Assalamu'alaikum My Wife [END]

ุจูˆุงุณุทุฉ Animulyani21

574K 48K 670

SELESAI [PART MASIH LENGKAP] [๐—ฆ๐—ฝ๐—ถ๐—ฟ๐—ถ๐˜๐˜‚๐—ฎ๐—น-๐—ฅ๐—ผ๐—บ๐—ฎ๐—ป๐—ฐ๐—ฒ] ๐—™๐—ผ๐—น๐—น๐—ผ๐˜„ ๐—ฎ๐—ธ๐˜‚๐—ป ๐˜„๐—ฎ๐˜๐˜๐—ฝ๐—ฎ๐—ฑ๐—ธ๐˜‚:) โš ... ุงู„ู…ุฒูŠุฏ

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30 | End
Epilog
Sequel AMW

Part 20

14.9K 1.2K 15
ุจูˆุงุณุทุฉ Animulyani21

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Untuk apa mempertahankan suatu hubungan, kalau hanya kebohongan yang menjadi alasan. Sudahi saja, dan katakan kejujuran yang sebenarnya."

©©©

Waktu berlalu dengan cepat, setelah mengetahui Aresha hamil, selama lima bulan ini, ia selalu memperketat penjagaan sang istri, membatasi Aresha untuk tidak sering ke butik. Sebab, Arkanza takut, Aresha kelelahan. Mengingat, istrinya tersebut, memiliki kelainan Hefomilia.

Hari Ahad, mereka, akan menghabiskan waktu bersama, dengan Gibran, di area taman perumahan mereka. Ibu-ibu yang membawa sang anak pergi ke taman saja, diam-diam, mengagumi sosok Arkanza sebagai suami siaga.

"Mas ihhh, gak usah sok romantis disini," kesal Aresha membuat Arkanza mengerutkan keningnya.

"Sok romantis gimana maksud kamu, sayang?"

Aresha tidak menjawab, ia berdiri dengan mengelus lembut area perutnya. Dan menghampiri Gibran, yang terlihat senang bermain dengan teman-temannya.

Langkah kaki Arkanza, menghampiri Aresha. Bermaksud ingin menanyakan pada sang istri.

"Sayang," panggilnya begitu lembut, hingga mengalihkan fokus Ibu-ibu di area taman.

"Diem Mas Arka!"

Arkanza tersentak pelan, ia semakin mengerutkan keningnya. Sebenarnya sang istri ini, sedang merajuk, atau memang moodnya mudah berubah-ubah.

"Bunda, Gibran mau kesana dulu dengan teman-teman. Nanti, suruh Pak Faiz yang jaga Gibran. Ayah dan Bunda, bisa pulang dulu," ujarnya sembari mengecup punggung tanggan Aresha, dan Arkanza. Sembari, tangan kecilnya mengusap pelan perut Aresha yang membuncit.

"Hati-hati sayang!" seru Aresha, disambut jempolan tangan dari Gibran.

Arkanza sendiri masih terdiam, sebab sang istri yang menyuruhnya untuk diam tadi.

Aresha menoleh menatap sang suami, seketika, ia teringat, bahwa tadi, karena kecemburuannya pada Ibu-ibu di area perumahan yang dengan terang-terangan mengangumi sosok suaminya. Membuat ia, tidak sengaja membentak Arkanza.

"Mas?" panggil Aresha pelan, sembari memegang lengan kekar Arkanza. Namun, sang suami masih terdiam. Walau, tatapannya menatap netranya dalam.

Aresha cemas, ia semakin mendekat pada suaminya, mengabaikan tatapan Ibu-ibu disekitar area taman.

"Mas Arka marah?"

Arkanza menggeleng pelan.

"Lalu? Kenapa diemin Resha?" tanya Aresha menunduk pelan.

"Resha minta maaf, tadi tidak sengaja membentak Mas Ar—"

"Kamu yang menyuruh Mas diam sayang, jadi Mas diam," potong Arkanza cepat.

Aresha mendongak cepat, membuat Arkanza merasa gemas dengan wajah gembil Aresha.

"Jadi, Mas Arka gak marah sama Resha kan?"

Arkanza menggeleng pelan. Lantas, ia menggandeng tangan Aresha, untuk kembali ke rumah. Sebab, hari semakin siang. Dan cuaca pun semakin terik.

Disepanjang perjalanan, Aresha berceloteh ria. Menceritakan butiknya, yang semakin hari, banyak pelanggan.

