Katakan Asa [Open PO]

De kataksaraa_

45.5K 2.9K 1.1K

-•| kalem bruuhhh |•- . "Kalau Asa capek, Asa bisa ngadu sama Tuhan. Tapi, kalau seumpama tembok yang sering... Mai multe

#Ramadanseriesmoccachinopublisher
Sekata
1. Sua Tanpa Suara
2. Berbeda Itu Indah
3. Rumah
4. Semisal Aku Serta Waktu
5. Kata Takdir
7. Silsilah Keluarga
8. Peran Mentari di Sore Hari
9. Ingin
10. Ruang Lain
11. Mencoba Mendekat
12. Mengapa Harus Aku
13. Satu Hari Sebelum Hancur
14. Mimpi Damai
15. Pembelaan Ardi
16. Sederhananya Cerita Bersama
17. Lagi
18. Bersaing
MAU TANYAAA!!!!

6. Pada Kerinduan Jatuh Kenangan

873 156 57
De kataksaraa_

"Lah, Sa. Habis ngapain itu jidat sampai gitu? Nyungsep di mana? Untung gantengnya endak ilang."

Tawa Asa hampir meledak jika tidak mengingat untuk membuat keributan sedangkan di samping kelasnya ada beberapa orang yang sedang sibuk.

"Ini?" Asa hanya memastikan dengan menunjuk ke arah luka yang ada di dahinya dan menatap temannya. "Nyungsep ndek prapatan omah."

"Iso-iso ae, cah cilik iki," jawab temannya menggelengkan kepala. "Tapi, enggak apa-apa, 'kan? Enggak gegar otak, 'kan?"

"Astaghfirullah. Ya, enggaklah. Buktinya aku sehat wal afiat gini. Masa dibilang gegar otak. Yang ada aku di rumah sakit kali."

"Eh, iya juga ya. Bisa aja si bocah emang," timpal salah satu temannya yang duduk di bangku paling depan.

Tawa kecil Asa menguar bersamaan dengan beberapa teman lainnya. Begitu topik pembicaraan mereka habis, Asa berjalan menuju loker yang berada di belakang kelas. Mengambil satu note kecil penting yang selalu ia simpan rapi di sana. Tanpa membawanya pulang atau pun pergi ke mana.

Senyum tipis kembali terbit. Sangat tipis sekali. Lantas dengan cepat Asa mengunci lokernya dan beranjak ke tempat duduknya.

Anak itu melepas almamater OSIS dan menyampirkannya di kursi.

"Loh, enggak tugas, Sa?"

Atensi Asa beralih pada salah satu temannya yang baru datang dan berjalan menuju bangku di depannya. Menggeleng kecil Asa sebagai jawaban. "Enggak. Kata Bang Adam suruh istirahat dulu. Lebay emang dia."

Setengah mengangguk, temannya itu pun mengerti. "Kalau gitu duduk bareng, ya? Bangku Asun kosong. Mau aku yang ke bangkunya Saddam apa kamu ke depan?"

"Jingga yang ke bangkunya Bang Adam boleh?" Asa bertanya hati-hati. Mengingat watak pemuda bernama Semburat Jingga Sunarya itu sebelas dua belas dengan Saddam membuat Asa sedikit takut bila nanti tersinggung.

"Ya enggak apa-apa, Sa. Bangku mana aja juga boleh kok."

Begitu Jingga mengambil tempat duduk di sebelahnya, Asa tersenyum kikuk. Temannya itu mulai sibuk dengan makanan yang tadi dibawa dari kantin, pikirnya.

"Mau, Sa?" tawar Jingga yang dibalas oleh gelengan kecil.

"Makasih. Asa enggak laper, hehe. Ntar siangan aja sekalian minum obat," jawab Asa.

Sedangkan Jingga hanya mengangguk lalu kembali fokus ke makanannya. Satu tangannya pun kini berganti merogoh saku celana lantas mengambil ponsel dan mencari kesibukan sendiri.

Di tempat duduknya, Asa membuka lembaran demi lembaran yang terdapat di note kecil tadi. Membiarkan hening melingkupi dimensi dirinya dan juga Jingga.

Jika biasanya Asa akan memiliki topik untuk mengawali, maka kali ini semuanya berganti. Bahkan anak itu merasakan canggung yang luar biasa berkobar dalam dada.

