Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

977K 98.9K 3.3K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 25: About fried rice

16.8K 1.7K 31
By storiesbyyola

LUNA

Hari ini Mas Jero meminta timnya untuk berkumpul membahas proyek-proyek yang sedang berlangsung. Aku melirik Dewa dan Hanifa ketika Mas Jero menyambut kami dengan mukanya yang kusut.

"Progress KA-ANDAL udah sampai mana?" tanya Mas Jero.

"Masih pembuatan ruang lingkup studi, Mas," jawab Hanifa. Dia bermain mata dengan Dewa, konsultan lain yang bekerja di bawah tim Mas Jero. "Kliennya agak late response pas dimintain dokumen-dokumen yang kita butuhin."

Mas Jero mengangkat sebelah alisnya. Dilihat dari ekspresinya, aku dapat menangkap bahwa dia tidak suka dengan informasi tersebut. "Udah follow up ke klien, Lun?"

Aku mengangguk mantap. "Udah, Mas. By email dan Whatsapp, tapi mereka selalu bilang nanti dikirimin. Sampai sekarang aku masih belum terima dokumennya, Mas."

"Udah seminggu sejak meeting terakhir. Mereka janji buat kasih dokumen yang kita minta di minggu yang sama saat kita meeting, kan?" tanya Mas Jero, berdecak kesal. "Dokumen apa yang masih belum mereka kasih?"

"Semua tentang proyek yang bersangkutan, Mas," sahutku lagi dengan tenang. Meski sebenarnya jantungku berdetak dengan kencang, mengantisipasi kemarahan Mas Jero.

"Terus lo nggak report sama sekali ke gue? Kenapa lo nggak bilang ke gue sebelum weekend kalau lo belum terima dokumennya?" omel Mas Jero. Setelah sebulan lebih berkerja di sini, aku sudah mulai terbiasa dengan omelannya ketika muncul hambatan-hambatan seperti ini dalam proyek. "Kalian tahu kan, kalau klien minta KA-ANDAL selesai bulan ini? Dan itu artinya kalian cuma punya sisa waktu tiga minggu buat selesaikan semuanya. Kalau dokumen aja belum lo pegang, mau selesai kapan? Gue nggak mau denger lo semua ngeluh, ya, kalau terpaksa harus lembur pas mendekati deadline."

Aku, Hanifa, dan Dewa saling melirik. Kalau Mas Jero sudah mengomel panjang, kami memang memilih untuk tidak menyahuti karena tidak ingin manajer itu semakin murka. Walaupun terkadang Mas Jero juga akan semakin marah dan menggerutu jika kami tidak menimpalinya.

"Denger, nggak?" tanya Mas Jero dengan nada yang meninggi. "Kalau gue ngomong, tuh, disahutin. Jangan cuma diem aja."

Tuh, kan!

Sontak, kami bertiga langsung berkoar. "Iya, Mas."

"Penilaian KA-ANDAL itu lama, butuh waktu lebih dari sebulan bahkan bisa lebih dari dua bulan," cerocos Mas Jero lagi, diiringi dengan penjelasan lebih lanjut mengenai proses penilaian KA-ANDAL oleh Komisi Penilaian AMDAL—yang tentunya sudah kuketahui. "Gue nggak mau tahu pokoknya dokumen itu udah harus kalian terima hari ini. Kalau sampai lunch belum kalian terima, kasih tahu gue supaya gue bisa follow up langsung ke manajer HSE-nya. Paham?"

Lagi, kami menyahut berbarengan. "Paham, Mas."

"Minggu ini gue mau bab deskripsi rencana kegiatan proyek, dampak penting hipotetik yang harus dikaji, batas wilayah studi, dan batas waktu kajian harus selesai. Bisa?"

Melalui tatapan mata, aku tahu bukan hanya aku saja yang tidak dapat menyanggupi permintaan tersebut, tetapi Hanifa dan Dewa juga memiliki pemikiran yang sama. Namun, karena tidak ingin mendengar rentetan omelan Mas Jero yang kemungkinan tidak akan berhenti dalam lima belas menit ke depan apabila kami mengatakan tidak, maka kami semua hanya mengangguk bersamaan.

