intersection ; bae173.

By ocsahi

266 103 53

Semuanya bancuh, akibat salah seorang dari mereka menawarkan dua jalan di persimpangan. © ocsahi, 2021. start... More

n.
meet the cast.
OO. prolog
O1. cafetaria
O2. kericuhan di lapangan
O3. noktah incaran
O4. tap! tap!
O6. hutan dan cahaya terang
O7. ada yang lain, selain kita
O8. berita buruk

O5. batas wilayah arwah

7 5 8
By ocsahi

Jeymin menendangi mobilnya yang pada saat darurat seperti ini malah tidak melaju sama sekali, alias mogok. Padahal saat tadi pagi ia gunakan tetap baik-baik saja. Sungguh, ini menyebalkan sekali.

Tetapi beruntung seperti malaikat yang sering membantu dalam kesusahan, seseorang datang untuk membantu Jeymin menuju tempat tujuan.

"Gimana mobilnya bisa jalan gak?"

Jeymin menggeleng. Sudah ia periksa mobil itu tetap tidak bisa.

"Yaudah ayo naik, nungguin apa lagi?" Pahlawan situasi Jeymin di sana menyegerakan dan menitah agar Jeymin duduk di jok belakang motornya.

"Nanti lo gada kelas lagi emangnya?" Jeymin bertanya, dibalas anggukan. "Kalo takut gak keburu, gausa deh gapapa gue bisa naik gojek. Jangan repot-repot, Gyul."

Sementara mahasiswa lain berada di ruangan kelasnya masing-masing, kedua mahasiswa itu berada di parkiran. Siapa sangka lagi, ternyata mereka dipertemukan kembali oleh permainan semesta.

Tadi Hangyul yang akan mengambil obeng di dalam bagasi motornya tidak sengaja melihat seseorang di balik mobil hitam legam. Rambutnya sangat mencolok, seolah mengajak Hangyul untuk menghampiri sosok tersebut.

Dan luar biasa kejutan tak terduga, mereka yang tadi pagi dihukum bersama kembali bertemu muka.

"Sumpah lo jangan sungkan gitu dah! Ayo buru naek!" perintah Hangyul.

Sebenarnya Hangyul tidak tahu keadaan gawat apa yang sedang menghampiri Jeymin, tetapi dilihat dari raut mukanya pasti sangat menaaskan.

Arah jalan ditunjukkan oleh Jeymin dengan tunjukan jari atau arahan kiri dan kanan. Sampai keduanya tiba di salah satu rumah yang sangat ramai dibanding rumah-rumah di komplek tersebut. Juga ada sebuah bendera kuning dan foto remaja perempuan menghiasi di depan rumah.

Sepertinya Hangyul kini tahu apa yang sedang terjadi terhadap sahabat dengan rambut birunya itu.

Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah, menyambut Jeymin yang baru datang dengan isak tangis kencang seraya memeluknya erat.

Orang-orang yang berada di sana agak memundurkan diri sedikit, beberapa ikut terharu dengan mengungkapkannya lewat tangis walaupun tidak terlalu kencang.

Hangyul masih mematung di depan pintu pagar. Tidak tahu apa yang akan dia lakukan saat melihat kejadian di hadapannya.

Bahkan sekarang, isak tangis dari Jeymin pun perlahan mulai terdengar samar. Wanita yang memeluknya berusaha menenangkan Jeymin yang masih belum terima jika adiknya meninggal hari ini.

"Kakak, harus ikhlasin dia ya? Mau bagaimanapun juga ini semua sudah menjadi konstanta takdir semesta." Wanita paruh baya—yang Hangyul akui sebagai ibunya Jeymin—mulai mengelus kepala anak laki-lakinya dengan keadaan masih setengah menangis .

"Gimana bisa kakak ikhlasin, Ma? Kakak masih belum bisa terima. Kakak belum maafan karena udah jahilin dia selama ini, selalu egois dan banyak lagi. Rasa bersalah masih ada di dalam hati kakak..." ucap Jeymin lirih.

