Sagara [Revisi]

By aistheticc

35.3K 4.5K 927

Sagara pernah bilang, katanya dia tidak membenci takdir yang sudah meluluhlantakkan perasaannya. Hanya saja... More

Intro
Sagara-1
Sagara-2
Sagara-3
Sagara-4
Sagara-5
Sagara-6
Sagara-7
Sagara-8
Sagara-9
Sagara-10
Sagara-11
Sagara-12
Sagara-13
Sagara-14
Sagara-15
Sagara-16
Sagara-17
Sagara-19
Sagara-20
Sagara-21
Sagara-22
Sagara-23
Sagara-24
Sagara-25
Sagara-26
Sagara-27
Sagara-28

Sagara-18

875 153 19
By aistheticc

◇◇◇

Alunan musik jazz sore itu seakan mengiringi langkah Saga. Ia berjalan menuju lantai atas sebuah cafe yang menjadi tempat ia mencari uang tambahan selama 2 tahun belakangan ini. Ada sejumput rasa keraguan dalam benaknya. Meski begitu, Saga tetap memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Eza secara perlahan.

"Masuk." Eza menyahuti dari dalam.

Saga menghela napas, guna menetralkan rasa gugup yang sedari tadi menguasai dirinya.

"Eh Ga, kamu ternyata." Eza menyahut saat tahu siapa yang baru saja datang ke ruangannya.

"Iya Kang, maaf baru dateng lagi."

Eza menutup laptop, lalu menghampiri Saga yang berdiri di samping sofa. Pria itu pun menyuruh salah satu karyawannya itu untuk duduk, seiring dengan dirinya yang juga ikut menjatuhkan diri diatas benda empuk tersebut.

"Empat hari kamu teu aya kabar, ka mana wae atuh kasep?"

Dari pertanyaan Eza, Saga paham kalau bosnya itu, mungkin sedikit jengkel, sebab dirinya yang tak bertanggung jawab atas pekerjaannya selama beberapa hari ini. Percayalah, sebaik-baiknya seorang Eza, dia juga termasuk ke dalam jajaran orang yang memiliki sifat perfeksionis.

"Maaf Kang, kemaren Saga sakit sampe harus di rawat. Saga juga minta maaf, karena nggak ngasih kabar."

Eza mengangguk paham. "Kambuh lagi, Ga? Sekarang masih sakit?" Sedikit banyak, Eza paham betul bagaimana kondisi Saga. Baik itu kesehatan, finansial, bahkan keluarganya yang retak.

"Udah mendingan, Kang. Alhamdulilah."

"Oh syukur atuh. Tapi Ga, lain kali kalo saya telepon teh diangkat. Takutnya ada apa-apa, khawatir saya teh."

Saga tersenyum kikuk. Baru kali ini ada yang mengakatakan khawatir padanya secara gamblang, selain Indah. Mereka memang sedekat itu. Bahkan tak jarang kedekatan mereka menimbulkan kecemburuan bagi karyawan lain. Eza itu anak tunggal, karenanya saat melihat Saga 2 tahun lalu, ia merasa bahwa ia menemukan sosok adik dalam diri Saga.

Kala itu, di saat adzan maghrib hendak berkumandang, Eza justru kehabisan bahan bakar di sebuah jalan yang lumayan sepi. Beruntung Saga yang baru pulang sekolah melewati jalan tersebut. Melihat seseorang kesulitan, tentu saja ia tak tinggal diam. Ia pun membantunya membelikan bensin. Setelahnya mereka menunaikan solat maghrib bersama di mushola yang letaknya tak jauh dari sana. Dari situlah keduanya dekat, hingga Saga meminta bantuan agar Eza mempekerjakannya di cafe milik pria tersebut.

"Tapi Kang, Saga kayaknya mau resign aja."

Eza membulatkan matanya. "Lah, kunaon?" tanyanya. Ia tak menyangka kalau Saga akan mengundurkan diri secepat itu. Eza tak mau kehilangan karyawan rasa adik seperti Saga. Bukan tanpa alasan Eza menyukai Saga, cara kerja anak itu cukup memuaskan, ditambah sikapnya yang ramah, juga visualnya yang mendukung. Eza akui, sejak adanya Saga, cafe jadi sedikit lebih ramai. Terutama di saat weekend, banyak para remaja terutama gadis-gadis yang berkunjung ke sana.

"Ya, mau gimana lagi Kang, kesehatan lebih penting kan?"

