Setelah shalat isya, Hanna memutuskan untuk berdiam diri di kamarnya. Dia membaca pesan dari Selly—kakaknya, meminta maaf karena tak bisa datang menengok Hanna, karena Aisyah— sang keponakan sedang sakit dan dirawat. Bahkan Sri—ibunya juga kembali ke Tanggerang kemarin. Suara nada dering ponselnya
Tiba-tiba layar ponselnya berubah menandakan ada yang meneleponnya. Nama Ayu yang tertera pada layar. Hanna mengangkat teleponnya.
"Assalamu'alaikum Han," suara Ayu terdengar.
"Wa'alaikumsalam, yu.." balas Hanna.
"Aku denger dari Jihan, kamu udah pulang dari rumah sakit?"
"Iya, tadi siang."
"Tapi kamu udah sehat kan? Bukan karena maksa untuk pulang?" Curiga Ayu.
"Aku sehat, yu.. kok kamu nuduh aku gitu sih.."
"Alhamdulillah, kalau kamu sehat.. aku gak nuduh kok.. cuma curiga aja, karena sebelumnya kamu itu suka maksa untuk pulang."
Hanna berpikir sejenak dan dia membenarkan perkataan Ayu itu. "Iya.. tapi sekarang aku gak maksa.. emang udah waktunya untuk pulang."
"Bayi kamu udah mau ASI kamu?" Tanya Ayu yang sudah tahu perkara, kalau Maryam tak mau minum ASI darinya.
"Belum.. Maryam nolak terus. Dia lebih suka kalau Wida yang menyusuinya.."
"Pasti kamu cemburu sama wanita yang bernama Wida itu," kata Ayu.
"Hmm... iya mungkin.." akui Hanna.
"Aku juga pasti cemburu kalau diposisi kamu, tapi coba kamu lebih sering dekat dengan Maryam dan memberikan ASI kamu meskipun dia gak mau."
"Iya.." lesu Hanna.
"Insya Allah. Kamu pasti bisa, Hanna. Semangat!"
"Terima kasih Ayu. Hadi udah tidur?" Tanya Hanna menanyakan anak kedua Ayu.
"Belum. Umar lagi becandain adiknya itu.." jawab Ayu.
Jujur Hanna sedikit iri dengan kehidupan pernikahan sahabatnya itu. "Yu," panggil Hanna.
"Ada apa?"
"Aku takut.." lirih Hanna.
"Takut kenapa?"
"Entahlah.."
"Jangan takut, ada Allah. Berdo'a dan minta perlindungannya, Han.." peringat Ayu. Sahabatnya itu memang yang terbaik untuk menasehatinya.
"Iya Yu.. Makasih udah meneleponku.."
"Gak biasanya bilang makasih."
Pintu kamar Hanna terbuka dan mendapatkan Ibu mertuanya masuk ke dalam kamar.
"Udah dulu yah, yu.. Assalamu'alaikum.." kata Hanna, lalu mengakhiri sambungan telepon.
"Mah." Hanna beranjak dari ranjang dan menghampiri ibu mertuanya yang saat ini sedang menggendong Maryam yang sedang tidur.
"Lagi teleponan sama Jinata?" Tanya Sarah.
"Bukan, mah. Sama Ayu.." jawab Hanna.
Sarah pun mengangguk. "Ohya.. Maryam udah tidur. Barusan sudah di susui sama Wida," katanya sambil membaringkan Maryam di atas ranjang.
"Iya, Mah. Makasih, mah."
"Mamah mau tidur juga.. kalau ada apa-apa bangunin Mamah aja."
"Oh.. iya Mah.." Hanna hanya mengiyakan. Tapi tak mungkin dia mengganggu tidur ibu mertuanya itu.
Sarah pun keluar dari kamar dan tak lama kemudian ada Fadli yang berdiri di ambang pintu.
"Ummi," panggil Fadli menghampirinya sambil memeluk pinggangnya.
"Fadli kenapa?" Hanna mengelus rambut purtanya itu.
"Fadli ngantuk. Malam ini Fadli tidur sama Ummi yah.."
Hanna melirik ranjangnya, ada Maryam di atasnya. "Ayo kita tidur di kamar Fadli.."
Fadli menggeleng. "Di sini aja."
Hanna pun mengangguk. Hanna mengangkat tubuh Fadli, ternyata sekarang badan Fadli sudah mulai memberat. Hanna membaringkan Fadli di samping Maryam. "Jangan berisik yah.." bisik Hanna.
Fadli mengangguk menurut.
Hanna duduk di samping Fadli dan mengangkat kakinya ke atas ranjang. Dia mengusap kepala Fadli. "Baca do'a dulu sayang. Bismika Allahumma Ahya Wabismika Amut.." kata Hanna dikuti Fadli.
"Ummi," lirih Fadli.
"Hmm?" Sahut Hanna.
"Tante Wida baik yah, kayak Tante Tia," kata Fadli.
