The Day We Met

By greyinureyes

116K 16.9K 1.3K

✿This book is the winner of Fanfiction Category at The Wattys 2021✿ 📕BOOK 1 of Day Series📕 [STARTED AT 27th... More

Prolog : Summer Court
Chapter 1 : Back to Home?
Chapter 2 : Suspicious Blond
Chapter 3 : The Rumour Said...
Chapter 4 : The Sparks
Chapter 5 : It's My Fault
Chapter 6 : The Grey Eyes
Chapter 7 : The Tapestry
Chapter 8 : (Un)Pleasent Dinner
Chapter 9 : The Lady and Her House-Elf
Chapter 10 : An Almost Marvelous Monday
Chapter 11 : You can sit here
Chapter 12 : Group Study
Chapter 13 : Already December
Chapter 14 : Already December Pt. II
Chapter 15 : The Ball
Chapter 16 : Christmas Break
Chapter 17 : Holiday Jumper
Chapter 18 : Holiday Jumper Pt. II
Chapter 19 : Christmas Eve
Chapter 21 : Arguing
Chapter 22 (Last) : Approval
Epilog : When You Tell Me That You Love Me
Book 2 Unlocked!

Chapter 20 : Under The Moonlight

3.4K 556 53
By greyinureyes

.

.

Pagi ini tepat hari kedua Harry tidak keluar dari kamarnya sama sekali. Dua hari ia habiskan dalam keheningan, dan menangis pada waktu-waktu tertentu. Kreacher terus mengantarkan makanan ke kamarnya, namun tak satu pun hidangan itu disentuh olehnya. Ia benar-benar tidak ingin mengisi perutnya sama sekali.

Harry merasa kesal. Kesal pada dirinya sendiri. Kesal pada keadaan yang tengah mencekiknya kali ini. Jika saja Harry dapat mengendalikan perasaannya, tentu saja semua ini tak akan terjadi.

Pemuda bersurai hitam berantakan itu bangkit dari kasurnya, kemudian melangkahkan kedua kakinya ke kamar mandi. Tangannya meraih gerandel pintu kamar mandi yang dilapisi emas. Atau mungkin sesuatu yang menyerupai emas, entahlah ia tidak begitu yakin.

Ia menatap pantulan dirinya yang ditampilkan oleh cermin di hadapannya. Kacamata bundarnya sedang tidak bertahta di wajahnya. Matanya bengkak dan kemerahan, membuktikan bahwa pemuda itu banyak menangis belakangan ini. Selain itu, daerah di sekitar matanya juga menghitam karena ia kekurangan tidur. Satu kata yang dapat mendeskribsikan keadaannya saat ini, berantakan.

Saat matanya sibuk menatap pantulannya, isi kepalanya memutar kejadian malam itu. Malam di mana Remus mengatakan hal yang masih dapat ia ingat. Beberapa kalimat yang memenuhi kepalanya selama dua hari ini. Tidak. Ia tidak marah pada Remus karena perkataannya. Malah ia bersyukur karena dengan begini ia jadi tahu harus melakukan apa. Dan yang harus ia lakukan adalah pergi meninggalkan sosok yang diinginkan oleh hatinya.

Sakit. Tentu saja. Harry tidak dapat menyangkal perasaan itu. Hatinya benar-benar terasa bagai diiris dengan sedemikian rupa, hingga ia merasa hatinya hancur lebur. Hancur tak bersisa, sampai ia tak yakin apakah hatinya dapat menerima sosok lain selain Draco. Ia sadar hatinya menginginkan Draco. Namun keadaan tidak memberikan kesempatan untuk mereka berdua.

Puas menatap dirinya yang menyedihkan, Harry memutuskan untuk kembali ke kasurnya. Ia langsung menghempaskan dirinya begitu saja ke atas kasur. Ia mengambil satu bantal dan menutup wajahnya dengan bantal itu.

Saat ia sedang terdiam dengan segala isi kepalanya, ia menangkap suara ketukan pelan di pintu kamarnya. Harry memilih untuk mengabaikan ketukan itu karena ia tahu bahwa yang mengetuk adalah Kreacher yang hendak mengantarkan sarapannya pagi ini. Atau mungkin Remus yang mulai mengkhawatirkan dirinya.

Namun ketukan itu tak kunjung berhenti. Pintu itu masih tetap menggaungkan suara ketukan. Namun Harry tetaplah Harry. Pemuda keras kepala itu kembali menyamankan tubuhnya di atas kasurnya. Tak lupa ia menyembunyikan dirinya di balik selimut putih raksasa sehingga hanya sebagian rambut berantakannya saja yang dapat terlihat.