"Good." Mas Jero tersenyum puas. "Hari ini follow up lagi ke orang HSE-nya, Lun."

Aku menegakkan tubuh begitu mendengar namaku disebut. "Oke, Mas."

"Okay. Now, back to work."

Tak membutuhkan waktu yang lama hingga aku mengikuti pergerakan Hanifa dan Dewa untuk membereskan barang-barang di meja lalu melangkah keluar dari ruang meeting. Begitu aku duduk di kubikel, Hanifa membanting notes yang dia bawa ke meja dan mengembuskan napas dengan kasar, seolah ingin semua orang tahu kalau dia sedang kesal dan tidak senang dengan hasil meeting hari ini.

"Mas Jero akhir-akhir ini makin emosian, ya?" komentar Hanifa dengan hidung yang kembang-kempis, pemandangan yang sudah beberapa kali kulihat. "Dulu Mas Jero nggak separah ini, lho?! At least kalau kesalahannya dari klien, dia nggak akan marahin kita, paling dia gerutu bentar karena klien lama tapi nge-push kita buat kerja cepet."

Dewa menaikkan bahu, tampak tidak begitu memusingkan kemarahan Mas Jero. Dia meraih setoples nastar di mejaku kemudian memakannya tanpa merasa berdosa. Seniorku yang satu itu memang sudah melakukannya beberapa kali—menghabiskan berbagai cemilan yang kusimpan. Awalnya dia selalu meminta izin, tetapi karena aku tidak pernah mengatakan tidak, sepertinya dia mulai merasa nyaman untuk menyantap cemilanku. Sebagai gantinya, Dewa sering mentraktirku kopi.

"Efek mau menikah, tuh," sahut Dewa enteng. Eh? Aku baru tahu kalau Mas Jero baru akan menikah. Kupikir selama ini manajer itu sudah berkeluarga mengingat umurnya sudah menginjak kepala tiga. "Mungkin dia ribut terus sama calon istrinya perihal persiapan menikah. Pasangan kebanyakan kan, begitu. Semakin dekat dengan tanggal pernikahan, semakin banyak ributnya karena perbedaan pendapat."

"Padahal pernikahannya sebentar lagi. Seharusnya persiapan udah 70 sampai 80 persen, kan? Mereka tinggal memastikan kalau nggak ada miskom dengan WO di hari-H. Harusnya aura Mas Jero tuh cerah, berbahagia. Ini makin hari malah makin suram," gerutu Hanifa, membanting tubuhnya di kursi.

"Pantes aja Mas Jero ngomel begitu tahu progress nggak signifikan," celetukku. Kontan, Hanifa dan Dewa menoleh, seperti tidak mengerti mengapa aku menyimpulkan hal itu. "Mas Jero pasti nggak akan tenang selama cuti menikah kalau KA-ANDAL nggak bisa selesai bulan ini. Selain diteleponin klien, pasti dia juga dicecar sama atasan."

"Keren juga analisis lo," gumam Dewa.

Hanifa mendengus. "Kok lo nggak kesal, Lun?" tanyanya. "Padahal lo kena damprat juga karena lo yang ngurus dokumen-dokumen klien. Udah mulai beradaptasi, ya, sama omelannya Mas Jero?"

Aku menyengir.

Sejujurnya, menerima omelan Mas Jero bukanlah hal yang besar. Tinggal terapkan solusi masuk kuping kanan keluar kuping kiri supaya tidak begitu sakit hati mendengar perkataannya yang terkadang menusuk.

Lagi pula, dibandingkan dengan kantorku yang lama, rentetan kemarahan Mas Jero tidak berarti apa-apa. Setidaknya, di tempat kerjaku yang sekarang, lingkungan kerja masih suportif dan tidak saling menyikut untuk mencari muka ke atasan. Belum lagi anggota timku cukup ceriwis dan menghibur kala penat menghampiri setelah menatap laptop dan membaca dokumen berjam-jam. Hal yang tidak pernah kudapatkan di kantor lamaku.

"Namanya juga anak baru, masih jaim," ledek Dewa sambil mengunyah. "Tunggu aja minggu depan. Potong leher gue kalau Luna nggak ikutan ngomel setelah kena damprat Mas Jero."

