Tubby, I Love You! (Selesai)

By NamIllegirl

9.1K 2.6K 2.1K

"Jikalau tubuh yang terlihat jauh dari kata sempurna, maka hati yang ku rasa sangat dekat dengan kata luar bi... More

Prologue
1|| Sweet Seventen
2|| A Cousin?
3|| Limitation
4|| (Extra)curricular
5|| Reality
6|| Kind people
8|| Medicine
9|| I Show You
10|| Heartbeat
11|| Out(war)ds
12|| Not Me
13|| Precio(us)
14|| Hug
15|| Plan
16|| We go up
17|| Walk on memories
18|| History
19|| You're my end and my beginning
20|| Me and my brokenheart
21|| Sweet Candy
22 || Try it!
23|| Guardian
24|| Reasons
25|| Unbelievable Truth
26|| I With You
27|| Disease.
28|| Take care of you
29|| Watch Your Mouth, Please!
30|| Don't Blame Yourself
31|| Without You
32|| They don't know
33|| Only We Know
34|| You're Beautiful, If ...
35|| (Die)t
36 || Better to Happier
37|| One and Only
38|| Bittersweet
39|| Make a Sense
40 || He Completes Us
41|| I Not Only Love You
42 || The Truth Untold
Epilog || Life Goes On

7|| Disappear

219 95 67
By NamIllegirl

•Happy reading!•

'Tidak selamanya diam akan memberikanmu ketenangan.'
~ Jodhi Saga Ginanjar Prawira.

Senin pagi merupakan awal dari semua hari bagi kebanyakan populasi manusia untuk memulai kesibukannya menjalankan kehidupan. Tidak ubahnya dengan seluruh warga sekolah yang diwajibkan untuk mengikuti kegiatan upacara bendera sebelum mengawali kegiatan belajar mengajar lainnya.

Dihalaman utama SMA Wijaya Kusuma tertata rapi barisan siswa-siswi mereka yang hampir seluruhnya memakai topi sebagai atribut kepala. Jika ada siswa yang menyelewengkan diri mereka tidak memakai atribut lengkap, maka bersiaplah untuk berdiri pada barisan khusus sebelum pada akhir acara akan dilaksanakan sesi pembagian hukuman. Sebaik itu kelihatannya ketertiban yang berlaku di yayasan ini.

"Kak, geser sedikit, dong. Kami tidak bisa melihat pembawa benderanya, nih." Tara yang merupakan pemilik tubuh yang memiliki posisi di depan dua siswi dibelakangnya mulai menggeser sedikit posisinya menjadi merapat dengan Anggi yang tepat disebelahnya.

Pada aturannya, barisan sudah dibuat berdasarkan masing-masing kelas. Namun, karena dua siswi tadi berkendala tidak memiliki barisan lagi pada barisan kelas 10 akhirnya diminta bergabung dalam barisan kelas 11 yang lebih dekat.

"Agak ke kiri lagi dong, kak." Sejauh ini sudah terhitung 5 kali adik kelasnya mengatur posisinya. Karena kesadaran dirinya yang mengakui ukuran tubuh besarnya yang berada pada posisi barisan dari belakang menghalangi usaha adik kelasnya yang memperebutkan pemandangan wajah kakak kelas laki-lakinya yang bertugas menjadi pembawa bendera pada posisi tengah, maka Tara bergeser tidak banyaknya hanya satu centi.

Anggi beberapa kali yang ia senggol beberapa kali sudah menegurnya lewat tatapan mata. Huh, Tara ingin kesal pada tubuhnya yang membuat ia kesulitan. Ia juga mendapatkan lirikan tajam dari beberapa siswa lainnya yang terganggu ketenangannya pada persiapan barisan sebelum upacara dimulai.

"Ishhhh... Kak, ganti posisi saja, deh," Adik kelasnya itu menggerutu. Sebuah penawaran perpindahan posisi diajukan. Apa sebegitu merepotkannya tubuh besarnya ini? Rasa-rasanya menyesakkan kalau sudah menyinggung soal ukuran tubuhnya.

Tara mengangguk lemah. Ia bersiap-siap untuk berpindah pada posisi paling belakang. Ia sudah mengalah untuk adik kelasnya kali ini, itu terjadi sebelum tangannya dicekal oleh orang didepannya. Tara tersentak kaget merasakan langkahnya dihentikan. Bertambah saja keterkejutannya saat mengetahui siapa sosok yang melingkarkan telapak tangannya pada pergelangan tangan Tara.

