Tubby, I Love You! (Selesai)

By NamIllegirl

9.1K 2.6K 2.1K

"Jikalau tubuh yang terlihat jauh dari kata sempurna, maka hati yang ku rasa sangat dekat dengan kata luar bi... More

Prologue
1|| Sweet Seventen
2|| A Cousin?
3|| Limitation
4|| (Extra)curricular
5|| Reality
6|| Kind people
7|| Disappear
8|| Medicine
9|| I Show You
10|| Heartbeat
11|| Out(war)ds
12|| Not Me
13|| Precio(us)
14|| Hug
15|| Plan
16|| We go up
17|| Walk on memories
18|| History
19|| You're my end and my beginning
20|| Me and my brokenheart
21|| Sweet Candy
22 || Try it!
23|| Guardian
24|| Reasons
25|| Unbelievable Truth
26|| I With You
27|| Disease.
28|| Take care of you
29|| Watch Your Mouth, Please!
31|| Without You
32|| They don't know
33|| Only We Know
34|| You're Beautiful, If ...
35|| (Die)t
36 || Better to Happier
37|| One and Only
38|| Bittersweet
39|| Make a Sense
40 || He Completes Us
41|| I Not Only Love You
42 || The Truth Untold
Epilog || Life Goes On

30|| Don't Blame Yourself

80 26 22
By NamIllegirl

•Happy reading!•
;)

'Tidak mampunya melakukan perpisahan, dikarenakan kentalnya kenangan, tipisnya keikhlasan untuk menerima kenyataan dan terlalu besarnya pengorbanan untuk tetap mendapatkan kebersamaan.'
~Tara Aponi Beatrice.

Sudah menjadi hari ke-lima untuk Estu menjalani perawatan yang lebih serius semenjak hari itu. Masa-masa ujian semester Tara juga sudah berlalu, begitu juga dengan kesempatan remedial dan ujian susulan yang telah ditutup. Tara menyelesaikan semua masalah ujiannya dengan sebaik mungkin. Beruntungnya dia tidak dimasukkan ke dalam daftar yang harus remedial, tugasnya sudah lengkap tidak perlu lagi berurusan dengan guru-guru untuk mendapatkan nilai tambahan. Itu mempertandakan hasil ujiannya yang masih dirahasiakan oleh guru dapat diharapkan untuk lebih dari nilai rata-rata.

Telah diumumkan bahwasanya besok adalah hari yang dinantikan untuk mendapatkan laporan hasil belajar. Penentuan dimana kedudukan kepintaran dapat diurutkan sesuai nilai yang dijumlahkan.

Sepucuk kertas yang terlipat rapi dalam jepretan staples berada dalam genggaman tangan Tara. Tungkainya berjalan memasuki kamar rawat Mamanya. "Aku pulang," ucapnya dengan lesu. Papanya yang sedang membersihkan wajah Mamanya dengan tisu basah menoleh kepadanya.

"Wellcome, Dear."

Tara tersenyum membalas sambutan sang Papa. Hanya Papanya yang menyambutnya dengan hangat. Mamanya terlelap tidak mengetahui kedatangan. Efek obat membuat tubuh Mamanya lebih banyak tidur. Di sofa ruangan itu juga ada Bibi Tiwi yang sibuk memainkan ponselnya. Tara menghela nafasnya meredam ketidaksukaan pada wanita itu.

Bukannya ia masih mendendam tentang kejadian waktu itu. Tara sudah memaafkannya meski kata maaf tidak pernah ia terima. Namun, untuk melupakan sakit hatinya kala itu Tara masih belum bisa.

Gadis itu berjalan mendekat pada Papanya. Melihat kondisi Mamanya, Tara menjadi sendu. Wajah Mamanya semakin pucat. Perubahan terlihat jelas mengenai fisik Mamanya. Tubuh besar wanita itu susut dengan drastis. Tangan terkulai Estu tidak melepaskan kalung salib dari genggamannya. Sembilu hati Tara membayangkan betapa sakitnya derita yang ditanggung Mamanya. Lusa adalah jadwal operasi Mamanya dilakukan.

Pembengkakan pembuluh darah yang terjadi harus segera diperbaiki. Jika lama dibiarkan, itu akan berakibat fatal jika terjadi kebocoran atau pendarahan. Sang kepala rumah tangga yang menginginkan yang terbaik dengan cepat menyetujuinya. Begitupun dengan Estu sudah pasrah saja dengan apa yang terjadi ke depannya, yang terpenting dia sudah berusaha. Demi keluarganya yang masih ingin ia habiskan kehidupan bersama mereka.