"Kok lo begitu sih, Wa?" cetusku, meliriknya jengkel. "Lagian, ya, kerja itu kalau dikit-dikit diambil hati yang ada malah makan hati sendiri. Namanya juga atasan. Kerjaannya apalagi selain omelin kacungnya?"

"Aduh, bijaknya anak baru ini," canda Dewa. Tangannya yang penuh serpihan kue nastar mengelus rambutku. Yang tentu saja langsung kutepis karena serpihan itu berpindah ke helaian rambutku. "Kita lihat aja, Fa, sampai kapan Luna bertahan buat bersabar sama Mas Jero."

"Gue taruhan minggu depan Luna juga hilang kesabaran!"

Dewa tergelak. "Nggak perlu nunggu minggu depan, gue yakin minggu ini Luna pasti udah ngomel-ngomel karena terpaksa lembur dan harus revisi laporan."

"Yang menang dapet apa, Wa?"

"Bayarin lunch. Menunya up to winner."

"Deal!"

"Woi! Yang bener aja gue dijadiin bahan taruhan!" protesku tidak terima, mengalihkan pandangan dari email yang masih kosong. "Sebagai teman seharusnya lo bangga karena masih ada orang berkepala dingin di tim ini dalam nerima segala bentuk kemarahan Mas Jero. Bukannya malah didoain ikutan panas juga!"

Hanifa menyengir tidak berdosa. "Kita butuh hiburan."

Aku melengos. "Terus gue mesti jadi badutnya gitu?"

"Luna." Suara Mas Jero berhasil menghentikan perdebatan tidak penting kami. Diikuti dengan Dewa yang segera menaruh toples nastar dan menarik kursinya kembali ke kubikelnya. Aku menoleh ke arah Mas Jero. "Email udah dikirim?"

Aku membasahi bibir. "Belum, Mas."

Pria itu menengok jam tangannya lalu mencibir nyinyir. "Udah sepuluh menit sejak lo keluar dari ruang meeting, tapi email masih belum dikirim? Kenapa? Bingung mau ngomong gimana ke klien? Perlu gue dikte isi emailnya?"

Aku menggeleng pelan. "Ini lagi diketik, Mas."

"Kalau disuruh itu langsung dikerjain, jangan ngobrol terus sampai lupa tanggung jawab," celetuknya pedas. Aku hanya bisa menahan diri untuk tidak mengelus dada. "Kirim sekarang ke klien. Jangan lupa CC ke gue dan manajer HSE-nya."

Tanpa menunggu sahutanku, Mas Jero berlalu begitu saja. Aku menekan bibir hingga membentuk garis lurus lantas mengetik isi email yang ditujukan kepada staf HSE yang bertanggung jawab. Tidak lupa memasukkan email Mas Jero dan manajer HSE di bagian CC.

"Kayaknya nggak perlu nunggu akhir minggu atau minggu depan, nih," timpal Dewa yang tiba-tiba sudah berada di sampingku. "Hari ini kesabarannya juga udah abis."

Hanifa meluapkan tawa sedangkan aku mendesis pelan.

"Diem lo, Wa!" ujarku kesal sambil melempar gulungan tisu ke arahnya.


*


Dua hari terakhir, aku terpaksa lembur karena Mas Jero tidak main-main dengan permintaannya yang menginginkan beberapa aspek dalam KA-ANDAL harus selesai minggu ini agar bisa dia review sambil kami melanjutkan analisis ke aspek selanjutnya yang berkaitan dengan rona lingkungan dan metode uji.

"Mau ngopi lagi, nggak?" tanya Dewa. Dia berdiri dari kursi sambil meregangkan tubuh. Sudah jam sembilan dan kami semua masih berkutat di depan laptop masing-masing untuk menyelesaikan pekerjaan. "Gue mau ke pantry bikin kopi lagi."

"Gue mau, Wa. Nitip bikinin buat gue sekalian," pinta Hanifa dengan lesu.

Aku menjatuhkan kening di atas meja lalu menggumam. "Gue lebih kepengen makan daripada minum kopi."

"Mau gue pesenin makanan?" tawar Dewa.

