Mellifluous | Spin-off Ethere...

By dika30

59.7K 5.2K 2.4K

[Ineffable Universe Phase 1] "I like you very much. Just as you are." - Bridget Jones's Diary Kisah 'panjang'... More

Introduction
MELLIFLUOUS TRAILER
1 : REVAN DAN MASA LALU
2 : DAILY STRUGGLE
3 : KONDANGAN
4 : NEWCOMMER
5 : FUTURE PAST
6 : CURHAT
7 : FAMILY GATHERING
8 : TERBAIK
9 : MI AYAM, PAPA DAN OREO
10 : RICH MAN'S PROBLEM
11 : FAMILY (?) TIME!!
12 : KOREA
13 : GIRLS NIGHT
14 : GOOD LUCK
15 : NIKAHAN MANTAN [+Question]
16 : SELLI
17 : MINTA IZIN
18 : LET ME BE YOUR HOME
SPECIAL ; VALENTINE
19 : NASI UDUK
20 : RUMAH BARU
21 : INDAH
22 : TEARS
23 : TERBIASA
24 : IGNORE
25 : MISTAKE
26 : SURABAYA
27 : KEBELET NIKAH
28 : CACA
29 : FLYING FOX
30 : MANGGALA'S
🏠 JSNR 🏠
🏠 KESAYANGAN BUNDA 🏠
🏠 3R 🏠
🏠 MAHARJATI'S 🏠
🏠 FD3N 🏠
🏠 RICH AND SAVAGE FAMZ 🏠
🍀 QnA 🍀

🏠 KELUARGA 🏠

1.3K 103 64
By dika30

Gadis cantik itu berjalan menyusuri koridor sambil membaca map yang ada di tangannya. Menjadi dokter spesialis penyakit dalam memang bukanlah suatu hal yang bisa dianggap enteng.

Tenaga Karin selalu habis setiap hari selama menekuni pekerjaannya ini. Tapi toh tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menjalaninya.

Selain tenaga, waktu juga selalu Karin habiskan untuk bekerja. Ia melakukan ini bukan semata-mata hanya murni karena pekerjaannya, tapi juga sekaligus membunuh kerinduan.

Karin tau, merindukan kekasih yang tidak ada dalam radarnya mungkin suatu hal yang normal. Tapi Karin mencoba untuk tidak menormalisasi hal itu.

Karin mau hidup mereka berjalan terus tanpa harus stuck hanya karena alasan sepele. Rindu.

"Itu materi rapat?"

Gadis itu mendongak dan mendapati Juna yang tengah menyesap kopinya.

"Hah... O-oh.. bukan, kak- eh, pak"

Juna terkekeh "Bebas panggil apa aja. Gue ga banyak aturan"

Karin meringis "Maaf, kak- mmm, pak. Ini bukan materi rapat, nanti ak- maksudnya saya ambil dulu di ruangan saya"

Juna menggeleng heran "Ngobrolnya kayak biasa aja sih, Rin... Canggung banget."

"Tapi kan kak Juna sekarang direktur..."

"Ya lo juga sekarang wakil gue. Udah santai aja. Ga bakal gue pecat juga kok" Juna mengibaskan tangannya.

Akhirnya Karin bisa sedikit santai dengan Juna. Walaupun awalnya canggung pastinya.

"Oh iya, lo ada saran baru ga buat kepemimpinan baru kita?" Tanya Juna sambil berjalan beriringan dengan Karin.

Ia ingin membuat Karin terbiasa dan tidak canggung lagi padanya. Bayangkan jika ia harus bekerjasama dengan orang yang bahkan tidak bisa menatap matanya saat berbicara?

Tentu akan sulit.

"Ng... Aku sebenernya ada ide buat bikin cabang baru, kak. Rumah sakit kita ini kan selama ini cuma jadi rumah sakit umum, tapi kita tuh sebenernya bisa bikin rumah sakit baru yang khusus ibu dan anak. Secara selama ini pasien ibu dan anak juga ga bisa dibilang sedikit" Jelas Karin sambil terus berjalan.

"Ya, walaupun aku tau sih rumah sakit ini masih sangat cukup buat nampung pasien-pasien itu, cuma kayaknya lebih baik lagi kalau kita punya gedung khusus" lanjutnya.

