Lucky Level

Galing kay Wan_So-Ro

5.8K 660 120

Di Jepang, sebuah studi mengatakan bahwa seluruh manusia memiliki level keberuntungan yang berbeda-beda. Luck... Higit pa

Zero
The Fortune Princess
Hari Pertama Sebagai Teman (Part 1)
Hari Pertama Sebagai Teman (Part 2)
Pemuda Yang Familiar
Dia Terasa Begitu Dekat
Potongan Puzzle (Part 1)
Potongan Puzzle (Part 2)
Kenangan Yang Terlupa (Part 1)
Kenangan Yang Terlupa (Part 2)
Kenangan Yang Terlupa (Part 3)
Kenangan Yang Terlupa (Part 4)
Onii-chan!!!
Sibling Relationship (Part 1)
Promosi
Tanyakan Saja!
Ragu
Dia Berbahaya! (Part 1)
Dia Berbahaya! (Part 2)
Realita dan Kebahagiaan Semu (Part 1)

Sibling Relationship (Part 2)

223 30 9
Galing kay Wan_So-Ro

Selamat Membaca...

.

.

.

"Sebenarnya aku ini..."

Semua orang yang berada di dekat Boruto menunggu jawaban dari Boruto, tak terkecuali Himawari.

"Sebenarnya aku ini..?" Beo Yuina, kakaknya, dan Himawari.

"..."

"..."

"..."

"Sebenarnya aku ini sudah telat!!!" Jawab Boruto.

Semua orang di sana sweet drop mendengar jawaban Boruto.

Boruto segera berdiri dan pamit untuk pergi lebih dulu dari tempat itu.

"Ji-san mau ke mana?" Tanya Yuina yang melihat Boruto yang tiba-tiba berdiri.

"Aku harus segera ke sekolah! Jika tidak, hukumanku akan lebih buruk lagi~" Ujar Boruto. "Kalau begitu, Norimaki-san.. Yui-chan.. Aku pergi dulu.." Pamit Boruto.

"Iya, hati-hati di jalan." Jawab Ehou dan Yuina bersamaan.

Boruto kemudian mengalihkan pandangannya ke Himawari. Di sana, tampak Himawari yang tengah memandangi Boruto dengan ekspresi bingung. Mungkin, dia bingung kenapa ditatap Boruto seperti sekarang.

"Ano.. Ada apa, Onii-chan?" Tanya Himawari.

Boruto tidak menjawab pertanyaan Himawari. Namun, Boruto justru melakukan sesuatu yang membuat Himawari terkejut. Boruto megulurkan tangannya pada Himawari, lalu mengelus lembut pucuk kepala Himawari.

Himawari hanya dapat terdiam dengan pipi yang merona, menahan rasa senang di hati karena akhirnya dapat diperlakukan layaknya seorang adik oleh Boruto.

Setelah beberapa saat, Boruto kembali menarik tangannya, "Jangan nakal..!" Ujar Boruto selayaknya seorang kakak yang memberi perintah agar sang adik tidak nakal saat ditinggal pergi.

Himawari mendongak pada Boruro, dan tampak wajah Boruto yang tengah tersenyum lembut padanya.

Himawari pun tersenyum senang dan mengangguk, "Aku tidak akan nakal, Onii-chan.." Ujar Himawari.

"Bagus. Kalau begitu, aku pergi dulu.." Pamit Boruto.

Boruto pun akhirnya keluar
dari restoran itu, dan terlihat pergi berlari menuju ke sekolahnya.

♢♢♢♢

Sikat toilet itu tak henti-hentinya bergerak membersihkan kloset kotor. Boruto Uzumaki, pria dengan peruntungan terburuk itu sejak setengah jam yang lalu sudah berjibaku dengan sikat dan sabun untuk membersihkan toilet.

Ia sudah menduga kalau nasibnya akan berakhir seperti ini, yaitu terjebak di toilet; dipaksa membersihkan setiap inci kotoran di sana oleh guru BK. Padahal sedikit lagi ia bisa masuk ke kelas tanpa ketahuan terlambat, tapi sial baginya karena bertemu dengan kepala sekolah saat di persimpangan terakhir sebelum sampai ke kelasnya.

