Tubby, I Love You! (Selesai)

By NamIllegirl

8.9K 2.6K 2.1K

"Jikalau tubuh yang terlihat jauh dari kata sempurna, maka hati yang ku rasa sangat dekat dengan kata luar bi... More

Prologue
1|| Sweet Seventen
2|| A Cousin?
3|| Limitation
4|| (Extra)curricular
5|| Reality
6|| Kind people
7|| Disappear
8|| Medicine
9|| I Show You
10|| Heartbeat
11|| Out(war)ds
12|| Not Me
13|| Precio(us)
14|| Hug
15|| Plan
16|| We go up
17|| Walk on memories
18|| History
19|| You're my end and my beginning
20|| Me and my brokenheart
21|| Sweet Candy
22 || Try it!
23|| Guardian
24|| Reasons
25|| Unbelievable Truth
26|| I With You
27|| Disease.
28|| Take care of you
29|| Watch Your Mouth, Please!
30|| Don't Blame Yourself
32|| They don't know
33|| Only We Know
34|| You're Beautiful, If ...
35|| (Die)t
36 || Better to Happier
37|| One and Only
38|| Bittersweet
39|| Make a Sense
40 || He Completes Us
41|| I Not Only Love You
42 || The Truth Untold
Epilog || Life Goes On

31|| Without You

86 26 22
By NamIllegirl

•Happy reading!•

'kepergianmu adalah dukaku, kehilanganmu sumber laraku, keberadaanmu hal yang ku rindu, meski ku tahu kita tidak lagi bisa meneruskan kisah kita untuk sebuah akhir tanpa pilu.'
~Tara Aponi Beatrice.
°-°


Mendung duka menyelimuti kehidupan di rumah keluarga Beatrice. Nyonya rumah itu diberitakan telah berpulang ke sisi Tuhannya. Sanak saudara dan tetangga turut berduka cita memenuhi kediaman yang beberapa hari terakhir ini sunyi tanpa adanya kebahagiaan.

Estu merenggangkan nyawanya dikarenakan pendarahan pada otak. Padahal dia akan dioperasi 4 jam kemudian saat itu seandainya masih dalam keadaan bernyawa. Dokter mengatakan tubuh Estu tidak bisa berjuang dengan baik dan sulit menerima efek pengobatan. Banyak beban pikiran membuat kondisinya semakin memburuk hingga tidak tertolongkan. Penyesalan terbesar bagi Hendra yang tidak bisa menjaga Estu dan memberikan kepercayaan kepada istrinya itu agar tidak berpikiran berat.

Namun, takdir terjadi begitu cepat tanpa terduga. Tidak ada yang menyangka apalagi mencegahnya. Hanya tangisan air mata mengiringi kepergian wanita itu untuk peristirahatan terakhirnya.

Tara tidak ikut saat jenazah Mamanya dimakamkan. Jiwa gadis itu terguncang dan syok hingga beberapa kali mengalami pingsan. Bibirnya hanya menyebutkan panggilan untuk Mamanya dan air mata yang membanjiri wajahnya terlihat menyayat hati meski tidak ada kesan histeris gadis itu.

"Mama... Jangan tinggalkan aku sendiri," ratap Tara mengeratkan pelukannya pada foto Mamanya dalam bingkai pigura. Debit air mata yang mengalir kembali deras menunjukkan ketidakrelaan takdir memisahkan mereka pada dimensi dunia yang berbeda. Status sebagai Piatu ia sandang mulai detik dimana Mamanya tidak mengeluarkan deru nafas.

Jangan tanyakan bagaimana perasaan Tara sekarang ini. Kehidupannya seolah berakhir kala itu juga saat kau mengetahui orang yang kau cintai dan sayangi selama hidup tidak lagi bisa bersamamu. Semua ini bencana. Seperti akhir hidupnya. Ia ingin tiada, tapi kenyataannya kehidupan masih mengisi ceritanya. Hidup Tara terus berjalan meski tidak diinginkan.