Juna mencerna semua penjelasan Karin dan kini ia mengutarakan pendapatnya.

"Ini kan lo dari tadi ngeliat dari sisi positifnya aja nih. Tapi kalo kita liat dari sisi negatifnya, itu juga lumayan beresiko loh, Rin. Kayak misalnya apakah kita bisa merhatiin dua gedung yang pastinya bakal lebih repot di urus daripada saat gedungnya masih nyatu?" Ucap Juna.

"Terus, soal tenaga kerja juga. Lo tau sendiri jarang banget ada yang mau ngelamar kerja disini. Gue ga paham sih rumor apa yang beredar di luar sana sampe banyak fresh graduate yang takut buat ngelamar disini. But- liat aja sekarang? Tahun ini aja kita cuma punya satu dokter tambahan, sementara yang pensiun ada 3. Terus gimana caranya kita bisa bagi tenaga kerja kita yang terbatas ke dua gedung yang beda?" Sambungnya.

Karin mengangguk sambil merenungi ucapan Juna barusan. Memang ada benarnya sih...

Juna menepuk bahunya dua kali "Tapi ide lo barusan bagus kok. Nanti kita diskusiin lagi ya, biar rencananya makin mateng. Soalnya kalau dipikir-pikir... Kita emang butuh gedung baru"

Karin menarik kedua sudut bibirnya karena ucapan Juna memberikan sedikit kelegaan dihatinya, padahal tadi ia hampir berkecil hati karena merasa idenya buruk dan terkesan tanpa persiapan.

Tapi syukurlah Juna bisa membuatnya menjadi lebih baik.

Saat Juna ingin berpisah dengan berbelok ke lorong lain, ia tiba-tiba teringat.

"Eh iya... Nanti lo ikut acara tahunan Danendra kan?"

Karin mengerutkan dahinya "Bukannya Natal masih lama...?"

"Ini buat paskah" jawab Juna.

"Oh... Tapi Brian belum ngomong apa-apa sih ke aku. Dan belum tentu juga dia udah pulang pas paskah nanti" ucap Karin yang kembali teringat Brian.

Agaknya dia sedang apa ya sekarang?

"Ga harus ada Brian kan? Lo udah dianggap keluarga Danendra kok. Kalo lo mau dateng ya dateng aja" ucap Juna lagi.

Karin mengangguk "Nanti kalau aku ga ada acara apa-apa di rumah, aku pasti dateng"

Juna mengangkat ibu jarinya "Sip kalo gitu. Gue kesana ya"

"Iya kak."

Setelahnya Karin juga masuk ke ruangannya, menaruh mapnya di meja, kemudian ia mengecek laptopnya.

Ternyata ada panggilan video 10 menit yang lalu.

Berhubung Karin sedang jam istirahat, sepertinya menelfon Brian sambil makan bukan ide buruk.

Sambungan video terhubung tak lama kemudian.

"Hai" sapanya.

Sepertinya Brian masih di kantor.

"Hai! Kamu udah makan?" Tanya Karin.

Brian menunjuk box makanan di depannya "Sengaja biar makan bareng sama kamu"

Karin tersenyum "Oke. Aku juga makan ya~"

Keduanya makan sambil menanyakan kabar dan cerita masing-masing.

"Hari ini ide proyek aku disetujuin sama client. Jadi aku ga ngerasa sia-sia begadang berhari-hari" Brian tersenyum sebelum ia menggigit sepotong ayam dari box makanannya

Karin menatap mata Brian "Itu mata kamu keliatan capek banget... Abis ini langsung istirahat ya? Jangan sampe sakit"

Brian mengangguk "Kamu juga, Buwatur"

"Apa sih" Karin terkekeh malu.

Walaupun harus berhubungan jarak jauh seperti sekarang, Karin tidak pernah masalah, dan menurutnya hubungan seperti ini membuatnya belajar lebih dewasa lagi.

"Bri"

"Ya??"

"Tadi kata kak Juna ada acara tahunan Danendra ya?"

Brian nampak mengerutkan dahinya "Emang aku belum bilang ke kamu...?"

Karin menggeleng.

"Astaga lupa... Iya ada, Rin. Nanti pas paskah. Aku bisa dateng kok. Kamu mau oleh-oleh apa?"

