SINCERELY (Completed)

By felisurya

394K 40.7K 915

Di setiap keluarga, pasti ada saja satu orang yang dilabeli pecundang dan satu lagi yang menjadi everybody's... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36

Bab 6

11.4K 1.2K 18
By felisurya

Setibanya di apartemen, Laura membawa Aimee masuk ke kamarnya. Aimee terlihat sangat antusias mengamati seisi kamar Laura. Begitu masuk, Aimee bisa mencium samar wangi parfum Laura. Tidak banyak barang-barang di sana, saking minimalisnya orang-orang mungkin berpikir Laura baru pindah rumah. Di kamar seluas itu, perabotan yang dimiliki Laura hanya ranjang, meja kerja dan sebuah lemari dengan pintu kaca geser. Isi kamar itu lebih mirip kamar hotel daripada kamar seorang perempuan berusia tiga puluhan. Semuanya tertata rapi, tidak ada satupun barang yang tercecer. Barang-barang yang dimilikinya, bagaimana Laura menatanya, aroma parfum Laura yang tercium samar, Aimee betul- betul menaruh minat untuk lebih mengenal Laura lewat seisi kamar itu.

"Kamu udah makan malam?" Laura membuyarkan lamunan Aimee.

"Udah," jawab Aimee singkat.

"Malam ini kamu tidur di sini aja," ucap Laura. "Biar aku tidur di sofa."

Aimee membuka mulut, hendak menyarankan dia saja yang tidur di sofa. Dia merasa tidak enak hati jika Laura, sepupunya yang tidak dekat dengannya, malah memberikan tempat di ranjang untuk dirinya tidur malam itu. Akan tetapi, Laura keburu membalikkan badan dan keluar kamar. Laura berjalan menuju dapur dan mengambilkan segelas air hangat untuk Aimee. Saat dia kembali ke kamarnya, dia mendapati Aimee sedang duduk di atas ranjang dengan kening berkerut, seperti sedang berpikir. Laura menyodorkan gelas minuman itu pada Aimee.

Aimee menyambutnya. "Terima kasih."

Laura membuka lemari pakaiannya dan mengambil sepasang baju tidur. Dia meletakkan pakaian itu di sebelah Aimee.

"Pakai aja baju tidurku. Sebaiknya kamu istirahat sekarang supaya cepat pulih. Jangan dikunci kamarnya ya, supaya aku bisa cek keadaanmu nanti."

Sekali lagi Aimee hanya menggumamkan ucapan terima kasih. Laura berjalan menghampiri meja kerjanya. Dia membuka salah satu laci dan mengeluarkan sebuah amplop. Ada sejumlah uang di dalamnya.

"Ini buat kamu," Laura menyerahkannya pada Aimee. "Tadi teman-temanmu bilang kamu dijambret. Jakarta nggak aman, lain kali hati-hati di jalan."

Aimee menatap Laura dengan bingung. Dia mengalihkan pandangan pada tangan Laura yang memegang amplop putih di hadapannya. Tanpa bertanya pun, Aimee tahu isinya adalah uang. Aimee juga sadar dia betul-betul membutuhkan uang itu sekarang. Namun, dia ragu, apakah dia harus menerimanya dari Laura, manusia yang begitu asing dalam hidupnya itu?

"Kamu butuh ini," ucap Laura, seolah bisa membaca pikiran Aimee.

Akhirnya Aimee menerimanya. "Terima kasih, Ci." Lagi-lagi dia hanya bisa mengucapkan terima kasih. Dari sorot matanya jelas-jelas dia begitu tersentuh akan Laura. She's so distant, yet she can read the troubles in her heart. Aimee terharu karena Laura yang selalu dingin itu mengulurkan bantuan, bahkan tanpa Aimee harus terlebih dahulu meminta.

"Ci Laura, setelah gajian bulan depan, aku pasti langsung ganti uang ini dan biaya rumah sakit."

"Nggak usah," balas Laura singkat. "Tidurlah."

Laura menyalakan lampu redup dan mematikan lampu utama kamar sebelum pergi. Dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan beres-beres, kemudian duduk di atas sofa. Laura meraih buku Killing Commendatore dari atas meja dan memasang earphone di telinganya. Setelah semua lagu-lagu di album Quiet Nights dari Diana Krall selesai diputar, Laura meletakkan buku di tangannya kembali ke atas meja. Matanya sudah lelah, dia ingin tidur. Laura beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar, hendak memeriksa keadaan Aimee.

"Ci Laura."

Suara Aimee yang memanggilnya memecahkan keheningan, nyaris membuat Laura terlonjak karena kaget

"Ada apa, Aimee?" tanya Laura. "Kamu belum tidur?"

Aimee menolehkan kepalanya, menghadap Laura dan menatap matanya. "Aku—aku sering bertanya-tanya, kenapa Ci Laura benci sama aku?"

Deg! Jantung Laura seolah berhenti sesaat. Jadi, bukan cuma orang-orang yang menyadari sikap dingin Laura pada Aimee, tetapi juga Aimee sendiri.

"Nggak. " Laura membalas pelan. Dia mengambil termometer dan menyodorkannya kepada Aimee. Tanpa diminta, Aimee mengukur suhu tubuhnya.

Setelahnya, Laura melihat layar kecil di termometer dan mengangguk. "Tidurlah, udah malam. Kamu harus istirahat."

"Kalau begitu, kenapa sikap Cici sama aku selalu dingin?"

