SORRY [slow update]

fatayaable tarafından

11.1K 4.2K 3K

Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tig... Daha Fazla

CUAP-CUAP PENULIS
BUKU HARIAN UNA (BH 1)
1. MISI 30 HARI
2. DUNIA KALE
3. ES DUREN
4. OMELAN KANJENG RATU
BUKU HARIAN UNA (BH 2)
6. BEKAL KALE
7. KESAL!
8. KAKAK KELAS
9. PERMINTAAN
10. PAHAT HATI
BUKU HARIAN UNA (BH 3)
#CAST SORRY
11. SATURSAD
BUKU HARIAN UNA (BH 4)
12. BIOSKOP
13. GELISAH
BUKU HARIAN UNA (BH 5)
14. BACK TO THE MOON
BUKU HARIAN UNA (BH 6)
15. SELEKSI HATI
16. JADI, GUE HARUS GIMANA?
17. TO THE BONE
18. FALL FOR YOU
BUKU HARIAN UNA (BH 7)
19. MELUKIS SENJA
INTERMEZO~
20. STORY OF KALE
21. THE FACT IS ...
BUKU HARIAN UNA (BH 8)
22. PENGUMUMAN
23. KARANTINA
24. TROUBLE MAKER

5. PERIHAL KARA

426 221 132
fatayaable tarafından

Halo 🖤

Sebelum lanjut ke cerita, aku mau promo novel terbaruku yaa 😚

Novel ini menceritakan ttg cowok broken home dan akibat masa lalunya, dia enggak mau mempunyai hubungan khusus dg cewek. Hmm, kira² seperti apa sih yang dilakukan cowok broken home itu? 🤔

Baca cerita ini, yuk! 🖤
Untuk lebih lengkapnya, bisa menghubungiku via DM instagramku di (at)fatayaazzahra 😁

Okay. Selamat membacaa!

🌼🌼🌼

POV KALE

"Lo di mana?" tanya gue sambil meraba dinding mencari saklar di kamar Kara. Gue tutup pintu bertuliskan DON'T DISTURB! di papan kuning yang tergantung di muka pintu. "Suka banget gelap-gelapan, sih. Heran gue," gerutu gue. Semenjak Kara memilih jalan sendiri untuk tidak di bawah naungan orang tua, dia pun mulai ingin hidup bebas tanpa tekanan orang tua. Sementara itu, setahu gue, kakak gue itu hanya pergi pagi untuk kuliah dan pulang tengah malam. Tapi kalau sudah begini, kekhawatiran gue jadi kenyataan.

"Jangan dinyalain! Biarin aja gelap. Kayak gue yang enggak pernah dilihat sama ortu sampe gue akhirnya nyari kenyamanan sama orang lain."

Gue mengernyit sewaktu mendengar sahutannya. "Apaan sih lo, Kak?" Decakan kesal keluar dari mulut gue. Dan akhirnya gue menemukan sosok Kara setelah berhasil menyalakan lampu. Dia tengah duduk di lantai bersandar di tepi tempat tidur, menatap keluar melalui jendela kaca berukuran besar.

Gue mendekatinya dan lagi-lagi decakan gue lolos. Melihat penampilan Kara yang kacau seperti ini, membuatku segera memeluknya. Kemeja putih longgar dengan kancing yang tak terkait semua dan hot pants menjadi setelannya, sedangkan wajahnya dipenuhi lunturan maskara dan coretan lipstik merah di sekitar bibir.

Terdengar isakan tangis darinya, seakan dia mengadu atas kegelisahannya selama ini. "Tenangin diri lo dulu baru cerita sama gue," kata gue. Setelah dia tenang, gue ambil dari atas tempat tidurnya untuk menyelimuti tubuhnya.

"Lo udah cek?" Gue tetap bersikap tenang saat menanyakannya. Gue usap air mata di kedua pipinya.

"Gue enggak berani, Le. Gimana kalo beneran?"

"Gimana caranya lo tahu kalo gitu?"

"Gue telat halangan, Le."

"Sama siapa?"

