SINCERELY (Completed)

By felisurya

394K 40.7K 915

Di setiap keluarga, pasti ada saja satu orang yang dilabeli pecundang dan satu lagi yang menjadi everybody's... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36

Bab 17

8.6K 1.1K 24
By felisurya

Hari sudah larut malam ketika semua pengunjung sudah pulang. Yang tersisa hanya Laura dan beberapa anggota keluarga lainnya, termasuk juga keluarga Tante Rena.

"Laura." Tante Rena memanggil. "Kita harus ke ambil barang-barang mamamu dulu di rumah buat kremasi besok."

Wajah Laura langsung menegang. Di rumah? Laura tahu rumah mana yang dimaksud. Tentu saja rumah tempat dia besar dulu, namun Laura tidak ingin menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Tidak ada satupun kenangan indah yang terukir di rumah tersebut.

"Tante aja yang ambil." Laura menolak.

Tante Rena menatap Laura dengan pandangan yang melunak. "Memangnya kamu pulang ke mana malam ini? Nggak nginap di rumah itu?"

Laura menggeleng. Menginap di sana? Dia tidak sudi.

"Kalau begitu, seenggaknya kamu anterin Tante ke sana? Kasihan Om sama Aimee udah capek. Boleh ya, Lau?"

"Tapi, aku nggak mau masuk, Tante."

"Iya, nggak apa-apa. Kamu tunggu di luar rumah aja."

Akhirnya, Laura terpaksa mengiyakan. Dia meminta tolong Ergi untuk menyetir menuju rumah masa kecilnya di kawasan Dago. Rumah itu mewah dan luas, tetapi sayang sangat dingin dan sepi. Ada seorang satpam yang berjaga di dekat pintu gerbang yang tinggi. Satpam itu menyapa Tante Rena yang keluar dari mobil.

Laura menatap rumah itu dengan tegang. Tidak banyak yang berubah sejak dia meninggalkannya, tetap megah, tetap terawat. Bahkan taman depan yang dihiasi berbagai pohon dan bunga warna-warni juga tidak menunjukkan seolah pemiliknya sudah tiada. Untuk sepersekian detik, Laura bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada rumah ini mulai dari sekarang. Kemungkinan besar dia yang akan mewarisinya. Kalau sampai hal itu terjadi, dia akan menjual rumah ini secepat mungkin, rumah tempat dia merajut kenangan paling buruk sepanjang hidupnya.

"Kamu nggak mau ikut masuk?" tanya Ergi heran.

Laura menggeleng.

"Kenapa?"

Laura tersenyum getir. "Kamu beneran mau tau?"

"Kalau saya boleh tau."

Buat Laura, sulit baginya menceritakan apa yang dia alami di rumah itu. Bukan karena malu, tapi karena kadang bercerita berarti mengungkit kembali luka lama. Dia tidak yakin apakah dia sudah memaafkan, yang pasti dia belum bisa melupakan. Mungkin, selamanya dia tidak akan bisa melupakan. Bagaimana bisa? Jika yang dia alami sungguh-sungguh telah merusak semua memori di dalam otaknya?

Di rumah ini, Laura pernah dihajar habis-habisan oleh ibunya dengan rotan. Punggungnya terasa begitu perih dan panas. Laura setengah mati menahan sakit dihajar ibunya yang seolah kesetanan. Dari sudut matanya, dia sempat melihat beberapa asisten rumah tangga diam-diam menyaksikan dengan pandangan horor. Tetapi, tidak ada satupun dari mereka yang berani menghentikan ibu Laura. Siapa juga yang berani? Dia adalah monster. Ibunya masih juga terus menghajar Laura bahkan ketika baju seragamnya sudah penuh dengan rembesan darah. Dia baru berhenti ketika Tante Rena datang.

"Ci! Udah, Ci! Udah!" Tante Rena berusaha menahan tangan ibu Laura.

Dulu, karena ibu Laura jarang di rumah, seminggu sekali Tante Rena datang untuk mengecek keadaan Laura dan rumahnya. Untung saja Tante Rena menemukan Laura. Kalau Tante Rena tidak datang untuk menyelamatkannya, barangkali dia sudah mati.

"Ci! Apa-apaan, sih?!" seru Tante Rena, merebut rotan dari tangan ibu Laura dan melemparnya jauh-jauh. "Kenapa mukulin Laura kayak gitu?!"

"Kamu tau anak ini ngapain?!" Ibu Laura menunjuk Laura yang jatuh terduduk di lantai dengan napas tersengal. "Anak haram ini betul-betul nggak punya otak! Seharusnya kamu mati aja dari awal!"

"Ci! Jangan ngomong begitu!" Tante Rena menghardik. "Ada apa, sih? Ci!"

Ibu Laura tidak menjawab, malah meninggalkan Tante Rena dan Laura begitu saja, Laura tidak mengerti ucapan ibunya saat itu. Belakangan dia baru tahu, ternyata dulu ibunya hamil di luar nikah. Dia adalah anak yang tidak diinginkan, anak yang tetap hidup walau berusaha untuk digugurkan. Ibunya terpaksa menikah dengan ayahnya agar tidak menanggung malu. Setelahnya, hidupnya malah semakin berantakan, harus membina rumah tangga dengan laki-laki yang mengikatnya dalam pernikahan yang tidak bahagia. Dan pada akhirnya, Laura kena semua getahnya.