"Lelah, Nak?" Tanya Haidar memperhatikan kondisi raut wajah anaknya.

"Tidak terlalu, Pa," jawab Tara mencoba menampilkan senyum terbaiknya. Papanya pantas mendapatkan gelar pahlawan keluarga dan beliau pantas untuk mendapatkan penghargaan kasih sayang dari Tara. Tara tidak mau menyalahkan Papanya untuk masalah yang terjadi. Ia tahu ini sudah takdirnya. Dan pahlawan bukan berarti tidak pernah berbuat kesalahan.

"Papa sudah belikan makanan buat kamu. Jangan lupa makan, ya!" Terkadang posisinya sebagai kepala keluarga mengharuskan dirinya agar tetap tegar dalam kondisi apapun. Sayangnya, hatinya tidak setegar itu untuk tetap tertuju pada Estu. Biarlah ia gunakan sisa-sisa semangatnya untuk berjuang. Bukan sebagai kewajiban kepala keluarga, melainkan sebagai seorang yang teringin melindungi apa yang dicintainya.

"Nanti, Pa. Ada sesuatu yang harus Tara sampaikan ke Papa." Tara terlihat ragu untuk meminta pada keadaan seperti ini.

"Apa, Sayang? Bicaralah." Hendra menyudahi fokusnya merawat sang istri. Pria itu menoleh seraya mengusap lembut pipi anaknya. Tersenyum sendu mendapati perubahan pada diri Tara. Ia cukup peka menemukan perubahan pada anaknya. Tidak secerah dulu lagi pancaran kebahagiaan di mata Tara. Tubuhnya memang tidak banyak kehilangan berat badannya, tapi senyum dan tawa gadis itu banyak menghilang. Matanya yang bengkak sebagai bukti banyaknya tangis yang keluar. Ia merasa buruk untuk semua ini.

Tara menyerahkan surat undangan dari sekolahnya kepada Hendra. "Besok pagi adalah hari pengambilan raport. Papa bisa hadirkan?" Tara mengigit bibir bagian dalamnya bersiap menerima apapun jawaban sang Papa.

Hendra tidak bisa langsung mengiyakan permintaan putrinya kali ini. Selama ini, ada Estu yang selalu terjun langsung dalam dunia pendidikan anaknya sementara dia berkutat mengais pendapatan untuk menafkahi keluarganya.

Hendra memang cuti dari terjun langsung ke lokasi proyek pembangunan yang tengah tim-nya garap, tapi posisinya sebagai mandor tidak membebaskan dirinya penuh dari pekerjaan. Ia tetap harus mengerjakan laporan, memutar otaknya untuk masalah yang ditanganinya dan terkadang terpaksa datang langsung untuk membantu. Dan besok adalah hari dimana ia harus tiba untuk meninjau pekerjaan bawahannya.

"Papa tidak bisa janji sama Tara, tapi akan Papa usahakan." Sungguh, menjalani tanggung jawab sebagai orangtua tanpa dibantu Estu cukup sulit baginya. Ia membutuhkan istrinya untuk segera melengkapinya kembali.

"Biar aku saja lah yang datang ke sekolahan. Cuma ambil raport doang, 'kan? Tidak ada teguran untuk pelanggaran yang kau lakukan di sekolah, 'kan?" Bibinya buka suara menawarkan dirinya.

Tara dan Hendra menatap ragu ke arahnya. "Bagaimana, Sayang?" Jujur saja, Hendra juga membutuhkan keberadaan orang lain untuk menolong kondisinya saat ini. Begitulah manusia, sekuat apapun ia mencoba bertarung sendirian, ia tetap butuh orang untuk menolongnya kala terluka.

"Asal Bibi tidak keberatan," jawab Tara tidak juga ingin membebani Papanya lebih banyak lagi.

"Besok jam berapa?" Tanya Tiwi yang sepertinya memang tidak keberatan meski hanya setengah-setengah niat wanita itu untuk menolongnya.

"Jam setengah sembilan, Bi."

" Ya, sudah. Besok aku datang."

Sebelumnya Tara tidak pernah sekhawatir ini jika harus meminta walinya datang ke sekolah. Mamanya selalu siap mendukung segala program pembelajarannya. Tidak terlalu terbiasa saja dirinya dengan kondisi ini.

"Terimakasih, Bi," ucapan terimakasihnya hanya berbalas anggukan singkat dari bibinya.