Boruto menggerutu di dalam hatinya. Ia tidak mengerti, kenapa dirinya selalu mendapatkan hukuman seperti ini. Sejak kelas satu hingga sekarang ia berada di kelas dua, selalu saja hukumannya seperti ini. Ia merasa bosan dengan hukuman ini. Dia bahkan lebih memilih berlari mengelilingi lapangan dibandingkan harus kembali membersihkan toilet seperti ini.

Ya, ampun. Kenapa Anko-sensei senang sekali menyuruhku membersihkan toilet? Memangnya tidak ada hukuman yang lain apa?

Boruto beralih kepada kain pel, membersihkan lantai toilet yang sudah mulai menguning. Ia menggosok lantai itu dengan cukup banyak tenaga, agar noda kuning itu dapat benar-benar menghilang.

Kenapa ini kotor sekali? Aku jadi curiga, kalau petugas kebersihan sengaja tidak membersihkan toilet ini karena tahu aku yang akan membersihkannya.

Boruto menghela napasnya. Kalau sudah begini hanya bel istirahat yang bisa menyelamatkannya.

---

Perut itu sudah menggerutu sejak ia selesai membersihkan toilet terkutuk itu. Boruto duduk di bawah pohon rindang yang ada di belakang sekolahnya. Di sana, ia sedang menahan laparnya.

Hari ini, uang sakunya yang tak seberapa sudah habis untuk membelikan Yuina es krim. Dan hari ini juga, Sumire ternyata tidak berangkat sekolah. Boruto yakin, Sumire pasti tidak bisa berangkat karena ditahan oleh Ayame. Lalu, jadilah seperti ini; hanya dapat duduk bersandar di bawah sebuah pohon yang rindang sembari terus memegangi perutnya yang keroncongan.

Boruto memandang ke atas langit. Awan-awan putih yang berlalu lalang itu entah mengapa tampak seperti makanan bagi Boruto. Sepertinya, lapar membuat imajinasinya lebih aktif.

Laparnya...

Boruto menutup matanya. Ia pikir sebaiknya ia mengalihkan rasa laparnya dengan tidur. Lagi pula, ini adalah halaman belakang sekolah. Ia yakin, kalau tidak akan ada yang tahu ia tidur di sini. Kalau ada pun itu pasti kepala sekolah itu. Ia juga bingung, entah mengapa guru yang satu itu selalu dapat mempergoki dirinya.

"Onii-chan!"

Ah, sepertinya lapar benar-benar berdampak besar baginya. Ia bahkan seperti sedang mendengar suara Himawari. Tidak mempedulikannya, Boruto tetap menutup matanya dan tidak ada niatan untuk mencari asal suara itu, karena ia pikir itu hanyalah khayalannya saja.

"Onii-chan!"

Suara itu kembali terdengar. Kali ini terasa lebih jelas. Boruto baru tahu daya khayalnya sungguh tinggi seperti ini.

"Onii-chan!!"

Tunggu, sepertinya ini bukan khayalan lagi. Boruro membuka matanya. Di sana, Himawari ada di depannya. Berjongkok memandangi wajahnya.

"Himawari...-san?"

"Akhirnya..." Himawari menghembuskan napas lega. "Kukira kau sudah mati, Onii-chan?" Boruto membenarkan posisi duduknya. Ah, dia terlihat lemas. Lapar dan kelelahan mungkin alasannya. "Apa maksudmu?"

"Aku sudah memanggilmu berkali-kali, tapi kau tidak kunjung membuka matamu. Apa kau sakit lagi, Onii-chan?"

"Tidak." Boruto memegangi perutnya. "Aku hanya sedang lapar."

"Sudah kuduga." Himawari mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini makanlah. Aku membuatkanmu bekal, Onii-chan." Himawari menyodorkan bekal makan siang itu pada Boruto.

"Bagaimana kau tahu?" Boruto menerima bekal makan siang itu. Ia sudah sangat lapar, tidak ada pilihan lain. "Anggap saja insting saudara kandung." Himawari tersenyum lembut pada Boruto.