Eza menghela napas berat. Sebenarnya ia tak rela, tetapi ia tidak bersikap egois. Tidak mungkin ia menahan Saga hanya demi kepentingannya sendiri. Maka dengan berat hati, Eza pun mengangguk seraya tersenyum hangat. Ia pun bangkit, lantas menepuk pundak Saga.

"Makanya jaga kesehatan. Sehat teh mahal, nanti mah main aja ke sini jangan malu-malu, bawa kabogoh."

Saga tertawa mendengarnya. Jangankan pacaran, dekat dengan perempuan saja malah terancam berjauhan sekarang. Entahlah, mengingat itu jelas membuat ia merasa down.

Setelahnya hening, Eza terdiam cukup lama seolah sedang menimang sesuatu. Sampai beberapa menit terlewati begitu saja, ia akhirnya bangkit lalu berjalan menuju mejanya. Entah apa yang sedang ia lakukan di balik meja sana. Saga hanya diam dan menatap objek lain yang berada di dinding. Seperti potret pernikahan Eza dengan istrinya beberapa bulan lalu, atau saat Eza bersama semua karyawannya. Tak lama, Eza kembali duduk bersebelahan dengan Saga, membuat anak itu terkejut dan mengalihkan pandangan dari dinding kepada bosnya itu.

"Ini gaji kamu Ga, dipake sebaik mungkin, ya?" kata Eza seraya memberikan sebuah amplop putih yang agak tebal itu. Tak lupa memberikan senyuman khasnya.

Saga yang kebingungan pun justru terdiam. Ia menatap amplop itu lamat-lamat hingga ia meraihnya dan melihat isinya. Kemudian Saga kembali menatap Eza penuh tanda tanya. Ia rasa gajinya tak sebanyak itu. "Ini mah kayaknya kebanyakan Kang, bulan ini kan, Saga cuma masuk kerja beberapa hari aja." Rasanya tak enak menerima upah, tetapi tidak sesuai dengan apa yang ia kerjakan.

Eza terkekeh kecil. Ia paham kalau Saga merasa tak enak. Namun seperti yang Eza tahu, bahwa finansial Saga sedikit buruk. Karena itu, gajinya kali ini bukan semata-mata hanya upah. Melainkan sebagai bentuk rasa syukur, sebab Eza masih memiliki kehidupan yang bisa dibilang sangat cukup. Eza hanya ingin membantu, walau sedikit.

"Enggak atuh Ga, itu gaji kamu sama bonus. Buat beli obat, atau buat beli kebutuhan sekolah. Pokoknya buat apa waelah yang penting kebutuhan kamu."

Salah satu sifat Eza yang sangat Saga sukai adalah kemurahan hatinya. Sekali lagi, Saga bersyukur bisa dipertemukan dengan orang sebaik Eza. Meski terkadang, Saga selalu merasa sungkan, sebab ia belum tentu bisa membalas budi baiknya Eza.

"Ya udah atuh, mending sekarang mah kamu pulang ke rumah terus istirahat."

"Wah ... ceritanya Akang ngusir Saga, nih?" candanya yang dibalas tawa ringan oleh Eza.

"Lain kitu eh, itu muka kamu udah pucet gitu. Pulang sekolah bukannya ke rumah, malah apél dulu ke sini."

"Hahah bisa aja si Akang. Hatur nuhun pisan ya, Kang. Mudah-mudahan rezeki Akang lancar terus, maaf kalau selama Saga kerja belum ngasih yang terbaik."

"Ngomong naon sih Ga? Udah, nggak usah ngerasa begitu. Makanya saya kasih bonus juga, artinya kerja kamu bagus."

Saga tertawa kecil, kemudian pamit dari hadapan Eza, juga teman kerjanya yang lain.

Setelah meninggalkan cafe, Saga mengendarai motornya dengan pikiran yang bercabang. Sepertinya ia harus menemui Nadine dan juga Dewa terlebih dahulu, guna meluruskan hubungan mereka. Rasanya Saga tidak akan bisa tenang, sebelum ia menerima maaf dari kedua orang tersebut. Hanya saja mengingat emosi Dewa yang sulit terkontrol, ia jadi khawatir kalau Dewa akan kembali nekat untuk menyakitinya. Maka dari itu, Saga memilih untuk menemui Nadine terlebih dahulu. Lagi pula Saga belum siap untuj meninggalkan dunia, bila bertemu Dewa dengan nyawa sebagai taruhannya.