Tara menghela nafasnya mengeluarkan sedikit beban mengganjal berat rongga dadanya. "Kalau begitu, Tara pergi membersihkan diri dulu, Pa."

Manusia yang terbuat dari tanah membutuhkan air untuk sekedar menolongnya agar tetap pada komposisi yang tepat. Ia butuh mandi untuk membersihkan tubuhnya dari kelelahan dan penyakit yang selalu datang tanpa ia minta. Mungkin mandi juga bisa memenangkan pikirannya sedikit. Apalagi saat ia merenung di bawah guyuran air dan menangis tersedu-sedu tanpa khawatir ada orang yang mengetahuinya.

•  •  •

Hari ini suasana SMA Wijaya Kusuma lebih ramai dari biasanya. Hadirnya wali murid untuk pengambilan raport sudah banyak memenuhi isi kelas. Sebagaimana diketahui  bahwa guru ialah orangtua ke-dua bagi para murid, sangatlah penting untuk menjalin kerjasama dan pertemuan sesekali dengan wali murid yang sebenarnya demi terciptanya keselarasan membentuk anak menjadi pribadi yang lebih baik.

Di dekat gerbang, Tara bersama dengan empat orang siswa lainnya berdiri resah menunggu orang datang sebagai wali mereka. Rapat orangtua dengan guru pengajar bahkan sudah dapat dipastikan telah dimulai. Namun, Bibi Tiwi belum terlihat juga keberadaannya.

Pikiran buruk memenuhi pikiran Tara. Kepala gadis itu tiba-tiba berdenyut-denyut dengan debaran jantung yang was-was menakutkan suatu yang buruk terjadi. Ia takut jika bibinya tidak benar-benar datang. Terancamlah ia tidak bisa mendapatkan laporan hasil belajarnya hari ini.

"Rapat sudah dimulai, kenapa kalian masih di sini?" Tegur satpam yang kembali untuk berjaga.

"Nunggu orangtua, Pak," jawab salah satu dari mereka sebagai perwakilan.

"'Kan sudah diberitahu jam berapa harus datang. Bisa juga ya orangtua telat. Pantas saja murid-murid juga kadang terlambat, orangtuanya saja molor begini. Sesibuk apapun, ini demi 'kan demi anaknya. Kalau tidak bisa datang dua-duanya, salah satunya tidak masalah. Di wakilkan saudara juga bisa dimaklumi. Masa tidak punya saudara. Sibuk ngapain sih orangtua kalian? Ke sawah? Atau menyupiri pesawat?"

Penilaian satpam tersebut terhadap situasi yang terjadi hanyalah berdasarkan sudut pandangnya. Tidak tahukah jika banyak jenis penyakit hubungan keluarga yang menyusahkan semua urusan menjadi mudah?

"Kami juga maunya dipermudah, Pak. Dan orangtua saya mungkin sedang berjuang membantu satu nyawa untuk selamat di meja operasinya," ucap salah satu siswi dengan sesumbar membersihkan nama baik orangtuanya.

Mereka bukanlah lagi anak kecil yang akan diam saja saat diceramahi soal bagaimana bersikap. Otaknya yang mulai membuat penalaran sering kali mendesak untuk menyuarakan pendapat sendiri.

Siswa lainnya mulai berlari melewati gerbang ketika satpam itu ingin membalas ucapan siswi tersebut. "Hei!!! Mau kemana kamu?!" Teriak satpam itu mencoba menghentikan pemuda yang semakin menjauh langkah kakinya.

"Nyari penjual pecel buat ngambilin raport!" Pemuda tadi balas berteriak tanpa menghentikan larinya.

Nyatanya Satpam itu tidak ada niatan lagi untuk mengejarnya, dia membiarkan pelajar itu terjun ke jalanan. Kembali satpam itu berbalik dengan geleng-geleng kepala tanda iba dengan kondisi saat ini. "Dasar anak muda zaman sekarang. Miris sekali tingkahnya," ujarnya seolah menunjukkan contoh buruk kepada pelajar lainnya.

"Dasar anak zaman dahulu, katanya pintar-pintar, prestasi segudang, paling jarang berbuat kejahatan, tapi sayang tidak bisa nyadar kalau mereka gagal jadi orangtua," sindir siswa lainnya sambil berlalu kembali menuju kelas asalnya. Satpam itu bungkam mengingat kembali banyaknya kasus kenakalan remaja yang disebabkan oleh kurangnya kasih sayang dalam keluarga.