Boruto sedikit terenyuh. Ia jadi berpikir, apa memang benar kalau gadis di depannya ini adalah adiknya. "Terima kasih... Himawari-san." ujarnya.

"Sudahlah. Sekarang, Onii-chan makan saja."

"Ah, baiklah." Boruto membuka tutup kotak makan siang berwarna biru itu. Di sana, nasi dan telur dadar sudah siap untuk ia makan. "Sepertinya enak."

"Kalau belum dicoba mana bisa tahu, bukan?" Himawari menyerahkan sumpit kepada Boruto. "Baiklah, akan kucoba. Ah, tidak. Aku akan menghabiskannya." ujar Boruto.

Boruto memakan bekalnya itu dengan lahap. Bukan hanya karena lapar, tapi juga karena makanan yang dimasak Himawari terasa sangat enak. "Ini enak." Puji Boruto.

Himawari tertawa kecil di sana. Mendengar pujian dari kakaknya dan melihatnya makan dengan lahap masakannya benar-benar membuatnya senang. Sekarang ia tahu, bagaimana rasanya dipuji oleh seorang kakak. "Terima kasih, Onii-chan."

"Oh, iya." Boruto menghentikan sejenak makannya. "Ada apa, Onii-chan?" tanya Himawari. "Bagaimana kau bisa masuk ke sini?"

"Oh, soal itu? Tadinya, aku tidak diizinkan masuk oleh security yang berjaga di gerbang depan."

"Lalu?"

"Lalu... Karena dia tidak mau membukakan gerbangnya walaupun aku sudah memohon dengan baik, jadi aku beli saja sekolah ini dan memecatnya. Habisnya, dia menyebalkan sekali." serasa tersambar petir, Boruto menganga tak percaya dengan jawaban gadis muda ini. "Ba-bagaimana bisa?"

"Ya... Kebetulan Kakashi-san punya nomor ponsel pemilik sekolah ini, jadi aku langsung saja meneleponnya. Awalnya dia bilang tidak mau menjualnya, tapi setelah kutawar dengan sedikit uang saku-ku akhirnya dia menjualnya."

"Ha? Me-memangnya berapa uang saku-mu?" tanya Boruto. Sungguh, penjelasan Himawari sulit untuk dipercaya. "Tidak banyak, kok. Hanya beberapa puluh juta yen saja." jawab Himawari santai sembari tersenyum manis pada Boruto.

APAAA?! Beberapa puluh juta yen katanya? Aku bahkan bisa mencukupi kehidupanku selama 100 tahun dengan uang sebanyak itu.

"Onii-chan, kau tidak apa-apa?" Boruto tersadar dari syoknya. "Ah, a-aku tidak apa-apa."

"Jadi, sekarang berarti kau pemilik resmi sekolah ini?" tanya Boruto. Himawari menggeleng pelan. "Tidak. Aku masih terlalu kecil untuk mengurus hal-hal seperti ini."

"Lalu, kalau bukan kau siapa?"

"Aku juga masih bingung. Mungkin, aku berikan saja pada Hanabi-nee." ujar Sumire. Boruto menghela napas lega. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana sekolahnya nanti kalau dipegang remaja SMP seperti Himawari.

"Ah, apa Onii-chan mau memilikinya?"

"Tidak!" Boruto segera menolaknya dengan cepat. Apa-apaan itu? Menjadi murid di sekolah ini saja sulit dipercaya orang lain, apa lagi jadi pemiliknya? Bisa-bisa sekolah ini jadi kosong, karena semua murid dan gurunya keluar.

"Oh, ya sudah. Kalau begitu, aku berikan saja pada Hanabi-nee." Boruto mengangguk kaku, menyetujui ide itu. "Iya. Aku pikir itu ide yang bagus."

♢♢♢♢

Boruto terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri, salah apa dia hari ini. Sejak ia kembali dari taman belakang sekolah, orang-orang seperti menatapnya dengan tatapan mata yang tidak enak.

Setelah selesai makan, Himawari mengatakan kalau ia akan mentraktir Boruto sebotol teh dingin di kantin. Ya, dan akhirnya mereka pergi ke kantin. Tapi, sesampainya di kantin, Boruto menyadari banyak keanehan. Mulai dari banyaknya orang yang berteriak histeris saat dia dan Himawari lewat, sampai ada yang berbisik-bisik sembari menatapnya penuh curiga.

Boruto berpikir mungkin mereka bertingkah seperti itu karena melihat Himawari yang merupakan gadis SMP dan bingung kenapa ia bisa masuk ke dalam SMA-nya. Tapi, kalau memang begitu, kenapa mereka harus sampai berteriak histeris?

Sesampainya di kantin, Boruto segera membeli sebotol teh dingin dari mesin penjual otomatis menggunakan uang yang ia pinjam dari Himawari. Mengingat seberapa banyak uang yang dimiliki oleh Himawari membuat Boruto merasa malas untuk mengembalikan uang itu nantinya.

"Onii-chan, apa kau sudah membelinya?" Himawari berjalan mendekati Boruto dari belakang. "Iya, sudah." Boruto berbalik mengahadap Himawari. "Terima kasih, ya." Boruto tersenyum kepada Himawari. "Sama-sama." balas Himawari.

"Yo, Zero!" Boruto menoleh ke asal suara itu. Di sana, Iwabe berjalan mendekatinya dengan senyum buruk di wajahnya. "Ah, Yuino-san?"

Iwabe merangkul Boruto, bertingkah sok akrab. Ia kemudian menoleh kepada Himawari. "Aku tidak menyangka kalau kau kenal dengan seorang artis."

"Jangan bercandalah, mana mungkin orang sepertiku kenal dengan artis."

"Lalu, gadis ini siapa?" Boruto menoleh kepada Himawari. Ia melihat di sana Himawari yang menatap tidak senang ke arah Iwabe. "Aku bukan artis! Aku ini pelukis!" bantah Himawari. "Semua orang akan disebut artis, kalau sudah sering tampil di acara TV." ujar Iwabe.

Ah, sekarang Boruto mengerti. Alasan keanehan yang ia alami adalah karena ia terlihat dekat dengan seorang artis. Sudahlah kaya, terkenal pula. Boruto jadi kembali tidak yakin kalau dia adalah saudara kandung Himawari.

Sepertinya aku dalam masalah.

Iwabe kemudian melepas rangkulannya. Ia berjalan mendekat pada Himawari dan menatapnya licik. Dan, ya. Sekarang mereka jadi perhatian seisi kantin.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Himawari dingin. Sekarang, gadis itu sedang menahan marahnya. Ia tidak suka dengan pria di depannya ini.

"Aku hanya ingin bertanya, kenapa kau mau dekat-dekat orang sepertinya?" Iwabe melirik Boruto dari ujung matanya. Meski Boruto tidak tersinggung dengan ucapan Iwabe, tetapi Himawari tahu itu kalimat yang merendahkan Boruto. "Itu bukan urusanmu." jawab Himawari.

Andai Yuino-san tahu, kalau nasib kehidupan sekolahnya ada di tangan Himawari.

"Ck." Iwabe berdecak kesal. "Kau tahu? Dia itu Lucky level-nya berjumlah nol."

"Lalu?" Himawari menatap Iwabe dengan tatapan menantang.

"Memangnya kau tidak takut tertular sial? Lebih baik kau dekat denganku. Lucky Levelku cukup tinggi. Kau level 7 dan aku level 4, bagaimana?"

"Ha?" Himawari menganga dan menatap jijik Iwabe. "Kau pikir dirimu lebih berharga dari orang yang di belakangmu itu?" Himawari menunjuk ke arah Boruto. Tidak peduli meski Boruto sudah memberi gestur untuk menghentikan semua ini, Himawari tetap akan melawan Iwabe. Apa lagi, dia sudah berani menjelek-jelekkan kakaknya.

Iwabe menggeram kesal, menatap lawan bicaranya dengan tatapan membunuhnya. Mesku begitu, yang ditatap terlihat santai. Bahkan, bergeming pun tidak.