"Ya cowok gue, lah. Calvin. Siapa lagi?"

"Terus lo bangga?" Gue segera berdiri, lalu menatap pemandangan di luar jendela. Gue merasa kalau yang satu ini bisa menjadi masalah besar berikutnya, tapi memangnya apa yang bisa dibanggakan dari cowok bertampang brutal anak CEO saingan perusahaan Papa itu?

"Gue kelepasan, Le. Gue mabuk waktu itu. Tapi gue yakin kami enggak ngapa-ngapain."

"Mana gue percaya sama cowok lo, Kak." Gue mendekati Kara lagi, duduk berlutut di hadapannya. "Cuma lo yang bisa gue jadiin satu-satunya panutan, Kak. Tapi lo malah kayak gini."

Kara menatap gue. Mata cokelatnya menyiratkan kerinduan yang mendalam. "Sorry, Le. Gue enggak layak buat itu."

Gue mendengkus. "Lo tahu kan gue ngalamin hal yang sama kayaknya lo?" Senyum tipis mengembang di wajah gue, seakan perihal ini biasa-biasa saja. "Gue akhirnya tahu alasan lo waktu itu nentang keputusan bokap nyokap dan milih jalan sendiri."

"Oh, cewek itu yang dijadiin jodoh lo?"

"Lo udah lihat?"

Kara tersenyum kecut. "Lumayan, sih. Tapi sayangnya gue enggak suka. Mending lo tolak daripada lo nyesel nantinya."

***

Gue sengaja datang pagi-pagi buta ke sekolah. Pukul enam pagi gue sudah tiba di kelas. Pikiran gue akan bertambah kusut bila gue lebih lama berada di rumah. Tapi, akhirnya gue bisa lega setelah tahu Kara enggak hamil. Sesuai prediksi gue, dia hanya salah makan dan terlalu stres.

"Gue kira gue bakal kuat," kata Kara semalam. Tangannya tengah menggenggam test pack yang masih terbungkus rapi. "Tapi ternyata enggak. Gue capek, Le. Gue ngerasa semua beban ada di gue. Bayangin aja cewek umur 22 tiba-tiba dibuang gini."

"Eh, kok ngomongnya gitu?"

"Ya iyalah. Gue sama sekali enggak diperhatiin sehari setelah gue bilang tentang keputusan gue itu." Dihelanya napas panjang. "Iya sih Mama tetep ngasih uang ke gue, tapi buat apa kalo gue enggak pernah dapet kasih sayang dari mereka."

"Tapi kan—"

"Orang tua kita masih ada, Le. Akan beda cerita kalo kita udah enggak punya orang tua, tapi kita ditinggalin uang."

Gue mengusap punggung atas Kara. "Ya udah. Sekarang mending tes dulu. Kalo bener lo hamil, kita ngomong langsung ke mereka."

"Senekat itu?" Kara menggeleng. "Enggak. Gue enggak mau."

"Lo enggak usah khawatir. Ada gue yang bakal bantu lo. Tapi gue yakin lo cuma salah makan atau stres, sih. Dan asal lo tahu aja, Kak, gue juga ngambil kerja sampingan."

Memori semalam tergulung rapi di benak gue ketika ponsel bergetar di atas meja. Dengan kantuk yang masih mendera akibat tadi malam karena gue harus mengerjakan deadline video, gue raih ponsel dan melihat notifikasi WhatsApp. Kara.

PUTRI RAJA: Le, lo ke mna? Di kamar kok gak ada?

KALE: Sekolah. Knp?

PUTRI RAJA: Ih, rajin amat lo. Udah pny pacar, ya?

KALE: Udah. Kmrn jadian.

PUTRI RAJA: Yaudh bagus kalo gitu. Gue dukung. Jgn sampe lo jd sm cewek yg dijodohin itu.

KALE: Iya gak bakal. Eh, knp?

PUTRI RAJA: Gue cm mau bilang thanks ya semalam. Krn cm sm lo, gue bs ngadu.

KALE: Dihh, udah kek sm siapa aja lo. Nyantai aja kali. Gue dipihak lo, kok.