"Jangan pindah!" Titahnya yang mengundang perhatian dari teman sekelas Tara yang lain.

"Apa masalah kalian jika dia ada di barisan sini?" Tanyanya pada dua siswi tadi. Tara pikir memang ketegasan dari orang ini juga dirasakan oleh adik kelasnya yang hanya menunduk takut.

"Kami tidak bisa melihat berjalannya upacara," jawab salah satu dari mereka dengan pelan.

"Melihat jalannya upacara atau menggilai wajah kakak kelas kalian yang ada di depan sana?" Tukasnya dengan ketus.

Mereka terdiam tidak berani lagi menjawab apalagi menatap. Tara pun begitu yang seakan bisu kala dirinya dibela seperti ini. Ternyata di bela orang lain saat kau terdesak sangatlah sebahagia ini. Kau akan merasa tidak sendiri.

"Di barisan sebelah, ada beberapa tempat luang pada bagian depan. Muridnya baru saja dipindahkan ke barisan istimewa karena tidak memakai ikat pinggang. Jadi, kenapa kalian tidak pindah saja kesana?" Tanyanya dengan sedikit mengintimidasi.

"Ayo silahkan pindah! Bukankah kalian memang mau melihat jelas wajah anak 11 Bahasa 2 itu? Cepat maju!" Suara keras itu mulai menggertak tidak peduli jika banyak pasang mata tertuju padanya. Terlihat kilatan amarah dalam tatapan dinginnya. Tara sendiri ketakutan untuk saat ini.

"Ti-tidak, kak." Tertangkap oleh netra mata Tara gemetaran tubuh adik kelasnya itu tidak berani menaikkan suara.

"Kenapa?! Kalian takut dilihat kakak kelas lainnya? Takut digunjing karena penampilan kalian yang mirip pelayan bar itu?" Mata tajam itu menyorot penampilan kedua adik kelasnya dari bawah sampai atas dengan decakan keras. Rok span pendek dengan ketatnya membentuk lekuk tubuh ramping remaja yang masib duduk di bangku SMA itu. Rambutnya tergerai bebas sepundak dibubuhkan sedikit warna merah. Riasan make up tebalnya mirip satu kilo pemakaian bedak.

"Cepat maju!" Bentakan tiba-tiba membuat Tara juga lainnya terjingkat kaget. Pasti sudah hampir ke barisan laki-laki yang mendengar keributan ini.

"Sudah, Yu. Nanti guru BK nyamperin kita, loh!" Tapi, gadis itu pantang takut. Ia tetap tidak bergeming menatap nyalang pada adik kelasnya.

"Cepat maju!" Gadis beraura dingin yang merupakan teman sekelas Tara itu terus menggencarkan aksinya memerintah kedua adik kelasnya mengisi barisan depan.

Ia tidak peduli jika orang lain beranggapan bahwa dirinya senior gila hormat atau sok berkuasa. Ia hanya tidak menyukai cara adik kelasnya yang menurunkan hormat pada Tara yang notabenenya adalah senior. Bukankah kalau kau ingin dihormati maka kau harus menghormati? Jadi, nikmati saja suguhan aksi gadis itu melemahkan sedikit ketidaksopanan si junior.

"I-iya, kak." Keduanya tidak mengadakan protes lagi, dengan cepat-cepat maju mengisi barisan depan yang masih kosong. Jadilah, pertumbuhan lebatnya bisik-bisik dan tatapan sinis dari siswi lainnya.

Semuanya tidak ada yang berkomentar maupun mempermasalahkan tindakan gadis itu. Menentang ketegasan gadis 11 IPA 2 itu sama saja kau mencari masalah baru.

"Te-terimakasih." Tara tergagap hanya untuk menatap wajah berekspresi datar itu.

Kekosongan melanda hati Tara ketika ucapan terimakasihnya tidak dijawab secara semestinya. Gadis didepannya berbalik acuh seolah tidak pernah melakukan hal besar.

Katakanlah bahwa kebaikan Tara itu mengandung unsur kebodohan untuk dirinya sendiri. Ia merasa tidak enak dengan keributan yang terjadi, walaupun ia tidak salah secara umum.