Terbukti mereka juga memikirkan pendidikan mereka dengan berada di sana. Untuk apa mereka menunggu untuk kedatangan wali murid mereka jika mereka tidak menginginkan untuk mendapatkan yang terbaik dalam usaha mereka?

Mobil sedan berhenti tepat di depan gerbang. Tara hafal betul mobil siapa yang tiba. Perasaan was-wasnya berangsur-angsur membaik melihat Jauhari turun dengan segera membukakan pintu mobil bagian belakang. Keluar dari dalam sana Bibi Tiwi dengan penampilan rapi seperti biasanya.

Tara berlari menghampiri keduanya. "Kenapa baru tiba, Bi? Rapatnya sudah dimulai sejak tadi."

"Salahkan saja Mamamu yang kumat. Bibi 'kan jadi harus repot dulu mengurusnya," balas Tiwi mengelak untuk disalahkan.

Mengetahui kabar yang tergolong buruk tentang Mamanya, hati Tara mencelos. Ingin ia segera berada di sana.

"Kalau begitu, saya antar menuju kelas, Bi."

Lebih cepat menerima raport, akan lebih cepat pula ia bisa menuju rumah sakit, Pikir Tara.

• • • 

Hampir memakan waktu satu jam dihabiskan untuk pertemuan antara wali kelas dengan wali murid. Paling lama adalah digunakan untuk memberikan ceramah dan informasi bagaimana perkembangan anak-anak  mereka di sekolah ini. Perlahan satu per satu wali murid kelas XI IPA 2 juga keluar meninggalkan ruangan kelas membawa buku besar bersampul hitam disambut oleh anak-anak mereka dengan perasaan was-wasnya.

Peringkat sudah diumumkan saat tadi juga di ruang kelas, tapi para murid tidak bisa mengetahuinya karena mereka berada diluar dan menjalankan pesan wali kelasnya untuk tidak mengintip ataupun menganggu jalannya penerimaan raport sebagai bentuk kesopanan.

"Bagaimana hasilnya, Bi?"

Tara pun sama seperti lainnya, ia segera berjalan ke arah bibinya yang baru saja keluar dari pintu dengan memberikan pertanyaan. Bibinya tidak segera menjawab apa yang ingin diketahuinya, wanita itu menyerahkan buku raport untuk Tara pegang.

"Dapat rangking kok sebelas. Rugi waktu buat ngambilnya." Tara tercengang dengan apa yang bibinya lontarkan.

Seolah jamu pahitan baru saja ia telan mentah-mentah mengunci mulutnya untuk bicara. Ia tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Bagi Tara yang biasa menghadiri posisi tiga besar, angka 11 adalah mengecewakan. Jauh dari tujuannya dan tidak bisa dibanggakan.

"Maaf, Bi."

Kepala Tara menunduk lesu. Langkahnya tidak percaya diri membawanya mengikuti jalannya Bibi Tiwi dari belakang.

"Sekolah ngapain saja, sih? Anak satu-satunya itu ya harus bisa mengharumkan nama orangtua. Wawan saja yang laki-laki bisa dapat peringkat dua."

Beberapa kali terdengar bibinya mendecak kecewa. Ia kembali dibandingkan dengan anak ke-dua bibinya. Tara dinilai kalah kepintaran dengan laki-laki. Padahal, pintar bukan tergantung pada jenis kelamin.

Buliran bening nan hangat meluncur dari kelopak matanya. Lagi-lagi ia menitikkan air mata yang tidak ingin lama-lama segera ia usap dengan punggung tangannya.

Tidak bisa jika Tara tidak marah pada dirinya sendiri. Selama ini Tara sadari jika kemampuannya untuk mengerjakan soal selama ujian tidaklah maksimal. Ia terlalu larut dalam kesedihan hingga semuanya kacau.

Kau bodoh, Ra!

Seharusnya kau belajar yang benar!

Bikin kecewa keluarga!

Tidak bisa diharapkan!

Jiwa lain dalam dirinya juga ikut menyalahkannya. Tangan Tara meremat kuat ujung rapor yang dibawanya. Seruan-seruan menjelekkan dirinya sendiri mulai berkelebatan memenuhi rongga pikirannya. Menyerang sisi Inner child Tara.

Maafkan aku.

• • •

Tara langsung pergi ke ruangan Mamanya sesaat setelah sampai di rumah sakit. Huh, tempat ini menjadi lebih sering Tara kunjungi untuk pulang daripada kediaman keluarganya sendiri. Tapi, karena orang yang amat Tara sayangi tengah dirawat di sini, Tara tidak masalah pergi kemanapun asalkan demi keluarga tercintanya. Meski kenyamanan adalah rumah kediamannya sendiri, lebih aman bagi kesehatan Mamanya untuk diselamatkan di sini.

