SORRY [slow update]

By fatayaable

11.2K 4.2K 3K

Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tig... More

CUAP-CUAP PENULIS
BUKU HARIAN UNA (BH 1)
1. MISI 30 HARI
2. DUNIA KALE
3. ES DUREN
4. OMELAN KANJENG RATU
BUKU HARIAN UNA (BH 2)
5. PERIHAL KARA
6. BEKAL KALE
7. KESAL!
8. KAKAK KELAS
9. PERMINTAAN
10. PAHAT HATI
BUKU HARIAN UNA (BH 3)
#CAST SORRY
11. SATURSAD
BUKU HARIAN UNA (BH 4)
12. BIOSKOP
13. GELISAH
BUKU HARIAN UNA (BH 5)
14. BACK TO THE MOON
BUKU HARIAN UNA (BH 6)
15. SELEKSI HATI
17. TO THE BONE
18. FALL FOR YOU
BUKU HARIAN UNA (BH 7)
19. MELUKIS SENJA
INTERMEZO~
20. STORY OF KALE
21. THE FACT IS ...
BUKU HARIAN UNA (BH 8)
22. PENGUMUMAN
23. KARANTINA
24. TROUBLE MAKER

16. JADI, GUE HARUS GIMANA?

122 36 9
By fatayaable

POV KALE

Di tangan gue sudah ada dua form yang harus gue dan Aluna isi nanti. Tapi, gue benar-benar enggak bisa menyingkirkan Venya rupanya. Rasanya gue membelah diri saja kalau terus-terus begini. Hati gue kayaknya enggak tega membentak Venya seperti tadi. Bagaimanapun dia cewek, dan... argh!

Gue terpaksa menghampir Venya sebelum beranjak dari aula. Dia tengah sibuk melayani pengisian formulir di mejanya. "Nya, bisa ngomong sebentar enggak?" tanya gue.

Venya mendelik tajam ke arah gue. "Ngapain?"

"Ada yang perlu gue jelasin. Gue tunggu di depan, ya."

Enggak lama gue menunggunya di samping aula, dia muncul dengan muka jutek. "Apaan?"

"Maafin gue, ya."

Kedua tangan Venya bersedekap. "Enggak jelas. Kemaren deketin gue, sekarang Aluna yang jelas-jelas punya cowok. Maksud lo apaan sih, Le?"

Gue mengembuskan napas, lalu menggengam kedua pergelangan tangan Venya, berharap ini cepat usai dan gue bisa kembali fokus pada Aluna. Gue cuma... ah, berengsek lo, Le!

Tuhan, sebenarnya hati gue terbuat dari apa sih?

Gue enggak mungkin membocorkan hubungan gue dengan Aluna. Bisa tambah runyam nanti. Ya... gue cuma enggak mau Venya marah karena gue bentak tadi. Simpelnya gitu. Jadi yang gue katakan adalah, "Jadi lo enggak percaya kalo gue sama Aluna ditunjuk kelas buat ikut kompetisi ini?"

Venya terdiam cukup lalu, tapi akhirnya dia menggeleng.

"Kalo gue bilang gue sukanya sama lo, bukan Aluna, lo percaya?" Astaga, gue ngomong apaan tadi? Aduh, Aluna, gue minta maaf. Enggak sengaja sampai sejauh itu ngomongnya.

Venya mengernyit. "Jadi, ceritanya lo nembak gue?"

"Ng..., enggak ... eh, belum, Nya." Serius, hati dan pikiran gue saat ini beneran enggak jelas. Enggak bisa gue ajak untuk memihak kepada Aluna saja. Argh...

"Maksud gue, nanti gue pasti nembak lo, tapi enggak sekarang ya," lanjut gue. Maksud hati mau menghilangkan Venya dari hati, tapi malah pakunya semakin kuat ke Venya. Taubat, Le, taubat! "Please, ngertiin gue."

"Ah, mana ada cewek yang bakal suka sama lo kalo lo sendiri enggak punya pendirian, Le!"

"Kasih gue waktu, ya?"

"Tapi lo beneran enggak ada apa-apa sama Aluna?"