Aku sontak menolak. Lebih baik aku menyelesaikan pekerjaan ini dulu agar bisa makan malam dengan tenang. "Gue makan sekalian pulang aja nanti. Sekarang mau kerjain ini dulu. Sedikit lagi selesai, kok."

Dewa tidak memaksa dan segera berjalan ke pantry untuk menyeduh kopinya yang entah ke berapa gelas dalam hari ini.

"Masih belum selesai?" tanya Mas Jero, berdiri tidak jauh dari pintu ruangannya sambil bersedekap. Demi Tuhan, aku nyaris muak mendengar pertanyaannya akhir-akhir ini yang selalu sama. "Masih sebanyak apa, Lun? Lo bilang hari ini bisa selesai."

Aku tersenyum simpul. "Sebentar lagi selesai, Mas."

"Lo juga bilang gitu sejam yang lalu."

Aku mendengar Hanifa mendengus, menunduk di balik kubikelnya dengan mulut yang komat-kamit sedang menyumpahi Mas Jero. "Ini lagi dikerjain, Mas," tukasku, menahan geraman yang nyaris keluar dari mulut.

"Hari ini harus selesai," tegasnya.

"Iya. Mas udah ulang-ulang hal itu lebih dari lima kali hari ini." Aku menyindir halus, masih mempertahankan senyum di wajah. "Tenang aja, Mas. Aku tanggung jawab, kok. Pasti selesai malam ini sesuai permintaan Mas meskipun harus lembur sampai subuh."

"Kalau nggak selesai, besok harus lo lanjutin. Lembur deh, tuh, weekend."

Hell no! Lebih baik aku lembur sampai pagi daripada harus melanjutkan pekerjaan ini besok. Di hari Sabtu. "Bisa selesai kok, Mas."

Mas Jero memutar bola matanya. "Lo juga udah ulang hal itu lebih dari lima kali hari ini tapi udah jam sembilan kerjaan lo masih belum selesai juga." Kemudian, dia menoleh kepada Hanifa yang berpura-pura tidak menyimak padahal aku tahu dia memasang telinga. "Lo juga, Fa. Udah bertahun-tahun kerja di sini tapi kerja masih lama. Dewa ke mana? Ngerokok? Udah kelar kerjaannya?"

"Lagi bikin kopi, Mas," cetus Hanifa, agak judes. "Kalau nggak ngopi, bisa ketiduran. Kerjaan nggak bisa selesai hari ini."

Mas Jero berdecak kemudian kembali ke ruangannya. Seperti biasa, Hanifa langsung menggerutu dengan berbagai umpatan kasar terselip di dalamnya. Sedangkan aku hanya bisa mengelus dada sambil melanjutkan pekerjaan yang tertunda.

"Kenapa lagi?" tanya Dewa usai kembali dari pantry. Dia menaruh segelas kopi di meja Hanifa. "Mas Jero ngomel lagi?"

Aku meliriknya malas. "Menurut lo?"

Dengan sisa-sisa semangat dan sepercik kemarahan berkat nyinyiran Mas Jero, aku mengetik dengan cepat. Tidak lama setelah aku menyelesaikan pekerjaanku, Hanifa dan Dewa juga selesai dengan seluruh pekerjaannya. Secara serentak, kami mengirim email kepada Mas Jero. Aku menyandarkan punggung pada kursi, mengistirahatkan pinggang yang kebas. Sambil menunggu respons Mas Jero, aku meraih ponsel yang tidak tersentuh setelah makan siang.

Aku mengernyit ketika melihat sekumpulan chat Whatsapp yang belum terbaca kemudian membuka salah satu pesan yang berhasil menyita perhatianku. Pesan yang berada paling atas, dikirim baru setengah jam yang lalu.


Aksa: Masih di kantor? Atau udah pulang?

Luna: Kantor.


Sejak menghabiskan weekend bersama di Bogor seminggu yang lalu, dia mulai rutin mengirimkanku pesan. Mayoritas pesannya muncul di jam makan siang—untuk mengingatkanku agar tidak lupa makan—dan di jam pulang kantor—untuk memastikan aku pulang dengan selamat.

