The Only Drugs That Allow | N...

By deimondkim

15.8K 2K 870

[ BTS - NamJin ] [slight - TaeJoon/JoonTae] Keinginan Seokjin sederhana, hanya ingin kerja sambilan sebagai... More

Attention's love:
1st.
2nd.
3rd.
5th.
6th.
7th.
8th.
9th.
10th.
11th.
12th.
13th.
14th.
15th.
16th.
17th.
18th.
19th.

4th.

726 115 27
By deimondkim

Dan, ternyata biasa saja. Ujung-ujungnya Seokjin dan Namjoon hanya terduduk saling tatap di ruang tamu. Di lantai. Karena perabot di dalamnya sudah dijual Seokjin sebulan lalu.

Mereka sama-sama mengesampingkan pengungkapan isi hati dan lebih terfokus pada masalah pelik Seokjin. Cenderung Namjoon faktornya. Seokjin tidak mau bercerita soal aib dan kecerobohannya, tetapi kedua mata indah Namjoon memelas, atau sesuatu seperti itu dan Seokjin tidak tahan untuk menghiraukan.

"Aku datang ke kota ini bermodal beasiswa dan uang sedikit. Aku kabur. Karena toh, keluargaku tidak menginginkanku di sana karena terlalu malu soal ... keanehanku."

"Apa itu?"

Seokjin tengadah. "Aku menyukai laki-laki."

Namjoon bersandar lebih nyaman di seberangnya. Melipat lengan, memamerkan otot-otot bagus itu dan melipat satu lutut. Tersenyum seolah sudah tahu dan tidak menganggapnya sesuatu yang perlu dipusingkan.

"Di negaraku, itu tabu."

"Kita pernah dari negara yang sama kalau begitu."

Seokjin lupa. Mereka satu negara, hanya berbeda kota dan mungkin jalan kehidupan. Seokjin bodoh, makinya dalam hati.

"Lalu? Mereka benar-benar tidak mencegah atau mencarimu?"

"Tidak. Mereka punya anak yang lebih baik dan menjanjikan masa depan."

"Kakak? Adik?"

" ... kakak."

"Rebel, i like it." Seokjin mengernyit, dia melanjutkan, "sudah berapa lama sejak itu?"

Seokjin terdiam berpikir, sebenarnya tidak ingat pasti. Rasanya sudah sangat lama. "Dua tahun, mungkin."

"Lalu?"

"Awal-awal hidup di sini, sangat sulit, tentu saja. Untung kemampuan berkomunikasiku baik. Aku bisa tinggal di asrama kampus beberapa bulan sampai harus kesulitan makan karena belum punya penghasilan memadai. Dari melamar jadi pelayan resto cepat saji, pembagi flyer, pencuci mobil, juga pengantar koran. Aku menghemat sebisanya, bahkan hanya makan sehari sekali kalau perlu. Namun, ternyata semua itu malah mengacaukan jadwal kuliah dan nilaiku turun. Terpaksa, aku merelakan beberapa dari itu demi memperbaiki nilai dan tetap memiliki beasiswa. Di tengah jatuh bangun itulah, aku bertemu dengannya."

Namjoon belum bergerak di posisinya. Seokjin memeluk lutut, merasakan punggungnya dingin karena dinding di belakang terlalu lekat. Dia yang sengaja menekan, seolah ingin melesak ke dalamnya dan hilang dan tidak perlu menceritakan apa pun.

Namun, Seokjin sudah janji. Dia ingin berubah. Mulai memercayai orang lain, dan pilihannya jatuh pada Namjoon.