Bukannya menjawab, yang gue lakukan malah mencium kening Venya, lalu berkata, "Gue duluan, ya."

Berengsek kan gue?

***

Sesuai janji gue tadi dengan Aubrey, gue akan menemui cewek indo-rusia tersebut di kantin. Tatapan gue menunduk sambil terus merutuki diri atas kebodohan gue. Bisa-bisanya gue tiba-tiba jadi playboy gini.

Gue menendang kaleng bekas minuman begitu saja hingga menimbulkan bunyi gaduh dan mengenai punggung seseorang.

"KALE!"

Gue mengangkat pandangan dan mendapati Bu Susi yang melototi gue. Mati gue!

"Maaf, Bu. Saya kira bakal masuk ke tempat sampah. Tahunya meleset, Bu. Maaf, ya." Gue memasang wajah memelas, berharap Bu Susi enggak akan menyuruh gue berlari mengelilingi lapangan.

Bu Susi menghela napas, lalu menghampiri gue. Beliau menepuk-nepuk pelan Pundak gue. "Mumpung Ibu kekenyangan, kamu Ibu bebaskan dari hukuman."

Antara mau dan enggak senyum paksaan harus gue layangkannya pada Bu Susi. Atau mungkin malas adalah ungkapan paling tepat untuk gue kali ini. Tapi demi mencari aman, gue wajib bersabar.

Ah, ingin rasanya cepat-cepat menjenguk Aluna sewaktu pulang nanti. Walau bagaimanapun, cewek itu harus diutamakan daripada hati gue yang masih terkunci pada sosok Venya.

"Lain kali, jangan buang sampah dengan cara seperti itu ya. Masih untung yang kena Ibu, coba kalo Pak Kepsek. Bisa disuruh pulang kamu nanti."

"Tapi, Bu, itu bukan kaleng saya."

"Inget, Kale. Membantu itu banyak pahalanya."

Sambil menggenggam cola, gelak tawa Aubrey menyambut kedatangan gue. Rupanya cewek itu tengah berdiri bersandarkan daun pintu kantin ketika peristiwa memalukan itu terjadi.

"Eh, cewek enggak boleh ketawa lebar-lebar!" kata gue setibanya di hadapan Aubrey.

Bukannya diam, Aubrey malah tambah terbahak-bahak. Dasar!

Mungkin kalau ada Aluna, dia juga terpingkal-pingkal melihat cowoknya ini habis diceramahi Bu Susi.

Gue menoleh kanan dan kiri. "Cowok lo mana?"

"Joe ada, kok. Entar gue kenalin pas dia ke sini. Sekarang lagi ngumpul sama timnya."

"Tim apa?"

"Tim sukses!" Aubrey kembali tergelak.

Tatapan datar gue layangkan terhadap cewek bule di hadapan gue ini. Bisa-bisanya dia enggak menjaga image-nya sebagai mantan finalis ambassador.

"Udah jangan lihatin gue kayak gitu, Le. Entar Aluna cemburu." Aubrey menepuk pundak Kale. "Ngobrolnya sambil makan aja, yuk!"

Beberapa saat kemudian, gue membawa nampan berisi menu daging, nasi, salad, dan saus mayonese ke meja yang sudah dihuni Aubrey.

"Jadi, apa yang gue bisa bantu?" tanya Aubrey seraya melipat kedua tangannya di atas meja. Mulutnya masih terlihat sibuk mengunyah.

"Telen dulu, Brey," kata gue sebelum menyuapkan irisan daging ke dalam mulut. "Entar keselek pas denger masalah gue, gue enggak mau tanggung jawab."

Aubrey malah berusaha mengunyah dengan cepat, lalu menelannya. Setelah itu dia menenggak banyak air putih. Mata gue membulat melihat kelakuan Aubrey yang di luar bayangan ini.

"Bacot lo, Le!" Aubrey mengelap mulutnya dengan tisu. "Buruan apaan dah?"

"Ganas juga lo, ya. Kok bisa menang, sih?"

Mata Aubrey mendelik tajam. "Lo bilang kayak gitu lagi, enggak bakal gue tolongin ya."