Sesekali bibirnya meringis ketika kepalanya berdenyut nyeri. Sadar jika memang langkah yang diambil oleh Saddam beberapa waktu lalu itu membuatnya berada di posisi yang terbaik.

"Sakit, Sa?"

Pertanyaan Jingga membuat Asa terkejut. Dengan cepat ia menggeleng. "Enggak sih. Cuma perih dikit. Padahal dari semalam juga enggak kerasa sakit."

"Lagian, sekecil apapun yang namanya luka tetep aja luka, Sa. Jangan sepelekan. Bahkan omongan orang yang kadang satu dua kata begitu enggak kerasa, tapi kalau jatuhnya luka. Tetep aja sakit, 'kan?"

Tatapan teduh milik Jingga membuat hati Asa menghangat. Mengingatkan pada seorang paruh baya dengan jas putih yang menolongnya pagi tadi. Faris.

"Hehe, iya juga. Makasih, Ngga."

Seadanya saja. Asa tidak ingin memperpanjang percakapan keduanya. Dan kembali ke jalan pikirannya masing-masing.

Nama Faris kini memenuhi otak kecil Asa. Sudah lama sekali Asa tiada pernah bisa bertemu dengan sosok itu selain datang ke pemakaman umum yang berada tidak jauh dari tempat tinggalnya. Sesekali, Asa akan bercerita panjang lebar tanpa mendapati jawaban ataupun respon. Namun, akhir-akhir ini jadwal OSIS membuatnya sibuk dan tak sempat mengunjungi pusara sang paman.

Note kecil yang Asa simpan itu adalah pemberian dari Faris ketika ia ulang tahun di angka empatnya. Sosok lelaki yang menjelma seperti ayah itu mengajarkan cara menulis di buku tersebut untuk kali pertama.

Mengajari cara mengeja huruf abjad dari dasar. Lalu, membuat anak itu tertarik dan meminta untuk mendaftarkannya ke sekolah. Padahal umurnya belum cukup.

Terlalu girang untuk Asa kecil ketika Faris pulang dan membawa seragam khas taman kanak-kanak dengan beberapa alat tulis yang sampai kini masih Asa simpan rapi di sebuah kotak di kamarnya, sampai ia lupa jika Faris hanya menyandang status sebagai Om. Asa selalu menginginkan jika yang berada di posisi Faris itu adalah ayahnya, Dharma Baskara. Namun, sampai di usia enam belas ini semua itu hanya angan yang menjadi kenangan.

Kedua mata Asa memanas di halaman terakhir note tersebut. Sebuah foto bersama kecil yang sempat Faris ajarkan sebagai seni tempel menempel itu, membuatnya ingin menangis.

Itu foto waktu pertama kali ia masuk sekolah di taman kanak-kanak. Mendapat pujian dari guru untuk kali pertama di sekolahnya.

"Om Alis. Asa dikasih hadiah sama Ibu gulu cantik, soalnya nilai Asa bintang empat. Katanya Asa anak pintel. Om Alis endak mau kasih Asa hadiah?" Asa kecil begitu semangat menghampiri Faris yang sudah menunggu di depan gerbang sekolah.

"Wah, keponakan Om udah pinter ya? Mau hadiah apa emang? Mainan robot apa mobil-mobilan, hm?"

"Kata Ibu gulu cantik, besok waktunya mengaji iqla'. Asa belum pelnah diajali mengaji. Asa mau dibeliin iqla', Om. Boleh?"

"Boleh, dong. Yuk, kita ke toko kitab langganan Om, ya. Tapi sebelumnya Asa makan dulu. Biar apa?"

"Bial kuat beltenaga, kayak ultlaman!"

Dengan girang, Asa kecil bersorak di depan Faris. Lelaki dua puluh delapan itu langsung menggendong keponakannya dan memeluknya erat.

"Asa harus jadi anak pintar, ya! Anak kuat dan tahan banting. Enggak boleh cengeng. Inget, ya! Allah sayang banget sama Asa. Paham?"

"Asa harus nurut sama Ibu kalau di rumah. Belajar sendiri dan tanya ke Ibu guru kalau enggak bisa. Nanti Om kasih tahu ke Ibu biar Asa ikut ngaji di TPQ ya, mau?"

Bocah kecil yang berada dalam gendongan tersebut mengangguk antusias.