Tara membuka pintu kamar inap Mamanya yang tidak terkunci. Wanita yang merupakan kunci surganya itu tengah berbaring lemah dalam keadaan mata tertutup. Tidak menyadari datangnya Tara. Kaki gadis itu berlari membawa buku rapor bersamanya. Kakinya membawanya mendekati tubuh sang Mama. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di atas kursi yang berada di samping sana.

Seakan menumpahkan kesedihannya, Tara mendudukkan kepalanya di atas salah satu tangan Estu yang ia genggam erat dengan tangannya. Berkali-kali membisikkan kata maaf dengan aliran air mata yang semakin deras. Semua kesedihan yang ditahannya berhasil menggerogoti kesabaran dan kuat hatinya.

"Maafkan Tara, Ma. Tara belum bisa membahagiakan Mama dan Papa," ucapnya penuh penyesalan diri. Nafasnya tercekat dengan sesenggukan yang mulai membuat suaranya parau. Dia ingin mengulang semuanya kembali. Atau bahkan ingin hal ini tidak pernah terjadi. Ia

Larut dalam kesedihan tidak membuatnya sadar bahwa Estu mulai membuka matanya untuk sadar. "Sayang, k-kamu kenapa?" Pertanyaan Estu menginterupsi tangisan Tara.

Gadis itu terkejut bercampur dengan merutuki kebodohannya sendiri yang membuat Mamanya terjaga. Padahal, Mamanya butuh istirahat yang cukup untuk membantu pemulihan. Tara mengeleng cepat seraya mengusap sisa-sisa air matanya sebagai upaya menghentikan tangisannya. "Tidak apa-apa kok, Ma," dustanya yang mengangkat wajahnya ke atas menghindari kontak mata dengan Estu.

Pada kenyataannya dia memanglah seorang pembohong. Kata-kata seperti 'tidak apa-apa', 'baik-baik saja', 'tidak masalah', dan sebagainya yang sangat berbalik dengan keadaan sesungguhnya sering kali terucap untuk membohongi dirinya sendiri dan orangtuanya.

"Katakanlah, Nak. Ceritakan pada Mama," pinta wanita itu yang berganti menggenggam tangan anaknya. Salah satu tangannya terangkat menyisirkan jemarinya menyela-nyela rambut Tara.

Tara terdiam ragu menentukan keputusannya. Ia tidak ingin menambah beban untuk Mamanya, tapi dia juga butuh tempat untuk membagi masalahnya. Siapa lagi jika bukan sang Mama yang selalu ada?

"Aku... Aku minta maaf, karena telah mengecewakan Mama sama Papa." Setidaknya memulai dengan kata maaf bisa mengurangi sedikit sesak di hatinya.

"Kenapa Tara bisa memiliki pemikiran seperti itu." Meskipun Estu menggunakan suara lembut dalam pembicaraan mereka, ada keseriusan untuk mencari jalan tengah dari permasalahan mereka.

"Tara... Tara tidak bisa berada di posisi tiga besar, Ma. Tara hanya mendapatkan peringkat ke-sebelas." Air mata Tara kembali tumpah tidak membuatnya berani menatap wajah Mamanya.

Tangan Estu lah yang meraih wajahnya agar tetap berhubungan kontak mata. Bicara dengan tatapan mata terasa lebih jujur. "Tara sedih dengan hal itu?" Tanya Mamanya yang menelisik kejujuran lewat mata Tara.

"Tara sudah mengecewakan Mama sama Papa." Dia tidak bisa secara langsung mengatakan bagaimana perasaannya sekarang ini. Ia menjawab dengan alasan mengapa ia merasa seperti itu.

"Siapa yang bilang begitu? Tara tetaplah menjadi kebanggaan Mama dan Papa apapun keadaannya. Kami bahagia memilikimu, Nak. Jika, karena peringkat kamu berpikir Mama akan kecewa, Mama tidak bisa kecewa. Kasih sayang kami bukan berdasarkan nilai belaka, Sayang. Mama cuma pengen pendidikan terbaik buat kemajuan kehidupan Tara, Mama dukung itu. Bukan Tara harus berada di posisi manapun. Kamu tetap nomor satu di hati kami apapun yang keadaannya, Nak," tutur Estu dengan kesungguhannya.

