Tubby, I Love You! (Selesai)

By NamIllegirl

9.1K 2.6K 2.1K

"Jikalau tubuh yang terlihat jauh dari kata sempurna, maka hati yang ku rasa sangat dekat dengan kata luar bi... More

Prologue
1|| Sweet Seventen
2|| A Cousin?
3|| Limitation
4|| (Extra)curricular
5|| Reality
6|| Kind people
7|| Disappear
8|| Medicine
9|| I Show You
10|| Heartbeat
11|| Out(war)ds
12|| Not Me
13|| Precio(us)
14|| Hug
15|| Plan
16|| We go up
17|| Walk on memories
18|| History
19|| You're my end and my beginning
20|| Me and my brokenheart
22 || Try it!
23|| Guardian
24|| Reasons
25|| Unbelievable Truth
26|| I With You
27|| Disease.
28|| Take care of you
29|| Watch Your Mouth, Please!
30|| Don't Blame Yourself
31|| Without You
32|| They don't know
33|| Only We Know
34|| You're Beautiful, If ...
35|| (Die)t
36 || Better to Happier
37|| One and Only
38|| Bittersweet
39|| Make a Sense
40 || He Completes Us
41|| I Not Only Love You
42 || The Truth Untold
Epilog || Life Goes On

21|| Sweet Candy

121 41 9
By NamIllegirl

• Happy reading!•
>,<

' Mungkin Negara memiliki batas-batas teritorialnya yang menunjukkan wilayah kekuasan dibawah pemerintahan, tapi aku hanya punya garis tangan yang ku harapkan Tuhan menyertakan namamu untuk menemani ku menjalani kehidupan bernaung di bawah rasa yang sama.'
~ Jodhi Saga Ginanjar Prawira.

Cerahnya sang mentari pagi di kala Senin ini belum juga mampu menembus mendung kelabu yang merundung SMA Wijaya Kusuma.

Agenda upacara bendera pagi ditiadakan untuk hari ini. Jam kosong tidak terhindarkan. Kabar duka yang datang menyita tawa hadir ditengah-tengah kegiatan awal sekolah.

"Kepada seluruh siswa, di sini ibu akan menyampaikan kabar duka. Telah berpulang ke sisi Tuhan teman kita, Ananda Giska Paulina dari kelas 12 IPA 4." 

Suara dari speaker pemberitahuan terdengar mengelegar ke seluruh kelas sekolahan. Murid-murid terdengar ribut dengan kabar yang sebenarnya sudah sedari tadi beredar yang masih dalam status gosip belaka. Dan dalam sekejap ini pihak yang lebih akurat mengonfirmasikan kebenarannya.

"Marilah bersama-sama kita mendoakan  almarhumah agar mendapatkan tempat yang dekat dengan Tuhan. Berdoa mulai!"

Secara serempak di dalam kubu kelas masing-masing mereka menundukkan kepalanya dalam-dalam. Untaian kata-kata terbaik berupa pengharapan dihaturkan kepada sang pemilik nyawa.

Senakal-nakalnya anak remaja seperti mereka, tetaplah hati nurani masih terbuka lebar yang jika diberikan ketukan kecil akan menyambut hangat kembali kebenaran. Mereka semua sama-sama merasakan kehilangan. Dan hanya doa yang menjadi persembahan yang tidak akan terputus untuk menyertai perjalanan panjang manusia yang sudah berpindah ke akhirat. Apapun kepercayaan yang telah melebur pada fitrah manusia, keyakinan bahwa sang Esa selalu melihat dan mendengarkan setiap hambanya tidaklah bisa terbantahkan.

"Berdo'a selesai. Dan untuk selanjutnya, ibu harapkan untuk anak-anakku semuanya agar dengan ikhlas mengeluarkan uang kebersamaan. Sekian, terimakasih."

Berakhirnya suara Ibu Tri merupakan titik permulaan kembali hadirnya kericuhan hampir seisi kelas yang memiliki banyak topik untuk pembahasan. Salah satunya adalah sebab-musabab merenggangnya nyawa kakak kelas tingkat akhir itu.

Sang bendahara kelas mulai beroperasi sebagai pihak mengumpulkan uluran tangan untuk membantu meringankan beban kesedihan keluarga yang ditinggalkan. Menjadi salah satu peraturan tambahan jika ketika ada salah satu kabar duka dari warga sekolah ataupun keluarga mereka, pihak sekolah mengumpulkan uang seikhlasnya yang didedikasikan kepada pihak yang berduka.

Apalagi secara memprihatinkan karena Kakak kelas mereka itu menjadi salah satu korban tabrak lari. Takdir memang tidak pernah terduga selama dimensi waktu masih berotasi pada porosnya, setiap manusia bisa saja mengalami rangkaian peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, yang namun itu semua sudah merupakan garis takdir yang Tuhan berikan.

“Aku titip bayarkan ke bendahara ya, Nggi. Soalnya, aku memiliki jadwal bertugas di UKS. Bisa, 'kan?” ucapnya seraya memberikan selembar uang yang bernominal sama dengan kebanyakan yang teman-temannya berikan nantinya.

Tidak butuh waktu lama bagi uang itu berpindah tangan. Berpindah sekaligus tanggungjawab yang Tara limpahkan untuk Anggi. “Tenang saja. Nanti aku berikan, kok. Aku 'kan pelajar bermartabat dan anti korupsi.”

