Canistopia

By taejung21

63.2K 10.2K 3.7K

Sebuah dunia yang tidak akan pernah dimengerti oleh kaum manusia namun nyata adanya. July/2020 DON'T COPY MY... More

Prolog
Introductions
Canistopia - I
Canistopia - II
Canistopia - III
Canistopia - IV
Canistopia - V
Canistopia - VI
Canistopia - VII
Canistopia - VIII
Canistopia - IX
Canistopia - X
Canistopia - XI
Canistopia - XII
Canistopia - XIII
Canistopia - XIV
Canistopia - XV
Canistopia - XVI
Canistopia - XVII
Canistopia - XVIII
Canistopia - XIX
Canistopia - XX
Canistopia - XXI
Canistopia - XXIII
Canistopia - XXIV
Canistopia - XXV
Canistopia - XXVI

Canistopia - XXII

2.1K 325 152
By taejung21

.

.

Waktu bergulir begitu cepat, langit pun ikut berubah mengikuti kodrat alam. Pagi menjadi siang, siang menjadi sore, dan kini ... sore sudah berubah menjadi malam.

Damien—seseorang yang cukup menjadi perhatian semua penghuni di kastil—kini sedang menatap takjub pada lima ekor kuda berukuran tak biasa yang menarik sebuah kereta di depan gerbang.

“Itu percheron,” ucap Matt seraya membenarkan ransel yang tergantung di bahu kanan.

Damien membulatkan bibirnya seraya mengangguk-angguk. “Tinggi dan besar sekali.”

“Tetapi cukup tempramen,” bisik Matt. “Kau harus hati-hati. Jangan terlalu dekat kalau bisa.”

“Oh?” Damien terpaku beberapa detik kemudian mengangguk lagi. “Baiklah.”

“Di mana yang lain?” tanya sebuah suara menginterupsi keduanya.

Matt dan Damien menoleh bersamaan. Ternyata itu Daves. “Sudah di dalam,” jawab Matt. “Kenapa kau lama sekali?”

“Memeriksa beberapa hal. Memastikan Jayden dan Hayden mengurus kastil dengan benar selama kita pergi.”

Matt mendengkus. “Mereka sudah terbiasa di kastil. Kenapa kau berlebihan begini? Apakah karena ucapaan Kevin yang kau ceritakan itu?”

Daves mengangguk. “Setidaknya perlu waspada. Kita tidak tahu ucapannya benar atau tidak. Kalau terbukti benar, kita tidak tahu orang asing itu mengancam atau sebaliknya."

“Ah, aku merasa kau sedang meragukan kemampuanmu sendiri, Daves,” keluh Matt.

“Apakah Jayden dan Hayden tidak sekolah?” tanya Damien penasaran.

Daves menggeleng. “Mereka sudah lulus, tahun kemarin.”

“Kukira kita seumuran,” ucap Damien baru tahu.

Daves mengedik. “Tunggu apa lagi? Ayo kita berangkat!”

Damien mengeratkan jari-jarinya di tali ransel. Siapkah ia menghadapi suasana baru dan bertemu dengan banyak orang ‘aneh’ sepertinya di sekolah? Ia menghela napas panjang kemudian mengangguk meyakinkan dirinya sendiri bahwa sesuatu yang menurutnya aneh adalah nyata. Ia harus terbiasa. Ya, harus.

“Ayo,” ajak Matt yang menaiki keretanya terlebih dahulu. Disusul Damien, kemudian Daves.

“Kenapa kalian lama sekali?” tanya Chris membuat Daves merasa deja vu. Bukankah ini pertanyaan yang kedua kali untuknya?

Daves mengedik seraya duduk di samping Chris tanpa berkata-kata. Tampaknya ia terlalu malas menjelaskan. Toh, Chris juga bukan manusia yang begitu penasaran dengan urusan orang lain. Kalaupun genting, pastilah orang lain duluan yang akan memberitahunya. Bukan berarti Chris tak acuh dengan sekitar, ia hanya tidak suka membebani pikirannya dengan banyak hal. Ia akan peduli sesuai pada waktu dan tempatnya, begitu yang Daves tahu.