Salah satu teman mendiang Mamanya segera beralih memeluk erat kepala Tara. Tangannya menepuk-nepuk bahu gadis itu dengan penuh kasih. "Sudahlah, Nak. Ikhlaskan kepergian Mamamu, ya? Biarkan dia tenang di alamnya. Mamamu akan sedih jika melihatmu menderita seperti ini. Tara yang kuat, ya?" Nasihatnya menenangkan hati Tara yang berontak meminta keadilan pada takdir.

"A-aku tidak menyangka j-jika Mama akan meninggalkan ku secepat i-ini, Tante." Tangisan Tara kembali pecah memenuhi ruangan kamar orangtuanya. Gadis itu sedari tadi tidak mau beralih dari ruangan yang biasa digunakan untuk beristirahat Mama juga Papanya. Masih lekat kenangan masa hidup Mamanya di sini.

"Kami juga tidak menyangka, Tara. Mbak Estu orang yang baik. Dia banyak membantu saya selama ini. Jujur saja saya menyesal tidak bisa menjenguknya sebelum dia benar-benar meninggalkan kita. Andai saja saya cepat pulang dari Surabaya waktu itu, saya ingin menemaninya di saat-saat terakhirnya." Tante Yayuk mengusap lelehan air matanya sendiri mengenang masa-masa kehidupan kampus yang dihabiskan bersama dengan Estu.

Kisah hidup Estu di dunia hanya terhenti sampai di sini. Tara sama sekali belum menyangka jika semalam adalah terakhir kalinya ia merasakan pelukan hangat seorang Mama. Terakhir kalinya menangis bersama Mamanya. Mereka juga membicarakan banyak hal dari hati ke hati untuk terakhir kalinya. Tara kini hanya mendapati semua itu sebagai kenangan.

Ia tidak tahu apakah ia akan sanggup untuk bangkit secepatnya dari keterpurukan. Ataukah ia akan tetap membiarkan jiwanya kosong oleh kehilangan.

Muncul dari luar sosok pria yang ikut serta dalam suasana duka rumah ini. Kedatangannya menginterupsi kumpulan wanita di sana yang saling menguatkan. Semua pasang mata beralih menatap pria yang tengah memperbaiki nafasnya yang tidak beraturan itu. "Mbak Tiwi... Pak Hendra pingsan, Mbak!"

Laporan yang baru saja pria setengah baya itu sampaikan seolah mencabut paksa setengah jiwa Tara yang tersiksa. Semua di sekitar gadis itu memudar. Cahaya kehidupannya menggelap. Sampai ia menutup matanya dengan kepala yang berkunang-kunang tidak sadarkan diri. Tara ikut jatuh pingsan.

"Tara!!!"

• • •

Hari sudah menjelang sore ketika kediaman Beatrice masih di bawah kendali duka. Memang masih tersisa beberapa kerabat yang belum pulang untuk menghibur mereka yang kehilangan. Namun, pemilik rumah sendiri seolah tidak memiliki nyawa.

Hendra tidak jauh berbeda dari keadaan Tara. Papanya itu berkali-kali mengusap kasar air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Mulutnya terkatup rapat tidak membiarkan sepatah katapun keluar menyuarakan kesedihannya. Hanya gelengan dan anggukan kepala sebagai jawaban jika ada orang yang mengajaknya berbicara. Perhatiannya sedari tadi hanya kepada anaknya. Hendra paling takut dengan keadaan sang anak saat ini. Tapi, ia juga butuh waktu untuk menerima semua ini.

"Dimakan dong, Ra. Kamu mau pingsan lagi kalau tidak makan?" Bibi Tiwi menegur Tara yang raganya berada di meja makan, tapi untuk jiwanya tidak tahu kemana. Separuh jiwa gadis itu seolah direnggut paksa membuatnya sangat amat kehilangan.

