TAURUS

By OneDream_id

26.1K 2.7K 689

OneDream_id : TAURUS A Story by : @nadiaindhmn ••••• Pepatah 'benci jadi cinta' ternyata benar adanya. Terbu... More

PROLOG
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 05
Chapter 06
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 11
QnA
Chapter 12

SPECIAL CHAPTER

1.6K 194 53
By OneDream_id

Hai epribadeh!
Udah lama ya aku nggak update, hehe (tabok aja gapapa T_T)

Terima kasih untuk seribu pengikutnya. Semoga dengan adanya dukungan dari kalian para readers, author-author di sini bisa makin semangat nulis ceritanya, aamiin. Makasih juga karena kalian udah mau dukung kami. Maafin aku yang gak konsisten ini ya, huhu.

Semoga ‘Special Chapter’ ini bisa membuat kalian terhibur.

Happy reading, guys♡

♉♉♉

Bel berbunyi nyaring ke seluruh penjuru sekolah. Para siswa bersorak dalam hati ketika guru pengajar berjalan meninggalkan ruang kelas. Mereka semua dengan segera membereskan buku dan alat tulis yang berserakan di meja.

Berbeda dengan teman-temannya, seorang gadis berambut coklat bergelombang menatap luar jendela dengan malas. Ia mengucek-ucek matanya dan menguap lebar.

“Altea, kalau nguap ditutup dong! Nggak sopan tahu,” protes teman sebangkunya.

“Berisik, ah. Suka-suka gue kali,” balas gadis bernama Altea itu dan menguap lagi setelahnya.

“Lo nggak pulang?”

“Gue ngantuk banget pengen tidur.” Altea merebahkan kepalanya di meja dengan tas sebagai bantalan.

“Tidur di rumah sana. Gue mau balik, nih.”

“Balik tinggal balik, sih, apa susahnya?” sahut Altea malas.

“Yakin nggak mau gue temenin piket?” tanya sahabatnya. “Ya udah gue balik.”

Spontan Altea menenggakkan badannya sambil berteriak, “Eh, Vera tunggu!”

“ Hari ini gue piket? Bukannya besok, ya?” Altea menggaruk leher belakangnya yang tiba-tiba gatal.

Gadis bernama Vera itu menghela napas panjang, mencoba sabar menghadapi sahabatnya yang pelupa. “Besok gigi lo gundul! Lo kan piket hari kamis, sekarang.”

“Oh iya, gue lupa, hehe,”  ucap Altea cengengesan. “Anak yang lain mana? Kok tinggal gue sendiri?”

“Anak perempuan lagi bersihin alat pel, anak laki-laki lagi buang sampah.”

“Terus gue ngapain dong?”

“Angkatin bangku aja.”

Altea cemberut. “Nggak bisa besok aja, ya? Gue malas banget.”

“Ketahuan Gara mampus lo.” Altea mendengkus. Dengan terpaksa ia menaikkan semua bangku ke atas meja.

Altea menoleh ke bangkunya seraya bertanya, “Terus gue harus nga—“

“Lah, si Vera mana?” heran Altea ketika melihat Vera sudah tidak ada di dalam kelas. Baru saja akan mencari sahabatnya di luar kelas, notifikasi di ponsel Altea berbunyi. Di sana terdapat pesan dari Vera yang ternyata sudah pulang duluan karena ada acara keluarga.

Altea melongo menatap layar ponselnya. “Gue pulang sama siapa dong? Dasar Vera jahat!”

Tanpa semangat Altea menyapu seisi kelas dan beranjak pulang sebelum teman-temannya kembali. Altea berjalan pelan menuju gerbang sambil terus berharap masih ada orang yang sekiranya bisa dia ajak pulang bareng.

Seakan doanya terkabul, di tempat parkiran motor Altea melihat seseorang yang ia kenal. Langsung saja ia berlari menghampiri orang itu.

“Hei, boy. Nebeng dong.”

Lelaki yang dipanggil boy itu tak menghiraukan dan malah menatap Altea datar.

“Za, nebeng dong,” pinta Altea pada teman laki-lakinya itu.

“Nggak.”