Tara mengangguk samar menanggapinya. Sebentar lagi merupakan jam pelajaran olahraga dimulai. Dan sebagai rencana menghindari pelajaran itu, Tara mengajukan dirinya untuk berada di UKS hari ini. Namun, sepertinya karena situasi seperti ini, jam pelajaran olahraga juga akan ditiadakan untuk hari ini. Jam kosong untuk beberapa saat ke depan masih berlangsung. Guru mapel olahraga mereka juga menjadi bagian rombongan guru yang melayat ke rumah jenazah Giska.

Banyak faktor signifikan yang bisa membuat Tara dan olahraga itu susah sekali berdamai. Meski hadirnya olahraga merupakan kebutuhan penting dalam kehidupannya, ia tetap tidak bisa untuk beramah-tamah dengan sekedar mencoba lari keliling taman. Dan duka di pagi hari ini tetaplah memiliki sisi positifnya tersendiri. Ya, tidak selamanya ulat bulu menjadi perusak tanaman.

Menjadi informasi khusus jika Tara memiliki satu alasan lainnya yang membuat ia ingin mengungsi ke UKS. Anggi yang sering menjadikannya tempat cerita tentang bagaimana cara ia mengagumi Jodhi. Tara tidak sekuat itu untuk terus berpura-pura baik-baik saja. Mendengarkan pengakuan gadis lain tentang bagaimana sukanya mereka terhadap orang yang kita sukai. Sangat menyakitkan dalam lubuk hati Tara. Senyum yang ia paksakan setiap waktunya tetap akan tumbang saat angin musim gugur penuh anggan menerpa.

“Tara, mau ke UKS, ya?”

Suara Ayu menginterupsi langkahnya yang mulai melewati pintu kelas. Gadis yang memiliki hubungan keluarga dengan Jodhi itu berlari kecil menghampirinya.

“Iya. Diminta gantiin Kak Zul yang lagi sibuk ngerjain PR.”

Lebih tepatnya Zul yang yang sedang menyontek pekerjaan rumahnya yang tidak terselesaikan. PR 'kan dikerjakan di rumah, kalau dikerjakan di sekolah beda lagi namanya. Namun, Tara mana berani bilang terang-terangan menyatakan Kakak kelasnya tukang nyontek.

“Aku ikut sekalian, ya? Sepertinya aku butuh obat penambah darah sama tiduran sebentar di sana,” ujar Ayu.

Tara mengangguk setuju. Tidak ada alasan ataupun keinginan baginya untuk menolak. Selain itu, sendiri mungkin baik jika dilakukan dalam zona ruang sendiri, bukan UKS yang dijadikan singgahan banyak orang.

Di teras depan ternyata terdapat beberapa murid laki-laki yang duduk di atas lantai yang sudah mereka sapu sebisanya mendekati kata bersih. Termasuk Jodhi dan kedua sahabat karibnya yang menggabungkan diri bercengkrama yang kebanyakan mengundang gelak tawa. Tidak jauh beda dengan kondisi murid-murid perempuan di dalam sana yang sangat asik bergosip. Bedanya kalau perempuan di dalam, laki-laki kelihatan cukup menganggu karena di luaran. Huh, ketua kelasnya saja begini. Bagaimana anak-anak lainnya tidak ikut?

Tapi, menurut Jodhi tidak begitu. Seorang ketua adalah perwakilan dari sebuah kelompok yang bertugas mengurus keperluan kelompoknya agar berlangsung sejahtera. Dan jika nongkrong begini buat anak-anak kelasnya bahagia, tidak ada salahnya menuruti, 'kan?

"Kami mau lewat, jadi harap menyingkir. Kalau mau jadi gelandangan jangan di sini. Itu sangat menghalangi jalan orang." Ocehan Ayu menginterupsi paduan suara tawa kaum Adam itu.

Dibelakangnya ada Tara yang hanya terdiam membiarkan Ayu membersihkan jalan untuk mereka. Tatapan lebih mengarah pada Jodhi yang juga menatap ke arah mereka.

"Lewat jalan lain 'kan bisa," timpal Bondan yang enggan menuruti perintah gadis itu.

"Kami tujuannya mau ke sana. Tidak bisa lewat jalan lainnya. Memakan waktu."

"Memangnya kalian mau kemana? Jangan keluyuran, nanti kelas kita yang dimarahi guru BK." Jodhi ikut buka suara. Yang seharusnya dinasehati itu mereka. Memang terkadang orang lebih suka memperhatikan kekeliruan orang lain daripada diri mereka sendiri.

Keberadaan mereka yang berada di luar kelas dengan suara ketawa-ketawa tidak jelas begitu juga pasti sangat menganggu kelas lainnya. Dan itu sangat beresiko untuk ditegur guru.

"Kami mau tugas ke UKS. Sudah minta izin sama guru yang mengajar nanti, kok."

"Ay, nanti pelajaran sejarah ada gurunya?" Tanya Candra.

"Bisa pulang cepat tidak hari ini?" Widi ikut-ikutan menanyakan apa yang sebenarnya ia inginkan.

"Mana aku tahu. Tanya saja sama kepala sekolah sana. Sudah, menyingkir dulu dari jalan. Atau aku injak tubuh kalian," ancamnya yang mulai sebal.

Murid-murid laki-laki dengan malas-malasan bergerak menepi memberikan ruang untuk mereka lewati. Hanya menepi, tidak pergi. Meskipun sempit itu sudah cukup untuk lewat.

"Ayo, Ra!" Ajakan Ayu menyadarkan Tara dari lamunannya memandangi Jodhi.

"I-iya. Permisi, ya."