"Harry!" panggil seseorang di luar sana dengan suara pelan. Seseorang yang suaranya amat sangat Harry rindukan, namun harus ia hindari.

Pemuda beriris zamrud itu merasa bimbang kali ini. Apakah ia harus bangkit dan membukakan pintu, atau tidak. Jujur saja ia ingin melakukannya, namun ia tidak boleh. Lagi pula ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi saat melihat wajah pucat yang ia rindukan itu.

Namun Draco masih tetap tidak menyerah. Pemuda bersurai pirang platina itu masih terus mengetuk pintu kamar Harry. Dan sesekali memanggil pemuda bersurai hitam berantakan itu dengan lembut.

Merasa bahwa usaha Draco tidak akan berhenti hingga Harry membukakan pintu, Harry akhirnya memutuskan untuk bangkit dari kasurnya. Kedua kakinya mulai menapaki lantai yang terasa sedikit menusuk di pagi musim dingin. Begitu tiba di hadapan pintu kayu itu, ia meraih gagang pintu dan menarik pintunya.

"Apa?" tanya Harry begitu ia melihat wajah Draco. Wajah yang sangat ia rindukan, namun harus ia hindari.

"Kenapa?" tanya Draco balik. Kedua bola kelabunya menunjukkan kekhawatiran begitu melihat betapa berantakannya Harry.

"Apanya?" ketus pemuda itu.

"Kenapa kau tidak keluar dari kamarmu selama dua hari belakangan? Sesuatu terjadi?" tanya Draco cemas.

"Tidak, hanya malas saja," jawab Harry seakan-akan Draco menganggu waktunya di pagi Hari.

"Benarkah? Kau bisa menceritakan apa pun padaku jika kau memang sedang mengalami kesulitan," ujar Draco menawarkan bantuan.

"Listen, Malfoy!" Harry mulai memberikan ultimatum. "Aku baik-baik saja, dan berhentilah khawatir! Aku hanya kelelahan!"

Draco yang tadinya terlihat cemas dan khawatir kali ini terlihat murung. Dan air muka si pemuda pirang platina itu tentu saja membuat Harry merasa bersalah karena tidak dapat mengendalikan ucapannya. Bukan ini uang Harry inginkan. Tentu saja Harry merasa sedih, namun ia terus berusaha menutup perasaan sebenarnya dengan bertingkah seolah tidak peduli.

"Baiklah kalau begitu," lirih Draco menyerah. "Bagaimana dengan pergi ke luar malam ini? Mau kah kau menemaniku?"

Harry terlihat berpikir. Ia ingin, namun sekali lagi ia tidak boleh. Namun Harry melihat tatapan mengharap yang dilayangkan oleh pemuda yang lebih tinggi beberapa senti darinya itu.

"Akan aku pikirkan," jawab Harry kemudian menutup pintu kamarnya. Sedetik kemudian, ia menyentuh permukaan pintu sambil menundukkan pandangannya. Dan setelah itu, sesuatu yang hangat mulai mengalir dari kedua zamrudnya.

***

Harry memutuskan untuk menerima ajakan Draco. Tadi sore Harry mengunjungi pemuda bersurai pirang platina itu di kamarnya. Dan telah dibuat keputusan bahwa mereka akan keluar begitu semua orang telah naik ke tempat tidur masing-masing.

Harry pikir hal itu akan menjadi sesuatu yang sulit mengingat Sirius biasanya akan kembali ke kamar begitu jam menunjukkan pukul 11 malam. Namun entah ia sedang beruntung atau Remus sedang membantunya kali ini, pria bersurai cokelat madu itu langsung mengajak Sirius kembali ke kamar begitu makan malam selesai.

Dengan mengendap-endap, Harry keluar dari kamarnya. Ia berusaha semampunya untuk tidak mengeluarkan suara sama sekali. Saat ia berbalik, ia menemukan Draco yang sedang  merapalkan sebuah mantra pada pintu kamar ibunya. Mantra yang berguna untuk memeriksa apa yang sedang dilakukan oleh seseorang di balik pintu itu.

"Dia telah tidur!" bisik Draco memberitahu Harry mengenai ibunya.

Harry hanya mengangguk kemudian ia melakukan hal yang sama dengan kamar Sirius dan Remus. Dan hal yang ia temukan membuat membuat ia amat sangat terkejut sekaligus malu secara bersamaan. "Errr... Mereka sedang... Kau tahu," bisik Harry dengan gugup.