Hanna terdiam ketika mendengarnya. "Iya.." dia sedikit tak suka ketika Fadli menyebut Wida dan Tia. "Tidur sayang, tutup matanya.." perintahnya sambil mengelus mata Fadli untuk tidur.
Tak lama kemudian putra sulungnya itu tertidur. Hanna mengecup kening anaknya itu.
______
Mobil Jinata berhenti di perkarangan rumah orang tuanya. Pria itu langsung keluar dari mobil dan melangkah untuk masuk ke dalam rumah. Rumah tak terkunci. Suasana rumah sudah sepi.
Jinata pintu kamarnya dan mendapatkan istri dan anak-anaknya sudah tertidur pulas di atas ranjang. Dia tersenyum kecil melihatnya. Pria itu menyelimuti tubuh istrinya dan Fadli. Lalu memindahkan Maryam ke dalam box bayi yang tepat di samping ranjang. Setelahnya, Jinata masuk ke kamar mandi.
Setelah mandi, Jinata membaringkan tubuhnya di samping Fadli dan tangannya menggenggam tangan Hanna.
____
Suara tangisan mengganggu tidur Jinata. Mata pria itu sedikit terbuka dan melirik jam dinding yang menunjukkan pukul satu. Jinata membalikkan tubuhnya dan melihat ada Hanna yang sedang duduk di sampingnya sambil mencoba menyusui Maryam. "Ummi.." paraunya.
Jinata duduk dan sedikit menggelengkan kepalanya karena merasa pusing. Lalu menyentuh kepala Maryam. "Dari tadi nangisnya?" Tanyanya pada Hanna.
Hanna sedikit mengangguk.
"Kayaknya di laper. Kalau gitu aku akan bangunin Wida dulu.." Jinata turun dari ranjangnya, namun Hanna menahan tangannya.
"Jangan bangunin Wida. Aku bisa menyusui Maryam, bi.." tegas Hanna.
Jinata sedikit tersenyum, karena Hanna masih mau mencoba untuk menyusui anak mereka. Karena sebelumnya Hanna bilang, dia tak mau untuk mencoba lagi menyusui Maryam. "Ya.."
Pria itu duduk di samping Hanna. Dia mengelus rambut putrinya itu. Mencoba membantu untuk menenangkannya.
Terlihat ukiran senyuman pada bibir istrinya ketika Maryam mau menyedot ASI dari istrinya itu. Tak lama bayi mungil itu langsung tertidur. Hanna langsung menyimpan Maryam di dalam box bayi.
Jinata memeluk Hanna dari belakang. "Kamu berhasil Ummi.." bisiknya.
Hanna melepaskan tangan Jinata dari pinggangnya. Lalu berbalik menghadap pria itu. Mata Hanna menatap sang suami, membuat Jinata sedikit menyeritkan dahinya.
"Kenapa?"
"Karena aku sudah berhasil. Berarti besok Wida akan pergi dari rumah ini, kan?" Tanya Hanna tiba-tiba.
"Apa?"
"Wida, dia bisa pergi, bi.. Maryam sudah gak butuh dia lagi," jelas Hanna.
"Ummi. Gak enak kalau kita mengusir dia.."
"Aku gak ngusir kok!" Nada suara Hanna meninggi. Wanita itu melangkah dan langsung berbaring di samping Fadli.
Jinata menghela nafasnya dan melangkah mendekati istrinya itu. "Mamah yang nyuruh Wida tinggal di sini, bukan aku.." ujarnya.
"Aku tahu Abi senang ada wanita cantik di sini.." sindir Hanna.
"Hanna!"
Hanna membuka matanya. "Bisakah Abi tidak mengganggu? Aku mau tidur," dingin Hanna sambil membelakangi suaminya.
Jinata yang kesal langsung beranjak dari ranjang.
"Abi mau ke mana?" Tanya Hanna.
"Mau shalat tahajud dan kembali berdo'a agar istriku tidak curiga dan menuduhku lagi," jawab Jinata membalas sindiran Hanna tadi.
"Aku gak curiga dan gak nuduh," bantah Hanna.
"Benarkah? Kalau nggak.. berarti Ummi cemburu dengan Wida?"
Hanna terdiam sejenak. "Gak. Untuk apa cemburu.."
"Ya sudah. Terus kenapa kamu bersikap seperti ini?"
"Ishh.. masih dini hari sudah ngajak ribut."
Jinata tertegun dan mengedipkan matanya. Bukankah Hanna yang memulainya? Jinata baru tersadar, kalau emosi istrinya itu sedang tidak stabil. Oke, dia harus mengerti itu.
"Ya.. terserah Ummi saja. Aku mau shalat dulu," kata Jinata dengan tenang.
_____
.
Ceritanya gak rame yahh.. ?? 😔 aku tau kok.. pasti pada nggak mau baca lanjutannya lagi kan? .. hehe.. ya udah gak papa.. 🙂🙂 terima kasih sudah mau baca ceritanya dari awal sampai part ini. Apalagi yang vote sama comment. Makasih banget...