Dengan langkah ragu ia mulai berjalan melewati mereka.

"Tara!" Suara Husky yang menyerukan namanya membuat Tara menghentikan langkahnya. Gadis itu juga Ayu berbalik memenuhi panggilan dari suara yang sudah akrab dalam ingatan.

Jodhi, si pelaku yang menghentikan kegiatan jalannya beranjak mendekat. Tiba-tiba saja pemuda itu berlutut di depannya. Tara yang sempat tersentak akhirnya mengambil langkah mundur beberapa langkah.

Bola mata gadis itu menunduk mempertemukan maniknya dengan mata teduh menghanyutkan itu. Gemuruh hati Tara makin menggelora ketika tatapan mata mereka bersiborok beberapa saat lamanya. Ditambah sepasang bibirnya yang menyunggingkan senyuman manis... Tara rasa ia akan terbang tanpa alat tranportasi udara.

"Jangan biarkan tali sepatumu terlepas. Karena, sepatu yang biasa melindungi mu saat berjalan bisa saja membuatmu jatuh hanya karena kau tidak mengikat talinya," tutur Jodhi dengan bahasa yang tidak Tara mengerti betul maksudnya.

Beberapa saat adalah masa dimana Tara menahan nafasnya hanya karena kini tangan Jodhi bergerak telaten mengikatkan tali sepatu untuknya. Bahkan mungkin Tara yang lupa caranya bernafas dan jantungnya sudah tidak bisa didengarkan lagi detak beriramanya. Seolah sistem tubuhnya kacau hanya karena perlakuan kecil seorang Jodhi.

"Ehem... Ehemmm..."

Kompak mereka para murid laki-laki yang masih menjadi penonton adegan romantisme menjelang memualkan milik kedua insan yang diketahui bersaudara itu menganggu. Kembali ke alam sadar. Tara merasakan waktu yang sempat bergerak lambat kini kembali berotasi lancar. Atmosfer bumi kembali meluas setelah mendesaknya untuk menahan nafas.

"T-terimakasih," ucapnya yang kentara sekali gugup.

Secepatnya Tara mengambil balik kanan lalu maju meninggalkan Jodhi bersama senyuman tipisnya. Barulah Tara bisa bernapas lega ketika memastikan langkahnya sedikit menjauh. Suara sorakan menggoda dirinya dan Jodhi pun ikut menelan dibawa angin. Bahkan gadis itu mendahului Ayu yang sedari tadi menunggunya dengan melongo.

Entah mengapa pagi yang sempat memilukan kembali bersinar layaknya hujan yang dibarengi matahari menghasilkan pelangi. Mungkin memang benar adanya jika gugur satu kebahagiaan karena sebuah kesedihan, maka Tuhan dengan baik hatinya akan menumbuhkan seribu kebahagiaan lainnya tanpa terduga.

• • •

“Permisi, Kak. Bisa tolong berikan aku obat maag?” tanya seseorang yang baru saja memasuki pintu UKS. Wajah pucatnya sedikit basah di banjiri keringat. Tangannya sedari tadi sibuk memegangi perutnya yang merupakan sumber rasa sakit.

“Silahkan duduk dulu. Dan melonggarkan ikat pinggangmu supaya memberikan luang lebih leluasa.”

Tidak tega ia membiarkan pemuda yang merupakan pasien sekaligus adik kelasnya terlalu lama berdiri menahan kesakitan. Pemuda itu menurut. Ia duduk dan terfokus mensugesti dirinya sendiri agar lebih kuat.

Tara mengigit bibirnya lembut sembari tangannya bergerak cepat mencarikan obat yang sesuai. Tidak susah mencarikan obat maag. Obat itu sendiri cukup khas dengan warna hijau dan aromanya yang sedikit pedas. Tingkat kepahitannya juga tergolong rendah.

“Setelah satu jam minum obat, makanlah dulu agar perutmu tidak kosong. Makannya secara perlahan." 

Tara juga menyerahkan sepotong roti, puding dan air minum yang disediakan oleh UKS bersamaan sebutir obat kepadanya. Berantakannya pola makan merupakan salah satu penyebab akurat datangnya maag. Sejatinya manusia itu sendiri sudah sangat bisa menahan apa yang terbaik untuk tubuhnya. Namun, nafsu dan egosentri kebanyakan lebih mengendalikan manusia sendiri daripada otak berpikir mereka. Kebenaran dan kesalahan yang seharusnya diterapkan sesuai ajaran kadang mereka langgar hanya karena ingin kebebasan.

“Terimakasih,” balas pemuda itu dengan lemas.

"Kau bisa beristirahat sejenak di sini. Untuk ke depannya jangan lupakan sarapan dan jam makan lainnya dengan tepat waktu, ya."

Jujur saja jika Tara sedang menekan rasa takutnya saat ini. Ia sebelumnya sangat sanksi untuk memberikan nasihat pada orang lain. Namun, mengingat ini adalah tugasnya, jadi ia akan mencoba. Sesuai apa yang sudah kakak-kakak seniornya jelaskan padanya.

Dan pemuda itu merupakan siswa ke-empat yang Tara bantu dalam hari ini. Tidak terasa ketika ia berguna seperti ini waktu cepat berlalu. Waktu istirahat sudah hampir tiba bertepatan dengan kerongkongannya yang meronta minta dibasahi.

Korden pembatas ranjang sebelah terbuka. Terlihat seorang gadis dengan wajah usai bangun dari mimpinya. "Ra, sebaiknya kita kembali ke kelas saja. Perutku sudah cukup lapar minta diberikan mie ayam," ajak Ayu.