"Aku tidak sengaja menumpahkan kopinya ke laporan neraca yang tengah dia baca. Dengan panik kukatakan, aku bisa membuat kembali semua itu asal diberikan data mentahnya, dan kulakukan langsung di depan matanya. Siapa sangka dia menyukainya dan tertarik lebih karena neraca yang kubuat lebih ringkas dan mudah dipahami juga dipresentasikan. Keesokan harinya, dia datang ke tempatku berkerja lagi. Dia menawarkanku kelancaran kuliah serta jaminan hidup sehari-hari, jika aku bisa menjadi asisten pribadinya alih-alih merasakan kerja nyata. Aku tentu langsung mengambilnya karena tidak punya pilihan. Keadaan membuatku menerima tanpa memikirkan risiko di kemudian hari. Aku masih terlalu bodoh saat itu.

Awalnya masih wajar. Dia memberikan upah, sesuai dengan apa yang kukerjakan. Dari uang sampai barang. Aku tentu termotivasi dan mengerjakan semua pelaporannya dengan baik. Apalagi karena itu, aku tidak perlu lagi bekerja dan fokus kuliah. Aku juga diberikan apartemen. Bisa kau bayangkan sesinting apa aku saat itu? Dia sungguh memanjakanku. Aku tinggal berkata, esoknya aku mendapatkannya.

Semua masih bisa kukatakan sebagai jalan keluar yang menjanjikan, ketika akhirnya dia menampakkan apa yang selama ini ada di otaknya tiap kali hanya diam melihatku bekerja."

Seokjin merasakan Namjoon bergerak. Pria itu meluruskan cara duduknya. Jadi tegap dan lebih fokus. Tidak mengatakan apa pun. Seokjin menelan ludah.

"Dia tahu soal penyimpangan orientasiku, karena dia pandai bersilat lidah. Selain itu dia memang pendengar yang baik. Aku yang bodoh tentu langsung suka. Dengan mudah, dia menguasaiku. Dalam uang dan setiap barang yang diberikannya, aku semakin diikat, tanpa kusadari."

Seokjin memainkan jemarinya. "Maksudku, aku tidak punya siapa pun di sini. Aku berjuang hidup sendiri dan dia memberikan segala hal yang kubutuhkan. Bagaimana aku bisa menolak? Aku ... tentu saja memberikan semuanya. Selain rasa percaya dan diriku sendiri, aku punya apa?"

Namjoon menurunkan lututnya dan duduk bersila. Seokjin seperti diadili hanya dengan ditatap lurus begitu.

"Sampai, suatu saat kusadari itu semua salah. Dia sudah punya istri dan dua anak di kota sebelah. Ternyata secara bertahap, aku jadi simpanan dan pelampiasan. Kedatangannya di kota ini untuk keperluan bisnis semata. Maka dari itu kami terkadang tidak bertemu selama sebulan, tapi tugas yang diberikannya tetap lancar, begitu pun upah dan hadiah yang kuperoleh. Dan ... saat dia datang, aku ... menghabiskan waktu bersama. Aku tidak punya pilihan. Merasa berhutang dengan semua kenyamanan, yang diberikan, yang berikutnya kusadari itu salah. Aku bekerja untuk itu. Mengerjakan pelaporannya. Tapi, dia selalu punya cara untuk ... kau tahu? Menyentuh. Um. Tidak harus kusebutkan dengan detail, 'kan?"

Namjoon menggeleng ringan. "Tidak perlu. Aku sangat paham apa itu. Lanjutkan saja."

Seokjin merasakan wajahnya panas. Senyum Namjoon memang terukir lugas, tapi perginya secepat munculnya.

"Seleranya, sedikit aneh dan kasar. Aku mencoba memberi tahu, tapi dia akan marah dan semakin kasar. Aku mulai sadar itu tidak benar, dan perlahan melawan." Seokjin mengerjap, bagaimana bisa lupa malam yang sadis itu?

"Puncaknya, aku kabur. Meninggalkan apartemen itu dan syukurlah mendapat flat ini. Dengan sisa tabunganku. Aku masih sesekali kerja sambilan tanpa diketahuinya. Dia mencariku dengan gigih setelahnya sampai akhirnya ditemukan, aku mengembalikan apa pun darinya yang masih melekat di badanku. Aku mengusirnya sekuat aku bisa, dengan cara apa pun setiap hari. Sampai suatu saat aku dibantu Hoba dan Ma'am. Yang kebetulan lewat dan menyaksikanku tarik ulur dengan dia. Karena menemukan orang satu negara, aku langsung ikut tanpa ragu dengan Hoba. Mulai dari sana, pelan-pelan aku memperbaiki diri yang berantakan, dan sekali lagi untungnya dia dipindah kembali ke kotanya.