"Pasukan, saya ambil alih. Siiaaaapp... Gerak!!!" Aba-aba dilontarkan.

Seluruh siswa bungkam dan mengambil sikap sempurna. Pandangan lurus ke depan dengan kepalan tangan kuat di samping kanan-kiri tubuh mereka. Upacara berlangsung hikmat hingga rangkaian tata upacara yang terakhir mencapai pembubaran barisan.

• • •

Lorong kelas cukup sepi memberikan sedikit keringanan pada beban cara Tara berjalan. Beriringan dengan Anggi yang merupakan satu-satunya orang yang mau dekat dengannya, Tara berjalan menuju arah loker mereka bersama setelan seragam OSIS yang dilipat sembarangan.

Seragam olahraga Tara masih berbau wangi baru kali ini melekat pada tubuhnya setelah ia ganti beberapa saat tadi di kamar mandi. Sejujurnya saja, memakai pakaian berbahan kaos tebal seperti olahraga ini merupakan salah satu beban bagi Tara. Bagaimana tidak? Tubuhnya yang berukuran Triple XL itu akan semakin terlihat jelas. Terutama pada bagian lipatan perutnya yang selalu duluan memimpin jalannya. Huffttt... Gerak tubuh Tara tidak bisa leluasa walaupun dalam bidang olahraga.

Lapangan sudah diramaikan dengan kegiatan bermain-main dan bercengkrama para murid ketika keduanya sampai di sana.  Tara dan Anggi memasuki area lapangan hijau, tidak berminat untuk bergabung keduanya memilih duduk di bawah gawang sepakbola.

"Ayo, cepat gabung!" Anggi menarik tangan Tara, mengajaknya untuk bangkit ke arah siswa yang mulai merapatkan diri berbaris.

Awalnya Tara sempat bingung, tapi sadar jika seorang guru laki-laki berperawakan tegap juga wajahnya yang, err... Galak menurut Tara. Sstt.... Guru dengan kalung bandul peluit itu berjalan mendekat. Tara mempersiapkan dirinya untuk bersikap sesempurna mungkin melengkapi barisan. Jantungnya berdegup kencang tidak tertahankan meski nafasnya mulai tercekat hanya karena melirik wajah guru itu.

"Selamat pagi, anak-anak!"

Guru itu membuka suara setelah sekian lamanya membiarkan suasana mencekam dengan tatapan mengintimidasinya. Syara berat yang datar tanpa nada kesenangan memicu pikiran buruk Tara. Mungkin saja guru itu salah makan hingga membuatnya tidak senang di pagi seindah ini.

"Pagi, Pak!" Sahut para siswa dengan lantang.

Hanya anggukan yang guru itu berikan setelahnya. Kembali lagi pada kegiatan kesukaannya menatap teliti seluruh murid. Tidak tahu apa yang dicarinya.

"Heh, kamu! Cepat ganti atau tidak usah ikut mata pelajaran saya!" Jemarinya tegas menunjuk pada seorang siswa yang ternyata tidak memakai atasan seragam olahraga melainkan digantinya dengan kaos hitam biasa.

"Yang tidak memakai seragam olahraga lengkap atau didalamnya masih ada seragam OSIS, silahkan ganti atau tidak usah mengikuti jam olahraga jika tidak berniat!"

Setelah instruksi dilayangkan, sebanyak lima murid laki-laki keluar dari barisan dengan patuh. Mereka adalah orang-orang yang menggunakan kaus olahraga sekaligus seragam putih abu-abu di bagian dalamnya, murid yang memakai kaos bukan seragam, dan juga masih memakai celana panjang seragam OSIS dengan atasan seragam olahraga. Perpaduan yang membuat sang guru marah besar.

"Hei, kamu!" Tara berjingkat kecil ketika suara, telunjuk tangan, serta pandangan mata semuanya milik guru laki-laki itu tertuju padanya. Tara gelagapan memikirkan kenapa dirinya ikut dipanggil. Seingatnya ia tidak memiliki kesalahan seperti yang dilakukan anak-anak yang sudah beranjak pergi ke arah kamar mandi tadi.

"I-iya, Pak?" Tara tergagap menjawab.

"Kamu anak baru itu, ya?" Tanyanya kembali.