Arkanza yang mendengarpun, juga turut bahagia, apalagi melihat raut senang diwajah istrinya.

Akan tetapi, raut wajah senang itu, luntur, kala netra Arkanza, dan Aresha menatap mobil Rolls Royce hitam didepan gerbang utama rumah mereka, dengan kerutan di kening keduanya.

Arkanza menggenggam erat tangan Aresha, seketika raut wajahnya berubah. Disaat seorang lelaki turun dari mobil. Jelas sekali, bahwa Arkanza mengenali sosok lelaki tersebut.

"Hai Aresha!" sapanya, membuat jantung Arkanza berdegup dengan kencangnya.

Akan tetapi, Aresha yang tidak mengenali sosok tersebut, mencoba bertanya, sembari melepaskan genggaman erat tangan Arkanza.

"Maaf, siapa ya?"

Lelaki berkacamata hitam tersebut, terkekeh pelan, lantas tangannya membuka kacamata hitam yang bertengger di kedua matanya, seraya tersenyum tipis menatap Aresha.

"Davlin Farrel Mahendra, Ayah kandung Gibran," ucapnya, membuat Aresha melangkah mundur.

Keringat dingin keluar begitu saja, dengan tangan yang bergetar. Jantungnya berdegup kencang, dikala netranya menyorot lelaki didepannya.

Ayah kandung?

"Bi Santi!"

Aresha tersentak pelan, mendengar teriakan Arkanza, lantas ia pun mendongak menatap raut keruh diwajah suaminya.

"Bi, bawa Resha ke dalam. Berikan air minum, dan suruh dia istirahat," titahnya, yang disambut anggukan oleh wanita paruh baya tersebut.

Aresha hanya diam saja, dengan air mata yang menetes di pipinya, ia bagaikan patung, yang hanya menurut, saat tubuhnya, di tuntun masuk kedalam rumah. Meninggalkan, sang suami, dengan lelaki asing tersebut.

Davlin maju, mendekati Arkanza yang hanya diam terpaku.

"Nice to meet you, bro."

Arkanza mengepalkan tangannya, mendadak aura marah, tercetak jelas di rahangnya yang mengetat.

Hingga, tanpa aba-aba, sebuah bogeman mentah, mendarat sempurna di rahang Davlin yang mundur beberapa langkah.

Bugh!

"Maksud lo apa?!" seru Arkanza dengan nafas yang memburu, matanya menyorot tajam netra Davlin yang hanya terkekeh pelan, melihat reaksi Arkanza.

"Santai Ka, rileks," ujarnya membuat Arkanza mendengus, ia maju mendekati Davlin.

"Seharusnya lo sadar diri, sejak lo udah selingkuh dengan Nayla, untuk apa lo datang lagi ke kehidupan gue? Belom puas?" tanyanya disetiap penekanan kata, membuat Davlin tersenyum tipis, sembari menghela nafas kasar.

Tangan Davlin mencengkram kerah kemeja Arkanza, entah kenapa, mendengar nama Nayla, menimbulkan kemarahan, yang sedari tadi ia pendam, sekarang mencuat begitu saja.

"Jangan bahas Nayla sekarang, lo belom tau, yang sebenarnya. Jadi—"

Bugh!

"Gak usah banyak omong! Gue jelas lihat sendiri, kalian berduaan dikamar, yang bahkan itu pun disaat satu hari lagi, pernikahan gue dan Nayla akan dilangsungkan!" teriak Arkanza pelan.

Davlin mengepalkan tangannya, berusaha mengontrol emosi dalam dirinya.

Demi Nayla—batinnya dalam hati.

"Gue kesini, karena gue Ayah kandung Gibran, gue yang udah renggut kehor—"

Bugh!

Kali ini, Davlin benar-benar tersungkur, dengan darah yang mengalir di sudut bibirnya. Akan tetapi, senyuman itu, masih saja ia sunggingkan didepan Arkanza.

"Diem! Lo ngomong lagi, gue—"

"Apa?!" sentak Davlin cepat.

Arkanza terdiam, dengan nafas memburunya, ia menarik rambutnya frustasi.

"Empat tahun, lo sembunyiin fakta yang sebenarnya Ka," ujar Davlin pelan.

Ia masih terduduk di aspal jalan perumahan. Menatap raut keruh seorang Arkanza.