Tentu saja aku tetap harus mengembalikan semua uang yang diberi. Apalagi dia dengan sombong berkata, aku tidak akan bertahan tanpa dirinya. Itu kujadikan motivasi. Sampai sekarang, aku tetap pada pendirian dan terus berusaha melunasi semua uang sialan itu. Biaya kuliahku sungguh tinggi sayangnya, dan dia melunasinya sampai selesai. Sungguh pintar."

Namjoon menurunkan lengan, meremas-remas pergelangan kakinya sendiri. Seokjin lebih tenang setelah melewati bagian paling memalukan tadi.

"Ma'am dan Hoba sangat baik, tapi aku tidak bisa melibatkan mereka lebih dari sekadar menolongku. Aku tidak ingin mereka direpotkan lebih dari yang seharusnya. Dan, sekarang, termasuk dirimu, Namjoon."

"Aku kenapa?"

"Atas bantuanmu tadi pagi, terima kasih, tapi cukup di sana saja. Aku ...."

"Bukankah kamu mau kita lebih dari teman?"

Seokjin terdiam.

"Kamu sudah sangat luar biasa terbuka seperti ini padaku, dan aku menolak hanya menganggap ini pep talk tidak berguna."

"Tapi, Namjoon ...."

"Aku baru bisa tenang jika melakukan sesuatu. Kamu tidak sendiri, sweetie."

Seokjin tengadah begitu Namjoon bangkit berdiri dan mendekatinya. Berlutut satu kaki untuk memeluk lutut sendiri dan tersenyum.

"Aku tidak memintamu langsung menjadi milikku, karena itu akan sangat tidak tahu aturan dan liar. Walau sebenarnya aku ingin." Namjoon menatap bergantian sepasang mata Seokjin lalu ke bibir yang setengah mengatup itu, "tapi, aku ingin kita pelan-pelan saling mengenal. Aku sangat menghargai kepercayaan yang sudah kamu berikan ini. Suatu saat, aku pun akan menceritakan diriku juga. Supaya adil."

Seokjin saling tatap lagi dengannya. Oh. Apakah mata itu berpendar lagi? Atau, apa itu yang berkilauan di dalam sana? Apa Namjoon menyimpan kumpulan bintang di matanya? Atau, oh, sejak kapan ada titik hitam di bawah bibirnya? Itu lucu sekali.

Namjoon tertawa rendah, menyadarkan Seokjin. Ternyata jari kanannya sudah menyentuh dagu dan wajahnya terlalu dekat.

"Aku juga memikirkan hal yang sama, sweetie. Sayang sekali itu untuk lain kali. Sekarang, kurasa kita berteman dulu. Pelan-pelan. Aku ingin menikmati setiap prosesnya sambil melindungimu. Aku tidak mau hubungan instan yang bisa mengingatkanmu pada cecunguk itu. Apa begitu lebih baik?"

Seokjin mengerjap. "Kurasa iya."

Namjoon terkekeh. Mencolek ujung hidung bangir Seokjin. "Walau kuakui, kamu cukup berani mengajakku masuk ke flatmu malam-malam begini dan mengira aku tidak akan melakukan apa pun padamu." Suaranya rendah dalam. Membuat Seokjin begitu saja meremang.

Seokjin tergagap, sulit mengatakan sesuatu. Namjoon sekali lagi mencolek hidungnya dan menarik diri. Tepat saat itu ponselnya berbunyi.

"M-mau minum sesuatu. Maaf, aku lupa menjamu dan langsung menarikmu duduk. Tunggu sebentar."

"Tidak perlu repot, sweetie."