“Matt dan Damien, Mike dan Fred, kemudian kita ..., di mana Sean duduk?” tanya Daves. Keningnya berkerut hingga kedua alisnya hampir menyatu. Ia keluar pintu ruangan, melewati koridor sempit sambil melihat-lihat ruangan lainnya lalu kembali. Sesekali kepalanya menoleh ke luar dari pintu geser yang terbuka.

“Duduklah,” omel Chris. “Bisa-bisa kau terjatuh karena keretanya sudah bergerak.”

Daves mendengkus dengan tatapan seriusnya. “Tetap saja, di mana Sean duduk?”

“Di depan. Di ruangan paling depan,” tunjuk Chris dengan dagunya.

“Dia menyendiri? Satu ruangan cukup untuk berempat,” heran Daves. “Mungkinkah ia masih marah? Bukankah kami sudah saling memaafkan saat ia kembali ke kamarnya tadi?”

“Apa salahnya menyendiri? Aku juga ingin sendiri kalau kau tidak bergabung di ruangan ini,” jawab Chris sementara punggungnya bersandar nyaman.

Daves merengut. “Kau selalu saja berterus terang. Tapi maaf-maaf saja, aku lebih suka mengganggumu dari pada mengganggu suasana hati Sean yang sedang tidak baik.”

“Begitulah. Tetapi Damien sepertinya sangat suka mengganggu.” Chris membuka matanya seraya menoleh ke arah kaca pintu yang sudah kembali menutup. Daves ikut menoleh terkejut namun tak sampai ia beranjak dari duduknya.

“Ah, apakah keputusan kita membawanya salah?”

Chris tersenyum simpul. “Bagaimanapun, itu takdirnya. Sudah seharusnya dia di sini.”

🐾

Damien mengetuk pintu geser ruangan tempat Sean duduk, sementara si penghuni ruangan sedang terpejam dengan kedua tangannya yang terlipat di dada. Tidak ada sahutan, tetapi Damien bersikeras untuk menemuinya.

“Sean,” panggilnya. “Diizinkan atau tidak, aku akan masuk.”

“Masuk saja,” jawab Sean akhirnya seraya menyamankan duduknya. Ia membuka mata dan menyadari anak itu sudah duduk di seberangnya. “Ada apa?”

“Karena insiden siang ini, kau masih marah?”

Sean terdiam, ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela dan tampak sedang berpikir. “Tidak. Itu sudah selesai. Fred datang ke kamarku untuk meminta maaf.”

“Kalau begitu, aku juga harus meminta maaf.” Damien refleks menoleh saat wajah seseorang muncul di kaca pintu “Fred!” panggilnya membuat Sean ikut menoleh sekilas. Wajah itu hampir pergi kalau bukan Damien yang sigap membuka pintu dan menarik lengan orang yang ditujunya.

“Silahkan saja, lanjutkan. Aku akan datang lagi nanti.” Fred siap berbalik arah namun pegangan Damien cukup kuat menahannya. “Bisa kau lepaskan tanganmu itu?”

“Tidak sampai kau bergabung di sini.”

Fred menatap berang. “Sebenarnya apa maumu, huh?”

“Ada yang ingin aku katakan,” ucap Damien serius.

Fred mendengkus. Ia menghempaskan tangannya kasar agar pegangan Damien terlepas. Diliriknya Sean yang masih mengalihkan pandangannya ke luar kemudian ia tampak pasrah. “Baik. Aku akan duduk,” jawabnya seraya masuk dan menutup pintu.

Sean tampak tidak terganggu saat Fred duduk di sebelahnya. Lihat saja? Ia bahkan masih sibuk menatap ke luar, seolah-olah apa yang ada di sana lebih menarik dari pada kedua orang yang sedang merasa canggung karena berada di satu ruangan yang sama.

“Aku minta maaf,” ucap Damien. Fred menatap bingung dengan sudut bibir kirinya yang menaik.

“Tidak salah dengar?” Fred mendengkus.

Damien mengernyit. “Apa maksudmu? Aku sungguh-sungguh.”

Fred menatap kedua sepatunya seraya terkekeh sinis. Ia menggoyang-goyangkan kaki kanannya, menoleh pada Sean, kemudian menghela napas.

“Soal menyinggung kedua orang tuamu,” ucap Damien, membuat Fred mendongak. “Aku tidak tahu kehidupanmu. Aku tahu aku terlalu sembarangan dalam berucap. Tapi, aku memang agak sulit mengontrol rasa ingin tahuku. Itu saja. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu, Mike, atau salah satu dari kalian.”