"Dan lo, juga udah buat Nayla menderita. Sedangkan dia? Berusaha untuk bisa membuat lo bahagia, seharusnya lo sadar, disini lo egois jadi orang," tuturnya lagi, membuat Arkanza terdiam, dengan rasa yang tidak bisa dideskripsikan.

Hatinya sakit, dikala pengkhianatan itu, jelas ada didepan mata, dan Davlin berkata, bahwa Nayla yang menderita? Dirinya yang egois?

"Untuk apa mempertahankan suatu hubungan, kalau hanya kebohongan yang menjadi alasan. Sudahi saja, dan katakan kejujuran yang sebenarnya."

Kalimat Davlin, menghatam ulu hatinya, memporak-porandakan, segala keresahan di dalam dadanya. Membuat, denyutan nyeri disegala sudut hatinya, menimbulkan penyesalan dalam dirinya.

Davlin berdiri dengan susah payah, mendekati Arkanza yang hanya terdiam, dengan tangan terkepal.

Ia menepuk pelan bahu Arkanza. "Nayla, sakit Leukimia Ka, gue berharap, lo bisa temui dia, di Rumah sakit Pelita."

Setelah kalimat terakhir dari Davlin, raganya menghilang dari netra Arkanza. Meninggalkan keheningan menyelimuti dirinya.

°×•

Aresha terisak pelan, ia sudah berusaha menghentikan tangisnya. Namun, entah kenapa, ketakutan dalam dirinya, membuat ia sulit menghentikan tangisnya.

Hingga, suara pintu terbuka, membuat Aresha segera berdiri tertatih, menghambur kepelukan sang suami.

Arkanza memeluk Aresha erat, berusaha menghentikan tangis istrinya. Kalau saja, ia bisa mengatakan kejujuran tersebut dari dulu. Semua ini, tidak akan pernah terjadi.

Salahkan saja dirinya, yang menjadi lelaki pengecut.

"M-mas, dia datang ingin mengambil G-gibran dari Resha," tuturnya, disambut gelengan oleh Arkanza.

"Tidak sayang, Mas sudah bicara. Dia sudah pergi," ucapnya sembari melepas pelukan, dan mengusap air mata yang terus mengalir di pipi Aresha.

"Jangan menangis seperti ini sayang, kamu sedang hamil bukan? Nanti, kalau si kecil juga ikut bersedih bagaimana?" tanya Arkanza selembut mungkin.

Aresha menunduk, melihat perutnya yang membuncit, tangannya pun mengusap pelan perutnya.

"Maafkan Bunda, Nak."

Arkanza mengalihkan perhatiannya dari Aresha. Tidak sanggup melihat raut sedih istrinya.

Benar apa yang dikatakan oleh Davlin. Ia akan mengatakan kejujuran tersebut pada Aresha. Sebab, kalau ia pendam lama-lama, Arkanza takut, Aresha akan mengetahui fakta tersebut, dari orang lain.

"Sayang ...." lirihnya pelan.

Aresha mendongak, menatap sorot sendu Arkanza. "Kalau Mas mengatakan kejujuran tersebut, kamu jangan marah. Dengarkan penjelasan Mas dulu. Oke?"

Keterdiaman Aresha, membuat Arkanza merasa takut. Apakah Aresha sudah mengetahui fakta itu?

"Mas, adalah orang yang telah merenggut kehormatan seorang perempuan, berjilbab panjang, delapan tahun yang lalu," ucap Arkanza susah payah, sembari memberikan sebuah bukti tes DNA, pada Aresha.

Tangan Aresha yang bergetar, menatap amplop tersebut.

"Bukalah," ujarnya, membuat Aresha membuka amplop coklat tersebut.

Bagaikan sambaran petir di siang hari yang terik, Aresha terpaku sejenak. Berusaha tidak percaya, dengan deretan kalimat, yang tertulis di kertas tersebut.

Arkanza berjongkok didepan Aresha yang duduk diatas ranjang. "Sayang? Katakan sesuatu, jangan diam seperti itu. Mas takut ...."

Kepala Arkanza menunduk didepan Aresha, berusaha mengontrol perasaan resah dalam hatinya.

"Jadi, Mas pelakunya?" tanya Aresha, ia berharap, bukan Arkanza yang melakukan itu. Kalimat yang ia baca pasti salah. Namun, semua hanyalah angan, anggukan lemah dari Arkanza, bagaikan batu yang berton-ton, menghujaminya, sehingga membuat dadanya sesak, menimbulkan denyutan nyeri disegala isi hati.