“Masa lo tega ngebiarin cewek secantik gue pulang sendiri?” Altea mengeluarkan puppy eyes-nya.

Lelaki itu bergidik ngeri. “Jijik gue, pen muntah.”

Altea melotot, “Jahat banget lo sama tetangga sendiri.”

“Bodo.”

“Dih, terserah lah. Gue jalan aja. Tezza pelit!”

Tezza menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Altea yang aneh. “Jadi nebeng nggak?”

Langkah Altea terhenti. Ia berbalik seraya menatap Tezza berbinar. “Beneran gue boleh ikut?”

“Iya.” Altea bersorak dalam hati dan segera naik ke motor Tezza.

“Makasih, Tezza ganteng.”

“Sama-sama, nenek lampir.” Sedetik kemudian Altea tersenyum puas karena sudah bisa menoyor Tezza dengan sekuat tenaga. Sedangkan Tezza, kalian doakan saja semoga dia tidak apa-apa.

♉♉♉

Altea tersenyum menatap manusia mungil yang kini sedang bersenandung ria di sampingnya. Selepas dari rumah tadi tak henti-hentinya si mungil ini menarik kedua ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Senyumnya bertambah lebar ketika mereka sudah sampai di tempat tujuan. Taman dekat komplek.

“Agra, jangan lari-lari!” seru Altea ketika Agra, adiknya melepas genggaman tangannya dan berlari ke arah teman-temannya.

Namun Agra tak menghiraukan pesan kakaknya, ia tetap berlari bahkan lebih cepat. Altea hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Agra yang cukup nakal. Untung saja adiknya itu tidak terjatuh. Altea berjalan menuju salah satu bangku taman dan duduk di sana selagi menunggu Agra bermain.

Merasa bosan, Altea menyalakan ponselnya dan membuka aplikasi kamera. Ia mengangkat ponselnya dan bergaya peace seraya tersenyum ke arah kamera. Satu foto tersimpan, Altea mengangkat ponselnya lagi. Kali ini ia berpose silly face selfie, salah satu gaya foto yang sedang trending.

“Jelek amat muka lo.”

Altea terlonjak kaget saat mendengar suara seseorang yang tiba-tiba itu. Ia berbalik kemudian menatap kesal si pelaku yang langsung duduk di sampingnya. “Ngagetin aja, sih, lo! Untung handphone gue nggak jatuh.”

“Nggak usah pose sok jelek gitu, muka lo udah jelek dari sananya.”

Sorry, ya, gue ini udah cantik sejak masih jadi janin,” balas Altea dengan percaya diri.

“Halu.”

Altea mendengkus. “Mukul lo dosa nggak, sih?”

“Dosa. Kekerasan terhadap anak.”

“Anak mata lo tiga, udah tua begini juga,” cibir Altea.

“Lo kali yang tua. Tuh buktinya udah punya anak.” Dia menunjuk Agra yang sedang bermain ayunan dengan temannya.

Altea mendelik kesal. “Dia adik gue, heh. Kayak lo nggak kenal aja.”

“Engga. Anda siapa, ya?”

“Za, nggak usah mulai, deh.” Seseorang yang dipanggil Za itu hanya menyeringai kemudian fokus memainkan ponselnya. Merasa diabaikan Altea lanjut berfoto ria.

♉♉♉

Altea terkesiap saat merasakan kakinya dipeluk erat. Ia menunduk dan mendapatkan Agra sedang memeluk kakinya seraya tersenyum. Tanpa sadar bibir Altea ikut tersenyum manis, ia lantas mengusap lembut surai cokelat adiknya.

“Ada apa? Udah selesai mainnya?” tanya Altea lembut.

Agra mengangguk kecil. “Udah.”

“Mau langsung pulang?” Agra menggeleng.

Altea menoleh ke arah kanan, ia hampir lupa jika ada manusia lain di sini. Ia menunduk dan berbisik pada Agra, “Ada Kak Tezza tuh. Sapa dulu sana.”

Agra menoleh ke arah seseorang yang sedang bermain ponsel di samping kakaknya. “Hai, Kak Tezza!”