Di sinilah Saga sekarang —— rumah Nadine—— tepatnya di depan pintu masuk. Tangannya sudah terangkat, hendak mengetuk pintu. Namun ternyata, pintu itu langsung terbuka dari dalam. Menampilkan sosok anak SMP dengan wajah bantalnya.

"Ngapain A?" tanya Aditya sedikit sinis. Hal itu membuat Saga semakin merasa tak nyaman. Aditya pasti kecewa padanya, sebab ia sudah melanggar janji. Janji untuk tidak membuat air mata Nadine tumpah.

"Assalamualaikum Dit, Nadinenya ada?"

"Waalaikumsalam. Masuk aja," katanya singkat seraya memasuki rumahnya, diikuti Saga dari belakang.

Di saat Aditya berjalan menuju kamar sang kakak, Saga hanya berdiri di ruang tamu. Tak ada niatan untuk duduk, karena sumpah demi apapun rasanya menjadi secanggung ini. Padahal beberapa hari ke belakang, Aditya pasti akan menyambut kedatangannya dengan senyuman manis, hingga membuat Saga gemas.

Tak lama Aditya pun kembali, seorang diri.

"Teh Nananya lagi enggak mau diganggu A. Ke sini lain kali aja."

Saga terdiam sejenak sebelum akhirnya ia menatap Aditya lamat-lamat. "Kalau gitu, ngomong sama kamu aja Dit, nanti kamu sampaikan ke Nana. Bisa?"

Dengan berat hati, Aditya mengangguk. Kemudian mempersilakan Saga untuk duduk, pun dengan dirinya yang juga menduduki sofa berwarna abu tua tersebut. "Mau ngomongin apaan gitu A? Jujur nih, Adit juga ngerasa kecewa banget sama A Saga. Masa pulang-pulang si Teteh mukanya jadi aneh gara-gara kebanyakan nangis. Untung aja ada Bang Dewa yang nemenin si Teteh, tahu gitu Adit enggak usah biarin si Teteh pergi sama A Saga."

Saga tidak tahu kalau efek ketidak hadirannya kala itu akan membuat dampak sebesar ini. Sampai-sampai, anak sesesusia Adit saja bisa ikut merasakan kecewanya. Apakah ia sejahat itu? Tapi, bukankah ia sudah berkata jujur terkait alasannya?

"Itu semua salah paham Dit, makanya aku ke sini buat ngelurusin itu."

"Iya tahu, tapi yang buat si Teteh kecewa teh bukan karena A Saga yang enggak dateng. Tapi karena chatnya si Teteh cuma dibaca doang. Kalau emang sakit ya, bales kek atuh chatnya, ini mah udah berjam-jam baru bales."

"Yang pegang HP waktu itu Ibu, Dit. Otomatis Ibu juga yang buka chatnya."

Aditya tak bergeming. Ia tidak tahu harus berkata apa. Rasanya alasan Saga benar-benar klise, dan sulit untuk dipercaya. Ya, wajar saja, toh Saga tampan. Bukankah biasanya cowok-cowok tampan itu buaya? Ah sudahlah, Aditya tidak mengerti akan hal itu. Ia masih SMP, tidak cocok membahas itu dipikirannya.

Saga yang melihat keterdiaman Aditya, pun hanya bisa menghela napas. Sepertinya anak itu tengah menpertimbangkannya. "Kalau aku bilang aku habis operasi saat itu, kamu mau percaya, nggak?"

"Enggak. Lagian, mana ada yang habis operasi masih seger gini. Ya, walaupun kelihatan pucet sih, tapi bisa aja A Saga sekarang lagi capek. Lagian udah mau maghrib."

Sungguh, jika saja yang ada dihadapannya ini bukan Aditya, Saga sudah pasti akan menendang bokongnya. Ia tidak tahu kalau ternyata anak itu bisa semenyebalkan ini.

"Ya udah, A Saga pulang aja, nanti Adit bilangin ke si Teteh."

"Ok, makasih Dit. Assalamualaikum." Saga langsung pergi begitu saja.

Pada dasarnya Aditya itu masihlah bocah, karena setelah kepergian Saga, anak itu nampak merasa bersalah. Wajahnya tertekuk dengan bibir mengerucut. Namun tak lama kemudian, ia menggidikkan bahunya, lantas memainkan game di ponselnya.

Sementara Nadine, gadis itu baru saja keluar dari kamar mandi. Matanya berpencar mencari sosok yang suaranya ia dengar samar-samar. Ia pikir rumahnya sedang kedatangan tamu, tetapi rupanya tidak ada orang lain selain Aditya.