Ia berdiri, menghindari genggaman tangan Arkanza. Rasa kecewa, seakan menjadi satu dalam hatinya. Sang suami berbohong padanya. Dan itu, sudah berlangsung selama empat tahun lamanya.

Aresha tertawa miris, mengapa ia bisa sebodoh ini, dengan kebohongan yang dengan apik disembunyikan sang suami.

Pantas saja, beberapa kali, Aresha melihat, Arkanza termenung sendiri, dan mengatakan sesuatu tentang 'fakta'.

"Sayang? Kenapa diam saja? Pukul Mas, berteriaklah pada Mas, keluarkan segala kemarahan kamu sayang ... Jangan hanya diam seperti ini, Mas takut ...." lirihnya berusaha mendekati Aresha, yang lagi-lagi menghindarinya, dengan cara memundurkan tubuhnya.

Arkanza pasrah, ia meluruh didepan Aresha, menyesali kesalahan yang ia lakukan delapan tahun yang lalu.

"Jadi, ini alasan kenapa anda, bisa menerima saya, dengan segala kekurangan yang ada?"

Arkanza mendongak cepat, sembari menggelengkan kepalanya, bahkan air mata sudah lolos dipelupuk netra, mendengar kalimat dari sang istri.

"Tidak Resha sayang, Mas—"

"Jadi, semua ini, hanya bentuk rasa tanggung jawab anda, karena telah merenggut kehormatan saya?"

Arkanza menggeleng lagi, ia berdiri, maju mendekati Aresha yang berlinang air mata, dengan tangan yang terus mengusap perutnya.

"Sayang, Mas bisa jelas—"

Aresha menarik nafasnya, berusaha mengontrol tangis dalam dirinya, untuk saat ini, ia tidak bisa berpikir jernih. Ia terduduk pelan di kursi, dan menatap Arkanza yang berdiri, dengan kepala menunduk didepannya.

"Keluarlah, saya mau sendiri," ucapnya dingin.

Arkanza mendongak, menyorot sendu raut kecewa yang dilayangkan sang istri, kepadanya.

"Mas akan keluar, tapi ... Ijinkan Mas untuk mengusap perutmu, sebentar saja ...." pintanya penuh harap.

Aresha mengalihkan perhatian, dan mengangguk pelan. Arkanza pun mendekati Aresha, dan berjongkok didepan perut buncit sang istri.

Tangan besarnya, mengusap lembut perut tersebut, walau air mata menetes begitu saja dinetranya.

"Bilang sama Bunda ya Nak, jangan marah terlalu lama dengan Ayah. Ayah tau, Ayah salah, Ayah pengecut, Ayah jahat. Tetapi, satu hal, yang harus Bunda kamu tau, Ayah—"

"Keluarlah!!"

Arkanza mengatupkan mulutnya, berdiri, dan berjalan pelan-pelan, menuju pintu kamar.

Sebelum, benar-benar menutup pintu. Ia berkata pada Aresha. "Sorry, and I love you so much, Honey."

Suara pintu tertutup, membuat Aresha kembali terisak pelan, netranya kembali menatap tes DNA antara Arkanza dan Gibran. Pikirannya bercabang, dan hatinya juga lelah, mengetahui fakta tiba-tiba, yang diungkapan oleh Arkanza.

°×•

Malam harinya, Aresha masih saja mengurung diri dikamar, bahkan Arkanza pun berkali-kali, meminta maaf, dan mengajak sang istri untuk makan. Akan tetapi, Aresha hanya diam saja, tanpa menjawab pertanyaannya.

Helaan nafas kasar, keluar dari mulutnya. Ia menatap hampa nampan yang berisi makanan dan air putih untuk sang istri, serta vitamin juga.

Seketika, rasa bersalah dalam dirinya berkumpul jadi satu dalam dadanya. Sekali lagi, ia akan mencoba membujuk Aresha untuk makan.

"Sayang, buka pintunya sebentar, Mas hanya mengantarkan makanan, kamu harus makan sayang, kasihan si kecil didalam sana, dia juga butuh asupan," ucapnya sembari menatap sendu pintu yang tertutup rapat.

Namun, keheningan, lagi-lagi Arkanza terima. Ia pun menghela nafas kembali. Membalikkan badan, ingin mengambil kunci cadangan digudang.

Akan tetapi, langkahnya berhenti. Saat menatap raga putranya.