Lelaki bernama Tezza itu menoleh ke sumber suara. Ia tersenyum ketika melihat tetangga kecilnya menyapa. “Hai juga, Agra. Habis main, ya?”

Agra mengangguk sebagai jawaban. Ia kemudian menatap Altea dengan wajah cemberut.

“Aga kenapa? Kok cemberut?” For your info, Aga adalah nama panggilan Agra saat kecil. Berhubung Agra kecil belum bisa mengucapkan huruf R, jadilah ia dipanggil Aga.

“Aga lapar, pengin makan.”

“Ya udah kita pulang ya, makan di rumah,” ajak Altea.

Agra menggeleng, “Engga mau, maunya beli.”

“Lho, kok beli? Kan Bunda udah masak, makan di rumah aja, ya? Ada tumis udang kesukaan Aga,” ucap Altea mencoba membujuk Agra.

“Engga mau, Kak. Aga maunya makan jajan, bukan makan nasi.” Agra tetap menolak.

Tezza yang melihat perdebatan antar kakak adik itu angkat bicara. “Turutin aja, Al. Setahu gue dia jarang jajan di luar juga, kecuali di sekolah.”

Benar juga. Agra hampir tidak pernah jajan di luar kecuali saat sekolah. Itupun tidak setiap hari karena bundanya kadang membawakannya bekal makanan.

“Iya, deh, iya. Emangnya Aga mau jajan apa?”

“Sosis bakar!” seru Agra semangat. Altea terkekeh melihatnya, sangat lucu. “Oke, ayo kita beli.”

“Yeay, beli sosis!"

“Lo mau ikut, Za?” tanya Altea.

Tezza mengangkat sebelah alisnya. “Tumben ngajak gue.”

“Basa-basi aja, sih.”

Raut wajah Tezza berubah datar.

“Bercanda, elah. Mau ikut nggak? Kalau engga gue tinggal, nih.”

“Tunggu, gue ikut.” Tezza bangkit dari duduknya lalu berjalan ke tempat motornya di parkirkan. “Belinya di alun-alun depan, kan? Pakai motor mau nggak?”

“Boleh, deh, daripada ditinggal.” Altea menunduk menatap adiknya. “Aga mau naik motor? Sama Kak Tezza."

“Mau, mau!” Mereka berdua pun menghampiri Tezza yang sudah duduk siap di motornya. Setelah mendapat posisi yang nyaman, motor Tezza mulai melaju di jalanan komplek kemudian berbelok ke jalan raya.

♉♉♉

“Ini kan tempatnya?” tanya Tezza begitu mereka sampai di alun-alun depan perumahan.

“Iya yang ini,” jawab Altea. Altea turun dari motor kemudian menggendong Agra.

“Gue parkir dulu.”

“Oke, gue tunggu di sana.” Altea menunjuk salah satu pedagang sosis bakar yang tak jauh dari posisi mereka saat ini. Melihat Tezza yang mengangguk, Altea pun pergi bersama Agra yang masih digendongnya.

Sampai di depan stand sosis bakar, Altea menurunkan Agra kemudian memesan tiga sosis kesukaan adiknya. Tak lama Tezza datang menyusul mereka.

“Lo mau sosis juga, Za?” tawar Altea.

“Engga, gue kurang suka sosis bakar.” Altea mengangguk kecil.

“Neng, ini sosisnya sudah. Semuanya jadi lima belas ribu,” ucap ibu penjual sosis ramah.

“Ini uangnya, Bu.” Altea menyerahkan selembar uang lima ribu dan selembar uang sepuluh ribu. “Terima kasih.”

“Terima kasih kembali, Neng.”

Setelah membeli sosis bakar untuk Agra, mereka pun berkeliling mencari makanan yang menarik untuk dibeli. Altea menggendong Agra yang kini sedang memakan sosis bakar miliknya. Sedangkan Tezza berjalan di sampingnya seraya menyapukan pandangannya ke sekitar guna mencari makanan kesukaannya.

“Lo mau beli sesuatu nggak?” tanya Altea yang sedari tadi melihat Tezza hanya celingukan saja.

“Nggak tahu, gue belinya belakangan aja nanti.”