"Tapi, yang jagain UKS siapa kalau kita pergi?"

"Aku sudah memberitahu Kak Zul supaya cepat datang. Dan dia mengizinkan, kok."

"Baiklah," finalnya.

"Eumm... Maaf, kami harus pergi sekarang. Sebentar lagi ada Kak Zul dan kak Ical akan datang. Aku harap kau beristirahat dengan baik dan cepat sembuh. Sampai jumpa!" Tara berbicara dengan canggung pada pemuda yang terbaring di atas bangsal itu.

"Hmm..."

Tara menghela nafasnya rendah mendapati kerja kerasnya bersikap ramah hanya dibalas gumaman lirih lawan bicaranya.

Untung saja sakit, kalau tidak... Kalau tidak... Ah, sudahlah. Tara payah dalam melakukan kegiatan pembalasan. Segera saja ia membawa raga beserta kecewaannya menjauh meninggalkan tempat.

• • •

Sesampainya di kelas, ruang belajar itu tampak lenggang. Kantin adalah tempat perkumpulan mayoritas siswa saat-saat seperti ini. Saat dimana istri sudah dimulai.

"Kau tidak ke kantin, Ay? Katanya pengen mie ayam."

Ayu yang sibuk memainkan ponselnya menoleh pada Tara yang sedari tadi mengamatinya. Tara hari ini absen lagi untuk mengunjungi kantin. Ia memilih kelasnya sebagai tempat duduk terbaiknya menikmati waktu istirahat.

"Nanti juga ada yang datang nganterin," jawab Ayu dengan santai.

Tara tidak lagi bertanya lebih lanjut. Dibiarkannya Ayu menduduki kursi sebelahnya dan sibuk dengan ponselnya.

Sedangkan, ia sendiri mulai membuka tas miliknya. Didapatinya dua kotak bekal dalam balutan kresek hitam. Tara tercenung sejenak. Mamanya yang menyiapkannya bekal untuk hari ini. Dan Mamanya tidak tahu kalau Tara mungkin hanya menginginkan satu. Ditatapnya sendu dua porsi bekal yang merupakan miliknya. Seharusnya ada orang lain yang memiliki satunya. Tapi, niat Tara ingin menghapus kepemilikan itu.

"Aku bisa membantumu memberikan pada Jodhi," celetuk Ayu yang sedikit melirik arah pandangan Tara.

"Hah?" Respon Tara dengan lambat.

"Bekal itu. Aku bisa membantumu memberikannya kepada Jodhi. Tenang saja, aku tidak akan bilang ini darimu. Aku akan bilang tadi di makanan di UKS lebih," ulang Ayu sekaligus menawarkan solusi.

"Aku menduga kalau kau dan Jodhi sedang tidak baikan. Beberapa kali saat aku ke rumahnya, akhir-akhir ini dia uring-uringan masalah chatnya yang tidak kau balas." Ayu melanjutkan omongannya melihat Tara yang hanya terdiam dan kaget dengan solusi yang ia berikan sebelumnya.

Tara masih setia diam saja membendung keterkejutannya. Ia memang tidak menanggapi dengan antusias ruang obrolan chat dengan Jodhi akhir-akhir ini. Namun, ia tidak menyangka saja kalau itu berefek seperti itu pada Jodhi.

"Aku... Aku jarang main ponsel."

Lebih tepatnya Tara melakukan program diet ponsel. Menghindari kandungan manisnya spam chat yang Jodhi kirimkan pada obrolan mereka.

Tidak ada alasan jelas untuk menyatakan mereka sedang bertikai. Tara yang merupakan pelaku utama membuat jarak diantara mereka. Menjauh untuk memperbaiki dan mengendalikan perasaannya yang semakin menggebu jika di dekat Jodhi.

"Apapun alasannya." Dan Ayu tampak tidak peduli dengan alasan yang Tara tuturkan. Ia hanya membenarkan sesuatu harus melalui penelusuran menggunakan semua panca indera secara sendiri.

Keadaan kembali menghening secara Tara tidak memiliki bahan baku pembicaraan. Ayu juga tidak repot-repot menghidupkan suasana dan memilih fokus lagi pada benda persegi itu. Sampai benda elektronik tingkat rumit itu berdering.

"......."

"Aku di kelas."

"......."

Ayu tergelak bersama lawan bicaranya di seberang sana. "Kau tidak bertanya."

"......."

"Jangan! Aku akan ke sana mengambilnya. Awas saja kalau beneran kau makan! Aku akan menghajar mu!"

"......."

"Iya. Iya. Cerewet!"

Ayu mengakhiri sambungan teleponnya yang dilanjutkan dengan beberapa kali mendengus kesal. Sekelumit pembicaraan Ayu dan rekan teleponnya tadi Tara simak baik-baik. Ah, maksudnya hanya timpalan Ayu saja. Karena, ia tidak bisa mendengarkan sama sekali apa dan siapa yang berada di balik pelaku yang menelepon Ayu.

Tatapan Ayu berpindah tempat ke pada Tara. "Aku harus mengambil pesanan mie-ku yang nyasar ke UKS sebelum dihabiskan orang menyebalkan sedunia ghaib. Kalau kau mau titip bekal itu, waktumu berpikir sudah habis dan kau harus segera memutuskannya. Jadi, mau aku bantu berikan atau tidak?"

Ayu berani mengatakan penawarannya sekali lagi, karena berdasarkan praduganya ia tahu jika Tara tidak memiliki presentasi besar untuk menolak.