Tara diam tidak menjawab. Tangannya tetap memainkan makanan di piringnya dengan sendok. Pandangan matanya kosong menatap tanpa minat makanan yang terasa pahit dalam mulutnya. Setengah niat setengah tidak. Ia tidak ingin mendengarkan ucapan siapapun untuk saat ini. Nafasnya masih menyesakkan mengingat kembali bagaimana perjuangan Mamanya melewati masa sakit. Raganya seakan tenggelam di dasar lautan tak bisa mengapai permukaan.

"Tidak baik makanan kamu sia-siakan begini. Sudah besar masa harus Bibi suapi, sih?" Tegur bibinya lagi.

Tara menatap orang-orang yang ada di meja makan sama dengannya. Ada Bibi Tiwi, kedua anak Bibinya, keponakan Papanya, dan Tante dari jalur Papanya berkumpul di sini. Mereka balik menatap Tara dengan tatapan mata yang sama. Tatapan mata yang menunjukkan iba. Dan Tara tidak suka itu. Tara tidak suka dimana mereka seolah menganggap Tara adalah orang paling lemah yang harus dikasihani.

"A-aku sudah kenyang," ujar Tara berniat mengakhiri semua tatapan menyakitkan itu.

"Makan cuma berapa suapan kok bilangnya udah kenyang. Makan lagi yang banyak, Ra." Wanita tua yang pantas Tara panggil nenek itu mengingatkan.

Tara menggeleng pelan sebagai tolakan. Ia tidak berselera untuk apapun. Bahkan jika bisa ia ingin mengakhiri kehidupannya yang berada dalam kesedihan. Gadis itu bangkit dari duduknya.

Dari pintu depan tampak Jauhari yang setengah berlari menghampiri meja mereka. "Permisi, ada tamu buat Nona Tara, " lapor supirnya itu membuat Tara mengurungkan niatnya untuk beranjak pergi.

"Siapa, Pak?" Bukannya Tara yang merespon ucapan Jauhari, melainkan bibinya. Namun, gadis itu masih tetap berdiri di sana menyimak kalimat selanjutnya yang akan mengudara.

"Teman sekelas dan wali kelasnya Nona Tara, Nyonya." Jawaban dari Jauhari sungguh mampu membuat Tara terkejut. Gadis itu melebarkan kelopak matanya mencerna baik-baik perkataan Jauhari.

"Ya Tuhan, kita harus segera menyambutnya. Della, tolong kamu siapkan jamuan untuk tamu-tamu kita." Bibinya tampak antusias sekali menyambut mereka, berbeda dengan Tara yang masih membeku tanpa suara.

"Tara, segera cuci tanganmu dan ayo temui mereka," lanjut bibinya pada Tara.

Tara tidak menyangka jikalau mereka akan datang kemari. Tara mengangguk lemah. Tidak tahukah sang waktu bahwa dirinya ingin sendiri? Tidak tahukah situasi bahwa Tara tidak siap menemui orang banyak? Tara tidak suka kenyataan bahwa mereka akan mengasihaninya setelah kematian ini.

Mengapa baru sekarang manusia-manusia itu berbondong-bondong datang memamerkan kasihannya pada Tara? Kemana sajakah mereka di saat-saat Tara masih berjuang untuk tidak jatuh sedalam ini? Bagian mana yang harus Tara percaya pada kekejaman dunia dan manusia?

Tapi, semua pemikiran Tara tidak pernah bisa terucapkan. Sulit untuk mendapatkan pendengar yang baik dalam kondisinya yang seperti ini.

Tara digiring oleh Tiwi berjalan menuju tamu-tamunya duduk di atas karpet yang digelar menyembunyikan aslinya tampilan lantai keramik. Jumlah mereka yang cukup banyak tidak akan muat untuk jumlah sofa ruang tamu rumah ini. Sebenarnya tidak semua teman sekelasnya yang datang. Terhitung ada 13 yang terdiri dari 8 siswi dan selebihnya adalah anak laki-laki. Bu Suriyah hadir di sini sebagai pemenuhan tanggungjawabnya sebagai wali kelas mereka. Hari ini seharusnya sudah memasuki liburan semesteran sesuai keputusan pihak sekolah, tapi lihatlah mereka yang masih sedia berkumpul demi Tara. Tara tahu tujuan kedatangan mereka adalah demi kebersamaan dan untuk berbelasungkawa atas meninggalnya sang Mama.