Gue pikir kalau sudah dewasa gue enggak akan mendapat banyak masalah, dan gue bisa menjalani hidup dengan semestinya. Tapi nyatanya, jauh dari yang dibayangkan. Campur tangan orang tua sama sekali enggak pernah lepas dari kehidupan gue. Jujur, gue ingin merasakan menjadi remaja yang normal, yang dibebaskan untuk berpendapat. Bukan malah dikekang untuk menuruti kemauan orang tuanya.

Well, gue tahu seharusnya gue enggak boleh bersikap layaknya anak durhaka seperti ini. Tapi, melihat kondisi Kara semalam, semakin membuat gue ingin menambah topeng untuk menutupi wajahnya. Gue benar-benar malu.

Ah, gue butuh Una sekarang juga!

KALE: Gue mumet, Na. Help! :(

ALUNA: What's up? Msh pagi, lho. Nnt cerita ya. CU :*

Gue melihat chat dari Aluna. Sudah sekitar 15 menit yang lalu cewek itu membalasnya, tapi enggak ada tanda-tanda dia akan membalasnya. Kira-kira apa dia bisa kabulin permintaan gue, ya?

KALE: Na, lo di mana? Buruan ke kelas. Gue bete, nih.

Gue chat lagi Aluna saking betenya.

ALUNA: Ya elah. Biasanya jg nyariin Venya, bkn gue. Gue otw. Td Gema jemput.

KALE: Ah, gue lupa. Knp gak jemput lo aja sih tadi. Nyesel gue.

ALUNA: Hahaha 5 menit lg gue nyampe kok XD

Walau nantinya Aluna enggak bisa dapat membantu banyak, seenggaknya gue punya tempat mengadu sekarang. Mungkin nanti gue bisa menuangkan keluh kesah gue ke dia, dan semua akan baik-baik saja. Pun kalau gue cerita ke Gema atau Javier, mereka enggak akan kasih gue solusi. Paling tepat hanya sekadar kalimat semangat yang enggak mempan seperti, "Sabar ya, Bro. Lo pasti bisa ngatasin ini."

Gue enggak butuh kalimat itu! Gue lebih butuh seseorang yang bisa bawa gue keluar zona suram ini. Dan Aluna adalah nama yang pertama kali terlintas di benak gue.

"Selamat pagi, Bro!" Javier melangkahkan kakinya dengan riang menuju tempatnya.

Gue mendelik tajam ke arahnya. "Semangat amat lo."

Javier melepaskan tas dan topi ADIDAS hitamnya di meja depan gue. "Semangat, lah. Kan besok weekend. Terus info baiknya adalah besok ekskul enggak bakal ada karena ada pertemuan orang tua sama direktur sekolah buat rapat tentang kemah bulan depan."

"Oh, gitu." Gue mengangguk-angguk sekenanya.

Setiap tahunnya SMA Extraordinary mengadakan acara kemah yang diperuntukkan untuk kelas 11. Pun pertemuan orang tua diadakan secara tertutup, dan hanya beberapa orang tua dari kelas 11 yang ingin menyumbang untuk acara tersebut. Baik dari segi pendanaan tempat, makan, sampai fasilitas.

"Lo kenapa suntuk banget? Masalah sama Venya?" tanya Javier. Dia duduk di bangku kosong sebelah gue.

"Enggak. Bukan itu," jawab gue sambil menggeleng. "Eh, lo lihat Aluna enggak? Katanya lima menit lagi nyampe. Tapi tuh anak enggak nongol-nongol. Jangan-jangan diapa-apain lagi sama Gema. Wah, parah!" Spontan gue beranjak dari kursi, hendak keluar. Gue enggak lihat lagi gimana tampangnya Javier. Otak gue penuh sama Aluna. "Apa-apaan, sih? Kan baru jadian kemarin." []

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

110M 3.4M 115
The Bad Boy and The Tomboy is now published as a Wattpad Book! As a Wattpad reader, you can access both the Original Edition and Books Edition upon p...