"Tapi,-"

"Dia tidak akan menolaknya. Dia juga belum sempat makan. Kau tahu 'kan, kalau dia selalu mengutamakan kepentingan orang yang disayanginya? Mengantri mie ayam di kantin kita itu tidak mudah. Antrian panjang itu mana sempat dia makan." Ayu memotong ucapan Tara seolah mengerti kemana arah penyangkalan Tara.

Secara tidak langsung Tara mengetahui jika Jodhi adalah orang yang Ayu maksudkan menjadi kurir Mie ayamnya.

Setelah melakukan pergolakan batin dan otaknya, Tara menarik keluar kotak bekalnya dari dalam tas. Secercah senyum ikut merekah di sepasang bibir Ayu. Dia mendapatkan persetujuan dari hasil usaha meyakinkannya. Meski sedikit ragu, Tara menyerahkannya.

"Sudah yakin dengan keputusan mu?" Anggap saja ini kesempatan terakhir yang Ayu berikan untuk keraguan Tara.

Gadis itu mengangguk lemah. Dua buah giginya masih belum bisa melepaskan bibir bawahnya untuk ia gigit lembut menyalurkan kelebihan pikirannya.

"Kalau begitu, aku pergi sebentar, ya. Tidak apa-apa 'kan sendirian?"

Kini malah Ayu yang diserang ragu meninggalkan anak yang menurutnya kurang bisa menjaga dirinya sendiri. Tetapi, gelengan polos Tara menyakinkannya.

"Ayu, ter-"

"Eittsss... Tidak perlu berterimakasih. Sepupu paling menyebalkan kita lah yang nantinya harus berterimakasih."

Tidak perlu berpikiran jika Ayu itu memiliki kelebihan khusus membaca pikiran manusia atau sejenisnya, Tara saja yang mudah terbaca raut mukanya.

• • •

Adalah suatu kondisi yang terlatih bagi Tara untuk menunggu. Dan sepi merupakan kolaborasi yang tidak lagi menjadi derita paranoia.

Gerbang sekolah yang sudah banyak menghabiskan waktu menghitung banyaknya pasang kaki yang lewat mengosongkan sekolahan. Jam pulang sekolah telah menyingsing mempersilahkan para pejuang mimpi kembali pada pelukan orangtua setelah beberapa jam memfungsikan otak untuk berpikir.

Tara larut dalam lamunannya yang dimulai beberapa menit lalu mendudukkan dirinya di atas tempat duduk bentukan dari adukan semen. Cukup kokoh untuk menyangga beratnya yang syukurnya berkurang sekilo Minggu ini.

"Anda saya tangkap dengan tuduhan melamun tanpa mengajak teman. Berikan satu senyuman sebagai denda."

Hingga suara yang datang dari tubuh disampingnya mengatakan rangkaian kata yang sudah sangat berhasil membuat Tara menoleh syok. Netra mata Tara bertumbuk pada bola mata hitam jelaga.

"Hai, belum dijemput?" Sesosok di depannya itu kembali meloloskan kalimat setelah mengambil posisi duduk di sebelah tubuh besar Tara.

Tara hanya memberikan gelengan polos yang diyakininya sudah bisa menjelaskan keadaan sesuai dengan apa yang pemuda itu bisa lihat sendiri.

Debaran jantung Tara kembali terpompa dengan tidak normalnya. Seakan ia tengah berada dalam ketinggian.

"Bagaimana jika pulang bersama? Aku membawa mobil."

Tara lagi-lagi menggeleng cepat menolak tegas saran pemuda itu. "Sebentar lagi supir ku sampai." Tara menjawab kepada pemuda yang sama, akan tetapi arah pandangannya yang terbuang ke arah depan membuatnya seperti sedang berbicara pada hitam panjang jalanan.

Pemuda itu terlihat manggut-manggut tidak ada keinginan untuk membujuk gadis itu.

"Ah, ya. Tadi saat kau berada di UKS, guru Kimia memberikan materi untuk dicatat. Karena aku baik hati, maka ku pinjamkan buku ku untuk kau salin catatan tadi," ucapnya setelah berhasil mengeluarkan buku dari dalam tas yang ia gendong belakang tadi.

"Te-terimasih." Ada benturan segan ketika tangan Tara terulur meraih buku milik teman sekelasnya itu.

"Terimakasih kembali. Terimakasih buat bekalnya. Maaf, belum sempat aku mencuci wadahnya kembali."

Tangan pemuda kembali terulur menyerahkan bungkusan plastik hitam pada Tara. Kaget dan malu. Rasa yang kini berpadu memonopoli pikirannya. Ayu bilang ia tidak akan mengatakan itu darinya, mengapa Jodhi bisa tahu? Begitulah agaknya pikiran Tara.

"Aku tahu ini bukan dari anak PMR. Lidahku sudah terlanjur akrab saat disapa makanan rumahmu," papar Jodhi yang menggunakan kebiasaan tatapan lekatnya pada Tara.

Tidak bisa tersamarkan lagi rona merah yang merambat panas pipi tembem itu. Penjelasan singkat Jodhi seakan mengalihkan letak jantung Tara pada perut.

"Supirmu sudah datang. Lebih baik kau segera menerima ini."

Tara terkesiap disadarkan mobil keluarganya sudah merayap mendekat. Dengan demikian kondisi salah tingkahnya, tangannya yang sudah diminimalisir gemetarnya menerima yang tangan Jodhi serahkan.