"Tara, duduk sini, Nak!" Wali kelasnya itu langsung menyambutnya dengan hangat saat menyadari tibanya dia.

Bibinya memberikan isyarat agar menurut permintaan gurunya itu. Tara tanpa suara berjalan menempatkan dirinya duduk di ruang yang di kosongkan antara Ibu Suri dan Anggi.

Sesaat kemudian gadis itu merasakan tubuhnya dipeluk dari samping oleh ibu gurunya itu. Tara juga merasakan salah satu tangannya tengah digenggam erat oleh tangan seseorang. Anggi hanya tersenyum lembut saat Tara menoleh ke arahnya. Gadis itu menyalurkan kekuatannya pada Tara lewat genggaman tangannya.

Bisa Tara lihat Bibi Tiwi ikut mendudukkan dirinya di antara mereka. " Maaf, kami hanya bisa menghidangkan jamuan seadanya," ujar bibinya ramah.

"Tidak apa-apa, Bu. Kami datang kemari untuk turut berduka cita atas kepergian Ibunda Tara." Layaknya perilaku seorang ibu kepada anaknya, Ibu Suri mengusap-usap rambut gadis yang hanya membisu dalam dekapannya itu. Mungkin memang nyata jika guru adalah sosok orangtua ke-dua bagi murid-muridnya.

Tara meneteskan air matanya kembali mengingat Mamanya lah yang selalu mengusap lembut kepalanya penuh kasih sayang selama ini.

"Ya, saya juga tidak menyangka akan begini keadaannya, Bu. Tapi, semuanya sudah takdir," timpal Tiwi yang memang sudah menerima kenyataan yang ada.

"Saya sangat terkejut saat Jodhi menghubungi saya tadi dan bilang kalau Ibunya Tara sudah tiada. Akhirnya saya bertanya pada teman saya yang tinggal di sekitar sini, dan ternyata benar. Saya langsung mengabari teman-temannya untuk kemari," ungkap Bu Suriyah menceritakan kronologi adanya mereka di sini.

Tatapan Tara berpindah pada pemuda yang letak duduknya tepat di depannya itu. Tatapan mereka bertemu, karena Jodhi juga dari tadi memperhatikan dirinya. Ada banyak yang ingin Jodhi sampaikan pada gadis itu. Ingin Jodhi rengkuh tubuh yang dipenuhi kehampaan itu. Tak kuasa dia melihat Tara terpuruk dalam diam. Hatinya ikut perih melihat gadis itu terjatuh.

"Nak Jodhi kok bisa tahu?" Tanya Bibi Tiwi penasaran.

"Saya tadi ke rumah sakit untuk menjenguk Tante Estu, tapi saya mendapati kamarnya sudah kosong. Kebetulan ada perawat yang tengah merapikan kamar itu, lalu saya bertanya padanya. Dan dia bilang Tante Estu sudah tiada. Saya yang kurang percaya datang kemari ingin memastikan, tapi saya melihat keadaan rumah ini memang dipenuhi banyak orang dan terdapat ucapan dukacita yang terpasang di depan," papar Jodhi menjelaskan kebingungan yang juga merundung Tara. Bibi Tiwi membulatkan bibirnya sembari mengangguk-angguk mengerti sebagai respon.

Tara tercenung mendengar pengakuan Jodhi. Pemuda itu nyatanya masih berniat menjenguk Mamanya tadi, perhatian pemuda itu tidak terhentikan meski sekolah sudah diliburkan. Bukankah peran Jodhi sebagai sepupu sudah cukup baik?

Raga Tara berada di sana, di antara banyaknya orang yang tengah berbincang, tapi Tara tidak memiliki jiwanya untuk dipertahankan. Bu Suriyah dan Bibi Tiwi membicarakan banyak hal seputar dirinya dan keluarganya sebelum meninggal.

