I'll Remember You: Beginning...

By AINTYOLADY

28.3K 3.2K 945

(16+) Kerahkan jantungmu! Akhir sudah dekat! Dunia berada di ujung tanduk. Apakah (Y/N) akan mendukung Eren d... More

For Your Information
Satu: On Edge
Dua: Zackly
Tiga: No Matter How Far
Empat: Reunion
Lima: Alliance
Enam: Rest Easy
Tujuh: Execution
Sembilan: Offer Your Heart
Sepuluh: We Must Kill Him
Sebelas: Hanji
Dua Belas: Chaos
Tiga belas: I'll Remember You
Epilog: The Smith

Delapan: I Love You

1.6K 213 102
By AINTYOLADY

(Y/N) bersandar di pohon sembari mengawasi langit. Tatapannya hampa, menerawang hari esok— Mimpi buruk yang kini sepertinya ditakdirkan menjadi kenyataan yang harus dijalani.

Sesaat ia mendengar seseorang terbangun, namun ia tak terlalu mengacuhkannya. Toh dia mungkin bangun karena haus atau ingin buang air, atau apalah itu.

Lalu sebuah tepukan di pundaknya membuyarkan lamunannya. (Y/N) menengadah mendapati Reiner sedang berdiri di sebelahnya.

"Bir?"

"Terima kasih, tapi aku sudah berhenti minum Alkohol." Elak wanita itu.

Pria yang nyaris membunuhnya itu kini duduk dan bergabung untuk melamun bersamanya. Dia menatapnya tajam. Cahaya api unggun yang nyaris padam menyinari mereka, dan Reiner dapat melihat setiap detail wajah (Y/N). Mata, hidung, dan dahinya yang berkerut.

"Kalau sejak awal kita membicarakannya.."

"Ya?" Tanya Reiner meskipun dia merasa ngeri untuk mendengar jawabannya.

"Kita masih belum saling bicara, Reiner. Bukankah itu sebabnya kita saling membunuh dan semacamnya hingga salah satu dari kita mati?" (Y/N) memicingkan matanya ke arah pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Tempat Petra, Gunther, dan para rekannya yang lain berakhir. Hatinya kembali terasa nyeri. "Kalau saja hari itu kita sungguh-sungguh saling bicara, semua pembunuhan yang terjadi hingga sekarang.. Tak akan terjadi."

"Marco." Tatapan Reiner jatuh ke tanah. "Dia mendengar pembicaraanku dengan Annie dan Bertholdt, kemudian aku melemparnya dari atap. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri bagaimana bisa ia dimakan—"

"Tapi aku pikir, masih belum terlambat untuk memulai sekarang." Potong (Y/N), berusaha sekuat mungkin, melawan keinginannya untuk membentak. "Paling tidak, saat ini kita bisa mendengarkan satu sama lain tanpa saling bunuh."

"Ya, kau benar." Pria itu bergedik, ragu-ragu, takut akan akibat dari perkataan yang akan diucapkannya. "Aku tahu aku lancang, tapi.. Aku minta maaf. Atas segala hal— Kematian Bertholdt.." Ia tak menyelesaikan perkataannya.

"Lanjutkan lagi seperti itu dan aku akan mematahkan lehermu, di sini, di depan semua orang." Amarahnya tersulut karena nama anak malang itu. "Bertholdt mati karenaku, bukan kau. Itu tak ada hubungannya denganmu, dasar sinting."

"Aku.. Menyuruhnya untuk membunuhmu hari itu."

"Aku sudah tahu." Katanya, matanya nyalang menatap Reiner. "Setelah malam itu kita bicara, mustahil kalian tak curiga padaku."

"Apa kau membenciku?"

"Reiner, tentu saja aku ingin menendang bokongmu sampai mati."

"Aku mengerti,"

(Y/N) diam sejenak, memandang satu per satu rekannya yang sedang terlelap di atas rumput. Lalu pandangan penuh dendamnya kembali pada pria itu, "Tapi kalau aku melakukannya, kita akan kalah."