"A-aku pulang dulu," ucapnya seraya berdiri. Salah tingkah Tara sepertinya sudah berada pada tingkatan tinggi. Terhitung dari banyaknya gerakan tidak diperlukan yang terus-menerus terjadi padanya.

Jodhi mengangguk dibarengi seukir senyuman yang mengembang di wajah gelapnya. "Hati-hatilah dan sampai jumpa untuk esok!"

Sederet kalimat yang terucap ringan oleh bibir Jodhi tadi rupanya juga memiliki andil besar terhadap debaran jantung Tara yang sudah tidak bisa diprediksi lagi kenormalan detaknya. Hanya karena rentetan kalimat itu, Tara kembali blushing.

Ingatkan Tara untuk membuat jadwal pertemuan dengan spesialis jantung nanti.

• • •

Saat ini malam sudah menghamburkan warnanya memenuhi ruang angkasa. Ruang kamar yang berukuran luas itu masih menyatakan adanya tanda-tanda kehidupan makhluk di dalamnya. Makhluk berjenis manusia, bukan jenisnya yang halus itu.

Tara yang menyudahi kegiatan belajarnya yang kali ini merupakan acara menyalin catatan materi dari buku bersampul biru itu.

Pandangannya tidak terlepas dari buku yang baru saja ditutupnya tersebut. Bukan miliknya sendiri. Namun, ia memiliki hak untuk kepemilikan manfaat yang tertulis di sana dalam beberapa saat ini. Tidak tahu letak pastinya dimana kelucuan tercipta, akan tetapi suatu kondisi yang tengah berlangsung kini berhasil mematri senyuman manis yang tidak tanggung-tanggung di wajah lebar itu.

Pergantian pekerjaan, seusai puas memandangi benda mati itu, Tara kemudian menaruhnya di atas meja dengan hati-hati seperti meletakkan kaca yang rentan pecah.

Kantung plastik hitam. Pemberian orang yang sama dengan pemilik buku yang kini dipinjamnya adalah benda yang tengah merombak atensinya.

Padahal Tara tahu jika itu kotak makan yang kotor bekas makanan, tetapi ia juga masih berkeinginan untuk menunda mengembalikannya ke dapur.

"Eh?" Tara membeo mendapati sesuatu yang lain selain wadah makannya di dalam plastik itu.

"Permen?" Cicitnya lagi yang tidak diketahui kepada siapa.

Pasalnya, semakin Tara geledah isi kantung plastik itu, bukan hanya beberapa buah permen perisa jahe yang diselipkan di sana. Secarik kertas terlipat kecil juga ada pada bagian bawah.

Mendadak saja tubuh Tara kembali kehilangan kendali sepenuhnya. Ada sengatan kecil debaran jantungnya yang berdegup kencang berlawanan dengan gerakan lambat tangannya membuka kertas itu.

Di makan, ya! Semoga bisa membantu pita suaramu membaik lagi. Orang yang memberikan ini rindu pada suara tawa mu ;)

Adalah deretan kata yang berjaya membuat mata sipit Tara melebar tidak percaya dengan apa yang dibacanya.

"Ah, Mamaaaa..." Rengekan keluar dari mulut Tara yang setengah dibekap dengan salah satu tangannya yang bebas dari memegang kertas itu.

Panggilan untuk orang yang sudah berjasa melahirkan dan membesarkannya memang kerap kali ia sebutkan ketika Tara sedih maupun senang selain mengingat pada Maha kuasa ataupun Papanya.

Mungkin Tara terlihat mencebikkan bibirnya kesal dengan kertas yang dipegangnya, akan tetapi raut wajah tidak bisa mengkhianati hati. Terutama bagian mata juga pipinya yang tembem tidak mampu juga menyamarkan guratan tersipu.

Ia kesal dengan Jodhi yang seakan tidak membiarkannya menjauh. Namun, hatinya bahagia dan juga dengan mudah terbawa perasaan untuk hal sekecil ini. Rasa takutnya dibenturkan dengan perasaan euforia. Tidak tahukah Jodhi kalau Tara takut jika perasaannya bisa saja hanya menjadi miliknya sendiri?

"Kenapa kau melakukan ini?" Tanyanya yang menatap lekat kertas itu dengan imajinasinya yang baru saja terbentuk menghadirkan sosok lain dalam bayangannya.

Tara usai mengosongkan tangannya kembali dari benda apapun. Ia beralih mengapai sebungkus permen rasa jahe. Yang kebetulannya Tara menyukai rasa itu, meski masamnya asam Jawa adalah rasa favoritnya sepanjang masa.

Tara terkekeh pelan memandangi permen itu. "Jika kau tahu aku sakit, seharusnya kau memberiku obat." Itu 'kan yang biasanya dilakukan para dokter? Tapi, mengingat Jodhi bukanlah penyembuh, melainkan penjaga, maka ia memakluminya saja.

Gerakan perlahan tercipta mengupas bungkus permen. Berakhir dengan nasib si permen dinikmati mulut besar Tara setelah bisa memisahkan isi dari bungkusnya. Sesekali kelopak matanya terpejam mencecap pedas manis yang menghasilkan perpaduan hangat di mulutnya.

Anehnya, rasa manis lah yang mendominasi di indera pengecapnya. Mungkin lidah tidak bisa berbohong untuk rasa asli permen yang sangat jelas pedas, namun perasaan hatinya melakukan pengelabuan akan hal ini. Rasanya sesuai perwakilan suasana hati Tara yang manis dan leleh.