Air matanya kembali mengalir saat ingat kenangan Mamanya di rumah ini. Apalagi semua janji-janji yang mereka buat bersama dan rajutan kasih sayang yang masih jelas kehangatannya.

"Mama..." Lirih Tara tanpa sadar. Pasang mata kembali tertuju padanya.

"Hei, Tara kenapa menangis?" Tara tidak menjawab ketika gurunya menyentuh kedua pipinya untuk menatap wajah Bu Suriyah.

Hanya derasnya air mata yang semakin menjadi-jadi saat ini. Jiwa lemah Tara kembali dikendalikan sisi emosionalnya. "Mama... Huhuhu... Jangan pergi..." racau Tara yang tidak peduli lagi dengan sekitarnya.

Mereka menatap Tara prihatin. Sampai saat tubuh besar itu di dekat hangat oleh gurunya Itu. Tangisan Tara semakin tumpah tersedu-sedu membasahi baju Bu Suriyah. Air mata wanita yang mengajarkan ilmu di sekolahannya itu juga ikut jatuh di atas kepala anak muridnya.

"Tara yang tabah ya, Nak? Tara yang kuat. Ikhlaskan Mama untuk bahagia di alamnya. Tara tidak sendiri, kok. Ada keluarga Tara, bapak ibu guru, juga teman-teman Tara yang sayang sama Tara. Kamu jangan bersedih terus. Mama Tara pasti tidak senang melihat Tara menangis begini." Bu Suriyah berbisik pelan di telinga gadis itu.

Tara tahu jika dirinya sudah besar, tapi kehilangan masih terlalu menyakitkan untuknya. Ia ingin bersama keluarganya untuk selamanya, bukan terpisah dalam umur masih angka belasan tahun begini.

"Ra, jangan nangis terus. Kamu pasti bisa melewati semua ini." Suara bergetar menahan tangisnya muncul dari bibir Anggi. Gadis itu ikut memeluk Tara dari belakang. Pelukan tulus seorang sahabat.

Gadis itu ikut menangis bersama Tara dan gurunya diikuti murid lain yang diam-diam menyeka air matanya. Inilah yang tidak mau membuat Tara kehilangan sosok sahabat seperti Anggi. Karena, Tara tahu bahwa ada ketulusan dalam tindakan Anggi. Ia meyakini persahabatan yang umurnya baru seberapa itu dengan gadis itu sebagai satu-satunya peran sahabat meninggalkan yang lainnya yang hanya dianggapnya teman.

"Jangan menangis semua! Aku ikut sedih jadinya," protes Widi di sela-sela suasana pilu itu.

"Tara yang kuat, ya!"

"Kami bersamamu."

"Kau tidak sendirian."

Suara-suara dukungan itu bersahutan menyemangati jiwanya yang terperosok jauh. Jadilah mereka para murid perempuan ikut masuk dalam pelukan bersama meninggalkan kaum laki-laki yang masih gengsi memperlihatkan sisi kesedihannya.

Tidak peduli apapun status mereka, Tara sedikit merasakan hatinya membaik karena ketulusan mereka. Ia hanya butuh waktu semua ini. Dan bantuan orang untuk peduli dengannya sangatlah penting. Hanya dengan pelukan dan kata-kata penyemangat, siapa sangka itu bisa menyelamatkan kehidupan? Jadi, mulailah buka matamu dan lihat orang-orang terdekatmu yang membutuhkan pelukan dan dukungan. Mereka tidak butuh kalian untuk mengubah keadaan, mereka hanya ingin seseorang yang tidak pernah meninggalkannya dalam keadaan seburuk apapun tetap di sisinya untuk membuat api kepercayaan untuk hidup lebih menyala terang dalam hatinya yang redup. Tunjukkan cahaya untuk menerangi mereka yang tersesat dalam kegelapan.

'Aku harap setelah ini kebahagiaan akan datang membayar semua tangisanmu, Ra.'