"Wah, nanti Asa dapat teman balu dong, Om. Mau-mau."

"Pintar! Endak boleh nyerah, ya! Kalau pun Ayah sama Mama enggak pernah lihat Asa, tapi ingat di sini Asa punya Om Faris yang siap sedia. Jangan takut. Ada Allah juga yang akan melindungi Asa."

"Tapi, Om. Kenapa Ayah endak sayang sama Asa? Kenapa cuma Bang Alga sama Bang Aldi doang yang disayang?"

"Ayah sayang kok sama Asa. Sama kayak Asa sayang ke Bang Alga sama Bang Ardi. Endak boleh gitu. Oke?!"

Si kecil mengusap sudut matanya yang hampir menangis. Malu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Faris.

Siang itu adalah siang terindah untuk Asa kecil. Makan bersama dengan Om kesayangan dan menyempatkan diri untuk berfoto bersama. Kebetulan di kedai tempat makannya sedang ada acara besar milik salah satu pelanggan, dan kebetulan juga terdapat juru foto yang menerima jasa pemotretan langsung jadi.

"Habis ini kita belajar ngaji ya!"

Itu adalah kata yang Faris ucapkan setelah membayar tagihan hasil jepretan Asa kecil dengan dirinya yang sedang makan bersama.

Terakhir pula Asa melihat semua yang bahagia berganti dengan luka begitu menyiksa.

"Eh, Sa. Kok nangis, kenapa?"

Suara Jingga membuat Asa mengusap wajahnya kasar. Lalu menggeleng kecil. "Enggak kok. Enggak apa-apa."

"Ada yang sakit? Ke UKS aja, yuk! Ketahuan Saddam bisa dimutilasi nih gue," ajak Jingga dengan panik.

Dengan sisa-sisa air mata yang menggenang di pelupuk mata, Asa kembali menggeleng.

"Aku enggak apa-apa kok, Ngga. Cuma kelilipan doang," jawab Asa meyakinkan.

"Sa, kalau ada apa-apa cerita. Walaupun kita enggak begitu dekat, tapi in syaa Allah bisa kok nerima apapun yang kamu rasain. Bagi ke orang, Sa. Jangan dipendam sendirian. Penyakit," ujar Jingga penuh penekanan.

Dusta memang selalu Asa lakukan, maka setelah ucapan Jingga selesai air matanya enggan untuk berhenti. Justru semakin deras seperti dihantam badai dengan keras.

Tanpa sadar, Asa pun tertarik oleh tangan besar Jingga. Dekapan Jingga hangat, sama seperti milik Saddam dan juga Asun.

Memang benar, orang yang benar-benar peduli susah dicari. Sebab pelukan mereka tidak akan pernah sehangat itu jika hanya untuk ingin tahu dan berlalu pergi.

***

[TBC]

Weih, Pida adakan karakter baru. 😭

Udah menangis aja nih di episode perdananya si pendatang baru. Plisss, gabisa nahan buat enggak nangis. Hiksrooott.

Yuks, jangan sungkan kalian berkomentar di kolom yang tersedia. Masih kosong tuh, kek hati Dedek. 😭👍

Ngerjakan dari habis sahur btw. Udah diteriakin Ibuk suruh cuci piring, tapi kagak juga berdiri. Malah nangis di sini. :(

*Note :
- Ndek prapatan omah : Di perempatan rumah
- Iso-iso ae cah cilik iki : Bisa-bisa aja nih anak kecil

Imaji, 05:00
20.04.21

Salam manisss dari Pidaaa^^

Continuă lectura

O să-ți placă și

Januari De TATA

Ficțiune adolescenți

216K 26.9K 31
Katanya, Januari adalah awal. Dan ternyata benar. Januari adalah bagaimana ia kehilangan dan kemudian dipatahkan. Januari adalah bagaimana semesta me...
MARSELANA De kiaa

Ficțiune adolescenți

1.6M 48.3K 22
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.4K 134 5
gak bisa bikin deskripsi langsung baca yawww 😁 warning ⚠️ : Dilarang keras mengcopy :ambil yang baik saja di cerita ini
56.7K 7.3K 37
Ini bukan tentang Marvel menghindari cedera kaki pada pertandingan bola basket. Melainkan suatu kalimat yang ia tulis, "Akan kupastikan ketika pertan...