SINCERELY (Completed)

By felisurya

276K 33.1K 817

Di setiap keluarga, pasti ada saja satu orang yang dilabeli pecundang dan satu lagi yang menjadi everybody's... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36

Bab 22

6K 826 35
By felisurya

"Pagi, Dokter Laura."

Ketika Laura tiba di lantai 3 pagi itu, Suster Gita segera menyapanya di dekat meja resepsionis. Dia memegang nampan berisi gelas-gelas kopi berbagai merek, barangkali ada dua belas jumlahnya.

"Pagi," Laura membalas, mengernyit heran melihat Suster Gita. "Lagi ada acara apa? Banyak banget kopinya."

"Ini semua buat Dokter Laura."

"Hah?"

"Di meja resepsionis juga banyak makanan buat Dokter Laura." Suster Gita menuding setumpuk makanan di sudut meja resepsionis. Laura bisa mengenali kotak donat ukuran besar di antaranya. "Nanti saya bawain ke ruangan Dokter abis naruh ini."

"Siapa yang ngasih?" Laura tercengang. Di otaknya langsung terlintas wajah jahil Ergi.

"Anak-anak co-ass." Suster Gita menjawab. "Semuanya ngefans banget sama Dokter Laura, apalagi yang cowok-cowok."

Laura terperangah. "Hah?"

"Nggak usah kaget gitu, Dok. Bukannya wajar? Dokter bedah cewek, muda, cantik, ngajarin co-ass, siapa juga yang nggak ngefans? Kalau ngefansnya sama Dokter Arifin, baru aneh." Suster Gita cekikikan.

Laura menahan senyum. "Nggak usah dibawa ke ruangan saya, bagi-bagiin aja buat semua. Saya udah ngopi tadi pagi."

"Ckckck. Baru sehari ngajarin co-ass aja udah banyak begini fansnya."

Laura dan Suster Gita sama-sama menoleh. Ternyata Ergi! Sosok itu menghampiri mereka dengan cengiran khasnya.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Laura.

"Saya kena suspend bertugas, bukan kena suspend jalan di gedung rumah sakit." Ergi menyahut. "Jangan terlalu tebar pesona ke bocah-bocah itu."

"Saya nggak—"

"Hati-hati nanti cinlok."

"Mereka itu lima belas tahun lebih muda dari saya. Yang bener aja—" Laura menghentikan ucapannya ketika menyadari Ergi dan Suster Gita yang menahan tawa. Nice. Ternyata, sedari tadi Ergi cuma iseng. Dia merasa bodoh, kenapa juga harus menanggapi ucapan Ergi?! Laura membalikkan badan dan melanjutkan langkah menuju ruangannya.

"Mereka bilang kamu lebih pinter ngejelasin daripada saya," Ergi mengekor Laura, masih belum berhenti mengajaknya bicara. "Katanya, kamu kalau ngejelasin lebih visual, jadi lebih ngerti."

Laura memutar bola matanya.

"Lebih visual." Ergi menekankan ucapannya. "Bukan lebih menarik secara visual. Although, it might mean the same thing. Anyway, mereka lebih ngerti karena dijelaskan lewat banyak gambar. Mereka bilang gambarmu bagus-bagus. Saya nggak tau, ternyata kamu jago gambar."

Ergi menunjukkan percakapan sebuah grup di layar ponselnya.

"Kamu punya grup sama anak-anak co-ass?" Laura menaikkan alis.

"Iya."

"Buat apa?" Laura membuka pintu ruang kerjanya dan masuk. Ergi mengikuti langkahnya.

"Biar lebih gampang komunikasinya, biar lebih akrab juga."

Ergi kembali menunjukkan layar ponselnya.

xxxxxx
Dokter Laura itu pacarnya Dokter Ergi?

Ergi
:) :) :)

Laura melongo. "Ke-kenapa kamu jawab kayak gitu?"

"Jawab apa? Saya nggak jawab apa-apa. Cuma ngasih emoji aja."

"Iya, kenapa kamu cuma ngasih emoji?"

"Kamu mau saya jawab iya?" Ergi nyengir. "Kan, nggak mungkin. Status kita bukan pacaran. Mau jawab bukan? Kalau ternyata nanti jadi iya gimana?"

"Ergi."

"Iya?"

"Saya sebentar lagi harus operasi. Tolong—"

"Keluar karena kamu mau siap-siap," Ergi melanjutkan kalimat Laura. "I know. Saya tau kok, kamu ada jadwal operasi sebentar lagi dan dijadwalkan selesai tepat di jam makan siang. That's why, saya mau ngajak kamu lunch bareng."

"Oke."

"Oke?" Ergi mengangkat sebelah alisnya. "Wah, saya nggak nyangka kamu akan mengiyakan segampang itu."

"Sori, saya—"

"Buru-buru karena mau nyiapin operasi. I get it. Kalau gitu, saya jemput kamu lagi nanti siang, ya. Good luck."