Jodhi tersenyum simpul sambil menghapus genangan air mata yang hendak jatuh dari kelopaknya.

• • •

Tidak lama pertemuan haru biru itu berakhir dengan saling menguatkan untuk meneruskan cerita kehidupan yang lebih baik. Sekarang ini Tara sedang mengantarkan para tamunya di depan gerbang rumahnya.

"Tara, kami pamit dulu, ya. Kamu harus terus kuat. Jangan lupa untuk menjaga diri sendiri. Kalau perlu sesuatu, kamu bisa menghubungi Ibu. Jangan dipendam sendirian, mengerti?" Sedikit nasihat Bu Suriyah tuturkan sebelum mereka berpisah. Tara membalas dengan anggukan dan satu senyuman yang bisa tergolongkan memiliki sifat terpaksa.

"Kami pamit dulu ya, Bu. Tolong dijaga Tara-nya," ujar guru itu kepada Bibi Tiwi.

"Pastinya, Bu. Kalau bukan saya siapa lagi yang mau merawat Tara sekarang ini."

Mendengar jawaban bibinya, Tara menghela nafasnya perlahan. Sebelumnya Tara memiliki keluarga lengkap yang bisa ia andalkan untuk menjamin kehidupannya tetap terjaga, tapi sekarang ini sepertinya keluarga jauhnya saja terbebani untuk merawat dirinya. Tara paham jika manusia memiliki kehidupannya sendiri. Namun, tidak bisakah Bibinya itu sedikit memperlihatkan ketulusannya untuk sementara? Hanya sementara.

"Kami pulang dulu, Ra!" Seru Vivi yang mempersiapkan motornya untuk bisa dikendarai.

"Tara," panggil gadis yang berjalan menuju hadapannya. Tara mendongakkan kepalanya menatap wajah gadis yang menyunggingkan senyuman manisnya.

"Aku ada jika kau membutuhkanku. Yang sabar, ya," ucap Ayu seraya memeluknya.

Dengan ragu Tara membalas pelukan itu. "Makasih banyak, Ay," balas Tara menghargai simpati yang Ayu berikan padanya.

Tidak lama setelah pelukan terlepas, berganti dengan Anggi yang menahan tangis maju ke hadapannya. Tanpa perlu izin, Anggi sudah menyerbu tubuh Tara dengan pelukan tiba-tiba. "Tara, aku... aku benar-benar minta maaf tidak bisa menemanimu selalu di saat-saat tersulit seperti ini. Aku memang bukan teman yang baik. Tapi, aku siap untuk membantumu bahagia kembali. Jangan bersedih lagi, ya! Aku menyayangimu." Anggi berkata-kata diselingi tangisannya. Ternyata gadis itu cukup mudah sekali jatuh dalam kesedihan.

"Jangan seperti itu. Kau itu sahabat terbaikku, Nggi. Aku sangat berterimakasih sudah mau tetap berteman denganku."

Tara memberikannya predikat terbaik memang karena Anggi adalah satu-satunya temannya yang menunjukkan banyak perhatian lebih padanya. Bagaimana dengan Jodhi? Tara kira pemuda itu bukan sahabatnya. Bukankah Jodhi lebih dari itu?

Anggi melepaskan pelukannya dan segera memasang wajah kesalnya. "Ngomong apa sih?! Aku akan selalu menjadi temanmu, jangan berbicara yang aneh-aneh," kesal Anggi pura-pura merajuk.

"Hei, Anggi! Kau jadi numpang, tidak?!" Teriak Widi yang merupakan pengendara motor yang akan membonceng gadis itu.

"Sabar sebentar bisa, tidak? Menganggu saja kau itu." Anggi balas kesal pada pemuda teman sebangkunya itu. Dengan kaki dihentak-hentakkan tanda kesalnya Anggi berjalan menghampiri motor yang sudah ditunggangi oleh Widi.