Tara masih mendengarkan kalimat selanjutnya yang akan Mamanya keluarkan. Sungguh, ini membuatnya lebih baik dan sangat beruntung karena bisa memiliki penjelasan dari Mamanya.

"Kamu akan membuat kami kecewa, jika kamu melakukan banyak hal dosa atau kejahatan. Kami hanya berharap kamu hidup dengan baik sesuai dengan didikan kami dan pemikiran yang baik, Nak. Kami ingin kamu selalu menjadi pribadi yang bertanggungjawab atas dirimu sendiri," imbuh Estu mencoba untuk memberikan pengertian kepada putrinya.

"Terimakasih sudah menjadi orangtua Tara, Ma. Aku sayang sama Mama," ungkap Tara bersama air mata yang pecah. Gadis itu menangis bukan lagi karena sedih, namun rasa haru dalam dirinya tidak lagi terbelenggu. Hati siapa yang tidak tersentuh dengan ketulusan hati seorang Ibu?

"Sudah seharusnya, Tara. Kamu jangan lagi merasa tidak berharga, ya. Kamu itu kesayangan kami apapun kondisinya. Jangan bersedih lagi."

Siapa sangka tempat seperti rumah sakit mampu menjadi latar bisu cerita penuh haru biru sebuah hubungan. Tara tidak bisa berjanji untuk tidak ada kesedihan lagi dalam hidupnya, itu semua kehendak Tuhan yang menciptakan takdir. Namun, ia akan berusaha menjadi kuat demi kehidupan yang lebih baik.

"Sayang, andai kata Mama tidak bisa menemani kami sampai akhir, Mama berharap kamu selalu lurus dalam menjalani kehidupan, ya. Jangan patah semangat."

"Mama jangan berpikiran yang macam-macam. Pokoknya Mama harus sembuh."

Tara tidak menyukai pembahasan ini. Dimana kematian selalu mengikuti kehidupan tanpa rasa lelah dan tanpa memandang waktu maupun tempat akan terjadi. Tara membenci sebuah perpisahan.

"Mama akan berusaha untuk itu, Nak. Tapi, Mama sudah berserah diri kepada Tuhan. Seandainya Mama nanti tiada, Mama harap Tara tidak akan menyalahkan siapapun apalagi takdir untuk itu. Tuhan sudah menciptakan takdir terbaik untuk Mama, Nak. Tara harus tetap jadi anak yang berbakti dan menyayangi Papa. Selalu di sisi Papa dan menguatkannya. Jaga diri Tara baik-baik, ya." Suara parau Estu berat bertutur kata.

Setidaknya ia sempat memberikan salam perpisahan jikalau nanti takdir berkata ia harus meninggalkan. Dia tidak tahu apa yang harus terjadi nanti, tapi dia yakin bahwa semua sudah direncanakan pada waktunya.

"Ma..." Tara ingin menghentikan perkataan meracau Mamanya.

"Apapun yang terjadi nanti, Tara harus kuat. Serahkan semua kepada Tuhan. Jangan pernah membenci orang lain atau diri sendiri, Nak. Jangan durhaka sama Papa. Ketahuilah bahwa kami mencintaimu dengan sangat."

"I Love You, Mom!" Tara menghamburkan tubuhnya untuk memeluk tubuh Mamanya. Menjatuhkan banyak air mata membasahi baju hangat Mamanya. Ia tidak cukup kuasa untuk menghentikan takdir. Ia juga tidak bisa mampu menjanjikan dirinya agar tetap baik-baik saja.

Pelukan erat menyalurkan kehangatan seolah Tara enggan melepaskan Mamanya untuk pergi. Dua orang yang mengalami kesulitan dalam pilihan takdir. Antara kuat mengikhlaskan atau sakit memaksakan.

• • •

Pukul 22.07 WIB.

Waktu dimana semua orang dianjurkan untuk mengistirahatkan fisiknya. Di ruangan kamar perawatan menampung nyawa dan raga Estu, wanita itu memejamkan matanya meski alam bawah sadarnya tidak kunjung terlelap. Lampu di ruangan itu sudah dimatikan. Sesekali tubuhnya bergerak menyamakan posisi tidur. Bagaimana bisa dia merasa nyaman saat tubuhnya terasa sakit semua? Dibebankan dengan pikiran yang berseliweran memenuhi otaknya.