"Sebaiknya kita biarkan mereka melakukan 'itu', sementara kita melakukan hal menyenangkan versi kita!" goda pemuda bersurai pirang platina itu. Wajahnya dipenuhi dengan senyum jahilnya.

"Teruslah berkhayal, Malfoy! Kau tidak akan pernah mendapatkan apa yang sedang berada di dalam kepalamu!" ucap Harry galak.

"Tahu apa kau tentang isi kepalaku?" tanya Draco masib dengan senyum menyebalkannya itu.

"Entahlah, kau membuatku kesal," jawab Harry kemudian meninggalkan pemuda itu. Ia berjalan mendekati pintu depan, kemudian mengetukkan tongkatnya ke pintu di hadapannya. Begitu pintu itu terbuka, ia langsung bergegas keluar dari rumah.

Draco yang keluar setelah Harry memastikan rumah itu telah terkunci dengan benar. Setelah itu ia mengejar Harry yang telah berada beberapa meter di depannya. Begitu tubuhnya telah sejajar dengan Harry, ia meraih tangan Harry yang dibalut sarung tangan tebal berwarna hitam.

"Kau tidak mengenakan syalmu?" tanya Draco begitu mendapati tidak ada kain panjang berbahan tebal yang terkalung di leher pemuda bersurai hitam berantakan itu.

"Tidak," jawab Harry dengan singkat.

Draco menghentikan langkahnya dan hal itu juga membuat Harry berhenti. Ia melepaskan syal hitam dengan huruf M kecil yang dibordir dengan benang perak di ujung syal itu. Dan setelahnya, ia mengalungkan syal itu ke leher Harry.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Harry gugup. Ia menelan ludahnya dengan kasar.

Draco menampilkan senyum kecil. "Memastikan kau tetap merasa hangat, tentu saja," jawabnya dengan suaranya yang lebih dalam. 

Harry memutar bola matanya begitu mendengarnya. "Berhentilah bersikap manis, Malfoy! Lagi pula kau bisa mati kedinginan dengan memberikan syalmu padaku!"

Draco memasukkan tangannya ke dalam saku mantelnya, kemudian menarik syal lain dengan motif dan warna yang sama. "Aku membawa satu lagi," ucap pemuda itu. "Pastikan untuk selalu mengenakan syalmu, Harry. Aku tidak mungkin menyediakan dua syal setiap saat."

Harry terkejut ketika melihat kain itu. "Mengapa kau memberikanku syal yang kau kenakan? Kenapa tidak yang baru?" tanyanya dengan kedua mata terbelalak.

"Sebut saja aku ingin mencium aroma parfumku menguar dari tubuhmu," ucap Draco lagi-lagi dengan senyum jahilnya.

Harry memutuskan untuk tidak melanjutkan argumennya. Ia berjalan meninggalkan Draco dengan kaki yang dihentak-hentakkan menunjukkan ia kesal dengan kalimat pemuda beriris kelabu itu barusan. Namun ia tidak dapat menyangkal bahwa ia menyukai bentuk perhatian yang diberikan oleh pemuda itu padanya.

Dengan tangan yang saling tertaut, keduanya kembali melanjutkan langkah kaki mereka dalam diam. Udara dingin di penghujung Desember membuat keduanya semakin merapatkan tubuh satu sama lain. Meskipun saat ini hampir tengah malam, jalanan kota masih terlihat ramai. Lampu-lampu natal yang menghiasi sepanjang jalan juga membuat suasana kota semakin meriah.

"Aku baru tahu London sangat indah saat musim natal," gumam pemuda bersurai pirang platina itu tiba-tiba.

"Kau terlalu banyak menghabiskan waktu di istana kuno milik keluargamu, Yang Mulia!" balas Harry dengan sedikit tertawa.

Draco hanya menghela napasnya pelan. "Kau tahu, Father selalu mengatakan London penuh dengan muggle dan itu menjijikkan," ujar pemuda beriris kelabu itu. "Nyatanya ia salah, London sangat indah," ucap pemuda itu dengan serius, sambil menatap tepat ke arah sepasang zamrud di hadapannya. Draco terlihat seakan memiliki beberapa kata di ujung lidahnya. "Kota ini indah namun masih kalah indah dengan... dirimu."

