SORRY [slow update]

By fatayaable

11.2K 4.2K 3K

Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tig... More

CUAP-CUAP PENULIS
BUKU HARIAN UNA (BH 1)
1. MISI 30 HARI
3. ES DUREN
4. OMELAN KANJENG RATU
BUKU HARIAN UNA (BH 2)
5. PERIHAL KARA
6. BEKAL KALE
7. KESAL!
8. KAKAK KELAS
9. PERMINTAAN
10. PAHAT HATI
BUKU HARIAN UNA (BH 3)
#CAST SORRY
11. SATURSAD
BUKU HARIAN UNA (BH 4)
12. BIOSKOP
13. GELISAH
BUKU HARIAN UNA (BH 5)
14. BACK TO THE MOON
BUKU HARIAN UNA (BH 6)
15. SELEKSI HATI
16. JADI, GUE HARUS GIMANA?
17. TO THE BONE
18. FALL FOR YOU
BUKU HARIAN UNA (BH 7)
19. MELUKIS SENJA
INTERMEZO~
20. STORY OF KALE
21. THE FACT IS ...
BUKU HARIAN UNA (BH 8)
22. PENGUMUMAN
23. KARANTINA
24. TROUBLE MAKER

2. DUNIA KALE

715 304 361
By fatayaable

Halooo 🖤

Gimana kabarnya? Kuharap semuanya baik² aja, Gaess 😚

Eh, selamat tanggal merahh 🤭
Ada yang nungguin cerita ini banget² enggak? Atau B aja? 😂

Oya, aku mau nanya deh. Aku udah nulis pake POV 1 nih, oke enggak? Sejauh ini gimana? Feelnya udah dapet? Ahahaa agak njelimet sih ngubah POV 3 ke POV 1. 2 tokoh pula 🤣

Ya udah, kalo gitu langsung aja yaa. Happy reading! 🖤

🌸🌸🌸

POV KALE

Gue melangkahkan kaki keluar rumah dengan tergesa. Suntuk parah kalau terlalu lama di dalam rumah. Pak Uus, pria berusia 36 tahun yang menjabat sebagai satpam, segera berlari untuk membukakan pintu gerbang. Helm pink udah. Sip!" kata gue kepada diri sendiri lalu mengeluarkan motor Ninja hitam. Senyum gue mengembang membayangkan Venya memakai helm ini nanti. Rencananya dia mau gue ajak jalan sore nanti.

"Pagi, Mas," sapanya. Dia masih tampak mengantuk lantaran menonton siaran bola semalam di posnya. Ya, gue jelas tahu. Karena gue bisa mengintip keberadaannya dari jendela kamarku di atas.

"Seru banget kayaknya tuh siaran bola," ledek gue.

"Eh, kok tahu, Mas?" Dia menggaruk-garuk kepalanya sambil cengengesan. "Iya, Mas. Tapi Indo kalah." Pundaknya merosot, sedih. "Enggak bareng Bapak lagi, Mas?"

Aku tertawa garing. "Enggak, Pak. Papa masih tidur kayaknya. Pak Uus lanjutin tidur aja. Oh ya, entar kalo ada yang nyariin aku, bilang aku minggat."

"Lho, minggat kok bilang-bilang?"

"Eh, iya ya, kok aku pake ngasih tahu Pak Uus?" Gue merasa bingung sendiri. "Ya udah deh, aku tarik lagi. Belum lima menit, kan?" Tawa gue pecah setelahnya, sedangkan lelaki yang masih menggunakan sarung dengan kaos oblongnya di hadapan gue itu hanya melongo. "Pak Uus belum konek, nih. Ya udah, aku jalan!"

Gue sengaja mengegas lebih dalam agar suara deru motornya terdengar sampai ke dalam rumah, lalu meninggalkan rumah. Muak sudah gue dengan kelakuan Mama Papa yang enggak jelas juntrugannya. Apalagi kalau bukan karena uang, jabatan, dan kehormatan. Itu saja yang yang mereka pikirkan.

"Jangan lupa pulang!" teriak Pak Uus lagi.

Cih, siapa yang peduli dengan keberadaannya sekarang kalau semuanya itu dinilai oleh uang? Apa yang harus gue lakukan agar orang tua gue itu enggak melihat gue kayak pajangan rumah yang harus nurut diletakin di mana?

Oh, tentu enggak hanya itu saja. Tadi malam, tiba-tiba Papa bilang kalau dirinya telah menjodohkan gue dengan anak teman baiknya di kantor. Dia sempat menunjukkan foto anak temannya itu, tapi gue enggan melihatnya. Gue langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar.

Klise. Itu yang biasa terjadi di lingkungan orang kaya, kan? Perjodohan? Enggak! Gue enggak mau! Gue ingin bebas. Seperti kata Aluna, cewek yang mengisi hari-hariku setiap saat di sekolah. Hanya dia yang bisa membuat gue tersenyum dan penasaran sekaligus.