Di sofa yang ada di ruangan itu ia dapat melihat anaknya tidur meringkuk. Tatapannya nanar memikirkan betapa tidak nyamannya tidur di sofa sedangkan tubuhnya terlalu besar. Bibi Tiwi beserta Jauhari sudah pulang sedari tadi ke kediaman Beatrice. Mereka menempati rumah itu pada malam hari. Perlu juga untuk tetap menjaga tempat tinggal agar tetap nyaman saat pulang.

"Kamu belum tidur?" Estu menoleh ke sampingnya. Netranya menangkap profil suaminya yang dari tadi mengistirahatkan tubuh dengan duduk di samping tempat tidur Estu.

Wanita itu menggeleng pelan sembari melemparkan senyum tipis. "Belum bisa tidur, Mas."

Hubungan mereka begitu adanya. Estu mengalihkan pikirannya dari permasalahan yang menimpa keluarganya demi berjuang untuk kesembuhan dirinya. Biarlah ia menikmati saat-saat dimana seluruh perhatian keluarganya tertuju untuknya.

Hendra menegakkan posisi tubuhnya. Tatapan dalam is kirim untuk mengunci tatapan redup istrinya. "Sudah malam, lho. Kenapa belum tidur, eum? Ada pikiran yang mengganggu mu?"

Usapan halus di tangannya menenangkan batin Estu. "Aku takut, Mas." Pada diri siapa selain pasangan hidupnya kini Estu harus membagi perasaannya? Peran penting Hendra dalam kehidupannya menyalakan lampu keamanan dan kenyamanan baginya. Tidak ada masalah bisa terselesaikan jika terus menghindar.

"Apa itu tentang operasi besok?" Tanya Hendra menebak isi pikiran istrinya.

Estu mengangguk lemah menghadirkan bayangan campur aduk tentang hari esok.

"Apapun yang terjadi nanti, ada aku di sisi mu. Aku tahu kau kuat. Aku akan menemani perjuanganmu. Mau 'kan kamu berjuang untuk sembuh?"

Hati Tara menghangat mendengarnya. Berbicara dengan suaminya mampu menumbuhkan semangat untuk kehidupannya.

"Aku akan berjuang semampu ku, Mas."

"Maafkan aku ya, Sayang. Aku tidak bisa menjagamu dengan baik. Aku tidak mampu membahagiakan mu selama ini. Aku gagal menjadi sosok kepala keluarga. Aku tidak bisa jadi Papa yang baik buat anak kita. Aku tidak bisa menjadi suami yang baik. Aku sudah menyakitimu. Aku yang seharusnya menanggung penderitaan ini, Es. Kamu begini karena aku." Penyesalan teramat besar menggerayangi batin Hendra.

Pria dewasa itu bahkan menitikkan air matanya membasahi kerasnya penyesalan dan kesalahan dalam hidupnya.

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Mas. Kamu sosok pria terbaik selain Ayahku yang pernah aku kenal selama hidup ku. Aku bahagia hidup denganmu. Bahagia memiliki cerita hidup bersamamu. Begitupun anak kita yang bangga memiliki mu sebagai Papanya yang bisa mencintai keluarganya. Kamu sosok kepala keluarga yang baik, Mas. Semua masalah yang hadir di antara kita memang sudah takdirnya. Tiada hidup tanpa masalah, Mas." Sesak haru pilu membelenggu hati Estu. Cintanya yang teramat dalam kepada suaminya itu tidak pernah berubah.

"Aku mencintaimu, Es. Sangat mencintaimu. Maafkan aku." Hendra bahkan tidak peduli jika orang mengatakan hal buruk tentangnya sebagai pria yang menangis tersedu-sedu. Ia hanya menggunakan haknya sebagai manusia yang membutuhkan air matanya untuk membersihkan kesedihannya.

"Aku tahu, Mas. Aku tahu. Cintamu tidak pernah hilang untukku dan Tara. Begitu juga kami. Terimakasih banyak sudah mau bersamaku selama ini. Aku tidak masalah jikalau nantinya ada wanita lain yang mengisi hatimu setelah ini."

Hendra sadar jika pembicaraan mereka semakin menembus topik yang sensitif. Sebelumnya, keduanya memang memiliki kebiasaan untuk melakukan Pillow talk sebelum tidur. Saling bertukar curhatan dan mengenang masa-masa indah bersama. Semua itu terasa beda saat di rumah sakit ini.

"Jangan katakan itu, Es. Aku akan melakukan apapun untukmu agar aku segera sembuh. Aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu, Mas."