Laura menghela napas pelan. Pertanyaan yang dilontarkan Aimee membuatnya merasa tidak nyaman, terutama di saat dia sudah lelah dan ingin beristirahat. But even on her good days, she wouldn't want to answer such a question.

"Nggak. Itu cuma perasaanmu aja. "Laura menegaskan. "Udah, kamu tidur aja sekarang. Aku juga udah capek."

Cepat-cepat Laura meninggalkan kamar, sebelum Aimee kembali berbicara dan menahan langkahnya. Laura menghempaskan diri ke atas sofa dan berbaring terlentang. Dia meletakkan kedua tangannya di atas perut lalu memejamkan mata. Namun, seberapa pun dia berusaha larut dalam mimpi, tetap saja dia terjaga. Kata-kata Aimee terus menerus terngiang-ngiang di kepalanya.

Mengapa Aimee bicara seperti itu? Apa yang didengarnya dari orang-orang dan apa yang dikatakan orang-orang padanya? Apa yang diucapkan Tante Rena kepada Aimee? Apa yang dengan atau tanpa sengaja Aimee ketahui tentang dirinya?

Sejauh mana?

Laura menelan ludah. Dia sungguh merasa bodoh saat keringat dingin membasahi tubuhnya dalam sekejap. Dia berjalan ke kamarnya, hendak mengambil baju ganti ketika mendengar suara isak tangis. Laura tertegun di ambang pintu. Dia mendapati bahu Aimee bergetar dan tangannya terangkat menyeka mata. Seharusnya Laura menghampiri Aimee dan bertanya mengapa dia menangis, tetapi Laura malah diam-diam melangkah mundur. Dia takut Aimee akan mengungkapkan alasan yang tak ingin didengarnya. Laura takut jika kekhawatirannya selama ini menjadi nyata. Laura tidak siap mendengarnya. Sampai kapan pun Laura tak ingin mendengarnya terucap dari mulut Aimee.

Laura pergi ke dapur dan menenggak beberapa teguk air minum sebelum kembali ke sofa dan berbaring. Dia meletakkan satu tangan di atas keningnya. Dada Laura mendadak terasa sesak. Berkali-kali dia menghela napas berat. Tidak, tidak mungkin Aimee tahu. Darimana Aimee bisa tahu rahasia yang tersegel rapi selama dua puluh tahun? Laura menarik napas dalam-dalam dan menegaskan dirinya: Aimee tidak mungkin tahu.

Keesokan paginya Laura bangun ketika merasa tubuhnya diguncang pelan. Aimee berdiri di sebelahnya, sudah berpakaian lengkap dan siap untuk pergi.

"Ci," panggil Aimee.

Perlahan Laura bangun sambil mengusap matanya.

"Ci, aku pergi dulu ya."

"Kamu mau kemana?" tanya Laura. Matanya mengamati Aimee. Kelihatannya dia baik-baik saja.

"Aku mau pulang ke kosan. Aku ngerasa udah jauh lebih baik."

"Kamu nggak ke kantor hari ini, kan?"

Aimee menggeleng. "Aku mau istirahat di kosan aja."

"Biar aku antar." Laura beranjak dari sofa.

"Nggak usah. Aku pulang sendiri aja, naik kendaraan umum. Kosanku nggak jauh dari sini. Lagipula aku udah nggak apa-apa."

"Jangan. Biar aku antar."

"Nggak, Ci." Aimee menggeleng. Dia tersenyum kecil, tetapi raut wajahnya tegas. "Aku nggak ingin Cici jadi tau di mana aku tinggal."

Laura terperangah mendengarnya. Kenapa? Apakah Aimee pikir jika Laura tahu di mana Aimee tinggal selama di Jakarta, dia akan mendatangi Aimee? Mengajaknya menghabiskan waktu bersama? Memberi perhatian padanya? Sungguh, dia jadi kesal bukan main.

"Memangnya kenapa?" tanya Laura dingin.

Aimee meremas-remas jarinya sambil menatap lantai tempat dia berpijak. Aimee sibuk menyusun kalimat yang tepat sebelum mengangkat kepalanya. Dia membalas tatapan Laura dengan senyum getir.

"Karena kalau Ci Laura tau di mana aku tinggal, nantinya aku jadi terus-terusan mengharapkan Cici datang jenguk aku. Aku nggak mau menjadi sedih karena mengharapkan hal yang nggak mungkin terjadi."

Laura tertegun. Kata-kata Aimee menghantamnya bagai petir di siang bolong. Aimee mengucapkan terima kasih dan berpamitan. Bahkan hingga Aimee keluar dan menutup pintu apartemennya, Laura masih berdiri terpaku. Ucapan Aimee seperti sebuah tamparan bagi Laura. Dia memejamkan mata dan mengembuskan napas berat.

~

Continue Reading

You'll Also Like

451K 6.4K 35
Narumi tidak pernah menyangka akan terlibat perasaan dengan mertuanya sendiri. *Cover bikinan temenku @dewandaru Banyak adegan 1821-nya. Bocil jauh...
4.6M 489K 48
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...
3.5M 85.3K 40
Keinginan Diana untuk merebut tunangan sahabat nya, harus berakhir kegagalan. Karena bukan nya berhasil menjebak tunangan dari sahabat nya, Diana ma...
47.1K 3.8K 49
Senja dan Saka sudah lama menyerah, bagi mereka hidup hanya tentang bertahan, ada dinding batas yang sulit untuk mereka runtuhkan. Mereka pernah baha...