"Dit, barusan ada tamu? Suaranya kedengaran tadi."

Aditya menoleh sekilas kemudian duduk bersandar tanpa menghentikan kegiatannya. "Ada."

"Siapa? Temen kamu?"

"A Saga, tapi udah aku suruh pulang lagi."

Nadine menghela napas berat, kemudian ikut duduk di sofa yang berhadapan dengan sang adik. "Kok nggak disuruh nunggu Teteh, sih?"

Aditya mendengkus kesal lalu menyimpan ponselnya.

"Ya atuh Adit kesel aja, A Saga nggak amanah sih. Ck!"

Nadine terdiam. Saat itu ia memang tak banyak bicara mengenai isi pertemuannya dengan sang ayah, ia belum siap memberitahu Aditya yang sesungguhnya. Sehingga Aditya menyimpulkan bahwa ia menangis karena Saga. Namun sepertinya, sore ini Nadine harus mengatakan semuanya. Memberitahukan Aditya perihal penyebab keretakan rumah tangga kedua orang tuanya.

"Dit, waktu itu bukan Saga yang bikin Teteh nangis, tapi Ayah."

Aditya mengernyitkan dahinya. Setahunya, ayah mereka itu adalah sosok ayah yang lembut dan penyayang. "Enggak usah ngebelain dia coba Teh, Adit tahu Teteh cinta sama A Saga. Tapi enggak gitu juga atuh!"

"Adit! Dengerin Teteh, kamu tahu enggak kenapa Mama sama Ayah sering berantem?"

"Enggak tahu! Dan Adit enggak mau tahu. Udah ah, udah adzan maghrib nih, hayu kita solat," ajaknya seraya berlalu meninggalkan Nadine yang hanya bisa menghela napas frustrasi.

***

Pagi ini, ketika sarapan tengah berlangsung, Indah tak banyak bicara. Ia fokus pada ponsel sambil berdecak kagum. Saga hanya melihatnya sesekali, bergantian dengan bubur yang sedari tadi ia aduk di dalam mangkuk sana.

"Nak, sini coba lihat. Menurut Saga, mana dekorasi yang bagus buat pernikahan Ibu sama Papa Ardian." Indah sampai turun dari kursi dan memperlihatkan beberapa gambar dekorasi pernikahan pada sang anak.

"Yang ini bagus Bu. Enggak neko-neko, tapi aesthetic juga." Saga tersenyum setelah memberi pendapatnya.

"Nah iya bener, Ibu juga tadi mikirnya gitu." Indah kembali duduk di tempatnya semula.

"Sebenernya, Ibu enggak mau pernikahan ini terlalu mewah. Tapi, Ardian sendiri yang maunya begitu. Mungkin malu sama saudara juga rekan-rekannya."

"Enggak apa-apa Bu. Mudah-mudahan ini pernikahan Ibu yang terakhir, jangan sampe gagal lagi ya, Bu."

Indah merasa terharu. "Aamiin."

Indah menatap mangkuk sang anak yang masih terlihat cukup penuh. "Sagara, itu buburnya dihabisin. Kamu makannya sedikit terus dari kemaren, Ibu khawatir kamu sakit lagi, Nak."

"Maaf Bu, tapi Saga udah kenyang.  Saga berangkat sekarng ya,? Kebetulan jaga gerbang."

"Ini kamu bawa, ya? Tadi Ibu siapin roti isi. Kamu kasih kotak yang biru buat Dewa, yang merah ini buat kesayangannya Ibu. Hati-hati dijalan, jangan ngebut bawa motornya." Indah memeluk sambil menciumi pipi Saga meski ia harus berjinjit karena tinggi mereka yang berbeda.

"Iya Bu."

***

Udara segar disertai cuaca yang begitu cerah pagi ini seharusnya bisa membuat Saga lebih bersemangat. Namun nyatanya tidak. Saga yang kini tengah duduk di depan pos satpam sambil menatap kosong ke arah depan, di mana di sana banyak para siswa maupun siswi berdatangan memasuki gerbang.

"Heh jangan ngelamun atuh, masih pagi ini teh kasep," ujar Pak Momon—salah satu satpam sekolah. Ia kemudian menduduki kursi panjang yang juga tengah Saga duduki. Lelaki paruh baya itu menyeruput kopi yang dibawanya. Setelah itu, baru diletakkan di atas meja yang ada di samping kursi tersebut.