Selanjutnya, bibir keduanya bertaut melibatkan air mata terus mengalir jatuh. Hendra mencium lembut bibir Estu penuh cinta tanpa adanya paksa. Menyalurkan seluruh perasaannya untuk wanita itu.

Ada getaran yang sama mendebarkan seperti ciuman mereka sebelumnya. Sekelebat ingatan sakral dimana mereka mengucapkan janji untuk bersama dihadapan Tuhan dan para saksi hadir memperdalam momen mereka. Kisah cinta pernikahan mereka yang lebih suka duka bersama. Hendra ingin selalu menggenggamnya dalam keadaan apapun.

• • •

Pagi harinya Tara terlebih dahulu terbangun di antara keluarganya yang berada di dalam kamar itu. Hatinya berdesir halus melihat pemandangan kedua orang tuanya yang tertidur saling menggenggam tangan. Kepala Papanya ditaruh di atas sisi brankar, sedangkan tubuhnya tetap dalam posisi duduk.

Gadis itu berjalan mendekat setelah melakukan peregangan pada otot-ototnya yang kaku. Tidur dengan posisi menekuk di sofa sangatlah menyiksa keleluasaan tubuhnya.

Gadis itu mendekati tubuh Mamanya dari sisi lain secara perlahan menghindari gerakan yang bisa membangunkan Papanya. Di usapnya dahi Mamanya yang terasa dingin di permukaan tangannya.

Dingin?

Bukannya semalam Tara masih ingat betul betapa hangat suhu tubuh Mamanya? Gadis itu juga menyentuhkan kulit tangannya pada bagian lain tubuh Estu untuk memastikan satu hal. Telapak tangan lemah Mamanya juga kakinya dingin. Dipandanginya wajah Estu yang juga pucat. Bibirnya terkatup rapat. Tara mendekatkan telinganya ke dada sang Mama.

Jantung Tara seakan berhenti berdetak saat tidak mendapati suara kinerja apapun dari organ peredaran darah itu. Tara tidak merasakan adanya detak kehidupan pada dirinya. Gadis itu menggeleng keras menyingkirkan pemikiran buruknya. Satu jarinya tergerak menempel pada lubang hidung Mamanya. Tidak ada hembusan karbondioksida yang keluar dari sana. Mamanya berhenti bernafas.

Tara memundurkan tubuhnya dua langkah. Kedua tangannya membekap mulutnya sendiri menahan teriakan untuk tidak keluar. Kepalanya menggeleng cepat menolak penyimpulannya sendiri. Air mata lolos dengan derasnya membahasi pipinya. Ia tidak bodoh untuk mengetahui apa yang tengah terjadi pada tubuh Mamanya.

"Ma... Bangun, Ma!" Tidak ada reaksi dari tubuh Mamanya.

Dengan kalut, Tara menggoyang-goyangkan tubuh Mamanya yang seakan tidak terganggu dengan tindakan Tara. "Ma, Bangun! Bangun, Ma!"

Hendra yang kemudian bangun merespon kebisingan yang anaknya timbulkan. Betapa terkejutnya dia ketika mendapati anaknya menangis dan berteriak. "Ada apa, Sayang? Kamu kenapa?" Tanya Hendra yang masih bingung dengan keadaan.

"Mama, Pa... Mama sudah pergi, Pa," lirih gadis itu disusul tangisan menjadi-jadi. Hendra merasakan sekitarnya tampak berputar. Pikirannya kosong seketika. Ludah pahit berusaha ia telan. Apa yang kau rasakan saat bangun tidur dan mendapati seorang yang kau cintai merenggangkan nyawa?

• • •

TBC🐢

Ada yang nyangka kalau kejadiannya bakal begini?

Aku nggak tahu  kenapa harus nulis yang nyesek gini, tapi udah jalan ceritanya begini, gengs.

Maafkan daku kalau ada yang kecewa. Memang sedikit cepat, guys. Soalnya aku juga bakalan sibuk sama dunia sekolah ku lagi. Nggak janji bisa update cepet☺

Jangan lupa untuk voment, ya. Kalau nangis boleh, kok.

See you!

Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 261K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
707K 15.8K 7
Arjuna menikahi Ana atas perintah sang kakek, sekaligus melindungi hubungannya dengan Rena yang merupakan saudara tirinya. Namun, siapa sangka jika t...
10.9K 944 38
"Tapi, Ko, daripada itu ... apa kamu gak mau masuk ke kehidupan Valerie dan jadi penyembuh luka Valerie?" "Aku berpikir begitu, sempat, tapi aku berp...
2.2M 130K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...