Katakan Asa [Open PO]

By kataksaraa_

45.5K 2.9K 1.1K

-β€’| kalem bruuhhh |β€’- . "Kalau Asa capek, Asa bisa ngadu sama Tuhan. Tapi, kalau seumpama tembok yang sering... More

#Ramadanseriesmoccachinopublisher
Sekata
1. Sua Tanpa Suara
2. Berbeda Itu Indah
3. Rumah
4. Semisal Aku Serta Waktu
5. Kata Takdir
6. Pada Kerinduan Jatuh Kenangan
7. Silsilah Keluarga
8. Peran Mentari di Sore Hari
9. Ingin
10. Ruang Lain
11. Mencoba Mendekat
12. Mengapa Harus Aku
13. Satu Hari Sebelum Hancur
14. Mimpi Damai
15. Pembelaan Ardi
17. Lagi
18. Bersaing
MAU TANYAAA!!!!

16. Sederhananya Cerita Bersama

809 112 12
By kataksaraa_

Usai menghabiskan waktu seharian di rumah. Menemani sang kakak yang terlihat begitu sibuk. Padahal Asa yakin kakaknya sengaja singgah sebentar untuk melepas penat, mengapa malah yang dilihat berkebalikan.

"Abang enggak capek madep gitu mulu?" Dengan telunjuknya, Asa arahkan pada setumpuk kertas yang tidak dimengertinya. Pun, diletakkannya secangkir kopi di meja dan mengambil duduk di kursi yang tersedia.

"Enggak dong. 'Kan, Abang kerja juga nanti buat nyangoni kamu," jawab Ardi tanpa mengalihkan perhatiannya. "Eh, btw. Udah enakan apa? Hampir Abang seret kamu ke RS pas tahu demam tinggi gitu. Ngapain aja sih? Padahal enggak ngapa-ngapain juga."

"Mulai cerewetnya." Asa mengehela napas panjang, lalu memeluk nampan yang tadi digunakannya membawa kopi milik sang kakak.

"Abang khawatir loh, Sa. Besok pagi Abang Sidoarjo, ada proyek baru. Tiga mingguan, paling baru bisa pulang. Libur cuma tiga hari, berangkat lagi ke Bandung. Kamu enggak apa-apa Abang tinggal pergi?"

Hampir Asa tersedak ludahnya sendiri, tetapi anak itu justru tertawa lebar.

"Sehat, Sa?"

"Lucu deh. Asa udah biasa sendiri kali, Bang. Ngapa tanya gitu? Takut Asa mati? Atau ...."

Sorot mata Ardi mendadak tajam. Asa merasa jika ucapan yang dilemparnya merupakan sebuah kesalahan.

"Pisan engkas, lambemu tak kuncrit, Sa."

Detik berikutnya tawa Asa benar-benar meledak. Melihat ekspresi kesal milik Ardi yang jarang-jarang ia temui. Bahkan jika Asa membawa gawainya, pasti akan diabadikan untuk kebutuhan pansos. Mengingat beberapa kali ia pun mendengar ucapan demikian keluar dari bibir teman-temannya.

"Ngaib, yuk, Sa!"

Mulut Asa menganga, dahinya mengkerut tak mengerti. "Ngaib apa?"

"Biasa kebutuhan pansos."

Maka dari itu Asa pun jadi sering mengikuti gaya teman-temannya. Sedikit menghibur hati bila dirinya dirundung sepi. Mengingat bahwa kesehariannya pun tidak jauh dari kata sunyi.

"Ketawa aja terus. Sampai ayam jantan beranak," tukas Ardi mendapati adik bungsunya masih terkekeh di sebelahnya.

"Jarang-jarang Asa ketawa juga, 'kan? Emang enggak kangen? Jahat sih kalau Abang enggak kangen sama Asa."

Jitakan manis Ardi layangkan membuat empunya meringis. "Abang! Sakit."

"Kalau enggak kangen, Abang enggak pulang, Sa. Dua rius," jawab Ardi lantas membereskan pekerjaannya. "Main, yuk! Ke mana gitu, udah lama juga enggak keliling Kediri. Yuk! Abang traktir bakso nanti."

"Cih. Bakso cuma lima ribu gitu. Yang estetik gitu loh, Bang. Masa iya nanti kalau Abang kencan sama cewek gitu juga?"

"Masih kecil, fokus sekolah dulu. Sok tahu cewek pula," ejek Ardi langsung dihadiahi raut kesal si bungsu. "Beneran juga. Yuk, ke SLG apa ke mana kek. Yang penting keliling gitu, Sa. Ajak Asun sama Saddam juga seru tuh. Sekalian mau wawancara kali aja kamu bandel kalau lagi sendiri."

