Alma's Fortune [New Version]...

By lululatifa7

9.4M 501K 86.4K

Perubahan alur dilakukan untuk menyempurnakan cerita. (Publikasi dilakukan bertahap, author pusing kuliah) H... More

The Cast
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 05
Chapter 06
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32

Chapter 25

147K 13.1K 1.4K
By lululatifa7

Ramein tiap paragrafnya yah😘
Happi rwidwinggg

Pukul 9 malam, Naura keluar kamar dengan mata sembab setelah mendapat pesan kabar dari suaminya. Ia berjalan keluar rumah, menghampiri pak Yahya di pos satpam. "Pak Yahya, gerbangnya kunci aja, setelah itu Pak Yahya boleh istirahat. Nggak usah nunggu bapak pulang. Bapak nggak pulang malam ini."

"Baik, Bu." Pak Yahya mengangguk patuh dan langsung menggembok gerbang.

Naura kemudian masuk ke dalam rumah dan melangkah kembali menuju kamarnya dengan luruhan air mata yang tak terlalu deras. Wanita berusia 42 tahun itu lantas mengeraskan tangisnya begitu tubuhnya terbaring di kasur.

Selama lebih dari 5 tahun terakhir ini, setiap kali akan tidur, Naura selalu membayangkan kelegaan yang akan ia rasakan jika waktunya sudah tiba nanti, waktu dimana ia tidak akan susah payah memendam luka lagi. Dan sepertinya, waktu itu akan tiba sebentar lagi.

*****

"Kenapa kamu?" Selepas dari kamar mandi, Alma mendapati Adriel yang sudah duluan berbaring di kasur tengah menatap kosong langit-langit kamar mereka. Alma kemudian berbaring di sebelah suaminya itu, bertanya sekali lagi, "Mikirin apa sih?"

Sementara itu yang ditanya pun bingung dengan perasaannya sendiri. Tubuhnya lantas ia miringkan hingga berhadapan langsung dengan wajah Alma. "Perasaan aku tiba-tiba nggak enak."

"Konteks?" tanya Alma.

Kepala Adriel menggeleng ragu, masih belum tahu pasti apa yang membuatnya merasakan perasaan seperti ini. "Nggak tau juga. Waktu bengong tadi, tiba-tiba hati aku kerasa nggak enak."

Alma paling tidak bisa jika harus menerka-nerka, apalagi menjadi peka. Ia tidak ahli dalam hal itu. Satu hal yang menurutnya paling mungkin—mungkin Adriel kelelahan karena sudah berpikir keras sejak pagi. "Ya udah, mending sekarang istirahat awal awal, jangan kemaleman," ujarnya seraya menarik selimut untuk mereka berdua.

Adriel reflek melihat jam dinding, lalu kembali melihat Alma dan menggelengkan kepalanya. "Nanti ah, masih jam 9. Aku masih pengen ngobrol sama kamu. Seharian kita nggak ketemu."

"Masih kangen," imbuhnya, semakin dekat-dekat pada Alma, mencari-cari posisi yang nyaman untuk bermanja.

Ini sudah 10 detik dan Adriel masih ribet mencari posisi. Alma hanya memandangi tanpa berniat memberi saran, membiarkan suaminya itu menemukan posisi ternyamannya sendiri.

Setelah mencoba beberapa posisi, Adriel memutuskan untuk sedikit menurunkan tubuhnya agar kepalanya bisa terbenam di ceruk leher Alma. Itu posisi ternyamannya. "Ni jadinya mau ngobrol apa mau ngapain?" tanya Alma.

Lenguh nyaman mulai keluar lewat suara berat Adriel. "Ya ngobrol. Tapi kalo abis ngobrol kamu pengen kita ngapa-ngapain, ya, ayok aja."

"Bukan itu maksudnya!"

"Hmm?" balas Adriel yang sudah mulai terlena dengan rasa hangat dan nyaman di dalam ceruk leher Alma. "Terus maksudnya apa dong?"

"Kamu biasanya kalo kepalanya udah ngumpet gini, 'kan pasti nggak lama lagi tidur. Jadi kamu ni mau ngobrol apa mau tidur?" Itu maksud Alma.