"Gibran? Kamu belum tidur?" tanyanya, sembari meletakkan nampan tersebut di meja kecil dekat pintu.

Lelaki kecil tersebut, menggeleng pelan. Ia menangkup wajah Ayahnya yang terlihat muram.

"Bunda sedang marah, Yah?"

Arkanza menggeleng pelan. "Tidak Nak, Bunda hanya—"

"Sini, biar Gibran bantu Ayah," tuturnya, membuat Arkanza tersenyum tipis.

Ia membawa kembali nampan tersebut, dan mengikuti kaki kecil itu, yang sudah berdiri sempurna di depan pintu.

"Bunda, ini Gibran," ujarnya sembari mendekatkan mulutnya di pintu. Berharap, sang Bunda bisa mendengarkannya.

Tanpa disangka, tidak ada satu menit, pintu terbuka. Menampakkan wajah Aresha yang terlihat sembab. Arkanza yang melihatpun, mencengkram nampannya. Matanya memanas melihat netra sembab itu.

Aresha hanya diam, sembari mengalihkan perhatian pada Gibran. Ia mengusap lembut pucuk kepala putranya.

"Sayang? Kamu belum tidur?" tanya Aresha perhatian, mengabaikan keberadaan Arkanza disana.

Gibran tersenyum, sembari menggeleng pelan. "Belum Bunda, tapi Gibran sudah makan. Disuapi Ayah!" serunya, membuat Aresha tersenyum tipis, hanya didepan Gibran saja.

"Baiklah, kalau begitu ayo tidur bersama Bunda," ajaknya sembari melangkah.

Namun, Arkanza berusaha mencekal tangan Aresha yang akan melewatinya.

"Sayang, makan dulu ...." lirihnya sendu, berharap, sang istri mau mendengarkannya.

Namun, Arkanza terkejut, dikala Aresha menghempas kasar cekalan tangan darinya. Lantas, melangkah, tanpa melihat dirinya. Dengan menghela nafas panjang, ia menatap kepergian Aresha dan putranya.

Istrinya sudah marah dan kecewa, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Kemudian, Arkanza pun melangkahkan kakinya menuruni tangga, dengan tangan membawa nampan makanan dan minuman.

Arkanza duduk di kursi meja makan. Hening menyelimuti, hingga suara dering ponselpun terdengar. Dengan malas, Arkanza mengangkatnya, setelah mengucap salam.

"Nak Arka, Nayla kritis, tolong kamu segera kemari. Dia membutuhkanmu, Nak. Tante mohon ...."

©©©

Sabtu, 17 Juli 2021


Setelah sekian abad, akhirnya Arka jujur juga😭

Ini scene yang aku tunggu-tunggu dari kemarin.

Gimana perasaan kalian lihat Arka jujur? Legakan😭

So, see you on next chapter!

Tetap jaga kesehatan yah!

ูˆุงุตู„ ุงู„ู‚ุฑุงุกุฉ

ุณุชุนุฌุจูƒ ุฃูŠุถุงู‹

44.7K 2.5K 40
MAAF CHAPTERNYA KE-ACAK Perjuangan Haidar meluluhkan hati Alda membutuhkan kesabaran ekstra. Bukan karena alasan ia menikahi perempuan yang empat ta...
Pasanganku TNI AD (END) ุจูˆุงุณุทุฉ Bonnie

ุงู„ุนุงุทููŠุฉ

383K 15.2K 53
Kisah perjodohan antara dokter dan tentara Dewi Claradia Maharani Wijaya dokter muda yang cantik dan terkenal acuh dengan cinta seolah tidak peduli k...
AFRIN ||END ุจูˆุงุณุทุฉ Cerita.mamen

ุงู„ุนุงุทููŠุฉ

106K 7.4K 30
Sebuah perjodohan mengikat Afrin dengan Haykal yang notabenenya adalah anak yang baik dan rajin beribadah. Sedangkan Afrin adalah gadis yang susah di...
Jodoh Bulan Ramadan (TAMAT) ุจูˆุงุณุทุฉ ditafitrilestari

ู‚ุตุต ุงู„ู…ุฑุงู‡ู‚ูŠู†

650K 70.6K 34
๐ŸฅˆJuara 2 Festival Ramadan with Nezha Publisher 'Perawan Tua' adalah gelar yang disematkan oleh penduduk desa setempat untuknya. Usia dua puluh empat...