Laura segera menutup pintu rapat-rapat setelah Ergi keluar. Mendadak jantungnya berdegup cepat. Sh*t! Kenapa Ergi jadi membuatnya seperti ini? Laura menarik napas dalam-dalam, menghampiri mesin espresso-nya. Meskipun tadi pagi dia sudah mampir ke Ofra untuk double cappuccino, dia kembali menenggak espresso untuk menenangkan diri sebelum operasi. Bad move. Yang ada, jantungnya malah berdebar makin cepat. She, out of all people, should have known this!

Ketika operasi akhirnya selesai, Laura kembali ke ruang kerjanya. Ergi menepati janji. Dia sudah menunggu di depan pintu dan langsung menyambut Laura dengan senyuman. "Hai! Gimana operasinya tadi?"

Laura mengangguk, artinya baik-baik saja.

"Kamu mau makan di mana?" tanya Ergi. "Jangan bilang kantin."

"I was just about to say that karena abis ini saya ada operasi lagi."

Ergi menghela napas, tapi mengangguk juga. "Yang penting makan bareng, deh."

"Ada apa? Kamu mau ngomongin sesuatu?"

"Nothing. I just miss you."

Laura dibuat terperangah oleh ucapan Ergi yang begitu santai dan ringan. Laura menendang jauh-jauh kalimat itu dari benaknya sebelum menjadi racun. Mereka berdua berjalan menuju kantin. Di dekat pintu masuk, Laura menghentikan langkahnya. Cepat-cepat dia membalikkan badan.

"Dokter Laura!"

Terlambat. Keburu ada salah satu co-ass yang melihatnya. Laura lupa siapa namanya, yang jelas dia salah satu dari mereka yang memberikan kopi untuknya.

"Dokter Ergi!"

"Hei!"

Lain dengan Laura, Ergi malah menyapa rombongan co-ass balik sambil melambai dan tersenyum. Ergi melangkah menghampiri mereka. Terpaksa Laura mengekor.

"Dokter Ergi sama Dokter Laura mau makan?"

"Bareng aja, Dok!"

"Oh, bo—" Ergi meringis, tidak menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba merasa pinggangnya dicubit Laura. "—leh kapan-kapan aja? Kita berdua mau rapat, nih."

"Yaaaah..."

"Lain kali, ya!"

Laura mengangguk sekilas, lalu membalikkan badan. Kali ini gantian Ergi yang mengekor.

"Ugh... cewek kalau nyubit udah kayak kepiting kesurupan." Ergi mendengus.

"Dicubit cewek mana lagi?" balas Laura.

"Kakak saya, pas kecil." Ergi masih meringis, sambil mengusap pinggangnya.

"Sori." Laura menggumam.

"Jadi, mau makan di mana kita?"

"Soto 85 aja, yang deket."

Soto 85 terletak di belakang gedung kantor di mana terdapat Kafe Ofra. Mereka bisa jalan kaki ke sana. Laura melepas jas dokternya. Selain karena panas, dia tidak ingin menarik perhatian dengan mengenakan jas dokter di luar area rumah sakit.

"Kenapa dilepas? Dokter-dokter lain kalau makan di luar banyak yang masih pakai jas, lho," celetuk Ergi.

"Panas."

"You don't want any attention, right?" Ergi menebak. "Harusnya bangga dong, jadi dokter."

"Tapi, bukan untuk dipamerin juga, kan?"

"You're right. Ngomong-ngomong, kenapa nggak mau makan bareng co-ass? Nggak level?"

"Bukan begitu. Saya males banyak bicara. Pasti harus ngobrol, kan?"

"Lah, emangnya sama saya nggak ngobrol?"

Laura terdiam. Well, akhir-akhir ini dia mulai merasa nyaman menghabiskan hening bersama dengan Ergi. She doesn't have to talk, yet things are not awkward with him. Seperti saat-saat Ergi memeriksa keadaannya setelah operasi atau dalam perjalanan di mobil. Oh, man. Apa tadi kata Laura? Mulai nyaman?!

"Hari Senin ini kamu udah tugas lagi, kan? Saya nggak ngurus co-ass lagi, kan?" tanya Laura.

Ergi mengangguk. "Kenapa, sih? Kayaknya kamu nggak enjoy ngajarin co-ass. Padahal mereka ngefans banget sama kamu."

"Saya nggak suka banyak bicara dengan orang. Kenapa kamu suka ngajarin co-ass, sih?"

"Well, walau kadang geregetan, sebetulnya buat saya itu sebah pengalihan juga dari rutinitas dokter bedah yang tegang. Dan lagi, lihat deh, departemen bedah di rumah sakit ini. Nggak ada regenerasi. Yang ada cuma dokter fosil angkatan ayah saya, lalu ada generation gap yang besar, baru kamu dan saya. We need more surgeons. Siapa tau, kalau saya baik sama anak-anak co-ass, mereka tertarik mau jadi dokter bedah. Lagian, seru juga kok hangout sama co-ass, apalagi kalau cewek-ceweknya cantik-cantik."

Laura melongo mendengarnya. "Jadi, ini alasan kamu jadi dokter?"

"Hahahaha!" Ergi terbahak. "Apa iya saya kelihatannya sedangkal itu? Nggak, lah. Saya punya alasan lain."

Tanpa Ergi bilang pun, dia sudah tahu. Tentu saja karena dia disuruh ayahnya.