"Gue pengen bebas, Le, selagi masih bisa melihat dunia," kata Aluna di pesta ulang tahunnya beberapa bulan lalu. Waktu itu gue iseng saja menanyakan bagaimana kalau suatu saat dia tiba-tiba dijodohkan. Sebelumnya gue pernah mendengar omongan Papa dengan seseorang di telepon di ruang kerjanya tentang perjodohan, membuat gue semakin tak betah di rumah.

Gue membunyikan klakson beberapa kali tepat di depan Aluna karena cewek itu tampaknya menggunakan volume penuh untuk mendengarkan lagu dari ponsel. Gue menggelengkan kepala, heran dengan Aluna. Bisa-bisanya setelah menghilang dua hari tanpa kabar, tiba-tiba sudah di sini, bersandar di tiang parkiran dan menunggunya. Tetapi pada akhirnya tadi malam Aluna membalas belasan chat WhatsApp, membuat gue lega.

Gue lepas headset Aluna usai memarkirkan motor. "Selamat pagi, Na," sapa gue. "Long time no see."

"Lebay lo. Bilang aja kangen sama gue!" Aluna mulai melangkah menuju gerbang sekolah.

"Eh, Venya mana ya?" tanya gue. Pandangan gue tertuju pada kelas 11 IIS D di lantai dua.

"Yeuu... tadi malam nyari-nyariin gue, tapi sekarang yang dicariin malah yang lain," gerutunya. "Lagian juga mana gue tahu. Lo kan yang suka sama dia, harusnya lo tahu jadwal-jadwalnya dong." 

Dari arah tangga, gue menangkap sosok yang tadi gue cari. "Lo ke kelas duluan, Na. gue mau ketemu Venya." Setelah berkata demikian, aku pun berlari menghampiri cewek berambut panjang kecokelatan itu. "Eh, Venya. Baru aja diomongin. Panjang umur berarti."

"Hai, Kale." Venya menyisipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Pipinya memerah karena tersipu malu. Cantik banget, Tuhan!

"Nya, temenin gue makan yuk! Belum sarapan, nih."

Venya mengangguk, lalu kami langsung berjalan bersisian. Enggak lupa lupa gue menyampaikan niat untuk mengajaknya jalan sepulang sekolah nanti. Tetapi sebelumnya  gue berbasa-basi dulu.

"Nya, gue punya tebak-tebakan. Jawab, ya."

"Emangnya lo mau kasih gue apa kalo bisa jawab?"

"Ng..., gue mau ngajak lo jalan, gimana?"

"Okay. Tapi jangan yang susah-susah, ya. Nanti gue malah enggak diajak jalan sama lo."

Gue mengangguk-angguk. "Gampang, kok. Siap, ya! Nih, negara, negara apa yang hilang?"

Venya mengernyit. "Hah? Emang ada yang hilang? Kok gue enggak tahu?"

"Serius amat, Nya." Gue terkekeh.

"Ih, malah diketawain." Venya duduk di salah satu kursi di meja terdekat. Gue pun ikut duduk di sampingnya. "Serius, Le, emang ada?"

"Kan ada." Gue tergelak lagi sampai perut gue sakit sendiri.

Venya mendengkus. "Jawabannya apa, Kale? jangan bikin orang bete deh." Dia melipat tangannya di atas meja.

"Ya itu jawabannya, KAN-ADA." Gue kembali tertawa, sedangkan Venya melayangkan tatapan geram. Tetapi suara tawa itu lenyap ketika ponsel gue bergetar. Mama menelepon. "Bentar ya, Nya. Nyokap nelpon."

"Oh, silakan."

Gue beranjak dari kantin dan berjalan agak jauh, lalu dengan malas gue mengangkatnya, "Iya, Ma. Kenapa?"

"Kale, dengerin Mama."

"Aduh, apaan lagi sih, Ma? Udah mau masuk, nih."

"Kamu harus nerima perjodohan ini."

"Untuk apa, Ma?" Gue benar-benar jengah dengan masalah ini.

"Ini semua demi masa depan kamu, Kale."

"Masa depan?" Gue mengusap wajah, frustrasi. "Pokoknya aku enggak mau dijodohin!"

Ponsel langsung gue matikan, lalu berjalan tergesa menuju kelas. Persetan dengan masa depan. Ini hidup gue! Dan ini urusan gue dengan Tuhan. Mereka tidak berhak memaksa gue. 

"Ah, basi!" umpatan gue belum selesai juga setibanya gue di kelas. Sebenarnya kenapa sih anak yang selalu dijadikan korban orang tuanya? Gue berhak dong menentukan bagaimana kelak masa depan gue nanti. Yang jalanin kan gue, bukan mereka.

"Ini orang kenapa lagi, sih?" Gema bersedekap. Dia tengah duduk di atas meja, belakang meja Aluna.

"Pokoknya gue enggak mau dijodohin! Titik!" Gue banting tas selempang hitamnya ke atas meja Aluna.

"Kenapa, sih?" tanya Aluna. "Lo enggak jadi sarapan sama Venya? Tadi ada yang semangat banget lho padahal ketemu Venya sampe gue dilupain."