"Ngobrol."

Adriel lantas mendongakkan kepalanya untuk menjadi pemulai obrolan. "Kamu seharian tadi ngapain aja?"

"Mmm... bersih-bersih dapur, nata baju-baju yang abis di-laundry ke lemari, nonton, makan, main HP, check out barang—oh! Iya... tadi aku beli barang banyaaak banget. Nanti kamu jangan kaget kalo ada banyak paket dateng."

"Sebenernya nggak mau boros, tapi aku gabut. Nggak tau mau ngapain lagi. Jadi ya udah, aku check out check out-in barang," imbuh Alma.

Sebuah kecupan di leher mengekspresikan kegemasan Adriel terhadap Alma yang bercerita dengan antusias. "Besok-besok kalo emang pengen belanja nggak usah nunggu gabut. Nggak ada kata boros selagi itu bikin kamu seneng. Kalo suka, dibeli aja. Okey?"

"Tapi tadi aku pake rekening aku sendiri sih," ujar Alma mengkode.

"Loh?" Adriel mengernyit kaget. "Kenapa nggak pake rekening aku?"

"Ya nggak papa."

"Ya papa dong, sayang." Adriel bangkit dari baringannya, mengambil ponselnya dari nakas. "Abis berapa tadi? Biar aku ganti."

Alma tidak mau menjawab dengan suara. Kalau mulutnya terbuka sedikit saja, senyuman yang ia sembunyikan bisa-bisa tampak jelas. Pasalnya, Adriel sangat peka dan manis. Alma akhirnya menggunakan jari tangannya. Menunjukkan pada Adriel satu jari kanan dan lima jari kiri. "Lima belas juta?" terka Adriel.

"Hmmm."

Adriel langsung mentransfer nominal yang Alma beritahukan seraya senyum-senyum akibat cara lucu istrinya itu ketika menjawab pertanyaannya.

Setelah terkirim, Adriel meletakkan lagi ponselnya ke nakas dan kembali ke posisi semula. "Mulai sekarang, belanja pake uang kamu sendiri aku anggap haram. Nggak boleh diulangin lagi," katanya memperingati.

"Hmm."

Adriel sedikit menaikkan kepalanya agar tak terlalu tenggelam saat berbicara. "Sayang, kamu mau aku kasih tau sesuatu nggak?"

"Nggak."

"Ck."

"Ya, mau. Kasih tau apa?"

Adriel sudah tersenyum bahkan sebelum ia bicara. Ia tidak sabar melihat respon Alma. "Tapi kamu harus marah, ya?"

"Hah?" Alma mendelik. Peringatan yang sangat aneh. "Orang mah 'tapi kamu jangan marah, ya?' gitu. Lah ini, malah disuruh marah."

"Ya soalnya ini beda. Kamu harus marah," tegas Adriel.

"Apa?"

Kedua tangan Adriel membentuk teropong lalu ia arahkan ke telinga Alma dan berbisik, "Aku punya sekretaris baru. Cewek."

"...."

"Jadi sekretaris aku 2. William sama Laurel—namanya Laurel."

"...."

Adriel berdiam 10 detik untuk mengamati Alma yang kini masih terdiam dengan raut wajah yang sulit diartikan. "Kamu marah?" tanyanya berharap.

"Enggak."

Alma diam karena ia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa.

"AAAH. Harusnya maraaah!" gerutu Adriel menendang-nendang selimut.

Alma mendelik dan ikut tersulut nada kesal Adriel. "Ya nggak pengen marah kok dipaksa marah!"

"Ck! Ya udah lah." Adriel berbalik badan, memunggungi Alma dan memilih bermain ponsel. Pundung ceritanya.

Nasib baik bagi Adriel, Alma sedang sudi untuk membujuk. Perempuan berkuncir cepol longgar itu mendudukkan dirinya, mendekat dan menguyel-uyel pipi suaminya yang sedang menggembung. "Emang kenapa aku harus marah?"

"Nggak tau," jawab Adriel dingin.

"Kok jadi kamu yang marah?"