Tara hanya mengangguk pelan sebagai jawabannya.

"Kalau ditanya itu menjawab, jangan hanya mengangguk seperti tidak ada suara saja!"

Tara terdiam kalut. Rasa malu bersama takut mulai bertumbuhan dibenaknya. Sudah jelas dari penyimpulannya bahwa guru ini lebih dari sekedar tegas, ia juga galak! Tara sekarang tahu dari mana pemuda yang pertama kali ditemuinya di sekolah ini bersikap galak padanya waktu itu. Ternyata sikap Jodhi itu menurun dari guru olahraga ini.

"Ma-maaf, Pak," cicit Tara dengan bibir bagian dalamnya digigit cukup kuat guna menahannya agar tidak bergetar.

Guru itu hanya berdeham jengah yang lagi-lagi membuat Tara merasa tidak nyaman.

"Baiklah, untuk materi kita kali ini, kita akan mencoba mempraktikkan cara bermain bola basket. Kalian bisa melakukan pemanasan terlebih dahulu lalu lari 3 putaran baru bisa ke lapangan basket. Saya beri waktu 15 menit untuk itu. Jika ada yang berbohong maupun telat melakukan pemanasan, maka akan dikenakan hukuman! Jelas?!"

"Jelas, Pak!"

Tidak mengulur waktu lebih lama lagi, guru olahraga yang namanya belum diketahui Tara itu melenggang pergi ke arah lapangan basket yang berada di dalam gedung.

Tara masih bergeming merenungi kesalahan kali ini. Dalam otaknya juga terbersit rasa gelisah. Ia harus melakukan pemanasan disertai dengan lari keliling lapangan yang cukup luas ini. Jika pemanasan saja ia akan kesulitan, bagaimana dengan lari mengelilingi lapangan? Bisa-bisa dirinya ambruk bersama kelelahan. Apalagi dengan adanya ancaman kalau ini sebuah kewajiban dari sang guru.

Memikirkan hal itu saja membuat kepala Tara berdenyut, tenaganya sudah terkuras hanya karena kelelahan mental memikirkan hal yang membuatnya pesimis. Namun, keluh kesah itu hanya bisa ia simpan sendiri dalam tatapannya yang menerawang jauh. Tangannya mengepal mengikuti arahan teman-temannya yang membuat barisan baru memanjang agar lebih leluasa mengerjakan pemanasan. Jika teman-temannya bisa, kenapa dia tidak? Meskipun, perbedaan cukup mencolok dalam diri Tara. Bukankah perbedaan itu tidak buruk? Maka, Tara akan mengerahkan seluruh kemampuan terbaiknya demi kegiatan belajarnya.

"Kalau ditanya itu menjawab, Nona. Jangan hanya mengangguk seperti tidak punya suara." Bisikan pelan menyapa tepat di telinganya. Tara bungkam untuk mengenali pemilik suara itu.

Gadis itu menoleh kebelakang dan mendapati Jodhi tengah mengukir senyum mengejek dirinya. Tanpa rasa bersalah setelah membuat Tara mati kutu, Jodhi berlalu dengan santainya masih dengan senyuman cerahnya.

Tara yang terdiam menyaksikan kepergian Jodhi bersama teman-temannya kembali terkejut merasakan tepukan pelan pada bahunya.

"Jangan  terlalu dipikirkan. Pak Singgih memang begitu orangnya. Lebih baik kita segera mengikuti pemanasan jika tidak ingin mendapatkan masalah dengan guru itu." Tara mengangguk setuju dengan ajakan Anggi. Gadis itu ternyata cukup peka dan pengertian terhadap lingkungan sekitarnya. Setidaknya Tara sangat bersyukur untuk perkataan Anggi yang mengurangi pikirannya.

• • •

Suara bola yang membentur lantai berulang kali diiringi dengan gerakan gesit tubuh berlari mengecoh lawannya.

Dua kubu yang terdiri kurang lebih dari 8 orang saling mempertahankan bola besar dalam jangkauan. Sesekali teriakan bermunculan dari kawan timnya maupun penonton yang keseluruhannya adalah kaum Adam. Kisruh terjadi ketika segerombolan para gadis yang tidak memiliki predikat profesional sama sekali dalam pertandingan diminta turun bermain ke lapangan. Adu suara terjadi untuk memberikan instruksi bagi si penguasa bola sementara seakan mereka cakap berstrategi.