"Hei, dengar ya." Himawari mendekatkan wajahnya menatap sengit Iwabe. Wajah ramah dan imutnya sudah benar-benar lenyap. Di sana, yang ada hanyalah wajah amarah yang mengerikan dari Himawari. "Kau itu tidak ada apa-apanya dari pria di belakangmu itu." Himawari menunjuk kesal wajah Iwabe yang sudah tampak merah padam karena marah. "

"Oh, ya?" tanya Iwabe menantang Himawari. "Tentu saja." Himawari tersenyum mengejek pada Iwabe. "Bahkan, kalau aku disuruh menentukan harga, kau hanya akan kuhargai 10 sen." ejek Himawari.

"KAU INI!!!" Iwabe sudah tak dapat menahan emosi. Tangannya sudah melayang untuk memukul Himawari yang belum sempat bergerak.

BUAK!!

Pukulan itu mendarat tepat ke pipi dengan kekuatan yang sangat besar. Sangking besarnya sampai membuat orang yang terkena pukulan jatuh tersungkur. Namun, pukulan itu bukan milik Iwabe dan pukulan itubtidak mendarat di wajah Himawari. Pukulan itu mendarat ke pipi Iwabe dan milik sesorang yang sedari diam. Pukulan itu adalah milik Boruto.

"Onii-chan?"

"Sialan kau, Zero!!!" Iwabe berteriak kepada Boruto sembari memegangi pipinya yang sakit dan membiru. Tampak di sana, darah mengalir dari mulut Iwabe. Boruto hanya diam, menatap dingin Iwabe yang sedang berusaha untuk bangkit.

"Aku akan diam kalau kau menyakitiku." Boruto berjalan mendekati Iwabe yang sedang membungkuk hendak ingin berdiri. "Tapi... Beda ceritanya kalau kau berusaha menyakiti adikku!!"

Onii-chan...

BUAK!!

Boruto mealyangkan sebuah sepak-an keras tepat ke arah perut Iwabe. Membuat Iawabe berguling kesakitan dengan mulut yang mengeluarkan darah.

"Siapapun... tolong aku." Iwabe menggerang kesakitan. Ia bahkan terbatuk dengan mengeluarkan darah banyak darah. Ia sudah memelas meminta tolong, namun tidak ada yang mendekatinya. Semua orang di dalam kantin terlalu takut untuk berhadapan dengan Boruto. Apa lagi setelah melihat kekuatan Boruto yang sebenarnya.

Apa Onii-chan... sudah mengakui dirinya sendiri kalau dia kakakku?

"Aku akan memanggilkan dokter untukmu." Kalimat itu membuat seisi kantin menjadi hening karena terkejut. Itu karena orang yang mengucapkannya adalah orang yang sama yang membuat Iwabe babak belur, yaitu Boruto.

Boruto menoleh pada Himawari. "Himawari-san." panggilnya. "Iya?" balas Himawari. "Tolong panggilkan petugas medis kemari." Himawari mengangguk. "Baiklah."

"Kau..." Boruto menoleh kepada Iwabe yang masih terbungkuk kesakitan memegangi perutnya. Iwabe menoleh kepada Boruto, menatapnya dengan tatapan curiga sekaligus bingung. "Kenapa kau... membantuku?"

"Kenapa kau tidak pikirkan sendiri jawabannya?"

♢♢♢♢

Setelah petugas medis datang dan membawa Iwabe ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut keadaannya, suasana kantin menjadi lebih kondusif.

Boruto dan Himawari duduk di sebuah meja yang berada di dekat jendela. Di sana, juga sudah ada Shikadai yang ikut duduk di samping Boruto. Setelah mendengar Boruto sedang diganggu Iwabe, Shikadai berusaha untuk segera datang ke kantin. Namun, sesampainya di sana, Ia hanya melihat Iwabe yang sudah tak sadarkan diri.

Shikadai menatap Himawari yang sedari tadi tersenyum manis dengan tatapan penuh selidik. Ia tidak mengerti, kenapa bisa ada Himawari Hyuuga di tempat seperti ini; bersama Boruto lagi. "Hei, Boruto." panggil Shikadai dengan berbisik. Boruto menoleh kepada Shikadai. "Ada apa?"

"Kenapa orang ini bisa ada di sini?" tanya Shikadai sembari menunjuk ke arah Himawari. "Ah, maksudmu Himawari-san?" Shikadai mengangguk. "Iya."