"Piket? Ka mana wae atuh jarang kelihatan sekarang mah?"

"Ada Pak. Kemaren kan libur TO. OSIS emang pada ngumpul, tapi saya izin Pak."

Biasanya Saga aktif berbincang dengan para satpam ketika ia sedang piket. Hanya saja, untuk kali ini Saga lebih banyak diam.

"Asa begang euy, kunaon? Nyeri hate?"

(Berasa kurusan gitu, kenapa? Sakit hati?)

"Hahah enggak atuh Pak, cuma capek aja."

"Istirahat atuh kalau capek mah. Jangan suka maksain," kata Pak Momon merasa iba melihat kantung mata Saga juga suara napasnya yang agak berat.

"Maunya sih, gitu Pak. Tapi masih banyak kerjaan, nanti kalau udah santai baru saya istirahat."

Pak Momon menggelengkan kepalanya tak paham. "Nih minum," titahnya seraya memberikan sebotol infused water.

"E-eh tapi ini buat Bapak."

"Lah, saya mah banyak di rumah. Minum wae biar segeran."

Berucap syukur sepertinya adalah yang paling benar. Karena nyatanya, ketika Saga merasa sedih, masih saja ada orang yang berbaik hati padanya, selain sang ibu tentunya.

"Nuhun pisan atuh Pak," ucapnya yang dibalas anggukan kepala oleh Pak Momon.

(Terima kasih)

Tak lama setelah Saga meminum setengah dari botol tersebut, bel masuk pun berbunyi. Waktunya Saga melaksanakan tugas. Ia membantu Pak Momon untuk menutup gerbang. Ada beberapa murid yang terlambat, sekitar enam orang. Kini mereka tengah menerima hukuman dari Saga sebagai syarat agar mereka bisa memasuki kelas.

Kurang lebih sepuluh menit hukuman berlangsung dan kini mereka sudah kembali ke kelasnya masing-masing. Saga menyeka keringatnya yang mengucur di pelipis, padahal ia hanya mengawasi, tetapi tetap saja berkeringat.

"Pak saya ke kelas dulu atuh, ya?"

"Iya sok, belajar yang rajin, nya?" balas Pak Momon seraya menepuk bahu Saga.

Ketika Saga hendak melangkah pergi, tetapi tiba-tiba sebuah motor berhenti di depan gerbang. Si pengemudi yang masih mengenakan helmnya pun turun lalu menggoyangkan gembok yang terpasang di gerbang. Suaranya yang sungguh berisik, membuat atensi Saga teralihkan. Di sana hanya ada Saga karena kebetulah Pak Momon baru saja pergi ke kamar kecil.

"Bukain dong woy! Masa vokalis nggak bisa masuk, ini?" Orang itu Dean, dengan wajah santainya ia berbicara seolah tak memiliki kesalahan.

Saga mendengkus kesal. Kalau bukan karena kakak kelas yang statusnya sudah dibebaskan datang kapan saja, Saga tidak akan mau membukanya.

"Ck, lama amat lo bukainnya kayak siput." Dean mencibir seraya melajukan motornya.

"Mau ke mana Kang? Saya rasa ada yang salah sama penampilannya. Rambutnya panjang, diwarnain lagi, itu seragamnya juga berantakan. Ini kan belom ujian nasional, Akang mana boleh seenaknya gitu. Contohin tuh yang baik, Kang, bukan yang jelek," jelas Saga panjang lebar.

Dean memutar bola matanya. "Beraninya ya, lo ceramahin gue? Emang lo siapa? Cuma OSIS doang balagu. Asal lo tahu aja ya, si Kamal ketuanya aja, gue suruh beli cilok juga dia nurut-nurut aja. Lah maneh?"

Saga menghela napas. Ia tidak suka kalau sudah berurusan dengan kakak kelas semacam Dean, bisa panjang dan berbelit.

"Ya udah, saya minta maaf. Tapi sebagai syarat masuk, Akang push up dulu dua puluh kali. Kasih contoh yang baik buat adik kelasnya, salah atunya mematuhi aturan."

"Heh! Gu–" Dean yang hendak protes pun tak jadi sebab Saga keburu memotong perkataannya.

"Atau Akang mau saya sebarin video aibnya? Akang tahu kan saya saudaranya Lintang? Bisa aja saya minta video Akang yang lagi nahan kentut atau berak." Saga berucap dengan raut wajahnya yang datar.