Namun, siapa mengelak bahwasanya ini lebih seru juga menjadi ajang lawak tiba-tiba? Melihat betapa paniknya wajah-wajah yang tidak mampu bermain menghina umpanan bola dan memilih bersembunyi sebagai predikat penjaga ring juga wajah-wajah panik saling berebut bola terlihat seperti sekerumunan anak-anak itik memperebutkan pakan.

"Tara, bersiaplah! Jangan biarkan mereka memasukkan bolanya!" Teriakan kencang salah seorang rekan tim Tara sukses mengacaukan lamunannya. Ia yang sedari tadi hanya berdiri di dekat sudut lapangan dan tidak siap untuk akhirnya menjadi gelagapan menghadapi Anggi selaku lawan mereka yang menggiring bola mendekatinya.

Raut wajahnya pucat dan tubuhnya bergetar membuat gerakan tidak menentu. Tara dengan secuil keberaniannya mencoba untuk maju menghadang saat dilain sisi anak-anak lainnya juga ikut mendekat ke pusaran bola.

Baru Tara sadari jika Anggi cukup handal memainkan bola besar itu. Tangannya bergerak lincah mengecoh Tara yang bermaksud merebut bola itu. Memang tidak ada gampang-gampangnya sama sekali permainan dengan banyak tenaga seperti ini. Tara terlalu kalah dalam tingkat tenaga juga kegesitan meskipun tubuhnya banyak sekali muatan.

Brukkk...

"Tara!!!" Teriakan mulai memenuhi rongga telinganya kala tubuh besar itu menekan lantai hingga mengeluarkan bunyi dentuman. Permainan perebutan bola terhenti mendadak bersama rasa terkejut.

"Sssshhh..." Bibir mungilnya mendesis kecil merasakan nyeri pada bagian telapak tangan serta lututnya yang menopang berat tubuh lainnya.

"Maafkan aku. Aku tidak sengaja, Ra." Mawar mendekati tubuh yang jatuh bersimpuh di atas lantai itu. Gadis itu menatap bersalah karena tidak sengaja menyenggol tubuh Tara ketika hendak merebut bola hingga membuat Tara jatuh terhuyung ke samping menyapa dinginnya lantai dalam pertandingan basket yang sempat memanas.

Samar-samar telinga Tara yang masih menunduk menangkap suara tawa tertahan. Tentu saja menertawakannya dan kemalangannya yang sudah berhasil tergores panasnya gesekan lantai hingga telapak tangannya lecet. Mata Tara cukup berkaca-kaca untuk dia tahan agar tidak menangis. Namun, luka baru memasuki lubuk hatinya untuk mengutarakan keluhan.

"Hei, kalian! Temannya jatuh bukannya ditolong malah ditertawakan. Cepat bantu dia!" Titah mutlak Pak Singgih mengundang teman-teman gadisnya merapat.

"Kok bisa  jatuh sih, Ra?"

"Mawar mainnya nggak hati-hati. Jadi jatuh 'kan Taranya."

"Sakit banget ya, Ra?"

Teman-temannya memberondongi dirinya dengan pertanyaan juga pernyataan simpati seakan-akan mereka peduli. Memang kini mereka membantu Tara untuk bangkit, tapi bagaimana dengan luka hatinya yang belum bisa tertarik bangun juga? Itu masih mengangga.

"Astaga! Kakimu berdarah, Ra!" Panik Nila menunjuk pada lututnya yang bisa dilihat dari kain celana olahraganya yang sedikit koyak. Itu masih baru dan sekarang sudah

"Tidak apa-apa, kok." Seulas senyum manis lebih pemaksaan mengembang. Hanya itu yang bisa ia katakan dalam kondisi dimana dirinya tengah dirundung malu seperti ini. Secara fisik tubuh besarnya memang kuat, tapi hatinya tetaplah sekepal darah yang lembut.

Tapi, siapa peduli jika ia menyampaikan keluh kesah sakit hatinya setelah menjadikan tontonan seperti ini? Tara terlalu takut bukannya semua menjadi jelas nantinya, melainkan keruh suasana bertambah. Hatinya seakan terlatih menghadapi hal seperti ini. Ia akan menganggap ini hal biasa. Bukankah dalam pertemanan biasa saling mentertawakan hal selucu ini? Lucu hingga Tara yang harus menanggung malu.

