O1. cafetaria

19 11 4
                                    

Gedung bertingkat dengan keadaan pepohonan tertata rapi tidak lupa beberapa kupu-kupu hinggap juga berterbangan di sekelilingnya. Disinilah keberadaan orang misterius yang sedang mengincar seseorang.

Tidak jauh sekitar duapuluh meter selisih jarak mereka. Ekor mata dia menangkap dari kejauhan ke arah satu orang anak yang sedang berbicara santai bersama kedua orang temannya.

"Misi pertama, tembak."


- -

"Lo tau gaksih tadi pagi gue agak parnoan liat muka lo kayak diambang gamau kena hukum sama mau nangis." Hangyul tertawa kecil, sedangkan Jeymin menggaruk tengkuknya- dia sedang sedikit malu.

"Gue juga bingung, perasaan tadi gue berangkat pagi-pagi deh, di jalan gak macet gak ada kendala tapi kok bisa gue dateng telat ke sekolah."

"Perasaan doang."

Jmin menyesap americano-nya. Tepat hari ini anggap saja Hangyul dan Jmin sudah bersahabat. Gak tau, pokoknya mereka udah temenan semenjak insiden datang telat ngampus.

"Tapi gue yakin banget deh, pas gue berangkat keadaan langit masih merah muda- matahari baru nongol terbit. Anginnya juga masih dingin, suhu belum hangat hangat banget."

Hangyul mengendikkan alis. "Lo . . halu?"

"Gak. Mana ada halu woy!"

"Jujur sama gue, kemaren malem lo mabok berapa gelas?"

"Gue gak pernah minum alkohol. Gue gak pernah mabok, dan gue gak halu. Emang beneran gitu kok kenyataannya."

"Aneh. Lo aneh."

"Maksudnya? Kok jadi ngatain gue aneh?"

"Ya terus kalo bukan halu kejadian yang lo ceritain tadi apaan dong?"

"Mana gue tau lah."

Keduanya terdiam sejenak. Pikiran masing-masing tampak semrawut- apalagi Hangyul. Belum lagi masalah kuliahnya yang mandet di revisi judul terus dan sekarang dia berleha-leha memikirkan hal yang tidak penting, mungkin.

"Eh gue baru tau kalo kita sama-sama seangkatan, lo mahasiswa Teknik Sipil kan? Gue ambil jurusan Psikologi." Jeymin menduga.

"Males ah, gausah ngomong tentang kuliah otak gue pening." Hangyul memijat pelipis, merasa muak dunia perkuliahan menjarah emosinya.

Setelah beberapa saat, Hangyul merasa sesak di dadanya. Teringat orangtuanya di kampung halaman, dia sangat rindu mereka. Merantau untuk kuliah di kota orang memang menjadi tantangan yang kesekian kali dalam kehidupannya.

Hingga tanpa sadar, Jeymin memperhatikan air muka Hangyul yang berubah.

"Gyul, kalo lo mau ceritain sesuatu cerita aja, ya? Gue siap kok dengerin, yaa meskipun gak ngasih solusi gue bisa jadi pendengar yang baik kok." Omong Jeymin.

"Lo bisa baca pikiran gue apa gimana?"

"Enggak. Tapi gue tau aja soalnya raut muka lo kebaca banget, kalo boleh nih gue bilang eum . ." Jeymin menjeda jawabannya.

Hangyul menyipitkan mata. "Apa?"

"Maaf nih ya sebelumnya, sebenernya muka lo kayak monyet kecut."

"ASEM BANGET MAKSUD LO APA?!" bentaknya dengan melotot.

Jeymin terpingkal-pingkal puas dengan respon Hangyul. "Sekarang gue harus ke perpustakaan mau ngembaliin buku. Dah ya, duluan."

Mahasiswa bersurai biru tersebut hendak berdiri- meninggalkan Hangyul yang masih tetap duduk di kursi cafetaria kampus. Sejujurnya Hangyul masih kesal, tapi namanya juga bercandaan.

Ia tidak melepaskan pandangannya dari punggung Jeymin yang perlahan semakin menjauh, Jeymin tampak mencolok dari mahasiswa lain dikarenakan warna rambutnya itu.

tting!

Hangyul membuyarkan pandangan kemudian merogoh ponselnya. Ada satu pesan yang masuk.


nanti sore gausa jemput gue.


Begitu bunyi chat yang Hangyul terima sudah dibaca di tab notifikasi, dia tidak membalasnya dengan membuka aplikasi lagi. Hangyul malah menaruh kembali ponsel ke saku lalu beranjak pergi dari cafetaria dengan napas gusar gelisah.



© ocsahi, 2021.

lanjut gak lanjut, lanjutin aja deh hahai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

lanjut gak lanjut, lanjutin aja deh hahai.

oya

intersection ; bae173.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang