SORRY [slow update]

By fatayaable

11.1K 4.2K 3K

Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tig... More

CUAP-CUAP PENULIS
BUKU HARIAN UNA (BH 1)
1. MISI 30 HARI
2. DUNIA KALE
4. OMELAN KANJENG RATU
BUKU HARIAN UNA (BH 2)
5. PERIHAL KARA
6. BEKAL KALE
7. KESAL!
8. KAKAK KELAS
9. PERMINTAAN
10. PAHAT HATI
BUKU HARIAN UNA (BH 3)
#CAST SORRY
11. SATURSAD
BUKU HARIAN UNA (BH 4)
12. BIOSKOP
13. GELISAH
BUKU HARIAN UNA (BH 5)
14. BACK TO THE MOON
BUKU HARIAN UNA (BH 6)
15. SELEKSI HATI
16. JADI, GUE HARUS GIMANA?
17. TO THE BONE
18. FALL FOR YOU
BUKU HARIAN UNA (BH 7)
19. MELUKIS SENJA
INTERMEZO~
20. STORY OF KALE
21. THE FACT IS ...
BUKU HARIAN UNA (BH 8)
22. PENGUMUMAN
23. KARANTINA
24. TROUBLE MAKER

3. ES DUREN

569 277 279
By fatayaable

Gengs, aku ada kabar baik nih. Mungkin lebaran nanti, antologi cerpenku akan terbit. Aku bersama teman² dari Writing for Healing menulis cerita ttg kesehatan mental.
Oya, buku ini akan diterbitkan oleh Tisa PinkLuv 💕

Semoga lancar yaa prosesnya 👑

Thank you

🌼🌼🌼

POV ALUNA

"Kok pink?" tanyaku saat Kale memakaikan helm bogo pink ke kepalaku. "Yang merah biasa mana punya gue?"

"Ada di rumah."

Aku memberengut. Setiap hari Kale membawa helm merah itu ke sekolah khusus dipakai olehku, tapi kenapa sekarang dia tidak membawanya? Apa karena dia pikir aku tidak akan masuk sekolah lagi? Atau dia berniat untuk mengajak cewek lain selain aku?

Seolah dia bisa membaca pikiranku, dia berkata, "Tadinya gue mau ngajak Venya jalan." Aku mengerjap, menunggu kelanjutannya. "Tapi kayaknya jalan sama lo itu udah takdir gue deh." Dia mengeluarkan motor dari parkiran, sedangkan aku malah tersipu dibuatnya. "Udah, senyumnya jangan diabisin. Simpen buat nanti."

Senyumanku itu berganti dengan wajah datar.

"Ya jangan sedatar itu juga, sih." Kale menggaruk kepalanya. Mungkin dia geregetan melihat sikapku ini. Dia membenarkan jaketnya. "Jaket lo mana?"

Aku menggeleng. "Ya gue enggak bawalah, Le. Kan lo dadakan gini."

"Ya bukan salah gue dong. Lo yang ngapain mendadak mau ikut gue?"

"Iya juga, sih. Tapi kan sekarang gue cewek lo, ya gue harus tahulah lo kaburnya ke mana."

Kale berdecak sambil menggeleng. "Tanggungan gue nambah," gerutuhnya yang lagi-lagi membuatku memberengut. "Ya udah. Buruan naik!"

Aku menuruti perintahnya. Senyumku terulas lagi. Rasa bahagiaku meletup-letup dalam dada. Semoga jantungku bisa bekerja sama hari ini.

"Ng... Le, gue boleh pegangan lo, kan?" Aku ragu kali ini karena memang biasanya aku tak melakukannya.

"Meluk gue juga boleh, Na."

"Okay." Tanpa ragu lagi, aku segera melingkarkan kedua tangan di pinggang Kale.

"Weits, ganas amat, Mbak!"

"Jalan aja udah. Keburu Bu Susi ngelihat kita." Aku menyandarkan kepala di balik punggungnya.

Kale tertawa. Mungkin dia membayangkan Bu Susi bertubuh gempal itu mengomeli kami. Guru Bimbingan Konseling tersebut memang suka mengitari area sekolah sebelum dan sesudah bel masuk, mengecek kalau-kalau ada siswa yang terlambat ataupun malah cabut sebelum jam pelajaran dimulai. 

Sekarang SMA Extraordinary belum begitu ramai. Jam masuk sekolah pun masih lama, pukul 07.30. Jadi tidak ketahuan kalau ada dua siswa yang kabur dari sekolah. Tetapi, tetap saja kami kabur lewat jalan pintas tadi; pintu besi belakang toilet cewek. Pintu tersebut sudah karatan dan ditutupi pepohonan, tentu saja gemboknya sudah lama berhasil dibongkar oleh Kale.

"Kita mau ke mana, Le?" tanyaku sewaktu sudah meninggalkan area sekolah.

"Ke mana aja. Yang penting jangan di area sekolah. Gue suntuk banget, Na." 

Sepanjang perjalanan, yang kulakukan hanyalah bersandar di punggung Kale. Hangat. Umm, apa ini juga dirasakan oleh pasangan lain? Kuharap nanti hati Kale benar-benar bisa menerimaku utuh. 

"Na," Kale mengelus punggung telapak tanganku, "lo kenapa, sih? Kan gue udah terima lo. Terus apa lagi? Ada yang lo sembunyiin dari gue, ya? Cerita dong, Na. Kalo ada masalah, bilang ke gue. Entar gue bantu biar lo lega."

"Hah? Masalah? Siapa bilang?" Aku tertawa garing. Rasanya? Aneh. Ya mungkin karena ini misi-misi yang kubuat itu dan pikiran negatif tentang masa depan. Tetapi tidak ada yang tahu kan dengan apa yang akan terjadi nanti. Jangan sampai juga jadi kenyataan sih yang kubayangkan itu. "Enggak ada. Gue enggak apa-apa, kok. Tapi lo tetep harus bantu gue, Le."

Kale menghela napas. "Ya udah. Iya."

"Tapi gue enggak bilang apa yang harus lo bantu."

"Lho, kok gitu?"

"Go with the flow aja. Karena gue enggak mau itu jadi beban buat lo."

"Iya deh. Terserah lo."

"Eh, tapi... makasih ya udah lo udah nerima gue, Le."

"Sama-sama." 

Selanjutnya tidak ada sahutan lagi dari kami. Entah apa yang ada di pikirannya. Tetapi, pikiran dan hatiku sekarang sedang menyatu. Keduanya kompak membuat bunga-bunga berkembang di perutku, seakan menyusun partikel baru dan sehat untukku. Lalu, ribuan kupu-kupu mengelilingi mereka. Indah.

"Le, bisa berhenti enggak?" pintaku ketika merasakan perutku kembali lapar. Kali ini bukan gara-gara bunga. Tetapi, udara pagi mulai bercampur dengan polusi kendaraan membuat rasa tidak nyaman padaku.

"Kenapa?"

"Emangnya lo enggak laper? Nyari makanan, yuk! Apa gitu. Ng..., tapi gue lagi pengen es duren, Le."

"Lo bukannya udah makan ya tadi?"

"Ya gimana dong? Gue laper lagi. Lagian juga lo belum sarapan, kan?"

"Ng..., iya, sih. Tadi ketunda gara-gara Nyokap nelpon."

Aku menepuk pundak Kale dengan semangat. "Nah, ya udah. Ayo!"

Motor pun melaju ke arah Sudirman. Sambil menikmati tatanan kota Jakarta dengan penampilan baru, Kale bertanya, "Jangan bilang kalo ini salah satu dari permintaan lo?"

"Emang kalo makan es duren apa salahnya?"

Terdengar decakan dari Kale, membuatku tersenyum geli. "Ya enggak salah sih, tapi ini masih pagi lho! Jangan minum es, ah."

Mendengar responsnya itu, kutarik jauh kedua tanganku dari pinggang Kale, berpura-pura marah. Tetapi, Kale segera menariknya lagi sambil berkata, "Eh, iya, iya, iya. Kita cari depan stasiun Sudirman aja, ya."

"Okay!" Pipiku menghangat. Senangnya bukan kepalang meski aku tidak yakin bisa membujuk Kale agak menerima suapan es duren dariku. Senyumku terus mengembang lebar di wajah. Ya setidaknya aku bisa memberi satu penghargaan bagi diriku sendiri atas dua keberhasilan yang kuraih hari ini.

***

"Bubur ayam dua porsi, Bang," kata Kale pada tukang bubur. "Yang satu enggak pake kerupuk, yang satu lagi enggak pake kecap. Kuahnya banyakin ya, Bang." Dia sudah hapal di luar kepala tentang menu favorit khusus bubur ayam. Aku tak perlu khawatir. Sementara itu, aku sibuk mengaduk-aduk isi tasku. "Nyari apaan sih, Na?"

"BH gue! Duh, di mana sih? Semalem gue taro di sini. Tapi kok enggak ada, ya?"

"Lo bukannya pake beha, Na?"

Aku mendelik tajam. "Sialan lo, Le!" Segera kupukul lengan Kale menggunakan tempat pensil. "Bukan itu maksud gue! Mesum amat."

"Ya maaf." Kale mengaduh pelan sambil mengusap lengannya.     

"Buku harian gue, Le, yang enggak ada."

Kale berpindah posisi duduk ke sebelahku. "Oh, itu. Gue kira apaan. Lagian lo juga ngomongnya frontal gitu." Dielusnya punggungku. "Mungkin ketinggalan di rumah or jatuh di mana gitu. Kalo hilang juga gue bakal beliin buat lo."

Mataku pun kini sudah berkaca-kaca. "Enggak bisa, Le. Ini menyangkut hidup dan mati gue."

"Eh, jangan ngomong sembarangan ah!" Decakan kecil lolos dari mulut Kale. "Lo aneh tahu, Na. Apa jangan-jangan lo nyembunyiin sesuatu ya dari gue?"

"Ih, apaan sih? Lo doang kali yang ngerasa gitu." Pandanganku mulai berlarian ke mana-mana untuk menghindari tatapan interogasi Kale. Lalu, terlintas hal yang harusnya sedari tadi kucari. "Pak, ada es duren enggak?" tanyaku pada tukang bubur. Si Tukang Bubur pun hanya melongo menatapku.

"Ya enggak ada la, Na. Kan tukang bubur," sahut Kale.

"Kali aja ada gitu." Bahuku merosot.

Tak lama kemudian, terdengar suara dentingan gelas yang beradu dengan sendok. Leher panjangku langsung bergerak. Aku mencondongkan kepalanya keluar dan tiba-tiba seringai lebar di wajahnya pun mengembang. Mataku berbinar-binar.

"Jangan senyum kayak gitu, Na. Serem tahu," komentar Kale.

"Sayang, mau es duren enggak?" Aku merogoh kantung tas untuk mengambil dompet. Dan tanpa jawaban dari Kale, aku menghampiri penjaja es duren.

"Bang, beli esnya dua ya!" kataku setelah berhasil menghadang gerobak es.

"Satu aja, Bang!" Suara Kale membuatku menoleh ke arahnya. Dia memakaikan jaketnya padaku.

"Lho, lo enggak mau?" Aku memasang wajah polos. "Oh, gue tahu. Lo mau disuapin gue, kan? Tahu aja cara yang romantis, nih." Aku menyikut lengan Kale. "Ya udah, Bang, satu aja."

Kalau boleh jujur, kedua tungkai kakiku saat ini sudah gemetaran akibat perlakuan Kale barusan. Memang sih bukan pertama kali cowok itu memakaikannya jaket, tapi situasi kali ini berbeda. Berarti, aku benar-benar jatuh cinta padanya?

"Jangan bengong, Na." Kale berdecak. "Berapa, Bang?"

"5000 aja."

Dengar. Aku mendengar mereka bersahutan, tapi aku tiba-tiba saja tidak bisa fokus.

"Nih, Bang. Kembalinya ambil aja. Makasih, ya!"

Setelah itu, Kale menggiringku kembali ke tempat makan dengan merangkulku. "Ayo, makan! Abis itu gue anterin pulang."

Mataku kembali fokus sewaktu melihat es duren yang ditaruh Kale di meja. Aku mengerjap. "Ih, kok pulang sih? Kan lagi cabut sekolah. Kalo pulang, entar yang ada malah pada curiga kenapa gue pulang cepet."

Kale menyuapkan bubur ayam tanpa kecap ke mulut. "Lo perlu istirahat, Na."

Aku menghela napas. "Lho, kenapa? Gue kan pengen di sini sama lo." Aku menyedokkan es, lalu melayangkannya ke arah mulut Kale. "Le, mau ya, please...."

"Apaan?"

"Ini," aku memberikan kode melalui mata.

Kale membelalakkan matanya, lalu menjauh. "Jangan aneh lagi dong, Na. Lo tahu kan kalo gue enggak suka duren."

"Ih, cemen banget sih jadi cowok. Lagian juga ini enggak aneh, kok. Enak banget, Le! Lo harus coba. Kalo enggak, lo bakal nyesel."

"Maksud lo apaan sih, Na? Gue enggak ngerti sama lo hari ini. Lo itu kenapa?"

"Kan tadi gue udah bilang jangan paksa gue buat cerita."

"Ya tapi kalo gue enggak tahu, gue mana paham mau lo apaan."

"Ya udah kalo enggak mau." Aku memasang tampang sedih.

Kale langsung meraih lenganku yang memegang sendok plastik. "Na, kita pacaran. Bukan mainan. Lo harus jujur sama gue. Apa pun itu." Dia menyuapkan es ke dalam mulutnya sendiri, membuatku terkejut dan kembali menatapnya.

"Enak?"

"Dikit."

"Thanks, Le." Dengan begitu, dua misiku tuntas hari ini. Aku hanya tinggal membereskan masalah yang diakibatkannya.

"Ya udah. Habisin buburnya. Abis itu kita ke Dunkin Donut aja. Gue mau ngedit video punya Youtuber. Lo bawa yang gue minta semalem, kan?"

"Laptop? Iya bawa. Lo kira nih tas segede buku akuntasi ini isinya apaan coba?" Aku mulai memakan buburnya yang sudah tak lagi panas. "Lagian aneh banget sih, giliran banyak orderan laptop malah error."

Yup, orderan yang dimaksudkan adalah orderan video para Youtuber maupun Selebgram. Mereka berani membayar mahal karena memang hasil editan Kale layaknya editor profesional. Terbukti banyak netizen yang memuji hasil videonya di kolom komentar.

Kale mengangkat bahu. "Biasa. Minta diganti. Entar kalo udah dapet bayaran, gue bakal beli yang baru." []

Continue Reading

You'll Also Like

110M 3.4M 115
The Bad Boy and The Tomboy is now published as a Wattpad Book! As a Wattpad reader, you can access both the Original Edition and Books Edition upon p...