Keduanya bisa mendengar Sean menghela napas. Mereka juga sadar kalau ia kini menoleh memperhatikan. Fred berdeham sementara Damien memainkan jari-jarinya. Namun di antara kecanggungan itu, Sean masih belum juga membuka mulut.

“Jadi, bagaimana?” tanya Damien kembali pada topiknya.

“Aku menerima permintaan maafmu. Aku juga minta maaf karena telah menyakitimu dengan kekuatanku saat itu,” ucap Fred dengan berat. “Tapi, bukan berarti aku sudah menerimamu dan bukan berarti kau bisa dekat-dekat denganku, Newborn.”

“Namaku Damien.” Ia mengulurkan tangannya dengan senyuman, membuat Fred menatap tangan itu dengan ekspresi heran.

“Untuk apa semua itu?”

“Aku ingin berkenalan ulang. Aku akan melakukan yang terbaik untuk beradaptasi,” ucap Damien terus terang seraya menurunkan uluran tangannya yang tak terbalas. “Aku juga akan melakukan hal yang sama pada Mike nanti. Kuharap, aku bisa menjadi bagian dari kalian.”

Fred tersenyum simpul. “Kau perlu bekerja keras untuk itu.”

“Apa pun. Aku akan melakukannya sebisaku untuk mendapatkan hati kalian.” Damien menoleh pada Sean yang entah sejak kapan sudah tersenyum memperlihatkan garis bibir tipisnya.

“Jelek,” kesal Fred yang ikut menyadari.

“Kalian jelek! Bertengkar terus! Membuatku pusing!” ucap Sean dengan kalimat yang berjeda.

“Kau sariawan?” tanya Fred dengan alis menaik sebelah.

“Sariawan?” Sean mengernyit. Sedetik kemudian ia tertawa saat membaca selintas pikiran Fred. “Karena aku tidak bicara sejak tadi?”

“Tentu saja! Kau pikir apa?” Fred memukul bahu Sean pelan.

Sean tertawa lagi. “Aku tidak sariawan. Sedang tidak ingin bicara saja. Apalagi menanggapi adu mulut kalian, Adik-adikku.”

“Adik-adikmu, apanya?” desis Fred seraya mendengkus sementara Damien tersenyum malu.

Sean tidak bergerak dari sandarannya yang nyaman. “Ayolah, kita ini keluarga dari Pirenia. Kita hanya bertiga, sementara mereka berempat dari Alpen. Kalau dua saudaraku ini hobi bertengkar, maka untuk apa aku bertahan di Canistopia?”

“Kau tidak menganggap yang lain saudara?” heran Damien.

Sean terkekeh sementara Fred sepertinya ingin mendengar jawaban dari pertanyaaan yang baru saja Damien lontarkan. “Jadi apa? Benarkah begitu?” tuntut Fred.

“Bukan begitu,” jawab Sean serius. “Sejarah kita dan mereka berbeda. Namun bagaimanapun juga, mereka tetaplah keluarga sebangsa kita. Bahkan aku sangat dekat dengan yang lain. Jangan salah paham seperti itu, bisa-bisa yang lain beranggapan bahwa itu benar. Kita juga sedang mengukir sejarah baru di keluarga ini.”

Fred mendengkus. “Kau sendiri yang membuat kami salah paham, Sean. Aneh sekali.”

“Oh, ‘kami’?” goda Sean. “Senangnya kalian bersatu, yah, sekalipun itu hanya untuk memojokkan ucapanku,” ucapnya kemudian tertawa.

“Jangan berbesar hati, Damien.” Fred memperingati sementara Damien ikut tertawa.

“Baik, baik. Aku tidak menganggap itu sebagai sebuah kedekatan antara kau dan aku, Fred.” Damien menahan senyumnya dengan susah payah.

“Kau dan aku, apanya?!” kesal Fred.

“Sudah, sudah,” lerai Sean yang masih terkekeh-kekeh. “Kau meninggalkan Mike sendirian?” tanyanya.

Fred menoleh kemudian mengangguk. “Ya. Dia tahu kalau aku sedang menemuimu.”

“Aku juga meninggalkan kak Matt,” ucap Damien tanpa ditanya.