Adriel menggeleng berulang kali. "Aku nggak marah."

"Terus ini namanya apa dong?" Alma memencet-mencet bibir manyun suaminya itu.

Pada mulanya Adriel ingin mencoba mendiamkan Alma, tapi ternyata ia tidak bisa. Percobaan ngambek-nya itu lantas ia hentikan dan langsung memeluk Alma seraya merengek-rengek dengan isak tangis palsu.

"Maunya apa sih ini?" tanya Alma bingung.

"Mau disayang."

"Kan udah."

"Maksudnya dicinta," ralat Adriel.

Alma sontak mengernyit. "Hubungannya cinta sama sekretaris baru kamu apa deh?"

"Kalo kamu cinta harusnya kamu cemburu waktu aku kasih tau kalo sekretaris baru aku itu cewek. Terus kalo kamu cemburu harusnya kamu marah. Tapi kamu nggak marah," celoteh Adriel.

Kepala Alma manggut-manggut, baru paham. Ia lantas mengangkat alisnya, kembali menatap Adriel. "Aku rasa nggak ada hal yang perlu aku cemburuin."

"Ya iya—tapi kan dia sekretaris aku, bakal sering sama aku. Masa sedikitpun kamu nggak cemburu atau kesel gitu?"

"William juga sekretaris kamu, berarti aku juga harus cemburu sama dia?" balas Alma sarkas.

Adriel langsung menghela napas dan mencium kening Alma sebagai tanda menyerahnya. Ia kemudian kembali berbaring dengan kepala dibenamkan di ceruk leher harum seperti semula. Niatnya, ia ingin tahu sudah seberapa jauh cinta Alma untuknya melalui pembahasan soal sekretaris baru, dengan harapan istrinya itu akan cemburu. Ternyata, hasilnya jauh dari harapan.

"Aku nggak cemburu karena menurut aku nggak penting buat cemburu tanpa alasan, bukan karena aku nggak cinta sama kamu," ujar Alma yang langsung membuat Adriel mendongak.

Adriel mengerjap penuh harap, bertanya, "Jadi, udah cinta?"

"Meskipun belum 100% tetep udah cinta, 'kan, namanya?" Alma balik bertanya.

Adriel mengangguk seraya tersenyum. "Emang udah berapa?" tanyanya penasaran.

"Kayaknya—udah lebih dari 50%?" jawab Alma ragu-ragu. "Tapi di bawah 100%."

"70? 80? 90? 99?!" tanya Adriel bertubi-tubi.

"Em—51% sih...."

Lagi dan lagi jauh dari harapan. Dan menyebalkan. Namun anehnya Adriel tidak bisa kesal barang sebentar. Ia kini malah mementokkan senyumnya hingga lesung pipinya tampak, menarik dan mencium punggung tangan Alma lembut.

"Yang bisa bikin persenannya cepet nambah, biasanya apa?" tanya Adriel.

Alma mengedik samar. "Nggak tau. Nggak tentu."

"Kamu paling suka kalo aku ngapain?"

"Kalo kamu nggak cerewet dan nggak banyak tanya," jawab Alma.

Tertampar dan tersenyum. Adriel menghembuskan napasnya, akan mulai mencoba untuk tidak melakukan hal yang tidak Alma suka. Ia tidak akan banyak tanya.

"Aku mau tidur," ujar Alma yang kemudian langsung memejamkan mata begitu saja, tidak ada ucapan selamat malam atau sejenisnya.

Menikahi perempuan antiromantis dan tidak pekaan adalah kemauan Adriel sendiri. Meski terkadang sikap cuek Alma itu menjengkelkan, tapi bukan masalah besar baginya. Ia yakin, sikap itu bukan berarti Alma tidak sayang, tapi Alma hanya menjadi dirinya sendiri. Toh, sejak awal memang sikap dingin itu yang membuat Adriel jatuh cinta.