Ibu Jeymin menggeleng pasti. "Nggak. Kakak pasti udah dimaafin sama dia, walaupun gak diungkapin secara yakin Mama yakin dia udah maafin kakak."

Tangis Jeymin tidak terbendung lagi, teriak kencang keluar dari mulutnya. Pikirannya kacau tidak terkendali. Masih belum terima dengan omong kosong takdir apalah itu.

Dua puluh menit yang lalu, Jeymin ditelepon oleh Mamanya untuk segera pulang, awalnya ia acuh tak acuh saja karena mungkin hanya seperti sebelum-sebelumnya. Mamanya akan berangkat dinas, dan berpamitan sebentar. Tapi karena Jeymin mendengar suara riuhnya telepon Mama di seberang, Jeymin merasa ada yang janggal.

Benar. Dugaannya kali ini tidak meleset.

Mama Jeymin membujuk anaknya untuk masuk ke dalam rumah, melihat adik perempuannya untuk terakhir kali sebelum dikebumikan.
Mama Jeymin juga mempersilakan Hangyul untuk masuk ke dalam, karena tidak enak jika berada di rumah duka tetapi tidak menginjakkan kaki ke dalamnya.

Hangyul meneguk ludah. "Iya tante, saya nanti nyusul masuk ya."

Lima menit kemudian, Hangyul sudah menampakkan batang hidungnya di rumah besar tersebut. Terlihat ada pelayat di dalam sana, dan tiga remaja laki-laki yang sedang bersembunyi di antara pelayat di sudut ruangan?

Hangyul mengernyitkan alias lantas menghampiri ketiga anak adam yang kira-kira seumuran dengan adiknya Jeymin. Duduk bersila di samping salah satunya.

"Kalian kok mencurigakan?" Hangyul menelisik, menatap ketiganya dari atas sampai bawah bergantian.

Yang memiliki senyum secerah mentari malah menatap balik curiga. "Justru kakak yang mencurigakan," sahutnya.

"Gue baru aja tahu dan baru sampe ke sini, lho?" ucapnya dengan menunjuk diri sendiri.

"Kalian? Kalian ngapain coba di sini padahal gak ada anak SMP yang ikut ngelayat, mana adeknya Jeymin kan cewek. Kalian anak cowok, bertiga lagi, gue tanya apa hubungan kalian sama adeknya Jeymin?"

"Kita temen adeknya, kenal karena satu sekolahan lah?"

"Masa cewek temenan sama cowok, mana anak cowoknya modelan begini semua."

"Kan temenan jangan mandang ada apanya, kak. Ya kita fine-fine ajasih."

"Masa sih?"

"Terserah mau percaya atau enggak. Udah dijelasin juga kan."

"Dih jangan-jangan kalian kesini buat nyuri uang duka? Kecil-kecil udah jadi maling entar gedenya mau jadi apa, ha?"

Ketiganya langsung bungkam, dituduh begitu gimana enggak kicep.

"Duh stop deh. Daripada kita ribuuut di situasi yang gak tepat, mending kita kenalan aja gimana? Nama gue Dohyon, kak. Panggil aja dodo hehe."

"Ini yang di sebelah kanan gue, namanya Doha. Terus yang di sebelah kiri sekaligus yang ada di samping kakak namanya Bit." Lanjut Dohyon sambil menunjuk satu-persatu orang yang disebutnya.

"Dih kalian gasopan banget pake lo-gue kayak ke orang seumuran aja," jawab Hangyul.

"Biar kece, kak."

Hangyul mendengus, memutarkan bola matanya kesal. "Kenalin, nama gue Hangyul."

— —

Sehabis orang-orang selesai melayat, Doha, Bit dan Dohyon juga ikut memutuskan pulang ke rumah. Mereka berjalan kaki menyusuri komplek rumah ini, sesuai rencana ketiganya tidak akan langsung pulang ke rumah masing-masing tetapi akan melakukan latihan drama dahulu di salah satu rumah antara ketiganya.