“Jangan ikut-ikut!” protes Fred, sementara yang ditegur nyalinya sedikit menciut menelan liurnya susah payah. Apa salah? Ia hanya inisiatif saja untuk memberitahu siapa teman duduknya sebelum pindah kemari.

Entah ke berapa kalinya Sean menahan senyum. Meskipun Fred tetap tidak ramah, namun ia bisa melihat ada perbedaan dari nada bicaranya. Lalu Damien, Sean bisa melihat kalau anak itu sedang berusaha agar tidak salah ucap seperti yang sering dilakukannya sebelum ini.

“Lebih baik kalian kembali. Kasihan mereka, teman duduknya menghilang terlalu lama,” saran Sean.

“Tidak.”

“Tidak.”

Fred mendelik. “Bukankah kau akan meminta maaf juga pada Mike? Pergi sana! Temui dia!”

“Nanti saja, kalau sudah tiba di asrama,” jawab Damien.

“Tidak akan ada waktu!” omel Fred.

“Kenapa tidak ada waktu?” alis Damien menaik sebelah.

“Mike tidak akan membukakan pintu kamarnya untukmu! Kau tidak tahu seberapa banyak kami benci pada newborn satu ini? Sangat benci. Benci di level tertinggi!”

Damien mendengkus. “Lihat saja nanti!”

“Hei, ayolah ...,” lerai Sean seraya menggeleng-geleng.

Fred memiringkan duduknya, ingin menatap Sean lebih fokus lagi. “Apakah ucapan Kevin Yoo benar?” tanyanya.

“Tentang pembicaraan kita di kamar?” tanya Sean.

Damien menoleh bergantian melihat ekspresi keduanya dengan bingung. Sebenarnya apa yang mereka bicarakan? Lihat! Damien tampak seperti seseorang yang tidak kebagian kisi-kisi saat ujian.

“Kenapa dengan Kevin Yoo?” tanya Damien.

Fred berdecak sebal. “Apakah kepalamu penuh dengan pertanyaan? Kenapa kau selalu seenaknya mengungkapkan itu?”

“Wajar saja, aku ini, kan, keluarga,” dalih Damien seraya merengut.

Fred menaikkan ujung kanan bibirnya sebal. “Jangan membuat alasan,” ucapnya. “Bagaimana, Sean? Apakah kau pernah melihat orang asing itu? Berbahayakah? Daves tidak merasakan tanda-tandanya.”

“Kemampuan Daves tidak bisa digunakan? Bagaimana bisa?” tanya Damien meskipun ia sudah mendengar ini sesaat sebelum naik kereta.

Fred siap-siap mengomel lagi sampai Sean merentangkan kedua tangannya. Satu di depan Fred, satu di depan Damien. “Kalian ingin aku pergi?”

“Kenapa kau harus pergi?” tanya Damien tak paham.

“Karena kau! Kau tidak tahu kalau Sean pergi dari kastil seharian setelah menamparku?!” tanya Fred ketus.

Sean menurunkan tangannya perlahan dengan raut kesalnya yang berubah menjadi sedih. “Apakah ... itu sakit?” tanyanya lirih.

Fred menatapnya canggung. “M-maaf. Aku tidak bermaksud menyinggung hal itu lagi. Aku tidak apa-apa, sungguh. Aku pantas menerimanya karena aku salah.”

Sean melirik sebelah pipi Fred yang ditamparnya tadi siang. Ia kemudian tersenyum. “Aku juga salah,” ucapnya mengakui. “Oh, tentang orang itu. Aku mengenalnya. Jangan khawatir, kita akan bertemu dengan mereka di sekolah.”

.

.

.

.

.

.

Kangen ya? Hahaha mian :v

Continue Reading

You'll Also Like

163K 18.6K 40
WARNING 21+++++. . . . -Cintaku semanis Madu, seputih Salju, Selembut Lenan Halus. Dan semua itu hanya milik satu Nama: Lalisa Manobal.- Jennie Ruby...
629K 39.3K 48
Setelah menerima banyak luka dikehidupan sebelum nya, Fairy yang meninggal karena kecelakaan, kembali mengulang waktu menjadi Fairy gadis kecil berus...
480K 1.5K 9
🔞 cerita ini mengandung adegan dewasa
1.4M 4.6K 37
cerita yang penuh dengan seks harap jangan sange bila mebaca.