Mau tak mau Asa pun mengangguk pasrah. Lantas menengadahkan tangannya ke arah Ardi. "HP Abang mana?"

Tanpa banyak tanya, Ardi pun langsung memberikan ponsel miliknya pada sang adik. Paham jika anak itu sedang butuh untuk segera menghubungi kedua temannya. Padahal Ardi tahu ponsel milik Asa pun sedang menganggur di dalam saku celananya. Namun, Ardi tak ambil pusing. Pikirnya, Asa mungkin sedang kehabisan pulsa atau paket internet. Bila perlu nanti sebelum berkeliling akan diajaknya untuk pergi ke konter untuk membelikan sang adik pulsa.

"Kalian berdua, siap-siap! Asa jemput sama Abang. Enggak ada penolakan dan enggak ada jam karet. Setengah lima kudu di depan rumah." Asa mengawali percakapan kepada kedua temannya yang berada di seberang. Paham betul jika jam sekolah sudah bubar pada pukul tiga lewat seperempat. Dan, kini sudah menunjukkan pukul empat kurang seperempat.

Tanpa menunggu jawaban, Asa pun langsung mematikan sambungan teleponnya. Membiarkan kedua temannya akan mengumpat di seberang sana pasalnya ia menghubungi menggunakan ponsel milik sang kakak yang sudah dipastikan mereka akan bertanya-tanya. Menerka asal tanpa kejelasan yang pasti.

"Jahil banget kamu, Dek." Ardi menerima sodoran ponsel lalu mengacak surai legam milik Asa. Membuat sang empu misuh-misuh.

"Lama-lama tangan Abang, Asa kasih borgol," ucapnya dengan cepat pergi meninggalkan sang kakak yang masih duduk di sudut rumah. Mengabaikan teriakan kakaknya yang memintanya untuk bersiap-siap. Yang pasti hari ini akan menjadi hari di mana Asa sedikit merasa lega.

Melepas beban bersama kakak tertua, walau dalam hatinya masih tersisa luka-luka yang belum terobati sempurna.

***

Niatnya Ardi hanya akan membawa ketiga asuhannya mengunjungi monumen besar yang berada di persimpangan lima jalur Kediri. Namun, agaknya tiada jua menemukan titik jelasnya di mana mereka akan singgah. Pada akhirnya Simpang Lima Gumul itu hanya dijadikan objek utama selagi tidak menemukan tempat yang bagus.

"Abang kapan pulang? Kok tahu-tahu udah mau lanjut kerja lagi katanya." Asun mengawali percakapan selagi berjalan di bawah lorong penghubung antara area parkir dan letak monumen. Mereka melalui jalur terowongan yang tersedia, sebab kendaraan roda empat, memiliki tempat khusus.

"Kemarin, Sun. Waktu Asa nginep bareng kalian. Aslinya, mau lusa ngambil proyeknya, biar bisa nemenin Asa lebih. Eh, ternyata ada panggilan dadakan. Enggak bisa nolak juga, rezeki dari Allah, 'kan?"

Kepala Asun pun ia anggukan sebagai jawaban. Tak ada lagi niatan untuk memperpanjang percakapan. Sebab tak lama kemudian mereka sampai pada sebuah bangunan yang terletak tepat di area lima persimpangan.

Kendaraan yang berlalu lalang sore itu cukup banyak. Pun para pengunjung yang tak pernah sepi walau hanya segelintir yang mendatangi.

"Abang beneran mau berangkat besok?" tanya Asa meyakinkan.

"Iya, Sa. Kenapa? Apa Abang batalin aja, kalau kamu keberatan," jawab Ardi lantas berbalik menghadap sang adik.

"Jangan, Bang. Nanti aku gak enek seng nyangoni."

Jawaban dari si bungsu sontak membuat Ardi bersama kedua sahabat Asa tertawa. "Ngawur, Sa."

"Tapi, Abang pulang lagi, 'kan?"

"Nanti kalau pekerjaan Abang selesai, Abang pulang. Katanya tadi udah biasa, kok sekarang kayak nahan Abang supaya enggak pergi. Takut kangen apa gimana?"

Dipukulnya lengan milik sang kakak pelan, kesal dengan sosok itu yang terus menggodanya sedari tadi.

"Mbuh," ucap Asa lantas berjalan menjauh. Meliarkan pandangan menatap bangunan mirip dengan bangunan yang berada di luar negeri itu.

