SORRY [slow update]

By fatayaable

11.2K 4.2K 3K

Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tig... More

CUAP-CUAP PENULIS
BUKU HARIAN UNA (BH 1)
1. MISI 30 HARI
2. DUNIA KALE
3. ES DUREN
4. OMELAN KANJENG RATU
BUKU HARIAN UNA (BH 2)
5. PERIHAL KARA
6. BEKAL KALE
7. KESAL!
8. KAKAK KELAS
9. PERMINTAAN
10. PAHAT HATI
BUKU HARIAN UNA (BH 3)
#CAST SORRY
11. SATURSAD
BUKU HARIAN UNA (BH 4)
12. BIOSKOP
13. GELISAH
BUKU HARIAN UNA (BH 5)
14. BACK TO THE MOON
BUKU HARIAN UNA (BH 6)
15. SELEKSI HATI
16. JADI, GUE HARUS GIMANA?
17. TO THE BONE
18. FALL FOR YOU
BUKU HARIAN UNA (BH 7)
INTERMEZO~
20. STORY OF KALE
21. THE FACT IS ...
BUKU HARIAN UNA (BH 8)
22. PENGUMUMAN
23. KARANTINA
24. TROUBLE MAKER

19. MELUKIS SENJA

111 29 23
By fatayaable

POV KALE

Inginku berdiri di sebelahmu

Menggenggam erat jari-jarimu

Mendengarkan lagu Sheila On 7

Seperti waktu itu saat kau di sisiku

Suara khas Fiersa Besari dengan lagunya Celengan Rindu melantun indah di tape mobil Javier. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir, mengikuti irama. Dia tampak menikmati perjalanan menuju rumah Aluna dari toko buku. Tapi lain halnya dengan gue yang duduk di sebelahnya malah merasa muram.

"Kenapa lo? Suntuk amat dari tadi."

Bukannya menjawab, gue malah memejamkan mata dan bersedekap.

"Yeee, diajak ngomong juga malah merem. Udah niat mau pulang ke rumah belum? Udah empat hari lho lo nginep di rumah gue."

Yup, sejak kepulangan gue sewaktu menjaga Aluna di rumah sakit itu, pada hari berikutnya gue memutuskan untuk enggak pulang ke rumah. Lebih baik menginap di rumah Javier saja daripada Pundak gue makin berat.

"Eh, gue jadi inget kutipan di salah satu kumcernya Fiersa Besari. Gini katanya, 'Orang bilang jodoh takkan ke mana. Aku rasa mereka keliru. Jodoh akan ke mana-mana terlebih dahulu sebelum akhirnya menetap. Ketika waktunya telah tiba, ketika segala rasa sudah tidak bisa lagi dilawan, yang bisa kita lakukan hanyalah merangkul tanpa perlu banyak kompromi'."[1]

"Pasti lo baca dari bukunya Lily," tebak gue mengingat cewek itu belakangan ini sering tertangkap basah membaca novel saat jam pelajaran.

"Enak aja. Gue beli tahu."

"Jadian gih."

"Sama?"

"Lily, lah. Siapa lagi coba? Ya siapa tahu jodoh lo, kan."

Javier terkekeh. "Mending lo aja yang jadian beneran sama Una."

"Udah."

"Bukan yang Una nembak lo, tapi lo yang nembak Una."

Gue menoleh ke arahnya. "Ih, dibilangin udah. Tanya Una aja kalo enggak percaya."

Javier menyalakan lampu sen dan menepikan mobil ke kiri, tepat di depan tambal ban. Tukang tambal ban pun otomatis menghampiri mobilnya dan mengetuk kaca mobil. Javier akhirnya terpaksa menurunkan kaca mobil padahal sama sekali enggak ada rencana untuk menambal.

"Mau tambah angin, Mas?" tanyanya.

"Ng..., coba tolong cek deh, Pak. Saya enggak tahu," sahut Javier, lebih pada rasa kasihan melihat wajah si tukang yang lelah sepertinya. Setelah itu, dia kembali menaikkan kaca mobilnya dan menatap serius gue. "Gue enggak percaya, Le. Pasti lo terpaksa. Iya, kan?"

"Terpaksa atau enggaknya, pokoknya gue harus ngelindungin Una," jawab gue. "Tapi sekarang gue udah yakin banget."

"Oh, oke. Bagus kalo gitu. Kita anggep masalah lo sama Venya selesai."

Gue mengangguk mantap. "Jangan kasih tahu Una perihal Gema, ya. Gue takut Una pikiran."

"Oh, iya. Kemaren gue denger dari panitia ambasador bakalan ada ...," Javier memberikan uang dua lembar 5000 pada tukang tambal, "ambil aja kembaliannya, Pak," katanya. Dia menyalakan kembali mesin mobil dan menderukannya. Sesaat kemudian, mobilnya menyatu dengan keriuhan jalan raya.