Karin tertawa kecil "Oleh-oleh dari kamu tuh banyak banget tau, Bri. Penuh kamar aku. Padahal kamu ga bawa apa-apa juga aku udah seneng"

"Aduh... Ulang deh, pengen aku record"

"Briiiiii" rengek Karin

Brian menengok ke arlojinya "Bentar lagi kamu selesai kan istirahatnya?"

Karin ikut menengok ke arah jamnya "Iya nih... 5 menit lagi"

"Ya udah, aku matiin ya? Semangat kerjanya, Buwatur-ku!"

Karin melambaikan tangannya

"Semangat juga kamu"

"I love you~"

"I love you too~"

***

18 years later...

Karin melepas high heels nya dan menaruhnya di atas rak sepatu. Rumah nampak sepi, walaupun biasanya juga begitu, tapi kali ini Karin merasa jika di rumah memang tidak ada orang.

"Sel?" Panggilnya ke penjuru rumah.

"Giselle? Sayang??" Karin menyusuri rumahnya hingga ia sampai ke depan kamar putri semata wayangnya itu.

Karin mengetuk pintunya berulang kali.

"Giselle? Kamu udah tidur??"

Karena tidak ada jawaban, Karin akhirnya membuka pintu dan mendapati kamar anaknya kosong.

Ia juga mengecek ke dalam kamar mandi, tapi Giselle juga tidak ada disana.

Karin duduk di meja belajar anaknya dan mencoba menghubunginya, tapi tidak diangkat.

Tatapan Karin beralih pada sebuah surat edaran yang ada di atas meja.

'Surat Edaran Acara Parent's Day Cleverian Senior High School'

Karin membaca semuanya dan tanggal surat ini dibagikan, sudah beberapa Minggu, tapi mengapa Giselle tidak memberitahunya sama sekali?

Perempuan itu membawa surat itu turun ke lantai bawah, menunggu Giselle yang sekarang entah ada dimana.

Karin mulai panik saat jam menunjukkan pukul 10 malam.

Ia mulai menanyakan pada ibunya, barangkali Giselle ada disana. Tapi ternyata tidak. Ia juga bertanya pada teman-teman Giselle, tapi tidak ada yang tau dimana dia.

Di tengah kepanikan, suara pintu yang terbuka membuat Karin langsung berdiri dan menghampirinya.

Itu Giselle.

"Kamu darimana aja sih, Sel? Kamu ga tau mama khawatir?!" Karin langsung menghampiri Giselle dan menembaknya dengan pertanyaan.

Giselle memilih untuk diam.

Tatapan Karin menelisik tubuh Giselle dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan begitu tatapannya sampai di pergelangan tangan gadis itu, kekhawatiran semakin melandanya.

"I-itu tangan kamu kenapa..." Karin mencoba meraih tangan Giselle, tapi gadis itu menepisnya.

"Ga usah sok peduli."

Karin mengerutkan dahinya "Kamu ngomong apa sih, sayang?? Mama khawatir sama kamu..."

Giselle menyembunyikan tangannya yang diperban ke belakang tubuhnya.

"Sejak kapan sih mama peduli sama aku? Urusin aja tuh kerjaan mama!" Giselle menaikan satu oktaf suaranya.

Karin mencoba menenangkan suasana, ia memegang bahu Giselle dan menatapnya lurus.

"Besok papa pulang, kita obrolin semuanya ya..." Karin mencoba tenang.

Giselle kembali menepis tangan Karin dan menatapnya dengan sorot mata penuh benci dan terluka.

"Papa bukan pulang gara-gara aku. Tapi karena ada acara tahunan itu kan? Bisa ga sih... Sekaliiiii aja keluarga kita kayak keluarga lain di luar sana?!"

Karin akhirnya menangis karena merasakan banyak perasaan yang tercampur aduk menjadi satu.

"Sel, mama-"

"Kalo mama cuma mau minta maaf kayak yang selama ini mama lakuin ke aku. Mending ga usah. Aku udah hafal, ga perlu diulang lagi" ucap Giselle ketus.

Setelahnya gadis remaja itu langsung berjalan ke kamarnya dengan emosi yang masih meletup-letup.

Karin berjongkok di depan pintu masuk dan menangis di sana.

