memasang iklan untuk mencari flatmate di grup Facebook alumni fakultas mereka. Ophe, yang waktu itu baru saja lulus kuliah dan diterima kerja di SMA almamaternya, langsung menyambut kesempatan itu karena harga sewa yang murah dan letaknya yang tidak jauh dari tempat kerjanya.

Ophe ingat ketika dia pertama datang mengetuk pintu apartemen yang Katja iklankan. Pintu dibuka oleh seorang perempuan yang Ophe berani sumpah adalah seorang supermodel internasional. Dengan wajah bule, rambut brunette, dan bibir dengan warna termerah yang pernah Ophe lihat, perempuan itu tersenyum, senyum yang sudah pasti sanggup membuat kaum lelaki mabuk kepayang.

Tapi logat Betawi kental yang meluncur dari mulutnya langsung mengobrak-abrik bayangan Ophe.

Hal pertama yang Ophe utarakan pada calon teman seapartemennya ini adalah ular-ular piaraannya. Katja hanya mengangkat bahu, sambil berkata asal dia tidak harus sampai kontak langsung dan apartemen dipastikan akan terus bersih, Ophe boleh memelihara singa sekalian kalau dia mau. Dari situ, semua keraguan Ophe lenyap seketika.

Ophe juga tidak pernah menyangka bahwa Katja akhirnya menjadi sosok kakak perempuan yang tidak pernah dia punya.

Memastikan cowok-cowok di depannya sedang sibuk mengobrol satu sama lain, Ophe akhir mencubit paha Katja, membuatnya mendongak dari layar ponselnya.

"Gue mau ke WC bentar. Temenin."

"Hah? Ngapain?

"Udah ikut aja."

Pelototan Ophe, ditambah tarikan paksanya pada lengan Katja, membuat Katja akhirnya mau berdiri dan digiring ke toilet. Katja menutup pintu dan langsung memberi Ophe cengiran lebar.

"Gimana? Oke kan?"

"Oke? Lo kesurupan setan apaan, Kat? Lo seriusan nyuruh gue dandan kayak mau ngelenong dan pake ... dress ... cuma buat jodohin gue sama gembel macem gitu?"

"Hush!" Katja buru-buru mengecek pintu toilet. Ophe memang bukan tipe orang yang suka ngomong pelan. "Jahat amat si Kael dibilang gembel."

"Lo ga liat baju ama tampangnya kayak gimana? Kata lo dia cowok quirky cool gitu. Quirky cool my ass!"

"Iya, iya, sori, gue mungkin agak lebay dikit promosiin dia--"

"Bukan lebay lagi, lo mah jatohnya udah bohong!"

"Phe, inget janji lo? Lo masih sayang sama ular-ular lo, kan? Bisa nggak sih lo bertingkah dewasa sedikit aja dan nyantei? At least sampe kita kelar di sini. Oke?"

Ophe melemparkan lirikan tertajam di dunia pada Katja. Katja, yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri. Katja, yang selalu ada untuknya, di saat dia sedang rapuh, sedang jatuh, atau kapanpun dia membutuhkan seorang teman.

"Fine. Fine! Tapi dengan syarat, bulan depan jatah bayar kontrakan gue dipotong setengahnya."

Katja mendengus. "Ogah."

"Seperempat?"

"Iye dah. Elah."

Ketika mereka berjalan kembali ke meja mereka, Shella sudah datang dan sedang terlibat obrolan asyik dengan Randy. Wisnu sedang menenggak gelas bir keduanya. Dan Kael cuma duduk di situ kelihatan seperti pot bunga yang jarang disiram.

Ophe menghela napas. Here goes nothing.

Continue Reading

You'll Also Like

17M 753K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
23.2K 1.5K 10
Setiap tahun, alumni SMA 22 angkatan '80 selalu mengadakan reuni sekaligus halalbihalal pada H+7 Idulfitri. Tidak pernah luput setiap tahunnya, hingg...
3.3M 48.8K 31
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
160K 6K 16
VERSI CETAK GANTI JUDUL MENJADI: STORM CLOUD MARRIAGE (Untuk keperluan penerbitan, chapter 13-END sudah di-unpublish) Blurb: Sebelum menikah, Atha ta...