Dewangga [JJK]

By Purplelight01_

97.5K 11.4K 1.8K

"Seharusnya aku hadir sebagai penyempurna ikatan rumah tangga mereka, bukan dituntut untuk menjadi lebih dari... More

Prolog
Dewangga dan dunianya
Merasa berhak
Collapse
Delsoon
Memaksakan diri
Sebuah usaha membahagiakan
Hanya harap
Rasa sakit sebenarnya
Kalian mau apa?
Marah
INFO!
Tidak baik-baik saja
Kondisi Dewangga
Cemas
Akan Dihapus
Kenapa harus aku?
Baikan?
Kecewa
Berjuang bersama
Kebahagiaan Kecil Dewangga
Treatment

Sekali lagi

1.3K 125 19
By Purplelight01_

Sejak sadar dua hari yang lalu, Dewangga memang tak banyak bicara. Saat ini pun demikian. Anak itu hanya berbaring dengan posisi menyamping menghadap jendela kamar rawatnya. Pandangannya kosong, kontras dengan isi kepalanya begitu berisik. Banyak yang ia pikirkan, tetapi sulit dikatakan.

Sampai tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Pemuda itu refleks berbalik dan mendapati Daniel berdiri di ambang pintu.

"Wang," sapa Daniel.

Dewangga memaksakan seulas senyum. Ia tahu Daniel dan Hyena sudah mengetahui semuanya. Sang papi terpaksa membeberkan semua karena tahu Dewangga butuh mereka. Awalnya, Dewangga marah karena papinya dengan sengaja ingkar. Namun, setelah dipikir lagi ... apa yang orang tuanya bilang benar. Dewangga memang butuh teman sekarang.

"Gimana kondisi lo?"

"Baik," sahutnya. "Lo bolos? Kok ada di sini?"

Daniel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sebenarnya tidak bisa dikatakan bolos. Daniel izin pulang lebih cepat karena lambungnya kembali berulah. Efek telat makan dan pikiran yang semrawut. Namun, dalam perjalanan pulang, karena tidak tenang memikirkan kondisi Dewangga, lelaki itu akhirnya memutuskan untuk mampir.

"Gue cuma izin pulang cepat, kok. Bukan bolos."

"Kenapa?"

"Biasalah, kumat."

"Terus kenapa ke sini?"

"Karena kondisi lo yang bikin asam lambung gue naik, jadi gue harus ke sini buat netralinnya."

"Lo ... enggak belok, 'kan?"

"Enggaklah anjir, gue masih suka on-off kok kalau lihat cewek cantik."

"Hah?"

"Udahlah, bocil enggak usah tahu," katanya sembari mengacak rambut Dewangga. "Lo kapan mulai treatment?"

"Belum tahu. Kalau hasil tesnya bagus, dalam waktu dekat gue udah mulai treatment."

Daniel mengangguk mengerti. "Lo kuat, 'kan? Gue bisa nemenin kapan pun lo butuh. Jadi, jangan nyerah. Ayo berjuang sekali lagi. Sembuh dan ayo jadi saingan gue lagi di sekolah."

"Lo enggak takut? Nanti ngerasa enggak enak lagi, terus makan makanan pedas sampai masuk rumah sakit."

Daniel meringis, kemudian terkekeh. "Mau jawaban jujur apa bohong?"

"Jujurlah."

"Oke. Selama ini gue enggak pernah suka sama ambisi lo, Wang. Bukan takut tersaingi, tapi karena ambisi lo bikin lo babak belur. Lo berhak istirahat kalau capek. Lo juga boleh berhenti kalau ngerasa badan lo udah enggak sanggup. Itu manusiawi menurut gue," terang Daniel. "Kenapa gue bisa ngambil langkah ekstrem kayak kemarin sebenarnya bukan karena kasihan, tapi gue pengin lo berhenti. Berhenti menyiksa diri. Gue tahu, ini, ini, dan ini enggak digerakkan sesuai kehendak lo, tapi karena nyokap lo. Jadi, gue mohon sekali ini aja ... please kasih kesempatan buat tubuh lo istirahat. Sekarang, lo fokus aja buat sehat," lanjutnya setelah menunjuk tangan, kaki, hingga kepala Dewangga bergantian.