"Aku lebih berharap kau melakukannya, (Y/N). Aku memang pantas di tendang."

"Aku mengerti rasanya berada di posisi yang terdesak, Reiner. Dimana kau ingin melakukan sesuatu, selalu saja salah. Tapi jangan mengatakan hal sekejam itu pada dirimu sendiri."

Reiner bungkam, tidak satu kata pun keluar dari mulutnya. Dan itu membuat (Y/N) semakin semangat untuk menertawainya.

"Sekarang kau jadi lemah, huh? Kau sudah hilang arah? Apa-apaan." (Y/N) tertawa, nadanya terdengar keji— Seolah pria malang itu hanyalah bahan guyonan yang lucu. Kemudian wanita itu mendorong wajah Reiner dengan telapak tangannya, membuat bocah tengil itu terjengkang ke belakang. "Memalukan."

Dahi Reiner berkerut. "Sialan."

"Nah, begitu, dong." Dia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, dan Reiner menyambutnya, saling bersalaman selama beberapa lama. "Sudah lama tidak bertemu, brengsek."

Kelegaan membanjiri Reiner. Dia mulai merasa lelah dengan semua perdebatan ini. "Ya. Terima kasih, (Y/N)."

(Y/N) mengangguk, tetapi tak mengatakan apa-apa— Dia berdiri lalu berjalan ke tempat para rekannya istirahat dan duduk di sisi Erwin yang masih terpejam.

Jari-jarinya menyusuri helaian rambut pirang Erwin yang begitu ia dambakannya. Lalu turun ke pipinya, bermain di janggut-janggut tipisnya yang mulai tumbuh.

Pria itu seketika membuka mata dan menemukan seraut wajah yang sedang menatapnya sangat dekat, sekelilingnya masih gelap. Dia hendak duduk dan berbicara, tetapi tangan yang terasa hangat dan lembut di pipinya itu membuatnya enggan bangun.

"Ini masih tengah malam, sayang." Lirih (Y/N). "Tidurlah lagi, maaf aku malah membangunkanmu."

Sisa kantuk Erwin menguap seketika. "Letakkan tanganmu seperti tadi."

"A-Apa?" Wanita itu memerah, tergelak sesaat lalu menuruti kemauannya.

"Aku rindu Heimdall." Lengan Erwin mengelilingi pinggang (Y/N). "Aku rindu rumah. Aku rindu makan roti buatanmu. Aku rindu melihatmu memakai kemejaku di pagi hari setelah—"

"Shh, nanti mereka dengar." Gertak (Y/N), mencubit kecil lengan pria itu, membuatnya memuntahkan tawa. "Aku tidak ingin membahas hal-hal sedih."

"Maafkan aku." Erwin merasa pukulan rasa bersalah terhadap sang istri— merasa iba padanya. "Maaf. Maaf."

"Kekanakkan, dasar." Ia mengecup keningnya. "Tidurlah."

"Aku ingin ngobrol denganmu." Erwin memerah.

"Pelan-pelan bicaranya. Tidak hanya kalian yang terjaga disini." Protes Reiner, mengerang pada pohon di balik punggungnya.

"Jomblo iri saja." Erwin bangun, tersenyum pada Reiner.

"A-Apa?! Komandan!"

"Ngapain saja kau delapan tahun ini di Liberio?"

"Tidak sepertimu, aku sibuk mencari cara untuk menyelamatkan dunia, tahu." Gerutu Reiner, memerah karena malu.

"Memangnya itu berbuah manis?" Sindir (Y/N), seperti sebuah pisau yang menusuk jantungnya.

"Setidaknya aku berusaha, huh."

"Jujur saja, usaha mati-matian kami juga berakhir sia-sia, kok. Jadi santai saja, kau bukan satu-satunya yang merasa seperti seorang pengecut, Reiner. Kita juga." (Y/N) merangkulnya, lalu menoleh pada Erwin. "Iya kan, sayang?"