"Laura, kamu nggak apa-apa?" Tante Rena membantunya berdiri.

Laura hanya diam saja. Dia terlalu terperanjat untuk menyahut.

"Ada apa, Laura? Apa yang terjadi?" tanya Tante Rena dengan lembut.

Laura masih tidak mau menjawab. Pandangan matanya kosong. Dia berjengit ketika rasa sakit di punggungnya menyengat hebat.

"Tante bawa kamu ke kamar, ya?"

Laura menggeleng. Dia mencengkeram tangan Tante Rena begitu erat dan ketakutan. "Aku... mau ikut Tante Rena aja. Aku nggak mau tinggal di sini lagi."

Gantian Tante Rena yang terdiam. "Ada apa, Laura?"

"Aku mau ikut Tante Rena aja." Laura mengulang.

"Lau, Mama lagi marah, tapi maafin, ya? Nanti—"

"Aku mau ikut Tante Rena aja! Aku nggak mau tinggal di sini lagi! Aku nggak mau tinggal di sini lagi! Aaaaargh!!!" Laura menjerit keras, menutup kedua telinga dengan tangannya. Setelah itu tangisnya pecah. Laura terisak hebat sampai-sampai napasnya sesak. Dia tahu Tante Rena bingung, dia pun juga. Saat itu, jiwanya terasa begitu hancur sampai-sampai dia merasa seolah sudah mati.

Laura bergidik mengingatnya. Tubuhnya tersentak, seolah merasakan kembali perih yang menyengatnya di masa lalu

"Kamu kenapa?" Ergi mengernyit bingung.

Laura cepat-cepat menggeleng. Dia menarik napas dalam-dalam dan menyandarkan kepalanya ke kursi. Untuk beberapa saat, mereka berdua hanya diam saja menikmati keheningan. Tiba-tiba Laura bersuara.

"Saya—" Dia menelan ludah, rasanya seolah tercekat. "Saya ini sebetulnya anak haram. Orangtua saya terjebak dalam hidup yang nggak bahagia gara-gara saya. Mereka terpaksa menikah karena saya."

Ergi terperanjat mendengarnya. Kedua matanya melebar.

"Kamu pasti bingung, kenapa saya sama sekali nggak nangis meskipun ibu saya meninggal. Mereka begitu sering bikin saya nangis, sampai-sampai air mata saya udah kering sekarang."

Entah apa yang mendorong Laura untuk akhirnya bercerita pada Ergi. Dia menceritakan semua yang dia alami di rumah itu, rumah horor itu, dan menutupnya dengan pengalaman horor terakhir saat dipukuli oleh ibunya dengan rotan. Laura tidak berani menatap Ergi sepanjang bercerita. Dia tidak ingin tahu seperti apa ekspresi Ergi saat mendengar kisahnya.

"Laura, I'm so sorry," ucap Ergi lirih setelah Laura selesai. "You must be feeling so hurt."

"I wish I was never born," gumam Laura, mengusap wajahnya.

"But if you're never born—" Tangan Ergi terulur menyentuh bahu Laura. "—many people would have died and the balance within the universe would have been disturbed. Siapa yang operasi mereka? Yang nyelametin nyawa mereka?"

Kehangatan yang ditawarkan Ergi meluluhkan hatinya. Air mata Laura menetes. Dia ingin menyekanya, tangan Ergi bergerak lebih cepat.

"It's okay." Ergi berbisik, menghapus air mata di pipi Laura dengan lembut.

"Kenapa saya harus hidup, kalau hidup itu menderita? Kenapa saya nggak mati aja?" ucap Laura lirih.

"Saya nggak tau," balas Ergi. "Ada banyak misteri hidup yang nggak kita ketahui, ataupun kalau kita diberi kesempatan untuk mengetahuinya, kapasitas pikiran manusia seperti kita nggak akan bisa mengerti. But life itself is so precious, that's why we became doctors, right? Itu sebabnya setiap hari kamu, saya, berusaha menyelamatkan nyawa. That's why, we must continue to live."

Dia tidak menyangka, Ergi adalah orang asing yang ternyata mampu melunakkan hati Laura dan membuat air matanya semakin deras mengalir. A stranger who stays, a stranger who doesn't judge, a stranger who tries to understand. Tanpa Laura tahu, air mata Ergi pun mengalir. Dalam hati dia terus-terusan meminta maaf, berharap telinga Laura bisa menembus dirinya dan mendengar ucapannya. Maaf, Laura. Kalau saja saya membantu kamu saat itu, kalau saja saya nggak melarikan diri, mungkin kamu sudah punya kehidupan yang berbeda.

~

Continue Reading

You'll Also Like

1M 61.6K 55
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...
46K 3.7K 48
Senja dan Saka sudah lama menyerah, bagi mereka hidup hanya tentang bertahan, ada dinding batas yang sulit untuk mereka runtuhkan. Mereka pernah baha...
198K 13.5K 45
Seperti lautan malam, aura gelap dan perasaan dingin dari sosok Joshua Maximus membuat Sadriana enggan berhadapan dengan pria itu. Sudah cukup masa...
4.6M 488K 48
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...