Karin tidak bisa tidak berpikiran negatif saat melihat pergelangan tangan Giselle. Meskipun ia belum tau pasti luka apa yang ada di baliknya. Tapi Karin benar-benar takut Giselle melalui masa yang sama seperti dirinya dulu.

Ia mengambil ponselnya dan menelfon Brian.

"Halo, ma? Kenapa?"

Bukannya menjawab, Karin malah kehabisan oksigen karena menahan tangis.

"P-pa... Pulang..."

"Kamu kenapa?!" Brian terdengar sangat panik apalagi saat mendengar suara nafas Karin yang terputus-putus.

"Pulang sekarang..." Karin masih mencoba untuk menguatkan diri dan mematikan ponselnya.

Karin mencari oksigen sebanyak-banyaknya, tapi hidungnya benar-benar tersumbat.

Tangan Karin gemetar hebat, pandangannya mulai kabur. Dan setelahnya ia tidak tau apa-apa lagi karena semuanya mendadak gelap.

***

Karin mengerjapkan matanya berulang kali. Cahaya lampu langsung masuk ke matanya. Rasanya menyilaukan.

Dengan pandangan yang belum pulih sepenuhnya, ia bisa melihat Giselle duduk di ujung kasurnya.

Matanya terlihat dibasahi airmata, tapi segera ia hapus ketika menyadari Karin sudah sadar.

Sekarang pukul 2 pagi. Jadi Karin pingsan selama 4 jam?

Karin duduk dan bersandar ke kepala ranjang. Ia menatap Giselle yang kini menunduk dan menatap pergelangan tangannya sendiri.

"Sel..."

Giselle masih bergeming.

"Mama bisa resign kalo kamu mau..."

Airmata kembali berkumpul di pelupuk mata Giselle.

"Lagi-lagi mama ga tau apa kemauan kamu..." Karin kembali menyalahkan dirinya sendiri "Walaupun kamu bosen... Mama ga tau harus ngomong apa lagi selain maaf, Sel..."

Giselle sedikit mendongak dan menarik nafasnya. Ia ingin menjawab, tapi disaat yang bersamaan ia juga tidak mau menyakiti ibunya lebih dari ini.

Keheningan tetap terjadi sampai seseorang membuka pintu kamar dengan tergesa.

Itu Brian.

Dari wajahnya bisa terlihat bahwa ia mencoba memindai apa yang tengah terjadi selama ia tidak ada.

Brian menghampiri Giselle terlebih dahulu, kemudian ia berjongkok di depannya.

"Kamu gapapa??" Tanya Brian sambil memegang tangan Giselle yang diperban.

"..."

Kemudian tatapan Brian beralih pada Karin yang masih terlihat pucat di atas ranjang.

"... Ada apa??" Tanya Brian dengan wajah bingung.

Karin dan Giselle sama-sama diam. Membuat Brian bingung apa yang sebenarnya terjadi.

Tapi hal itu seolah terjawab ketika Karin membuka suara.

"Pa... Mama boleh resign?" Tanya Karin dengan wajah yang mencoba untuk terlihat biasa saja.

Giselle langsung menoleh ke arah ibunya.

"Kenapa sih mama segampang itu ngambil keputusan?" Giselle bertanya dengan suara parau "Pernah ga sih mama mikirin apa yang sebenernya aku mau??"

Karin dan Brian kompak menatap anak perempuannya itu dan perasaan bersalah kembali menyelimuti mereka.

"Aku ga minta yang aneh-aneh! Aku cuma mau kayak temen-temen aku yang bisa deket sama orangtuanya! Sedangkan aku? Kalian cuma peduli sama kerjaan kalian. Itu faktanya." Giselle beranjak berdiri, namun Brian menahan tangannya.

"Tunggu dulu, kita selesain sama-sama ya? Jangan kayak gini..." Brian mencoba meminta atensi Giselle.

Tapi ia justru menarik tangannya dan menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca "Papa juga sama aja. You are worst."

Giselle hendak keluar dari kamarnya, tapi ia berhenti di depan pintu kamar.

"Sekolah aku ngadain Parent's Day..." Ucap Giselle sambil memunggungi keduanya "Tapi kalian ga harus dateng kalo sibuk."

"Mama bisa dateng, sayang..." Karin mencoba menahan Giselle agar tidak semakin benci pada mereka.