Dewangga tercenung. Jujur, ia sedikit terkejut mendengar penuturan Daniel karena pemuda itu tidak pernah membicarakan hal ini sebelumnya.

"Wang, gue, Hyena, sama yang lain pengin lo sembuh. Jadi, lo harus sembuh oke? Kalau sakit banget, bagi sakitnya sama kita."

"Sakit kok dibagi-bagi." Dewangga menyahuti sembari membalik tubuhnya membelakangi Daniel.

"Daripada dosa yang dibagi-bagi?"

"Jawab mulu mentang-mentang peringkat satu."

"Elo juga ngeyel mentang-mentang peringkat dua."

Damian tersenyum kecil mendengar perdebatan Dewangga dan sahabatnya. Sebenarnya sudah cukup lama berdiri di luar, tetapi ia tak langsung masuk karena ada Daniel di dalam sana. Lelaki itu tidak ingin mengganggu. Namun, akhirnya Damian memutuskan untuk masuk karena ada yang harus disampaikan.

"Halo, Daniel."

Merasa terpanggil, Daniel langsung menoleh. "Eh, halo, Om."

"Masih siang kok udah di sini? Masih pakai seragam lagi. Kamu bolos?"

"Enggak, Om, sumpah! Tadi sakit perut makanya pulang cepat."

"Sakit perut apa sakit perut?"

"Seriusan sakit perut, Om. Saya, tuh, kalau maag udah kambuh suka lebay, berasa mau mati Om. Makanya izin pulang cepat."

Damian tertawa, sebelah tangannya terangkat mengusap puncak kepala Daniel. "Makanya jangan suka telat makan. Harus bisa atur waktu. Kapan waktunya belajar, main, makan, dan istirahat," ujarnya kemudian. "Om enggak bisa jagain Awang, makanya Awang sampai sakit. Jadi, kamu harus pintar-pintar jaga diri, ya. Jangan sampai sakit."

Dewangga merasa bersalah mendengar ucapan papinya. Andai saja ia tidak sakit, mungkin sang papi tidak akan sesedih ini. "Pi, aku sakit bukan karena Papi. Ini emang udah takdir aku. Aku harus terima, 'kan?"

"Tapi, kalau Papi sama Mami enggak memaksakan kehendak dan menuntut kamu menjadi apa yang kami mau, mungkin kamu enggak akan seperti ini, Nak."

"Semua yang aku lakukan bukan karena tuntutan Papi sama Mami, tapi baktiku sebagai seorang anak. Jadi, jangan pernah merasa bersalah atas apa yang terjadi sama aku, Pi. Papi sama Mami cuma perlu nemenin aku sekarang karena aku butuh kalian di samping aku. Aku mau sembuh kok, Pi. Aku mau berjuang sekali lagi."

"Ini baru jagoan Papi. Semangat, ya, Nak. Hasil tes kamu bagus, jadi kemungkinan dalam waktu dekat ini terapinya bisa dijadwalkan."

Daniel mematri senyum. Sakitnya tadi mendadak lenyap mendengar kalimat itu terucap dari bibir Dewangga langsung. Lega sekali rasanya karena pada akhirnya Dewangga mau berjuang, tak langsung menyerah menunggu kematian.

"Daniel udah makan?"

"Belum, Om."

"Makan dulu, ya. Biar Om titip sama mamanya Awang. Kebetulan lagi di kantin."

"Nanti aja, Om. Belum enak perutnya. Saya juga cuma mampir sebentar, kok, mastiin Awang enggak tidur terus."

Lagi, Damian tersenyum. Ia tak lupa bagaimana anak itu berulang kali menghubunginya untuk sekadar menanyakan kondisi Dewangga. "Ya udah, kamu pulang dulu sekarang dan langsung istirahat. Kalau enggak sibuk, Om pasti kabarin kamu terus kok. Jangan khawatir."