Terlihat megah dan dipadu dengan senja yang sebentar lagi akan terbit. Hati Asa mendadak menghangat. Maka ia mencari posisi untuk menghadap ke arah barat. Meski yang dilihatnya hanya objek jalanan dan kendaraan yang berlalu lalang. Tak apa, yang penting sinar sang surya tenggelam tetap terlihat walau hanya rekahan awan di angkasa.

"Sabar, Bang. Anaknya suka gitu," ucap Saddam setelah duduk di samping Asa. Membuat Asa mencibir di tempat. Mengikuti gaya Saddam ketika berbicara dengan setengah mengejek.

Sore itu memang Asa habiskan bersama kakaknya beserta kedua temannya. Menghabiskan waktu di persimpangan penghubung lima jalur itu. Sesekali mengambil potret jikalau perlu. Lalu bergurau sejenak sembari melepas penat. Bahkan Asa melupakan jika siangnya dibalut dengan panas yang menyengat di tubuh.

Semua Asa rekam dalam otaknya. Bagaimana Ardi melempar tanya tidak penting tentang dirinya semisal, aktivitas apa yang dilakukannya setelah bangun pagi. Apakah Asa tidak salah kelas sebab lebih memilih jurusan bahasa ketimbang kelas matematika dan ilmu pengetahuan. Sebab, setahu Ardi bahasa merupakan jurusan yang cukup sulit bila orang tidak mengerti tata bahasa beserta kaidahnya. Namun, dari jawaban yang Saddam dan Asun lempar membuat hati Asa turut menghangat.

Tidak sedikit yang Asa jawab. Sebab ia lebih memilih diam menikmati ketimbang ikut bergabung tanpa tahu alur yang mereka katakan. Cukup jawaban seadanya, setelahnya hanya ia angguki saja.

Tepat setelah magrib tiba, pun mencari tempat untuk menunaikan kewajiban. Sembari berdoa bersama dan setelahnya kembali pulang.

Sore yang singkat, tetapi penuh dengan nikmat. Asa ucapkan beribu syukur sebelum pergi dari tempatnya duduk berempat tadi. Lantas, kembali melangkahkan doa terbaik untuk hari esok dan seterusnya.

***

[TBC]

Hwh, mata udah sepet pengen tidur. Tapi jemari tidak berhenti memencet keyboard yang ada di layar handphone. Awoakawoakwk, akan jadi part paling manis keknya.

Pida tetiba dibuat ingat sama tempat di mana yang Asa sama Asun n Saddam di waduk itu, ternyata oh ternyata. Aku pakein yang mirip sama di waduk sebelah STAIH. Dan Pida baru sadar juga kenapa bisa agak mirip. Cuma, ada cumanya. Taman yang Asa maksud di situ enggak ada. Tapi, enaknya di situ kalau madep senja langsung kena. Jadi, ya agak mirip-mirip lah.

Terus kalau yang Pida bawa ke SLG ini beneran, yak! Mampir kuy, kali aja mo meet ma Pida:v

Ekhem. Tetap semangat nggak nih?

Baru sadar juga, biasanya dipatok 1500 word ini jadi 1200-an. Gapapalah, efek udah ngantuk juga. Awikwok.

*Note :
- Nyangoni : Ngasih saku, uang
- Madep : Menghadap
- Pisan engkas, lambemu tak kuncrit, Sa : Sekali lagi, mulutmu aku kuncrit, Sa
- Kudu : Wajib, harus

Tampak dalamnya pas senja. Kok ya pas gitu dapat foto yang bagus, huaaa.

Ini pas malemnya. Dari luar SLG kek gitu.

Mangtep, dari atasnya. Cangtip banget. Langsung melek mata Pida masa:(

Imaji, 23:18 WIB
29.04.21

Salam manisss dari Pidaaa^^


*18:33 WIB, 161021

Continue Reading

You'll Also Like

593 130 12
Kita mungkin memang dua orang asing, bahkan sampai saat ini, setelah kau kembali dari masa-masa yang kau sebut "kontemplasi" itu pun, kita masih dua...
1K 200 16
Tentang dua remaja kembar yang saling menguatkan satu sama lain. Davin hidup karena Devan. Devan hidup untuk Davin. Takdir begitu kejam terhadap kedu...
98.4K 8.3K 46
"Pada akhirnya, gue kalah dari semesta." Disaat dirinya mati-matian berjuang, namun semesta justru menolak, menyuruhnya untuk menyerah. Lantas apa ya...
87.5K 6.9K 14
#Brothership #Sicklit #Chimon (Full di KaryaKarsa) Hanya sepenggal kisah perjalanan hidup dua anak yang sedang mencari tahu, mengapa mereka dibedak...