Terik matahari agak menyilaukan pandangan, dengan masih membawa tas sekolah membuat peluh bercucuran.

"Di rumah Bit aja deh, lumayan deket dari sini kan? Ini gue males jalan kaki jauh lagi haduh ples." Doha mengajukan saran seraya menyeka peluh di pelipisnya.

Dohyon mengendikkan bahu. "Auk deh, coba tanya Bit. Soalnya takut enggak bisa atau gamau," jawabnya dengan mengarahkan pandangan ke belakang.

Jadi posisinya tuh mereka bertiga jalan barengan tapi Doha Dohyon jalan beriringan di depan sedangkan Bit ada di belakang sendirian. Tadi sih, Dohyon lihat Bit tengah sibuk dengan ponselnya.

"Duh mana gue nggak apal daerah sini, Bit kenapa gak mimpin jalan sih!" gerutu Doha.

"Lagi telponan, tuh." Dohyon menjawab sambil menunjuk dengan telunjuknya ke keberadaan Bit yang ada di belakang mereka. "Paling ditelpon sama bundanya."

"Hadah. Punya temen yang satu tukang makan, yang satu anak bunda banget."

"Gue juga punya temen kok ngeluh terus, heran katanya anak jenius tapi kerjaannya ngeluh aja terus."

"Apanih, nyindir?"

"Menurut ngana?"

"Yaiya."

"Tu tau."

"Sabar gua sabar." Doha menjawab lalu melangkah mundur untuk menghampiri ke sisi samping Bit. "Rumah lo berapa jauh lagi dari sini? Kita latihan di rumah lo aja ya, soalnya yaa kejauhan kalo ke rumah gue atau dodo."

Bit menoleh, terus mengangguk. "Sip, gapapa di rumah gue aja. Hm, kira-kira sebentar lagi juga sampe. Nanti di depan ada persimpangan nah kita ambil jalan ke kanan lanjut beberapa langkah ada rumah warna putih."

"Nah bagus." Jawab Doha dan betul saja di depannya kini ada jalan persimpangan.  Saat dia dan Bit berjalan ke arah kanan, Dohyon yang mendahului mereka malah sebaliknya—memilih ke kiri.

"Hoy, Do! Mau kemana lo anjir bukan ke arah sana!"

Bukannya ada respon atau menjawab teriakan Doha, Dohyon terus melangkahkan kakinya menyusuri jalanan.

"Anjir kurang kenceng apa ya suara gue?" monolog Doha.

"Wadaw jangan-jangan Dodo ngelewatin batas wilayah arwah."

Bit langsung berlari mengejar Dohyon di seberang, juga disusul Doha yang masih mencerna apa yang dikatakan Bit barusan.

"Batas wilayah arwah apaan?"




© ocsahi, 2021.


jadwal update belum ditentukan, jadi jangan heran kalo aku update banyak di satu waktu.
remaja emang gini, suka labil

Continue Reading

You'll Also Like

181K 16.2K 24
••Alethea Andhira Gadis cantik yang memiliki kehidupan sederhana memiliki sifat rendah hati dan ramah. Sosoknya yang cantik tidak membuatnya memiliki...
9.8M 1.2M 60
"Sumpah?! Demi apa?! Gue transmigrasi cuma gara-gara jatuh dari pohon mangga?!" Araya Chalista harus mengalami kejadian yang menurutnya tidak masuk a...
2.2M 194K 41
Kalisa sungguh tidak mengerti, seingatnya dia sedang merebahkan tubuhnya usai asam lambung menyerang. Namun ketika di pagi hari dia membuka mata, buk...
561K 33K 57
Selena Azaerin, walau dirinya bekerja sebagai agen intelijen negara, Selena tak pernah kehilangan sifat cerobohnya. Ketika gadis itu telah menyelesai...