"Iya, Om. Makasih, ya," sahut Daniel. Lelaki itu kemudian melirik Dewangga, lantas berkata, "Wang, gue balik dulu, ya."

"Iya hati-hati."

***

Pulang dari rumah sakit tadi Daniel benar-benar langsung tidur. Ia malas melakukan apa pun, bahkan sekadar makan  siang. Nafsu makannya juga belum kembali. Padahal, sang bunda sudah berulang kali memintanya makan. Entahlah, ia merasa begitu berantakan. Perasaannya juga masih tak bisa didefinisikan setelah mendengar kebenaran kondisi Dewangga tempo hari.

"Daniel, Awang sakit. Kanker darah. Tadinya Awang mau berobat, asal Om enggak bilang ke kamu sama Hyena soal penyakitnya, tapi Om tahu Awang kesepian. Jadi, kalau enggak keberatan ... Om minta kalian temenin Awang, ya."

Kalimat tersebut serupa guntur di siang bolong. Meskipun menaruh curiga sejak lama, hal itu tetap menjadi kabar yang paling tidak ingin Daniel dengar.

"Wang ...." Pemuda itu mengigau dalam tidurnya.

Sang bunda yang sejak tadi duduk di sebelahnya, turut terluka menyaksikan hal itu. Jika apa yang terjadi sedemikian besar dampaknya pada Daniel berarti seorang Dewangga memang sebesar itu pula peran dan pengaruhnya di hidup Daniel.

Sejak pulang tadi Daniel demam, terhitung dua kali juga anak itu muntah. Fara bingung harus bagaimana karena Daniel menolak makan, minum obat, apalagi ke dokter.

"Nak, bangun dulu, yuk," ujarnya pelan sembari menepuk pelan pipi putranya.

Daniel menggeliat, tetapi masih tampak enggan bangkit dari tidurnya.

"Hei, udah sore lho. Kamu harus makan."

Ucapan sang bunda berhasil membuat Daniel membuka mata. "Bunda."

"Iya, Nak?"

"Awang janji mau berjuang sekali lagi."

Sedari tadi hanya kalimat itu yang Fara dengar setiap kali membuka mata. "Iya. Awang, kan, anak hebat. Jangankan sekali. Dia bisa dan pasti mau berjuang bekali-kali."

"Tapi, Awang bohong enggak, ya, Bun? Soalnya dulu Ayah bilang gitu, tapi nyerah juga."

"Nak, setiap orang pasti pulang kalau sudah waktunya begitupun kamu dan Bunda. Ini bukan soal menyerah atau tidak, tapi tentang ketentuan. Rezeki, jodoh, hidup, juga mati seseorang sudah tercatat bahkan sebelum orang itu dilahirkan. Jangan anggap Ayah ingkar janji, ya, karena kepulangannya berdasarkan apa yang sudah Allah tetapkan bukan atas rencana atau apa yang manusia janjikan."

Daniel menelan salivanya susah payah, meskipun pahit, apa yang dikatakan bundanya benar. Saat ini, Daniel tidak punya kuasa apa pun atas hidup dan mati Dewangga. Jadi, ia hanya bisa berdoa, memberi dukungan, dan berharap semoga Tuhan masih berkenan memberi sedikit kemurahan dengan membiarkan Dewangga tetap tinggal.

-BERSAMBUNG-

Halo, teman-teman. Lama banget, ya, aku lanjutin cerita ini? Maaf, ya, daripada asal-asalan dan stop di tengah jalan lagi aku memutuskan buat pelan-pelan nulis cerita ini. Aku nulis ini dalam waktu 4 hari btw :") padahal biasanya sehari pun sanggup. Kalian apa kabar? Semoga baik-baik aja ya.

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 121K 81
[Brothership] [Not bl] Setiap orang berhak bahagia, meskipun harus melewati hal yang tidak menyenangkan untuk menuju kebahagiaan. Tak terkecuali Erva...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

477K 22.8K 48
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

3.9M 227K 28
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
2.1M 126K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...