"Ra, balik dulu, ya!" Seru Widi kepadanya. Anggi yang sudah duduk manis di belakang pemuda itu dengan helm terpasang di kepalanya ikut melambaikan tangan ke arahnya. Tara membalasnya dengan lambaian tangan meski tidak antusias seperti Anggi. Sampai kedua remaja itu ikut pergi bersama rombongan lainnya.

"Ra..." Panggil seorang pemuda yang sedari tadi memperhatikan gadis itu.

Tara tercengang mendengar suaranya. Kepala gadis itu menoleh pada Jodhi yang ternyata belum ikut pergi. "K-kau tidak pulang?" Tanya Tara dengan canggung.

"Apa boleh tinggal di sini?" Pemuda itu balik bertanya. Tara mengangkat sebelah alisnya bingung dengan pertanyaan aneh pemuda itu. Jodhi berniat menginap?

"Tidak, aku hanya bercanda. Aku ingin berbicara lebih padamu. Tidak masalah, 'kan?"  Tara mengangguk ragu belum mencerna baik maksud Jodhi.

"Bagaimana keadaan Papamu?" Tanya pemuda itu. Sebenarnya ia ingin memastikan keadaan Tara, tapi setelah melihat langsung kondisi gadis itu, sudah jelas bahwa Tara tidak sedang baik-baik saja.

"Papa... Papa sangat kehilangan, Jod." Tara tidak memiliki kata-kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Papanya saat ini.

"Aku mengerti. Semua ini memang tidak mudah, tapi bisakah aku meminta sesuatu padamu?"

Tara semakin bingung dengan arah pembicaraan mereka. Apa yang bisa Jodhi minta padanya dalam keadaan seperti ini?

"Apa?"

Tatapan mata Jodhi semakin dalam memaku maniknya. "Jadikan aku orang pertama yang mengetahui suka citamu. Jangan lagi memendamnya sendiri. Aku ada berjalan bersamamu. Aku ingin menjadi orang yang bisa membantumu kembali bahagia. Mungkin Anggi juga bersedia untuk selalu mendukungmu, tapi aku ingin lebih banyak tahu tentangmu daripada siapapun."

Tara terperangah untuk kesekian kalinya memahami permintaan aneh Jodhi. Bagaimana cara Tara menjawabnya, jika Tara saja tidak mengerti? Memangnya Jodhi itu siapa hingga membuat permintaan seperti itu? Entah dia mendadak polos atau otaknya terlalu lelah untuk bekerja.

"Eumm... Apa itu harus?" Tanya Tara dengan pelan.

"Harus." Jodhi menjawabnya tanpa ragu dan tegas. Tatapan mata pemuda itu yang tidak beralih dari bola matanya semakin membuat Tara merasa tidak nyaman.

"Akan ku coba," ucap Tara tidak yakin. Dapat Tara sadari jika senyum perlahan merekah pada wajah pemuda itu.

"Aku harap kau tetap bisa meneruskan hidup dengan baik. Meski berat, kau harus tetap kuat. Jaga diri baik-baik. Jaga Om Haidar juga."

"Hmmm..."

"Jangan lupa untuk makan!"

"Iya."

"Segera hubungi aku jika terjadi sesuatu!"

"Hmm."

"Jangan menangis terus. Bilang padaku jika kau tidak ingin sendiri. Tidurlah dengan baik. Aku akan sering kemari, jadi jangan bosan. Jangan-"

"Jodhi itu terlalu banyak. Aku tidak yakin bisa melakukannya kalau mengingatnya saja tidak bisa," sela Tara dengan cepat menghentikan lebih banyak lagi pesan-pesan pemuda itu.

"Aisshhhh... Kau ini! Aku sangat khawatir kalau kau mau tahu," tukas pemuda itu.

Ada aliran hangat menuruni dada Tara lewat darahnya mendengar perkataan Jodhi barusan. Tapi, tidak tahukah Jodhi seperti kakek-kakek yang sedang menasehati cucunya saat ini? Perhatian sekali pemuda itu. Sama seperti Mama Estu yang selalu perhatian pada Tara. Seketika raip sudah senyuman Tara mengingat kembali kenangan kasih sayang sang Mama.