Gue berdecak. "Iya, iya. Maaf."

"Lagian juga sesempurnanya orang, pasti ada aja kurangnya. Dan gue ikut ambassador juga enggak sembarangan. Bukan sekadar gaya, tapi pake skill, Le."

Lagi-lagi terdengar decakan lolos dari mulut gue mengingat gue sendiri enggak mempunyai kelebihan yang bisa ditampilkan di acara nanti. "Nah, itu dia. Gue enggak tahu skill gue apa, Brey."

Aubrey menggeleng-geleng pelan. "Sedih banget lo, Le."

"Makanya lo harus bantuin gue, Brey. Gue enggak tahu harus gimana lagi." Kali ini bersungguh-sungguh mengatakannya. Karena memang enggak ada lagi yang bisa menolongnya kecuali Aubrey dan kakak gue, Kara. "Gue cuma mau Aluna bahagia."

"Ng..., oke, gue pasti bantu. Mungkin nanti lo bisa diskusiin sama Aluna. Masih banyak waktu buat latihan, kok." Aubrey melanjutkan makannya. "Eh, iya. Aluna mana? Kok enggak ikut?"

"Aluna sakit."

"Oh, ya. Sakit apa? Kok lo enggak bilang sih dari tadi?"

"Dia dirawat, Brey. Bantu doanya ya biar cepet sembuh."

"Ya Tuhan! Sakit apa sih sampe harus dirawat? Tapi enggak parah, kan?"

"Jantung bawaannya kambuh lagi."

Aubrey menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Ya ampun. Semoga cepet pulih, ya. Terus lo kok malah di sini, enggak nemenin Aluna?"

"Ya kalo gue nemenin, siapa yang daftar dong?"

"Oh, iya. Kok jadi stupid sih lo, Brey?" Aubrey berdecak, lalu memukul kepalanya sendiri. "Pokoknya lo harus jagain dia! Gue enggak mau tahu."

"Tapi masalahnya—"

"Masalah apa lagi, sih? Kayaknya hidup lo banyak banget masalah deh."

"Emang." Gue sesap sedikit minuman gue. "Kagak mau pergi tuh masalah dari gue. Tiap hari ada aja."

Aubrey terkekeh. "Bukan hidup namanya kalo enggak ada masalah. Udah, lanjut! Jadi, masalah lo apa?"

"Masalahnya adalah hati gue masih belum utuh buat Aluna, Brey. Gue masih suka sama gebetan gue. Dan ...." Gue enggak sanggup berkata-kata lagi.

"Dan...."

"Dan gebetan gue itu yang jadi panitia acara."

"Oh, jangan-jangan cewek yang pernah disebut Aluna waktu itu ya?" tebaknya langsung. "Siapa tuh namanya?"

"Iya." Gue menghela napas. "Gue enggak mau Aluna gagal gara-gara dia."

"Tapi hati lo gimana?" Aubrey menggeser tempat makannya dan menautkan jarinya di atas meja. "Maksud gue, sekarang hati lo lebih ke siapa?"

"Pokoknya gue harus bikin Aluna bahagia dulu. Gue enggak mau nyesel nantinya karena gue milih Venya daripada dia." Gue mengatakannya sungguh-sungguh. Urusan Venya biar nanti saja.

Sambil mengetuk-ngetuk jarinya di meja, Aubrey mengatakan, "Ng..., okay, i'm not sure. Kalo masalah hati, gue serahin ke lo. Lagian kan lo cowoknya. Masa lo enggak sayang sama Aluna, sih?"

Lagi-lagi gue berdecak. "Itu ceritanya panjang, Brey. Pusing gue."

"Yang penting selama dua minggu ke depan sampe hari H, lo tetep sama Aluna. Biar hati lo utuh ke dia, Kale. Emangnya lo enggak tahu Aluna nangis waktu itu?"

"Kapan?"

"Di hari kita kenalan di kantin." []


Continue Reading

You'll Also Like

110M 3.4M 115
The Bad Boy and The Tomboy is now published as a Wattpad Book! As a Wattpad reader, you can access both the Original Edition and Books Edition upon p...