Benar adanya jika manusia dan kepribadian manusia sendiri adalah penentu setiap apa yang ada di sekitar. Dan benar jika manusia tidak selalu benar saat menilai sekitarnya, karena itu ada penilaian subjektif.

Seperti diberikan asupan lebih, tangan Tara tidak tinggal diam menyeimbangi lidahnya yang mencecap 'manis'nya permen itu.

Tara kembali mengambil sebuah buku yang terletak di bagian laci meja belajarnya. Ini buku lainnya, tidak sama dengan yang tadi membuatnya tersenyum. Buku usang yang bergambar menara Eiffel.

Tangannya bergerak lincah menggoreskan tinta pulpen di atas usangnya kertas.

Ajaibnya permen jahe yang membumbui air ludah dengan rasa pedas, manis, hangat dan meleleh mengubah susunan asli enzim dalam mulut.
Like love does a magic.
Sweet candy,
Sweet memories,
In the sweet night ^_^

Adalah kalimat panjang yang Tara tuliskan mengisi kosongnya kertas pada halaman yang sudah juga ia bubuhi tanggal dan sebuah 'bukti'. Bungkus permen yang isinya sudah habis di mulutnya itu tertempel rapi menggunakan double tape pada salah satu ruang halaman yang sama.

Senyumnya semakin merekah lebar memandangi hasil karyanya itu.

"Tara, cepat matikan lampu mu dan tidur! Jangan bergadang!"

Sumber teriakan berasal dari lantai bawah. Suara Mamanya yang bak alarm pengingat kebaikannya sudah berbunyi. Itu tandanya sang Ibunda tidak bisa terbantahkan.

"Yes, Ma!"

Dengan berat hati Tara menghentikan kegiatannya. Ditutupnya buku yang baru saja selesai ia tambahkan satu cerita baru untuk kehidupannya itu. Menuruti perintah Mamanya, Tara meninggalkan segala kesenangan kecilnya di atas meja belajar setelah ia tata rapi seperti semula.

Langkahnya ringan membawanya menuju kamar mandi. Urusan membuang limbah cair hasil pencernaan juga menggosok gigi sebelum tidur adalah agenda hariannya yang tidak bisa terlepas.

• • •

Lampu utama ruangan Tara sudah dimatikan, tinggal lampu tidurnya saja. Suasana berubah menjadi remang-remang. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Seharusnya Tara sudah berada dalam alam mimpinya.

Namun, kali ini ia tidak melakukan itu pada jam sekarang. Matanya masih jernih dan terbuka lebar. Upaya-upaya kecil menghampiri alam bawa sadar sudah ia lakukan. Berguling ke kanan lalu ke kiri, menyamankan posisi tidur dan memejamkan matanya erat-erat tidak juga mampu mengantarkannya sampai pada alam mimpi.

Definisi ketika badan sudah cukup lelah, yang sayangnya berbanding terbalik dengan pikiran yang sedang membludak memprovokasi kepada sistem tubuh agar tetap terjaga. Degupan jantungnya masih terasa kuat, walaupun tidak semenggebu-gebu tadi. Terasa sakit pada bagian dadanya, yang namun itu juga menyenangkan untuk dinikmati.

"Aarrghhhh... Aku tidak bisa tidur. Jangan-jangan permen tadi mengandung kafein sejenis kopi." Prasangka Tara mulai memproses pemikiran-pemikiran konyol.

Tara memutuskan untuk memainkan ponselnya sebentar. Niatan mencoba metode lainnya, yaitu mendengarkan lagu rohani atau membaca sebentar sebuah thread cerita di Twitter.

Jodhi Prawira: Selamat malam!

Nama yang sejak tadi menganggu pikirannya kembali muncul dalam pemberitahuan bar stasus ponselnya. Membuncah kembali di hati perasaan berdebar Tara.

Rasa penasarannya mengkhianati niat awalnya, jerami Tara menekan aplikasi chatnya memeriksa kolom obrolannya dengan Jodhi. Pesan itu di kirim dua jam yang lalu.

Kini jemari Tara yang menari-nari di atas keyboard mengetikkan balasan untuk pemuda itu. Deg-degan juga terlibat selain senyuman yang kini tidak bisa luntur dalam waktu singkat.

Jodhi Prawira
__________________

Jodhi Prawira
|Selamat malam!

Me
Juga|

Memang hanya kata singkat yang Tara balaskan. Tapi, percayalah hanya untuk memakai kata-kata itu Tara harus berulangkali menggunakan otaknya untuk berpikir.

Jodhi Prawira
|Eh, belum tidur?

Tidak sesuai prediksi Tara, ia pikir tadi tidak secepat ini Jodhi akan mengiriminya pesan lagi. Gadis itu bergerak miring mencari posisi nyaman untuk pencahayaan.

Me
Belum|

Jodhi Prawira
|Kenapa? Sudah larut, lho.

Me
Belum bisa|

Jodhi Prawira
|Berapa lama lagi kuat terjaga?

Tara mengernyit bingung dengan pertanyaan yang didapatkannya. Namun, ia tetap harus membalas sebisa mungkin yang ia tangkap dari maksud pertanyaan itu.

Me
Tidak tahu|

Selepas Tara mengirimkan jawabannya dan tertera juga informasi jika Jodhi sudah membaca pesan tersebut, ia kembali bingung. Bingung karena Jodhi tidak lagi membalas pesannya dengan cepat.

Drrrtttt... Drrrtttt....

Jodhi Prawira is calling...