Seokjin sudah membuka kulkasnya dan untungnya menemukan sebuah air mineral. Tinggal satu-satunya. Astaga.

Seokjin berpaling. Nyaris menabrak kulkas dengan punggung karena Namjoon sudah di depannya dengan long coat sambil mengantungi ponsel.

"Sudah mau pergi?"

"Yep." Namjoon mengangguk, meraih botol dingin di tangan Seokjin dan menegaknya. Mata terpaku satu arah sambil minum sampai menaikkan dagu untuk menegak habis. Sama sekali tidak memutus kontak matanya ke Seokjin ketika mengusap mulut dengan punggung tangan.

Seokjin menerima botol itu. Tangan mereka bersentuhan, dan Seokjin baru merasakan wajahnya panas. Sangat panas sampai ke telinga.

Namjoon merentangkan tangannya ke pintu kulkas. Seokjin meremas keras botol ke dadanya, saat wajah Namjoon mendekat. Nyaris hidung mereka bersentuhan.

"Undangan lain kali, kuharap bisa lebih dari sebotol air yang kunikmati. Aku cukup puas saat ini. Sayang sekali aku harus pulang."

Seokjin mengeratkan remasan botolnya juga memejamkan mata saat semakin mendekatkan wajah. Jantung Seokjin memukul-mukul dadanya seolah mau lompat keluar karena aroma wangi maskulin Namjoon memenuhi paru-parunya. Bahkan, desah napas berat pria itu menyentuh wajahnya.

Oh, DEAR LORD!!

"Sampai ketemu besok, sweetie pie."

Seokjin membuka mata. Sentuhan yang ditunggu tidak datang dan ternyata Namjoon sudah di pintu keluar. Bagaimana .....

"Istirahatlah. You did great today. See ya." Lalu membuka pintu dan melambai singkat.

Seokjin menurunkan tangannya pelan, masih merasa kurang yakin dengan apa yang barusan terjadi. Baru saat keheningan sekitar disadarinya, Seokjin menatap botol remuk di tangan. Tutupnya tidak ada. Begitu saja ingat Namjoon yang minum lahap dengan tatapan lurus padanya.

Tatapan yang ... lapar?

Seokjin menatap mulut botol itu dan menyentuhkannya ke bibir sendiri. Menegak setetes air di dasar botol. Setelah menelannya, wajah Seokjin panas lagi. Dengan pelan dijauhkannya botol itu, lalu menyentuh bibirnya sendiri.

Gerakan Namjoon yang menyeka bibir itu, kenapa bisa sangat seksi? Dan, demi apa Seokjin jadi tambah malu setelah menyentuh botol yang sama?!

Indirect kiss ....

Astaga. Seokjin sudah sinting. Iya. Dia pasti sudah gila karena membuka dirinya seperti itu.

Apa kali ini tindakannya benar? Seokjin mau sekali jika jatuh pada pria yang tepat.

Tidak akan dimanfaatkan lagi, bukan?

Soalnya, jantung Seokjin masih berdetak kencang dengan menyenangkan.

☕>>>

Continue Reading

You'll Also Like

6.3K 949 25
"Dia ingin menikah dalam waktu dekat. Aku tidak bisa mengabulkannya, jadi aku yang meninggalkannya." _Kapten Kim Namjoon, tim Alpha_ "Padahal hanya s...
53.3K 7.8K 23
Inginnya sederhana; berawal dari teman masa kecil, lalu berujung menjadi teman hidup selamanya. Sekiranya itulah yang ada di dalam benak Taehyung ket...
105K 3.9K 16
Nasib sial menimpa remaja laki-laki yang tidak sengaja melihat seorang pembunuh berantai yang sedang menyiksa korbannya di salah satu gang Niat hati...
160K 27.8K 59
[END] Hidup dan mati. Ada kehidupan pasti ada kematian. Keduanya saling mengikat bagai dua sisi mata koin. Tentang perjalanan seorang pemuda yang mem...