"Bukan karena disuruh Papa." Ergi meralat, seolah bisa membaca pikiran Laura. Dia memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Senyumnya sedikit mengembang, but it's not the usual cheeky smile that he has. Ada kegetiran yang bisa dirasakan Laura. "Saya ngalamin suatu kejadian waktu masih sekolah dulu, yang bikin saya pengen jadi dokter."

"Kamu nyungsep, kepalamu bocor, dan ada dokter bedah cantik yang ngejahit kepalamu?" ledek Laura.

"I wish." Ergi tertawa kecil. "Bukan. Saya—"

Laura mulai menyesal sudah meledek Ergi. Dia menangkap raut wajah Ergi yang kesulitan mengucapkan kata-kata.

Ergi menghela napas. "Sewaktu saya kelas 1 SMP, saya melihat... how should I put it? Saya melihat senior laki-laki di sekolah saya melakukan tindakan asusila terhadap pacarnya."

Kedua mata Laura melebar. "Maksud kamu—"

"He raped her."

Laura terkesiap.

"Saya bete banget, karena Papa, saya sekeluarga jadi pindah ke Bandung, jauh dari teman-teman. Alhasil, saya sering bolos. Sekolah saya itu gedung SMP dan SMA jadi satu. Saat lagi bolos itu, saya malah ngeliat kejadian tersebut. It traumatized me, really."

Laura terdiam.

"Saya... saya ngelihat senior perempuan itu nggak berdaya, tapi saya malah nggak ngapa-ngapain. Saya lari, kabur. Saya ketakutan. Saya betul-betul pengecut."

Ergi menyibakkan rambut dari keningnya, setengah menjambaknya. Laura menatapnya dengan prihatin. Dia percaya, kejadian itu pasti sungguh membuat Ergi trauma.

"Saya nggak ngerti apa yang terjadi saat itu. Yang saya tau, hal yang saya lihat itu betul-betul biadab. Saya betul-betul nggak bisa melupakannya, tatapan mata korban, raut wajahnya yang begitu desperate butuh dibantu. Seiring waktu, saya baru menyadari apa yang sebetulnya saya lihat dan itu membuat saya semakin menyesal."

Ergi menarik napas dalam-dalam. "Setelah kejadian itu, dia masih sempat hangout sama pacarnya yang bejat di sekolah. Saya bahkan sempat papasan lagi dengan dia, tepatnya nabrak dia di depan toilet. Dia menggenggam sesuatu yang saat itu saya kira termometer, belakangan saya baru sadar, barangkali itu testpack. Nggak lama, murid perempuan itu hilang tanpa jejak."

Tatapan Ergi berubah sendu. Langkahnya pun melambat. Laura terus mendengarkan.

"Itu sebabnya saya mau jadi dokter," lanjut Ergi. "I want to be some kind of a help. Awalnya, saya mau jadi psikiater, tapi Papa maksa saya untuk jadi dokter bedah. Either way, saya berharap dengan jadi dokter, saya bisa bantu orang-orang yang mengalami nasib serupa. I wondered about so many things. Apa yang terjadi pada perempuan itu setelahnya? I wonder if she got pregnant. I wonder if she kept the baby. I wonder how she coped up with everything?"

Untuk beberapa saat, mereka hanya berjalan dalam keheningan.

"Probably—" Laura baru bersuara saat mereka sudah meninggalkan gedung rumah sakit. "—the girl has moved on. Walau mungkin terkadang, ketika dia lagi capek, sedih atau kesepian, pengalaman buruk itu sekali dua kali masih menghantuinya. Maybe she's all alone now, living with her wounds, but stronger than others."

Ergi mengangguk-angguk. Dia menoleh menatap Laura. "Menurutmu begitu?"

Gantian Laura yang mengangguk.

"If that's the case, I'd be relieved."

"As for the baby," Laura melanjutkan. "Saya yakin, dia juga selamat. Mungkin, anak itu udah tumbuh jadi anak yang baik, hidup dengan bahagia."

Ergi masih tak melepaskan pandangannya dari Laura, membuat Laura merasa canggung ketika menyadarinya.

"Kenapa serius banget ngeliatin saya? Isn't it what we're hoping for?"

Ergi mengangguk lagi, senyum tipis tersungging di wajahnya. "Iya. I wish I had the courage to help the girl at that time."

Laura menarik napas panjang, sambil menerawang dengan mata yang menyipit karena silau matahari. "Kamu baru kelas 1 SMP, apa juga yang bisa kamu lakukan? I feel sorry for you, for having witnessed such a traumatising thing so young."

Senyum Ergi sedikit melebar. Kata-kata Laura mungkin tak banyak, tetapi luar biasa menghibur baginya. After all, it's her who said it.

~

Continue Reading

You'll Also Like

4.3M 477K 49
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...
173K 11.9K 55
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
2.2M 309K 42
(Cerita Pilihan @WattpadChicklitID Bulan Januari 2023) Afif Akelio Ramaza Hi, Sherina. Saya udah lihat profil kamu. Bisa datang wawancara ke kantor d...
569K 39K 47
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...