Dean melototkan matanya sambil berdecak kesal. Maka mau tidak mau ia pun menuruti Saga. Ia lempar tasnya kepada Saga lalu memulai push-upnya.

"Lo kurang ajar ya, sama gue. Lo pikir gue bakal diem aja? Walau pun lo saudara si Lintang, gue tetep bakal bikin perhitungan sama lo!"

"Silakan Kang, saya enggak takut. Lagian saya enggak sedekat itu sampe bisa minta video orang."

"Si an*ing sialan! Lo ngerjain gue!" Dean bangkit lalu menatap Saga sengit. Saga sendiri hanya menampilkan senyum tipisnya.

"Makanya Kang, patuhi aturan yang ada."

Dean mendengkus kasar, ia meraih tasnya lalu meninggalkan Saga dengan motornya yang ia kendarai menuju parkiran. Saga menatap kepergian Dean. Tak lama kemudian, ia pun bergegas menuju kelas.

***

Tak ada yang istimewa di hari itu, sampai Dewa menolak kotak makan yang Saga berikan saat jam istirahat kala itu. Suasana kelas sedang sepi karena siswa dan siswi lainya sudah berhamburan keluar kelas. Tersisa Saga saja dan Dewa di sana. Melihat Dewa yang hendak pergi juga, Saga segera menahannya untuk memberikan sebuah kotak bekal.

Dewa hanya menatap sinis pada kotak tersebut. "Lo makan aja sendiri. Mana tahu isinya ada pelet biar gue mau nerima lo sama Ibu lo itu."

Saga yang mendengarnya pun naik pitam. Selama ini ia diam bukan berarti menerima saja. Saga mengapalkan tangan lalu mendorong Dewa cukup keras, hingga Dewa mundur beberapa langkah ke belakang.

"Gue masih terima lo benci gue Dew, tapi kalau sampe berpikir aneh-aneh tentang Ibu, gue jelas enggak terima! Apa salahnya lo hargai usaha Ibu gue buat jadi orang tua yang baik buat lo?! Sesusah itu, hah?!"

Dewa tersenyum remeh sebelum akhirnya ia berteriak lantang. "Gue cuma muak punya saudara tiri kayak lo Sagara!!"

"Apa alasan lo benci gue?! Salah apa gue sama lo, hah?! Lo pikir gue terima gitu aja pernikahan orang tua kita? Enggak! Gue masih berharap kalau Ibu rujuk lagi sama Bapak, bukan sama bokap lo!"

Napas Saga tidak beraturan sebab emosi menguasai dirinya. Tak ingin terjadi keributan labih dari itu, Saga pun pergi meninggalkan Dewa sendirian di kelas. Sorot matanya tajam, tetapi menyiratkan luka. Terlihat dari netranya yang berkaca-kaca dan nyaris meneteskan air mata, tetapi tetap ia pertahankan agar tak jatuh.

Entah sadar atau tidak, tetapi Saga baru saja melewati seseorang yang terpaku di balik pintu—Nadine. Ia yang hendak memasuki kelas karena dompetnya yang tertinggal, pun dibuat bungkam dan terpaku saat mendengar teriakan demi teriakan kedua orang itu yang saling bersahutan.

"Dew, kamu ...." ucapnya saat melihat Dewa yang keluar kelas setelah beberapa saat Saga pergi.

"Bokap gue sama nyokapnya Saga mau nikah Din." Hanya itu yang mampu Dewa katakan.

Nadine tahu ini tidak ada hubungannya dengan dirinya. Namun entah mengapa ia justru ikut merasakan apa yang Saga dan Dewa rasakan. Perihnya luka mereka, seolah ikut menggores sisi hati Nadine.

◇◇◇

(Aku lagi bucin Sunghoon, please kasih tahu aku kenapa dia bisa ganteng banget🤩🤩)

Continue Reading

You'll Also Like

50.1K 4.6K 14
[ Family, Brothership, Angst ] Ini kisah tentang Juna, Bintang dan Abim. Tiga bersaudara dengan karakter yang berbeda, tetapi saling menyayangi satu...
61.3K 3.2K 8
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
16.9K 1.3K 19
[Completed] Kalau kamu mencari kisah romantis yang menakjubkan, mungkin tidak seharusnya kamu membaca kisah ini. Karena kisah ini adalah kisah klisé...
11.9K 1.8K 16
Blurb: Semesta tak pernah berkhianat. Apa yang mereka sembunyikan, perlahan akan terkuak. Seerat apapun mereka menggegenggamnya, rahasia itu pasti te...