"Ada apaan?" tanya gue penasaran.

"Oh, itu. Kemungkinan pengumuman seleksi bakal diundur satu atau dua hari karena mau buka pendaftaran lagi soalnya dari hasil seleksi pesertanya kurang menjanjikan gitu."

"Ih, apaan sih? Orang gue lihat sendiri puluhan yang daftar ambasador, jadi enggak mungkin banget kalo kurang peserta."

"Ya mungkin selama seminggu ini ada kendala waktu seleksi. Kayak ngundurin diri, isi data kurang lengkap, atau asal-asalan." Javier membelokkan setir ke kompleks perumahan Aluna. "Ya tahu sendirilah, Extraordinary milihnya yang terbaik."

Gue menghela napas. Gua saja enggak tahu bakal lolos seleksi atau enggak. Tapi kalau ada Venya, pasti gue diloloskan. Apa hal ini ada sangkut pautnya dengan kedua orang itu? Venya dan Gema maksud gue.

"Coba tanya aja ke Venya kenapanya."

"Jangan ngajak ribut deh. Lagi males nih gue."

***

Gue mematung saat melihat senyum Aluna mengembang ketika kami datang. Gila sih dia cantik banget! Enggak bohong. Jujur, gue suka penampilannya yang seperti ini tanpa background rumah sakit. Dia pun terlihat cerah. Semoga enggak ada lagi drama rumah sakit. Gue mau Aluna sehat terus.

"Una...," Javier menyapa. Tangannya terulur dan Aluna menyambutnya. "Cerah banget, Cyin. Kale sampe jadi patung gitu ngelihat lo."

"Sialan!" Gue melemparkan tatapan tajam pada Javier, lalu menghampiri Aluna dan merangkulnya. "Sayang, itu siapa sih?"

Aluna tertawa. "Enggak tahu, Yang. Masuk aja, yuk!"

Kemudian, kami bertiga masuk ke teras belakang melewati slidding door kaca berbingkai kayu. Javier meletakkan dua kantung plastik putih berisikan pasir dan camilan. Sedangkan untuk sandpainting table, kata Aluna dia sudah memilikinya sejak lama.

"Nih, pesenannya!" Javier duduk di sebelah bawaannya.

"Latihannya entar aja, ya," kata gue sembari melepas ransel. "Gue capek, Na."

"Ya udah, enggak apa-apa." Aluna membenarkan ikat rambutnya. "Bentar ya gue ambil sandpainting table-nya di gudang."

"Lho, kok di gudang?" tanya Javier. "Berarti udah rusak dong. Kenapa tadi enggak bilang aja biar gue beliin."

Aluna tersenyum sekilas, lalu meninggalkan kami.

"Ih, Le, kok lo tidur sih? Cewek lo tuh ke gudang. Bantuin cepetan! Dia enggak boleh ngangkat berat-berat."

Gue yang baru saja memejamkan mata, berdecak dan segera menyusul Aluna yang tengah menuju ruangan di seberang rumah utama. "Biar gue aja, Na, yang ngambil," kata gue sambil mendahului langkah Aluna.

"Tapi lo enggak bakal tahu karena gue yang tahu tempatnya." Aluna mengambil kunci gudang di laci nakas hitam di samping pot berukiran ombak. "Ada kabar apa di sekolah?" tanyanya seraya memutar kunci, lalu membuka pintu. Tapi pergerakannya terhenti, dia berbalik dan memandang gue. "Kok suntuk amat, sih?"

Gue menggeleng. "Enggak apa-apa, Na."

"Jangan bohong! Gue udah kenal lo lama, Le. Cerita enggak?" Aluna mengangkat kepalan tangan di hadapan gue, seolah dia sedang mengancam akan benar-benar menonjok gue kalau enggak dituruti permintaannya.

"Muka lo enggak cocok jadi cewek galak, Na." Gue mengusap rambut Aluna. Lalu, tanpa menunggu aba-aba, dia masuk ke dalam gudang dan menyalakan lampu.

"Oh, ya udah. Entar gue tanya sama Javier aja."

Gue menghela napas. Memang selalu ada jalan untuk cewek itu membongkar hal yang ditutupinya.

"Kok gue lagi berasa lagi di film Narnia, ya?" tanya Aluna saat mendekati lemari besar yang terletak beberapa meter di depan pintu yang tertutup kain putih.

Dia menarik kain itu, lalu membuka pintu lemari yang tampak berdebu itu. "Lo juga bakalan nemuin dunia yang berbeda, kok," ditariknya benda persegi dengan kaca di atasnya, lalu memberikannya pada gue, "setelah kita menangin acara ini."