Aku sadar sejak dia memberikan penjelasan yang kuinginkan, ada yang berubah dalam hubungan kami. Rasa canggung yang kumiliki setiap bertemu dengannya menghilang tidak bersisa. Aksa mulai menghubungiku beberapa kali di sela-sela kesibukannya. Walaupun ada beberapa hal yang masih harus dibicarakan, tetapi penjelasan yang dia berikan kemarin sudah cukup untuk saat ini. Untuk sekarang, aku tidak akan meminta lebih meski masih ada pertanyaan di benakku yang belum terjawab.


Aksa: Balik ke Bintaro?

Luna: Ke Kebayoran Baru.

Aksa: Mau bareng?

Luna: Lo belum pulang?

Aksa: Ini lagi jalan ke parkiran. Mau gue jemput?


Aku berpikir sebentar, mempertimbangkan tawarannya. Kebetulan hari ini aku tidak membawa mobil, terlalu lelah untuk menyetir sendiri setelah lembur berhari-hari. Well, tidak ada salahnya kan, menerima tawaran itu?


Luna: Boleh.

Aksa: Tunggu di lobi aja, ya. Gue otw ke kantor lo sekarang.

Luna: Oke.


Aku mengangkat kepala ketika mendengar pintu ruangan Mas Jero terbuka. Sontak, aku menaruh ponsel di atas meja, tidak ingin mendengarnya menyinyiriku karena sibuk chatting-an di jam kerja—walaupun sekarang juga sudah tidak layak disebut jam kerja.

"Kalian boleh balik," ujar Mas Jero kalem. "Thank you atas bantuannya. Have a nice weekend."

Terlepas dari omelannya yang menusuk hati dan pemilihan katanya yang tidak dipikir dua kali kalau sedang marah, Mas Jero bukanlah orang yang pelit apresiasi dan tidak segan mengucapkan terima kasih atas segala pekerjaan dan bantuan yang kami berikan.

Seperti sudah menunggu izin itu sejak lama, kami langsung bergegas merapikan barang yang berserakan di atas meja dan berpamitan pulang. Sebuah mobil yang familiar di mataku terparkir di depan lobi yang sepi. Ketika aku berjalan mendekat, kaca mobil itu bergerak turun, menampilkan sosok di dalamnya yang menyambutku dengan senyuman lebar.

"Whoa, you really need a rest," komentar Aksa setelah aku memasang seatbelt. "Sepanjang kenal sama lo, baru kali ini gue lihat lo seberantakan ini."

Aku menghela napas sambil meluruskan punggung. Sesungguhnya, aku sudah tidak peduli dengan penampilanku sekarang. Rambutku diikat asal-asalan dengan beberapa anak rambut keluar dari kunciran. Make up-ku mungkin sudah tidak on karena touch up sama sekali tidak terlintas di pikiranku ketika Mas Jero keluar dari ruangannya dua jam sekali untuk menanyakan progress. Untungnya parfumku masih melekat di pakaian. Setidaknya Aksa tidak akan mencium keringatku setelah bekerja seharian.

Mataku mengarah kepadanya, meneliti penampilannya yang tidak jauh berbeda. Kemeja yang digulung sampai siku serta satu kancing yang dilepas terbuka. Tapi, entah kenapa, penampilan itu tidak membuat Aksa terlihat berantakan. Justru membuatnya tampak beribu kali lipat lebih menarik.

"And you still look good," akuku setelah tidak terlintas komentar lain yang cocok untuk menggambarkannya. Pengakuan itu mengundang senyum geli terbit di wajah Aksa. "Nggak usah senyam-senyum!"

"Emangnya kenapa?" Gelak tawa Aksa terdengar ketika dia melajukan mobil menjauh dari lobi tower kantorku. "Gue nggak boleh senang karena lo puji?"

Aku mendengus.

"Lembur hari ke berapa?" tanya Aksa setelah tawanya reda.

"Hari ketiga," ringisku. "Kelihatan berantakan banget, ya?"