"Pergilah ke UKS untuk mendapatkan pengobatan." Dapat Tara tangkap decakan tertahan dari Pak Singgih beberapa kali meluruhkan semangatnya. Sepertinya dia benar-benar merusak kelas olahraga, ya?

"Tidak perlu semua anak! Satu saja cukup untuk mengantarkan dia," berang guru itu menginterupsi para siswi yang berbondong mendekat untuk menuntun Tara.

Semuanya tertunduk untuk kesekian kalinya mendapatkan amukan besar Pak Singgih. Tara sampai curiga jikalau guru ini sehabis cerai hingga raut wajahnya suntuk begitu.

"Baiklah, karena ini salahku, maka aku yang akan mengantarkan Tara ke UKS." Mawar dengan kesadarannya mengajukan diri. Dalam kondisi seperti ini, kesempatan untuk meloloskan diri dari pengajaran Pak Singgih adalah hal baik. Karenanya, banyak siswi yang berharap bisa mengantarkan Tara pergi ke UKS yang di dalam kedoknya ingin menghindari guru over disiplin itu.

Tara hanya pasrah saat Mawar mulai memapahnya. Melarikan diri dari guru ini adalah pilihan terbaik sekarang ini.

"Tunggu!" Tara berhenti begitu juga Mawar dengan yang lainnya mengalihkan pandangan bingungnya pada sumber suara.

"Aku rasa biar aku saja yang mengantarkan Tara. Ini juga tanggung jawabku," lanjutnya dengan tegas.

"Saya tidak peduli dengan siapapun yang mengantar, yang penting secepatnya biarkan pelajaran bisa dimulai kembali!" Kali ini Pak Singgih kembali meninggikan suaranya bersama dengan matanya memicing.

Mawar pada akhirnya mundur dan membiarkan pemuda yang berniat memikul tanggung jawabnya untuk maju menggantikan posisinya. Mawar juga tidak rugi apapun, jadi ia tidak akan memperpanjang apalagi mempertahankan Tara.

Tara membisu tidak bisa menangkap keinginan terselubung pada pemuda yang merangkum kedua lengannya dari samping.

"Menatapku saja tidak akan menyembuhkan luka-luka mu."

Semu merah mulai merambati pipi lebar itu. Suhu panas bergejolak diantara pipi sampai bawa telinganya. Tara benar-benar malu karena ketahuan telah menatap orang disampingnya dengan tatapan intens.

"Aaashhh..." Ringisnya yang merasakan nyeri kembali tumbuh saat ia tergesa ingin melangkah.

"Perlahan saja," ujarnya memperingatkan.

Tara merutuk dirinya dalam hati. Temperatur salah tingkahnya tidak bisa dicegah ataupun dikurangi. Ia selalu bisa meledak-ledak kapanpun saat berdekatan dengan pemuda sawo matang itu. Kurang ajar sekali membuat Tara terlihat bodoh dalam satu waktu bersama malu yang sampai pada urat nadi.

• • •

TBC♥

Hello, guys! Kembali lagi bersama author yang sedang sakit. Aku sakit, guysss :(
Sakitnya apa? Sakit banget, sakit rindu sama kalian😭

Beneran, aku niatnya mau kumpulkan saja chapter cerita ini dulu. Tapi, nggak kuat kalau nggak kasih lanjutan buat kalian.

Jadi, apakah kalian masih mau melanjutkan kisah ini bersama ku?

See you!

Continue Reading

You'll Also Like

5.6M 238K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
82.8K 6K 36
Romansa Yuk dibaca dulu. Siapa tau jadi suka. Jika berkenan bisa follow akunnya. ***** Dalam kehidupan ada banyak ujian dan rintangan yang akan ki...
436K 22.1K 28
Diusia yang masih belia, seorang gadis diam-diam memendam perasaannya sendiri kepada seorang laki-laki yang usianya terpaut jauh darinya, yang tak la...
124K 9.6K 50
Fatya Sachikirani gadis bertubuh gemuk itu, tiba-tiba saja dilamar oleh Yuga Manendra, yang tak lain adalah kakak dari sahabatnya, Alvhi Manendra. ...