***

Javier rupanya sudah terlihat asyik memakan brownis. Terdapat juga segelas susu cokelat dan dua gelas kopi susu sesuai pesanan Aluna pada Bi Mei. "Eh, udah balik," katanya sambil cengengesan. "Abis pacaran lo, ya? Lama amat."

Aluna duduk di atas bean bag abu, tempat gue tadi menidurinya. "Lo apain cowok gue ampe mukanya kayak baju lecek gitu?" Matanya beralih pada gue. "Taro sini aja, Le, deket colokan."

Gue meletakkan benda tersebut di depan kaki Aluna, seperti yang diperintahkan tadi. Lalu, Aluna mengambil tisu di meja dan mengelapnya. Dia pun pindah duduknya jadi di karpet bersama kami

"Masih bisa, Na?" tanya Javier.

"Bisa dong. Cuma karena gue sibuk mau tes masuk ke SMA, ya jadi enggak gue sentuh lagi. Nah, udah bersih deh." Aluna meniup-niup meja. Diraihnya gulungan kabel putih yang terhubung dengan sandpainting table tersebut.

Aluna bertepuk tangan ketika sandpainting table menyala. Matanya berbinar. "Cantik, kan?"

Gue merasa hangat melihat mata indah Aluna. Dia berbinar dengan caranya. "Ya udah. Latihan sekarang."

"Tapi enggak ada pianonya. Lo gimana mau latihan?" Aluna memberengut.

"Pake YouTube aja," sahut Javier.

Gue mengelus pipi Aluna. "Iya, pake YouTube aja. Gue bisa latihan di rumah, kok. Yang penting samain dulu irama ngelukis lo sama irama pianonya."

Javier mengambil ponselnya. Jemarinya mencari aplikasi YouTube. "Jadi, apa judul yang mau lo mainin?"

"Nocturne Opus 9 Nomor 2."

"Chopin?"

"Iya."

Sementara dentingan piano mengalun, kulihat Aluna berdiam tampak berpikir. Mungkin tentang hal apa yang bisa menjadi paduan bagus dengan irama ini. Enggak lama kemudian, dia menoleh ke arah gue. "Bisa yang lain enggak, Le?"

"Ng..., apa ya? Beethoven yang Symphony No. 5 kurang nguasain gue. Nadanya cepet juga. Takut keseleo jari gue gara-gara lama enggak main piano."

Aluna mengangguk-angguk. "Kalo yang lebih selow gitu kayak yang di kotak musik, ada?"

"Oh, itu. Beethoven - Für Elise. Boleh juga, sih."

Setelah mendengarkan beberapa saat, akhirnya yang keluar dari Aluna sebagai respons hanyalah gelengan. "Terlalu cepet nada di akhirnya. Kurang suka."

"Yah, Na, keburu malem ini mah kalo kebanyakan nego," Javier memprotes.

"Emangnya lo mau ngelukis apa sih, Na?" Gue yang santai, tetap bersabar.

"Gue mau cerita tentang senja." Lalu, Aluna menjelaskan panjang lebar tentang konsep apa saja yang ingin dilukisnya.

"Kalo gitu, gimana kalo Tchaikovsky - Swan Lake Opus 20? Lebih lembut dibanding yang tadi," saran gue pada akhirnya.

"Ya udah, coba."

Enggak perlu menunggu lama, Aluna segera mengambil pasir dan mulai melukis. Dengan cekatan, dia melukis laki-laki dan perempuan. Lalu, ditariknya garis dari rambut laki-laki membentuk emosi marah. Si perempuan pun menangis kemudian berlari memandang senja. Dan berakhir dengan ada seorang laki-laki berkuda yang menghampiri si perempuan. Dalam tiga menit cerita itu berakhir pas dengan tempo irama piano.

"Kok lo bisa sih, Na?" tanya Javier dengan tatapan takjub. Gue pun sama sekali enggak menyangka bakat terpendam Aluna.

"I knew you could do it," komentar gue.

Pipi Aluna bersemu merah. "Thank you. Ternyata gue masih bisa."

"Sumpah, Na. Nanti gue mau duduk paling depan nonton kalian!"

"Ah, lebay lo!" Aluna menyesap susu cokelatnya. "Oh, iya. Tadi pertanyaan gue belum lo jawab. Kale kenapa?"

"Oh, itu. Kale beberapa hari ini nginep di rumah gue."

Gue memelototi Javier. "Kenapa lo kasih tahu, sih?"

Aluna berpaling ke arah gue. "Sejak kapan?"

"Sejak hari ulangan Matematika," sahut Javier.

"Besok pulang! Gue ikut nganter." []

[1]11:11 (2018)




Continue Reading

You'll Also Like

110M 3.4M 115
The Bad Boy and The Tomboy is now published as a Wattpad Book! As a Wattpad reader, you can access both the Original Edition and Books Edition upon p...