"Terimakasih banyak untuk semuanya. Dan maaf membuatmu khawatir." Tara berbicara dengan nada sedihnya yang berusaha keras ia sembunyikan. Tara merasa sangat merepotkan Jodhi. Gadis itu tidak tahu bagaimana cara membalasnya di kemudian hari.

"Apa itu saja yang ingin kau sampaikan padaku?" Rupanya Jodhi tidak dengan mudah menerima permintaan maaf dan terimakasihnya.

"Apa tidak ada yang ingin kau ucapkan selain maaf dan terimakasih?" Ulang Jodhi yang melihat Tara kebingungan atas maksud pertanyaannya.

Tara terdiam sejenak memikirkan apalagi yang harus ia ucapkan. "A-aku... Aku... Aku harap kau tidak keberatan untuk membantu ku bangkit dari keterpurukan ini." Tara mengigit pipinya bagian dalam menyesali kalimat yang ia lontarkan barusan.

"Sudah tugasku," balas Jodhi sembari merentangkan kedua tangannya mendekat ke arah Tara.

Tindakan Jodhi tersebut membuat Tara mundur beberapa langkah menjauhi dirinya. "A-apa yang kau lakukan?" Tanya Tara dengan gugup.

"Memeluk mu seperti yang para gadis tadi lakukan," jawab Jodhi dengan percaya dirinya.

Mata Tara membulat sempurna terkejut dengan pengakuan Jodhi. "Tidak bisa!" Tolak Tara secara langsung. Gadis bertubuh besar itu jelas malu dengan itu. Untungnya saja Bibi Tiwi sudah ke dalam dari tadi. Entah mau sembunyikan dimana mukanya yang merah karena malu ini jika ada orang lain yang melihatnya.

Dengan ekspresi kecewanya Jodhi menurunkan kedua tangannya. Pemuda itu tampak biasa saja dengan apa yang ia inginkan barusan. "Kenapa? Apa aku bau?" Pemuda itu mencium aroma bajunya sendiri mengecek kondisi tingkat keharumannya saat ini.

"T-tidak begitu. I-ini sudah sangat sore. Kau harus pulang sekarang," alibi Tara mengalihkan pembicaraan. Ingatkan Tara jika saat ini ia sedang sedih dan tidak berminat untuk kesal terhadap pemuda itu.

"Baiklah, aku pulang sekarang. Jangan lupa untuk berbicara dengan Papamu," tuturnya seraya mengacak pelan rambut gadis itu. Tara hanya terdiam membiarkan semua perilaku Jodhi padanya saat ini.

Pikirannya kembali melayang pada Papanya. Mereka belum banyak berbicara seharian ini. Papanya masih terbelenggu perasaan bersalahnya. Ia harus meluruskan semuanya setelah ini. Harus!

• | • | • |

Bersambung...

Di bagian kali ini aku hanya fokus pada bagaimana suasana saat Tara ditinggalkan oleh orang paling berharga dalam hidupnya. Juga  betapa pentingnya kehadiran orang yang peduli saat kita tengah terjatuh.

Semoga saja ada pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini.

Tetap semangat untuk menunggu chapter selanjutnya, ya!

Jangan lupa untuk voment dan mencintai diri sendiri!

See you!

Continue Reading

You'll Also Like

239K 10.4K 54
Harusnya aku tau , jika selama ini dia tidak pernah menganggap ku ada. Harusnya aku mengerti bahwa yang di inginkan nya bukan lah aku. Mungkin takd...
3.3M 272K 46
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
105K 5.9K 58
VOTE DULU SETELAH BACA! FOLLOW JUGA! "Bangkai itu tidak bisa ditutupi, Mas!" Stefa Azika Isabella, pemilik Toko 29 sedang menyelidiki secara diam-dia...
117K 5.5K 21
Reina seorang ibu rumah tangga yang dikhianati suaminya. Dia lebih memilih melepaskan suaminya, dari pada pria itu terjerumus dalam dosa. "Bersedih a...