“Lo mau beli apalagi?” tanya Tezza.

“Lagi pengen batagor sama takoyaki. Tapi antreannya panjang banget.”

“Duduk dulu aja gimana? Kita udah keliling dari tadi,” usul Tezza. Altea mengangguk setuju. Sejujurnya ia juga sudah pegal karena berjalan terlalu lama.

“Duduk situ aja.” Tezza menunjuk bangku kosong di dekat mereka.
Belum ada satu menit mereka duduk, Tezza sudah berpamitan pergi untuk membeli makanan. Ia melarang Altea yang ingin ikut, ia tahu kalau gadis itu sudah kelelahan.

Tezza berlari kecil menuju stand takoyaki dan untungnya antreannya sudah tidak terlalu panjang lagi. Lima belas menit kemudian pesanan Tezza siap. Selanjutnya Tezza beranjak menuju tukang dagang batagor. Hanya tersisa tiga orang pembeli lagi, jadi Tezza harus menunggu lama. Delapan menit kemudian tiga bungkus batagor kering sudah ada di tangannya.

Setelah membeli makanan untuk Altea dan adiknya, Tezza kembali ke tempat kakak beradik itu menunggunya. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara dari speaker mobil yang menjual jajanan kesukaannya.

“Tahu bulat… digoreng dadakan, lima ratusan… enak gitu lho~”

Tezza berlari menuju sumber suara tersebut yang ternyata tidak jauh dari tempatnya tadi. Tezza membeli lima belas ribu rupiah tahu bulat. Jangan heran karena Tezza termasuk orang yang maniak tahu bulat hoax itu. Bilangnya digoreng dadakan, tapi bukannya panas atau hangat malah selalu dingin setiap kita beli. Iya, kan?

Begitu menerima pesanannya, Tezza segera kembali ke tempat Altea. Ia takut kakak beradik itu memutuskan untuk pulang lebih dulu karena kelamaan menunggu. Tapi syukurlah ternyata Altea dan Agra masih ada di tempat tadi.

“Nah, datang juga lo. Lo beli makanan apa bikin rumah? Lama amat, capek gue nunggunya,” cerocos Altea yang kesal dengan Tezza.

Tezza menatap Altea malas. “Timbang duduk aja capek. Gue nih, lari kesana-kemari beli makanan.”

“Nggak ada yang nyuruh lo lari juga.”

“Nih, buat lo.” Tezza menyerahkan dua kantung plastik berisi batagor dan takoyaki.

“Ini apaan?” tanya Altea sewot.

“Buka aja."

“Pasti isinya barang-barang aneh, ya?” Altea menatap Tezza curiga.

“Curigaan banget jadi orang. Itu makanan, nggak gue racunin.”

Dengan ragu-ragu Altea membuka kedua plastik tersebut.  “Wah, ini kan makanan yang pengen gue beli.”

“Ini buat gue?” Tezza mengangguk kecil. “Makasih Tezza, lo baik banget, sih.”

“Giliran gini aja, muji-muji gue.” Altea cengengesan mendengarnya.

“Tapi ini batagornya kenapa ada tiga?” tanya Altea.

“Satunya punya gue, sini!” Altea mengambil satu bungkus batagor dan memberikannya ke Tezza. Tezza menerima lalu memasukkannya ke kantung tahu bulat. Altea melihatnya dan bertanya, “Itu lo beli apa?”

“Tahu bulat,” jawab Tezza apa adanya.

Altea tertawa. “Hahahaha, lo bener-bener maniak tahu bulat? Banyak amat belinya.”

“Emang salah?”

“Nggak salah, sih, lucu aja gitu. Manusia galak kayak lo suka tahu bulat.”

Tezza memutar bola matanya malas. “Terserah, gue balik.”

“Dih, ngambek. Tunggu gue nebeng lagi.”

“Cepat!”

♉♉♉

Bonus buat para readers <3
Sampai jumpa lagi kapan-kapan, hehe
/plak

Dua sahabat, Altea x Vera

Continue Reading

You'll Also Like

871K 74.9K 46
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4M 239K 30
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
6.3M 152K 44
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

572K 26.7K 49
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...