"Itu parent's day. Bukan mother's day. Buat apa mama dateng kalo papa ga dateng? Lebih baik kalian ga usah dateng sekalian." Giselle tetap memunggungi keduanya.

Brian yang merasa dirinya yang paling bersalah disini akhirnya menghampiri Giselle dan menariknya ke pelukan.

"Papa dateng, Sel. Papa pasti dateng."

"Sejak kapan aku lebih penting dari kerjaan papa?"

"Selalu. Kamu selalu lebih penting"

Giselle menggeleng "Papa bohong. Papa bahkan ga pulang waktu aku ulangtahun."

Brian semakin menyesal "Maafin papa..."

"Ga ada kewajiban buat aku maafin papa kan?"

Brian menatap anaknya itu dengan wajah penuh penyesalan "Papa harus apa buat nebus kesalahan papa?? Sekarang papa mau denger kemauan kamu..."

Giselle mengepalkan tangannya "Percuma... Papa juga ga akan mau dengerin kemauan aku..."

"Nak—"

"Udah, pa. Mending papa istirahat. Pasti capek kan pulang dari Bandung?" Ucap Giselle sarkas "Aku tidur dulu."

Setelahnya Giselle benar-benar naik ke kamarnya dan meninggalkan Brian dan Karin yang kini sibuk menyalahkan diri mereka masing-masing.

"Ini salah aku..."

Brian langsung duduk di sebelah Karin dan memeluknya "Bukan... Bukan salah kamu..."

"Aku takut Giselle benci sama aku..." Karin kembali menangis.

"Jangan mikir yang aneh-aneh... Aku yakin Giselle akan ngerti suatu saat nanti"

"Tapi kamu liat kan? Sekarang dia—"

"Ssshhh... Dia emang lagi ada di masa itu... Tapi aku yakin cepat atau lambat dia bakal punya pemikiran yang lebih dewasa lagi. Kamu jangan khawatir."

Karin akhirnya hanya bisa memeluk Brian sambil menangis.

Sekarang ia sadar, menjadi orangtua memang diwajibkan untuk memanggul beban tanggungjawab yang berat.

Semoga secepatnya ia bisa menyelesaikan semua masalah ini.

Harus.

Next Chapter ; KESAYANGAN BUNDA

H A I !!!

Giselle Kimora Danendra

Giselle

11 IPA 1

Mama grupnya biasa aja, masalahnya luar biasa.

Permasalahan keluarga ini emang yang paling parah dari yang lain. Soalnya kalo yang lain rata-rata cuma anaknya yang punya masalah dan selalu akur sama orangtuanya, tapi kalo mereka beda.

Selama ini Brian Karin uwu terus, sekalinya dikasih masalah segede gini.

Ya... Sama kayak pasangan selanjutnya~

Dari awal uwu terus ga pernah bermasalah, tapi sekalinya punya masalah, BOOM!

Tapi tenang, keluarga mereka tidak bermasalah~

Udah tau lah ya siapa couple setelah ini?

Jangan lupa vote and comment yang banyak!

RC Special ; liburan

Silsilah Keluarganya ;

a. Danendra's

(Giselle selalu disayang sama "para kakaknya". Apalagi sama Ignas, semua yang Giselle pengen pasti bakal dikabulin sama Ignas. Biasanya El yang paling sering ngechat Giselle buat nanya nanya hal random. Kalo Sonia lebih sering ngirim video video yang katanya lucu biar Giselle ga kesepian di rumah)

b. Veranda's

(Kalau ada yang tanya, gimana hubungannya Giselle sama Al, jawaban singkatnya adalah pengganggu. Giselle akan dengan senang hati gangguin Al, dan Al juga ga pernah keberatan digangguin, walaupun luarnya marah-marah, dalemnya tetep rela aja digangguin Giselle)

Thank u ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 64.9K 96
Highrank 🥇 #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...
SEVEN DREAM By loue

Teen Fiction

13.4K 1.4K 24
"whatever the case, we're always seven, nothing less and nothing more" Kisah tujuh orang remaja yang sedang berada di fase jatuh cinta, sakit hati an...
77K 7.9K 34
FIKSI
1.4K 104 10
Samudra bagaskara, seorang pria yang terlahir dari keluarga berdarah biru dan kebanyakan dari saudara nya adalah orang terpandang, dia juga merupakan...