Mendadak aku jadi menundukkan kepala karena merasa tidak percaya diri begitu mendengar pertanyaannya. Aku memperhatikan penampilan tapi tidak ada yang salah dengan pakaianku. Dengan cepat, aku mengambil ponsel dari dalam tas, membuka kamera dan nyaris mengumpat melihat wajahku sendiri. Bibirku pucat karena lipstik yang kupakai sudah tidak bersisa. Blush on yang berguna untuk memberi warna pada wajah pun sudah hilang. Belum lagi mata yang menyorot redup. Siapapun yang melihatnya pasti akan mengira kalau aku baru saja dieksploitasi oleh kantorku sendiri.

"You look very tired," cetus Aksa, masih fokus pada jalanan. "But still beautiful."

Mataku mengerjap, tidak menyangka akan mendapatkan pujian itu. Beberapa tahun tidak bertemu dengannya membuatku lupa dengan sikapnya yang satu itu. Aksa memang selalu pintar dalam hal melayangkan pujian dan berbicara manis kepada lawan jenisnya. Hal yang membuatku salah paham dulu ketika baru pertama kali mengenalnya.

Sebelum sempat berbicara lagi, perutku sudah terlebih dulu berbunyi. Mengingatkanku bahwa hari ini aku belum sempat makan malam.

"Laper?" tanya Aksa, menengok sekilas. "Mau cari makan dulu?"

"Boleh kalau lo belum makan juga."

"Jangan makan fast food."

Aku menaikkan alis. "Kenapa?"

"Nggak sehat. Mending beli pecel atau nasi goreng aja."

Aku kontan tertawa. Sejak perbincangan berat kami di kebun teh waktu itu, kecanggungan yang sempat kurasakan ketika bersamanya langsung sirna. Kini, aku sudah bisa berinteraksi dengannya tanpa perlu mengalkulasikan segala hal. "Jam segini minyak buat pecel udah dipake berkali-kali. Nasi goreng juga berminyak. Sama aja nggak sehat, Sa!"

"Kalorinya lebih gedean fast food."

Ucapannya berhasil membuatku mengamati tubuhnya dari samping dan menarik kesimpulan bahwa Aksa sepertinya tidak perlu mengkhawatirkan perihal calories intake. Tubuhnya tidak terlihat kelebihan berat badan, justru dari lengannya yang tercetak dari balik kemeja, aku berani bertaruh bahwa dia sedikit berotot. Wait! Kenapa aku jadi memperhatikan postur tubuhnya?

Aku berdeham pelan sambil mengalihkan pandangan. "Ada nasi goreng yang enak di dekat apartemen gue. Mampir ke sana aja."

Aksa terkekeh. "Nasi goreng lagi?"

"Maksudnya?"

"Kenapa pencarian makan malam sama lo selalu berujung di nasi goreng sih, Lun?" tukas Aksa seraya menggeleng pelan. Dia terlihat seperti sedang menahan senyum sedangkan aku masih berpikir keras untuk mengartikan perkataannya. Dan tepat ketika mata kami bertemu, sebuah reka ulang adegan terlintas di pikiranku. Nasi goreng. Makan malam. Malang. Aku mengumpat di dalam hati lalu membuang wajah, berpura-pura tidak peduli dengan perkataannya meskipun perasaan aneh mulai menyusup ke dalam benakku.

Continue Reading

You'll Also Like

707K 89.5K 42
Satya, single parent yang bercerai 9 tahun yang lalu ketika anaknya baru berusia 9 tahun. Ini cerita tentang hiruk pikuknya sebagai seorang ayah yang...
1.4M 113K 36
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
821K 71.7K 43
Menjadi wanita lajang dengan masa depan yang gak pasti membuat orang tua Arum gigit jari. Dari dulu ia tidak pernah mengenalkan seorang lelaki pada m...
4.4M 132K 88
WARNING ⚠ (21+) πŸ”ž π‘©π’†π’“π’„π’†π’“π’Šπ’•π’‚ π’•π’†π’π’•π’‚π’π’ˆ π’”π’†π’π’“π’‚π’π’ˆ π’˜π’‚π’π’Šπ’•π’‚ π’šπ’ˆ π’ƒπ’†π’“π’‘π’Šπ’π’…π’‚π’‰ π’Œπ’† 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 π’π’“π’‚π’π’ˆ π’π’‚π’Šπ’ 𝒅𝒂𝒏 οΏ½...