"Itu... Bagaimana, ya." Boruto ragu untuk menjelaskan yang sebenarnya kepada Shikadai tentang kenapa sebenarnya Himawari dapat berada di sekolahnya.

Haaah~ masa aku bilang ke Shikadai kalau Himawari-san baru saja membeli sekolah ini dengan uang saku-nya?

"Ya... anggap saja sekolah ini sedang kosong." jawab Boruto di akhir. "Ha? Apa-apaan itu? Kau ini tidak jelas." balas Shikadai.

Shikadai beranjak dari kursinya, membuat Boruto sontak memperhati-kan Shikadai. "Kau mau ke mana?" tanya Boruto. "Aku ke sini tadinya karena khawatir kepada-mu. Tapi, sepertinya kau tidak apa-apa. Sekarang, aku justru lebih khawatir dengan kondisi Iwabe." jawabnya. "Oh, begitukah?" Shikadai mengangguk. "Iya."

"Lalu, kau mau ke mana?" tanya Boruto lagi. "Ke kelas. Aku mau melanjutkan tidur siangku." Shikadai berjalan meninggalkan Boruto di sana. Boruto tersenyum. "Kau ini."

Setelah Shikadai benar-benar pergi, Himawari mulai bicara. "Onii-chan." Boruto menoleh kepada Himawari. Entah sejak kapan, ia akan menoleh kalau dipanggil dengan sebutan "Onii-chan" seperti itu. "Ada apa?"

"Em.. itu... apa kita masih perlu melakukan tes DNA?" Himawari bertanya dengan hati-hati. Di sana Boruto dengan ekspresi bingungnya menatap Himawari.

"Apa... maksudmu?"

"Ah, itu. Maksudku... setelah beberapa kejadian hari ini apa Onii-chan masih tidak percaya kalau aku adikmu? Em... apa lagi..." Himawari merona di sana. "Apa lagi kau baru saja memanggilku adik tadi." ujarnya.

"Tes itu tetap harus dilakukan."

"Ta-tapi kenapa?"

"Bukan untuk membuatku percaya, tapi untuk membua semua orang percaya." Himawari menatap Boruto bingung. "Aku tidak mengerti. Jadi, Onii-chan sudah percaya padaku? Lalu, apa lagi?"

"Mencari bukti." jawab Boruto.

"Ha?" Boruto mengangguk. "Iya. Kepercayaan diriku saja tidak cukup untuk membuat orang lain percaya akan suatu hal. Agar orang lain percaya seperti diriku, maka aku harus memberikan bukti."

"Jadi?"

"Ya. Kita tetap akan melakukan tes itu untuk memperoleh bukti yang dapat diberikan kepada orang yang tidak percaya nantinya." jawab Boruto.

"Baiklah!"

.

.

.

Bersambung...

-tbc-

Halo, Author di sini 🙋

Maaf baru update hari ini, karena seharusnya kemarin. Ini karena ada sedikit kesalahan teknis berupa gangguan sinyal semalam, jadi Author tidak bisa membuka semua aplikasi online termasuk Wattpad. Dan karenanya, isi cerita part ini lebih pendek dari yang lain.

Sekali lagi Author minta maaf. Kita ketemu lagi di part berikutnya.

CIAO!!👋

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

1.1M 108K 53
Ketika menjalankan misi dari sang Ayah. Kedua putra dari pimpinan mafia malah menemukan bayi polos yang baru belajar merangkak! Sepertinya sang bayi...
680K 11.6K 21
Megan tidak menyadari bahwa rumah yang ia beli adalah rumah bekas pembunuhan beberapa tahun silam. Beberapa hari tinggal di rumah itu Megan tidak me...
303K 15K 38
"GW TRANSMIGRASI? YANG BENER AJA?" ... "Klo gw transmigrasi,minimal jangan di peran antagonis lah asw,orang mah di figuran gitu,masa iya gw harus mat...
955K 65.3K 51
Sherren bersyukur ia menjadi peran figuran yang sedikit terlibat dalam scene novel tersebut. ia bahkan sangat bersyukur bahwa tubuhnya di dunia novel...