"Tidak salah, sih." Sang suami mengangkat bahu. "Tapi tidak perlu diceritakan terang-terangan juga, sayang."

Reiner tahu usahanya hanya akan menjadi sebuah lelucon menyedihkan, tapi hanya itu yang bisa dia lakukan. Sedangkan sepasang suami istri yang aneh di sisinya ini hanya menerima nasib dan menertawakan kegagalannya sendiri.

Reiner dapat merasakan (Y/N) dan Erwin tertawa pada satu sama lain, berharap dia juga bisa melakukannya. Lantas, ketiganya kini terdiam.

"Aku ikut berduka soal putra kalian." Akhirnya pria itu berkata.

"Ya.."

"Aku tidak sangka kalian bisa sejauh ini. Berkencan dan menikah.." Reiner menghabiskan bir nya dalam satu tenggakan. "Kalau Bertholdt tahu, dia pasti sudah galau berat."

"Kau ingin kupenggal?" Mata Erwin membakar bocah itu hingga ke tempatnya terduduk.

"Aku cuma bercanda, Komandan."

Menit demi menit berlalu, dan malam yang panjang akhirnya mulai menimbulkan rasa kantuk (Y/N). Dia tertidur dengan cepat, kepalanya bertumpu pada gumpalan daging dan otot— Paha Erwin.

"Cepat sekali tidurnya." Reiner menggeleng, menyembur tawa. "Bahkan kilat kalah cepat dengannya."

"Aku setuju denganmu." Erwin ikut tertawa, mendengar dengkuran wanita itu, tetapi Erwin tahu dirinya tak mungkin bisa tidur lagi. "Selamat tidur, Wanitaku."

Entah apa yang akan terjadi esok.
Kita akan tahu beberapa jam lagi.
Tidurlah, (Y/N). Aku mencintaimu.
Aku akan selalu mencintaimu.
Kalau besok aku gagal, atau kau..
Atau itu kita berdua..

Ingatlah kita. Ingat perjuangan kita. Ingat masa-masa indah itu.

Saat kau menjatuhkanku tiga belas tahun yang lalu, ingat? Itu lucu sekali. Aku tak bisa melupakannya hingga saat ini.

Aku pun selalu ingat raut antusiasmu di panggung, saat pertama kali kita bertemu di malam pelantikan. Aku menyukainya. Aku sangat menyukainya.

Lalu beberapa tahun kemudian tanpa sengaja aku mengutarakan perasaanku sebelum aku di tahan oleh Kerajaan. Aku senang setengah mati ketika kau memelukku saat aku pulang.

Aku tidak membayangkan kalau hari itu aku tak mengutarakan perasaanku dan meninggalkannya terpendam selaamanya.

Apa yang akan terjadi, ya?

Entahlah. Yang jelas itu pasti buruk sekali.

Kau harus tahu seberapa beruntungnya aku memilikimu.

Aku ulang sekali lagi, Nyonya Smith..

Aku mencintaimu.

Continue Reading

You'll Also Like

15.9K 1.8K 21
π‘©π’‚π’ˆπ’‚π’Šπ’Žπ’‚π’π’‚ π’“π’‚π’”π’‚π’π’šπ’‚ π’Œπ’‚π’– π’Žπ’†π’π’‹π’‚π’…π’Š π’Šπ’”π’•π’“π’Šπ’π’šπ’‚ π‘΄π’Šπ’Œπ’†π’š?
69.4K 10.9K 27
(Name) tidak ingat mengapa dia bisa ada ditempat itu dan kehilangan penglihatannya. Semua orang mengatakan bahwa dia sakit dan dia kehilangan penglih...
58.3K 4.9K 102
"Aku terlalu mencintai kalian. Dan kalian juga memberikan ku cinta. Aku terlalu nyaman dengan hidup ini, dan tidak ingin untuk kembali. Pantas kah ak...
2.7M 27.4K 27
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...