"Errr... kau benar-benar membuatku mual," dalih Harry yang salah tingkah. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya di balik syal pemberian pemuda di hadapannya. Sialnya aroma kayu manis dan mint yang dapat ia cium dari syal itu semakin membuatnya salah tingkah. Kedua pipinya merona semerah ceri di musim semi dan hal itu disadari oleh Draco. Tentu saja Draco memuji dirinya dalam hati karena sekali lagi berhasil membuat keturunan Potter itu memerah.

"Sekarang, kita kemana?" tanya Harry yang masih salah tingkah.

"Ke taman yang kemarin, bagaimana?" Draco balik bertanya.

Harry hanya mengangguk tanpa mengatakan apa pun. Kemudian mereka berjalan ke taman di pinggir Sungai Thames. Draco memimpin langkah mereka dan saat ini mereka telah berada di tempat yang sama dengan tempat dimana hubungan mereka resmi dimulai. Suasana di sekitar mereka tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang.

"Aku ingin memberikanmu hal yang kau inginkan," ucap Draco begitu mereka telah duduk di kursi taman yang kemarin mereka duduki. Senyum menawan ia tampilkan di wajahnya.

"Aku sedang tidak menginginkan apa pun," balas Harry tanpa mengacuhkan senyum menawan milik pemuda pirang itu.

Draco tertawa kecil. "Kau pernah memintaku untuk melakukan hal ini bersamaku," ucap Draco kemudian ia bangkit dari duduknya. Tangan kanannya menarik keluar tongkat Hawthorn miliknya dari saku jubah musim dinginnya. Sedetik kemudian, ia merapalkan mantra pelindung serta mantra-mantra lain yang sering digunakan oleh Harry, Ron dan Hermione saat mereka berburu Horcrux.

"Mantra ilusi? Mantra peredam suara? Untuk apa?" tanya Harry bingung.

Draco tidak menjawab pertanyaan Harry, melainkan melayangkan senyuman andalannya. Senyuman yang tidak pernah ia tampilkan kepada siapa pun bahkan kedua orang tuanya. Namun Harry tidak mengetahui fakta itu.

Draco kembali mengayunkan tongkatnya, kali ini menggunakan mantra non-verbal. Sedetik kemudian bola cahaya berwarna kekuningan meluncur dari ujung tongkatnya kemudian melayang-layang di udara. Bola kekuningan itu selain memancarkan cahaya ia juga mengeluarkan sebuah suara. Suara yang menyerupai lusinan alat musik orkestra yang dimainkan bersamaan.

Selesai dengan seluruh pekerjaannya, Draco berbalik menatap Harry yang masih duduk dengan tatapan seribu makna. Sedetik kemudian ia berlutut di hadapan Harry kemudian menyodorkan tangan kanannya kepada pemuda berkacamata bundar itu. "Kau mengajakku untuk berdansa saat itu dan dengan bodohnya aku menolakmu, kali ini izinkan aku membawamu untuk berdansa," ucap Draco sambil menatap tepat ke arah zamrud itu.

Dengan mata yang berbinar Harry mengangguk kemudian meraih tangan Draco. Keduanya telah berdiri dan mulai mengikuti irama musik yang berasal dari bola kekuningan itu. Draco memimpin gerakan mereka dan Harry dapat mengikuti dengan baik, tanpa menginjak kaki pemuda beriris kelabu itu.

"Aku menyesal membiarkan Professor Switch berdansa bersamamu saat itu," bisik Draco tepat di telinga Harry.

Harry memutar kedua bola matanya. "Kalau kau lupa kau menolak ajakanku dan itu sebabnya aku menerima ajakannya," Harry mengklarifikasi.

"Dan itu adalah kesalahan yang tidak akan aku ulangi," jawab Draco. Kedua tangannya melingkari pinggang ramping Harry. "Apa yang terjadi sampai kau meninggalkannya saat itu?" tanya Draco lagi.

Harry menimbang apakah ia harus memberitahu kekasihnya itu atau tidak. Namun akhirnya ia memilih untuk memberitahunya. "Ia menyatakan perasaaannya padaku, agak aneh memang mengingat dia adalah seorang guru dan aku hanya murid tahun terakhir. Meskipun jarak usia kami hanya 4 tahun, tetap saja itu terlihat aneh."

"Kau menolaknya bukan karena perbedaan usia, Harry. Tapi karena hatimu memilihku," bisik Draco lagi tepat di telinga Harry.

Lagi-lagi Harry memutar kedua bola matanya. "Terserahmu saja, Malfoy! Dan bisakah kita berhenti membicarakannya?"