"Oh iya, lupa! Venya gue tinggal di kantin." Bukannya kembali ke kantin, gue malah duduk di atas meja Aluna, dan mengambil potongan roti dari dalam kotak bekal Aluna.

"Baru tahu gue, cowok ninggalin cewek yang dibucinin." Javier tertawa, membuat gue ingin menimpuknya dengan kotak bekal Aluna. Sayangnya kotak bekalnya masih utuh, jadi enggak mungkin. 

"Ah, diem aja lo!"

Javier terkekeh. "Ya udah. Terserah. Mending ngomong sama Una. Ya enggak, Na?" Dia memainkan alisnya naik-turun.

"Lo pingsan kenapa? Anak-anak pada rame ngomongin lo pas gue balik."

Mendengar pertanyaan Gema, membuatku berpaling ke arah Aluna.

"Ah, iya itu," sambung Javier, "kata Bokap, ada anak dari sekolah sini yang dia tanganin.

"Oh, itu bokap lo." Aluna menghela napas. "Kemarin tiba-tiba nyesek banget abis nyemplung dada gue terus pingsan deh."

"Eh, lo kenapa? Kok gue enggak tahu?" tanya gue. Gue benar-benar enggak mengetahuinya. Karena saat itu gue ... gue ke mana, ya? "Eh, kemarin gue ke mana, Gem, Vier?"

"Lo nemenin Venya ke fotokopi buat ngambil tugasnya dia," sahut Javier, acuh tak acuh.

"Gimana, Gem, kemarin ngapain dipanggil ke ruang kepsek?" Aluna beralih topik. Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. "Perasaan lo enggak bikin masalah deh."

"Oh, itu. Cuma ngomongin tentang lomba renang bulan depan, kok."

Aluna mengeluarkan botol minumnya dari tas, lalu berusaha membuka tutup botolnya. Maka segera gue rebut botol minum itu darinya, "Sini, gue yang bukain."

Aluna enggak mengacuhkan gue. Tatapannya mengarah ke Gema, tapi dia memberikan botol minumnya kepada gue. "Pak OR enggak ada emangnya sampe Pak Kepsek yang harus nyampein ke lo?"

"Heh, Pak OR, Pak OR, enggak sopan lo, Na!" omel Javier.

Aluna terkekeh dan memasang wajah enggak bersalahnya. Gue pun mengulurkan botol air mineral kepadanya, "Nih, Na, minum."

"Makasih, Lele," katanya ke arah gue, lalu dia melanjutkan perkataannya, "Tapi bener kan Pak Abu itu guru olahraga. Enggak salah dong gue."

Gema menggeleng-gelengkan kepala. "Butuh jawaban dari gue enggak, nih?" Dia memijit pelipisnya. "Enggak usah kayaknya."

"Dih, gitu." Aluna mendelik. "Oh, gue inget bulan depan itu yang lomba renang antar sekolah itu ya? Ah, gue sih yakin lo menang. Badan kan udah oke banget tuh kayak bodyguard gue pas jalan bareng."

Salah satu prestasi Gema adalah menyandang atlet renang. Dia pun semenjak ditunjuk sebagai perwakilan SMA Extraordinary, menjadi agak sibuk karena harus latihan. Sedangkan aku ... apa kesibukanku selain jadi bucinnya Venya, dan cabut dari sekolah? Oh iya, cabut!

"Eh, cabut aja yuk! Males nih gue," kata gue.

"Ogah amat," sahut Javier. "Terakhir gue ikut cabut sama lo, nilai ulangan akuntansi gue ancur. Lo tahu kan gue lemah banget dihitung-hitungan. Emangnya lo tanggung jawab? Enggak, kan?"

Gue hanya bisa cengengesan. Faktanya  memang gue enggak bisa menaikkan angka enam jadi sembilan di kertas ulangan Javier.

"Kalo adu debat sama logika, ayo deh cabut. Karena gue bisa," sambung Javier. Dia menaik-turunkan alisnya lagi.

"Aneh. Bokap lo kan dokter, kenapa anaknya lemah hitung-hitungan?"

Javier tersenyum miris. Sepengetahuan gue, semenjak kepergian ibunya ketika kenaikan kelas 10, dia menjadi malas belajar kecuali di sekolah. Sedangkan ayahnya sibuk di rumah sakit. Sebagai anak tunggal, mungkin dia merasa kesepian. "Lo nyindir gue, Le? Awas lo, ya. Gue bakal buktiin nilai matematika gue di atas lo pas ulangan nanti."

Gue ikut-ikutan menaik-turunkan alisnya. "Oke. Gue tunggu!"

"Gem, ajarin gue. Please...." Javier memohon kepada Gema untuk mengajari gue.

"Ya udah entar pulang sekolah."

"Ng... Guys, gue pinjem Kale-nya bentar, ya," kata Aluna. []

Continue Reading

You'll Also Like

110M 3.4M 115
The Bad Boy and The Tomboy is now published as a Wattpad Book! As a Wattpad reader, you can access both the Original Edition and Books Edition upon p...