Namun, menit selanjutnya ponsel Tara bergetar menampilkan panggilan masuk. Jodhi meneleponnya! Tara panik sendiri antara ingin mengangkatnya yang sangat disayangkan ia gemetaran takut. Ia juga takut jika nanti orangtuanya tahu ia belum terlelap juga.

Rupanya Tara lebih tidak menginginkan jika Jodhi ia biarkan menunggu. Dengan paksa, digesernya ikon menjawab.

"Halo?"

Suara di seberang sana memulai pembicaraan. Tidak ada ubahnya suara Jodhi secara langsung maupun via telepon. Sama-sama masih mengandung ketegasan.

"I-iya, hai."

Mulut Tara kembali kering kehilangan kata-kata saat ini. Padahal tadinya permen dari Jodhi sudah menyembuhkannya dengan baik. Sekarang kumat lagi?

Tara mengatur duduknya beserta anak rambutnya yang berantakan. Gadis itu tetap saja gugup meski mereka hanya terhubung via suara.

"Kenapa lama sekali menjawabnya?" Protes suara diseberang sana.

"A-aku..."

"Sudahlah, tidak usah dijawab. Kita mengobrol lainnya saja."

Tara menghela nafasnya pasrah saat Jodhi memotong penjelasannya yang bahkan belum dimulai.

"Apa yang sedang kau lakukan sekarang selain melakukan panggilan denganku?"

"Tidak ada yang berarti. Aku hanya bersiap tidur, tapi tidak mengantuk juga."

"Hahahaha... Aku kira kau sedang memikirkan ku."

"M-mana mungkin begitu," elak Tara menyangkal kebenaran yang Jodhi tuduhkan.

"Mungkin saja. Karena aku sudah memberikan pengobatan terbaik pada seorang gadis tadi."

"Apa, sih!" Ucap Tara yang merasa dirinya terancam akan terpojok oleh godaan Jodhi nanti.

"Dan aku rasa suaranya sudah kembali sembuh. Atau, jika telingaku yang tidak berhalusinasi mendengarkan suara tawa renyahnya saat ini." 

"Maaf," cicit Tara yang menyesal dengan tindakannya.

Tara mengakui jika dirinya bodoh beberapa waktu lalu saat ia menolak berinteraksi dengan Jodhi. Saat kebahagiaan hadir hanya karena bayangan Jodhi, bagaimana bisa ia berniat menghapus seluruh kebahagiaan itu?

"Kau tidak salah, Ra. Hanya saja suaramu kemarin bermasalah. Dan itu mungkin karena aku yang sering memberikanmu minuman sembarangan dari kantin."

Tara kembali tergelak mendengar kata-kata Jodhi yang mengingatkannya pada satu lagi kebohongan Tara. Mana mungkin hanya karena minum minuman yang mengandung sari buah Tara bisa sakit? Itu hanya akal-akalan Tara saja untuk menolak.

Tara membiarkan waktu malam itu berjalan melengkapi kenangan hari ini. Masih berlanjut dengan penuh canda tawa pembicaraan mereka melalui telepon. Jodhi seakan memiliki banyak topik baru yang tidak pernah bosan untuk mereka bicarakan. Tara saja sampai kesusahan mengatur suaranya agar tetap dalam kadar pelan agar tidak menimbulkan kemarahan orangtuanya nanti.

Pembicaraan mereka berlanjut hingga menit ke-20 saat mulai terjadi lemahnya obor keseruan berbincang.

"Tara?"

"......."

"Kau masih di sana?"

"......."

"Apa kau tertidur?"

Tidak ada sahutan dari pihak Tara yang setelahnya ia mulai mengeluarkan dengkuran halus sebagai bentuk pemberitahuan bahwa tubuh besar itu sudah tidak lagi terjaga.

"Hahaha... Sudah tidur rupanya."

"Selamat malam, Ra! Aku menyayangimu."

Sambungan terputus diakhiri suara lirih barusan yang tidaklah mampu Tara dengar. Ponselnya sudah tergeletak di samping kepalanya, tidak lagi menempel pada indera pendengarannya. Mata Tara yang tidak sepenuhnya terpejam, bukan berarti ia masih belum sepenuhnya tidur. Itu adalah kebiasaan tidurnya. Ia kadang tidur, tapi matanya juga terlihat masih terbuka.

Wajah damai itu memiliki senyuman tipis menyambut mimpi setelah melakukan penyempurnaan kenangan hari ini.

• • •

TBC🐝

Heyo! Cukup panjaaaaang chapter kali ini, ya. Hehehehe,,, spesial untuk mengobati rindu ku yang terlambat update karena sempat sibuk.

Maaf banget kalau ceritanya agak aneh (?) Ini aja aku paksakan buat update walaupun tidak yakin gimana nanti respon kalian :(

Mohon buat di pencet tombol bintang, kakak-kakak. Tidak dipungut biaya alias gratis, kok!!!

Udah, ah. Ketemu lagi di kesempatan selanjutnya kita (Jika, Tuhan mengizinkan).

Terimakasih buat yang sudah mampir.

See you!

Continue Reading

You'll Also Like

195K 15.4K 23
A romace comedy Sebelumnya Raine tidak pernah begitu semangat dalam menjalani hidup. Kira-kira seminggu yang lalu ketika apartemen sebelah yang semul...
124K 9.6K 50
Fatya Sachikirani gadis bertubuh gemuk itu, tiba-tiba saja dilamar oleh Yuga Manendra, yang tak lain adalah kakak dari sahabatnya, Alvhi Manendra. ...
5.6M 238K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
3.7M 295K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...