*****

Pukul 07.30 pagi, Laurel sudah sampai di kantor karena ia memang diharuskan datang lebih dahulu sebelum atasannya. Setelah meletakkan tas ke meja kerjanya, ia masuk ke ruangan atasannya untuk menyiapkan berkas-berkas yang harus digarap hari ini, pula sedikit merapihkan sudut-sudut lainnya. Hari kerja keduanya ini ia awali dengan senyum manis—awalnya—hingga sebuah bingkai foto yang terpajang di nakas membuat senyumnya perlahan tergantikan menjadi wajah penasaran.

Laurel mengambil bingkai foto itu, memandanginya dengan serius. "Ini istrinya pak Adriel?" gumamnya dengan satu alis yang terangkat.

"Kamu hanya boleh menyentuh benda yang berkaitan dengan pekerjaan, Laurel. Bukan barang pribadi seperti gini," tegur William yang masuk tiba-tiba dan langsung mengambil alih bingkai foto yang Laurel pegang, kemudian meletakkannya kembali ke tempat semula.

Laurel membelakangkan tangannya, tersenyum kikuk pada William sambil melirik paper bag yang tengah William bawa. "Itu apa, Wil?"

"Foto-foto couple goals," jawab William seraya mengeluarkan satu persatu bingkai foto dari dalam paper bag. Tujuannya kemari yakni menjalankan tugas dari bos muda yang memerintah untuk memasangkan lebih banyak bingkai fotonya dan istrinya di ruang kerja.

Laurel membulatkan mata ketika melihat delapan bingkai foto kecil-kecil dan satu bingkai agak besar untuk dipajang di dinding. "Hah? Sebanyak itu?"

"Biar nggak cepet kangen sama istrinya katanya," jawab William.

Laurel terkekeh. "Ada-ada aja," katanya lantas keluar dari ruangan.

Saat membuka pintu dan akan melangkah keluar, Laurel hampir menubruk dada bidang pria berjas yang hendak masuk ke dalam. "Eh—Pak Adriel," sapanya, "selamat pagi, Pak."

Atasannya itu hanya mengangguk kemudian hendak masuk ke dalam ruangan. "Eh sebentar, Pak," cegah Laurel.

Adriel menaikkan alisnya, meminta Laurel segera menyampaikan maksudnya.

"Mau dibuatkan apa? Kopi atau teh?" tanya perempuan yang hari ini rambutnya terkuncir rapih itu.

"Nggak perlu. Saya sudah bawa juice buatan istri saya."

Laurel mengangguk paham dan senantiasa tersenyum sopan. "Kalau camilannya mau apa, Pak?"

"Nggak usah. Saya sudah dibawakan buah potong sama istri saya."

"Ah begitu..." Laurel berpikir cepat, apalagi yang belum ia tanyakan. "Eum—nanti makan siangnya... mau apa, Pak? Biar saya sampaikan ke koki kantor."

"Nggak usah. Saya nanti pulang jam 12, mau lunch di luar sama istri saya."

Laurel mengernyit dengan pernyataan atasanya yang akan pulang jam 12 hari ini. "T—Tapi, Pak, jam setengah 2 nanti Bapak ada jadwal pertemuan dengan calon tender proyek perumahan yang di Jagakarsa, Pak."

"Pindahin jadwalnya ke jam jam sebelum jam 10, atau re-schedule besok aja," perintah Adriel kemudian berlalu masuk.

Laurel mendesah kesal menujui mejanya. Ia merengut sambil menyahut tablet kerjanya untuk mengatur ulang jadwal. "Gue kira ucapan William waktu itu cuma bercanda."

Continue Reading

You'll Also Like

750K 36.9K 34
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
723K 40K 34
#35 - teenfiction 02/08/2018 #7 - Care 08/01/2020 "Atas dasar apa lo peduli sama gue? Keluarga gue aja nggak peduli sama gue. Bahkan sahabat lama gue...
942 504 19
Cerita ini berkisah tentang Melinda, seorang gadis yang berusaha memperoleh keadilan dan kebenaran dari orang orang sekitarnya. Hidup tragisnya berm...
7.6M 502K 55
[ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ] Ini kisah Keysheva, seorang dokter muda cantik yang sangat menyukai lelaki bernama Angkasa, temannya dulu saat masih SMA, oh ralat bahkan...