Draco hanya tertawa kecil kemudian mengangguk menyetujui. Keduanya kembali melanjutkan dansa mereka. Mereka tak perlu khawatir dipandang aneh oleh pengunjung lain karena Draco telah memasang mantra ilusi dan mantra peredam suara di sekitar mereka.

Harry mendongak untuk memandang Draco yang hanya berjarak beberapa senti darinya itu. Posisinya kali ini membuatnya dapat melihat wajah Draco yang menutupi bulan sabit di belakangnya. Rambut pirang platina milik kekasihnya itu bersinar terang hampir menyaingi bulan sabit itu. Namun Harry tetap lebih menyukai kilauan yang dihasilkan dari surai pirang itu daripada sinaran rembulan.

"Kau belum memberitahuku tentang apa yang terjadi dua hari belakangan," ucap Draco kembali memecahkan keheningan di antara mereka.

Harry yang mendengar itu menjadi berhenti bergerak. Pandangannya ia tundukkan sehingga membuat Draco tidak dapat membaca arti binaran aneh di matanya. Bahunya bergetar pertanda ia tengah menangis.

"Tatap aku, Harry," ucap Draco menarik dagu Harry untuk mendongak. Ia melihat kilau zamrud kesukaannya itu sedang berkaca-kaca saat ini. "Katakan padaku, apa yang memenuhi hati dan pikiranmu saat ini," pinta pemuda bersurai pirang platina itu.

Harry memejamkan kedua matanya menciptakan dua aliran sungai yang membasahi wajahnya. Ia kembali mengingat perkataan Remus, dan itu membuatnya sakit. Ia seharusnya tidak berada di sini bersama Draco. Harusnya ia tidak menerima ajakan pemuda itu. Harusnya ia tidak memiliki hubungan apa pun dengan pemuda di hadapannya. Harusnya ia tidak mengenal pemuda itu sama sekali.

"Katakan, Harry," lirih Draco lagi menuntut pemuda berkacamata bundar itu untuk membuka mulutnya.

"Hubungan kita, salah kan?" tanya Harry sambil menahan isakannya.

Draco terkejut ketika mendengar pertanyaan singkat pemuda berkacamata bundar itu. Ia bahkan tidak tahu harus menjawab apa. Dan di dalam hatinya ia mengakui bahwa hubungan mereka memang tidak akan mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. "Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, Harry," elak Draco.

"Kedua orang tuamu... ti–tidak akan menerima hubungan ini... sampai kapan pun. Benar, kan?" tanya Harry lagi sambil terisak. Kali ini ia gagal menahannya.

"Siapa yang mengatakannya padamu?" Draco bertanya dengan wajah murung.

"Itu tidak perlu, Draco. Cukup katakan ya atau tidak," balas Harry lagi. Kedua zamrudnya semakin berkaca-kaca dan Draco tidak menyukai ini.

Draco diam. Ia terlihat ragu.

"Ya, Harry. Kau benar," lirih Draco lemah. Ia terlihat sangat murung kali ini. "Tapi aku janji, Harry. Aku akan terus memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan... Dan itu adalah dirimu," ucap Draco berjanji sambil berusaha menghilangkan air muka sedih pada wajahnya.

"Jangan menjanjikan hal yang tidak dapat kau penuhi, Draco," lirih Harry sambil menggeleng lemah.

Draco merasa terpuruk melihat Harry yang seperti ini. "Aku menyukaimu, Harry," aku Draco sambil menarik tangan Harry ke dalam genggamannya.

"Aku juga, Draco. Tapi itu tidak cukup," balas Harry yang masih menangis. "Aku ingin bahagia, bahagia bersamamu. Apakah aku berharap terlalu banyak?"

Draco menarik Harry ke dalam pelukannya. Ia membelai surai hitam berantakan yang ternyata sangat halus itu. "Aku akan selalu berusaha membuatmu bahagia, Harry!" jelas Draco sambil terus menyalurkan kehangatan kepada Harry. "Aku janji!"

.

.

tbc

.

Author Note :

Finally a new update!!! I miss you guys a lot, sumpah ga bohong. Btw hari senin aku mulai internship, doain lancar ya hiks🥺

Btw, TDWM bakal tamat sekitar 2-3 chapter lagi. Fix endingnya yang sama Hector jadinya aku. Jangan protes.

Gregg Sulkin as Hector Switch

Continue Reading

You'll Also Like

120K 9.6K 86
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
422K 8K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
439K 44.7K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
390K 17K 58
⚠️FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Cerita ini dibuat berdasarkan murni karangan dan ide author. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama tokoh, maupun lainn...