Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

848K 90.4K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 20: Wake up call

14.4K 1.6K 63
By storiesbyyola

LUNA

Setelah satu minggu ini menghindari Damar, tidak membalas pesan maupun mengangkat telepon darinya, aku sadar kalau aku tidak bisa lagi menghindar darinya ketika melihat mobilnya sudah terparkir di depan lobi kantorku. Dia tidak mengirimkan pesan bahwa hari ini dia akan menjemputku. Mungkin sengaja karena dia tidak ingin aku diam-diam kabur demi menghindarinya. Damar keluar dari mobilnya dan detik itu pula aku tahu kalau aku tidak memiliki pilihan selain memasuki mobilnya dan pulang dengannya jika tidak ingin menimbulkan keributan di depan gedung kantorku sendiri.

"Mau makan malam dulu?" tanya Damar setelah mobilnya melaju.

"Aku nggak lapar. Nanti aku bisa masak atau pesan di apartemen," tolakku.

Sejujurnya aku masih tidak nyaman berada di dekatnya. Pelampiasan emosinya kepadaku terakhir kali berhasil membuatku mengkerut ketakutan di jok mobilnya. Biasanya aku selalu berusaha membangun obrolan dengan Damar ketika kami bertemu—meski selalu berakhir dengan pertengkaran. Kali ini, aku memilih untuk menutup mulut, tidak ingin memulai pembicaraan apa-apa karena takut salah berbicara.

"Kenapa diam aja?" tanyanya lagi setelah tiga puluh menit berkendara tetapi aku masih tidak berbicara dengannya. "Biasanya tanpa aku mulai duluan kamu udah nanya macem-macem, cerita ini-itu."

Aku menoleh sekilas sebelum membuang pandangan keluar jendela. "Nggak tahu mau ngomong apa."

"Kamu masih marah?" tanya Damar lagi dengan suara yang terdengar jengkel. "Kamu itu kekanakan banget, Lun. Masalah udah lebih dari seminggu, tapi kamu terus-terusan ngambek nggak jelas kayak gini. Emangnya aku nggak capek harus ngebujuk kamu terus sejak minggu lalu?"

Tanganku yang berada di atas paha langsung mengepal begitu mendengar omelannya. Sungguh, di detik ini, aku benar-benar tidak mengenal Damar. Kemana perginya Damar yang dulu berhasil membuatku jatuh cinta dan berjanji tidak akan pernah menyakitiku? Tidak ingin membuat suasana semakin pelik, aku hanya berkata singkat. "Nggak marah. Cuma lagi capek."

Tapi, bukannya mereda, emosi Damar semakin naik. "Kamu pikir aku nggak capek harus jemput kamu di kantor? Kamu tahu kan, kalau aku harus ambil jalan memutar demi jemput kamu? Aku sengaja jemput kamu dengan harapan kamu senang dan bersikap biasa lagi, tapi sikapmu malah begini. Kamu nggak bisa menghargai aku, ya?"

Aku menggigit bagian dalam pipiku begitu mendengar Damar terus mengomel hingga mobilnya sampai di kawasan gedung apartemenku. Ketika mobilnya berhenti di parkiran kosong yang ada tidak jauh dari lobi, aku segera keluar dari mobil tanpa berpamitan maupun mengembalikan segala ucapan buruknya kepadaku. Namun, belum sempat aku berjalan menjauh, Damar sudah menarik tanganku dengan keras, membuatku tersandung kakiku sendiri, nyaris terjatuh tapi Damar sudah mendorongku hingga punggungku menghantam pintu mobilnya.

Ringisan pelan lolos dari bibirku begitu aku merasakan sakit di punggungku. Aku menatap Damar tidak percaya sedangkan laki-laki itu menyorotku penuh amarah.

"Mau menghindar dari masalah lagi? Mau diemin aku lagi? You need to grow up, Luna! Kalau ada masalah itu diselesaikan, bukan malah kabur-kaburan kayak begini," cerca Damar dengan nada rendah. Genggamannya di pergelangan tanganku semakin kencang. "Kamu kenapa, sih? Seminggu ini kamu nggak mau balas chat-ku. Teleponku juga nggak diangkat. Aku udah berusaha ajak kamu ngobrol tadi, tapi kamu males-malesan jawabnya. Ada masalah kamu?"

"Sakit!" Aku meraung keras dengan air mata yang sudah keluar dari kelopak mataku. "Sakit! Lepasin tanganku!"

Damar terkesiap ketika mendengar teriakanku. Dia melangkah mundur seraya melepas pegangannya di pergelangan tanganku. "Aku—" perkataan Damar terhenti ketika aku menundukkan kepala dan menangis sesenggukan. "Aku minta maaf. Ya Tuhan, Lun. Aku minta maaf karena udah nyakitin kamu. Maaf. Mana yang sakit? Aku lihat sini. Luna, aku minta maaf. Aku—"

Aku menepis tangannya ketika dia ingin menyentuhku. "Aku mau putus."

"Nggak!" sambar Damar cepat. "Kita nggak boleh putus. Kamu boleh marah sama aku. Kamu boleh pukul aku karena udah nyakitin kamu, tapi aku nggak mau kita putus."

"Kenapa kamu harus egois sampai akhir, Mar?" tanyaku dengan air mata yang membasahi pipi. Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku dan menatap matanya. "Buat apa aku terus ada di sisi kamu? Buat pelampiasan emosimu karena pekerjaanmu? Buat jadi orang yang bisa kamu omelin dan salahin seenaknya? Minggu lalu, kamu juga perlakukan aku kayak gini, kan? Sama kasarnya kayak hari ini. Setelah apa yang kamu perbuat, kamu masih berani nanya kenapa aku nggak bisa maafin kamu segampang itu kali ini?" Aku menarik napas, berusaha menahan isakan tangisku. "Orang tuaku, Mar. Papaku sendiri. Orang yang udah membesarkanku sampai sekarang nggak pernah memperlakukanku sekasar kamu. Mereka nggak pernah dorong atau pegang tanganku sampai rasanya tulangku mau remuk karena aku nggak mau ngobrol sama mereka. Sedangkan kamu?"

"Luna, aku—"

"Maaf?" Aku tertawa miris. "Berapa kali kamu minta maaf? Setiap kita ketemu, kamu selalu minta maaf. Setelahnya kamu ulangi lagi kesalahanmu. Lama-lama permintaan maafmu nggak ada artinya karena aku tahu kamu nggak akan berubah. Sikap kasarmu ke aku nggak akan pernah hilang, mungkin ini baru permulaan. Ke depannya, kamu bisa aja lebih kasar dari ini, kan?"

"Aku bukan orang yang begitu!" elak Damar tidak terima.

"Terus ini apa?!" teriakku seraya mengangkat bagian lengan blusku, memperlihatkan pergelangan tanganku yang memerah. Aku yakin bekas ini tidak akan hilang hingga beberapa hari ke depan. Air mataku kembali mengalir. "Terakhir kali kamu perlakukan aku kayak gini, bekasnya nggak hilang sampai besoknya. Setelah lihat ini, kamu sadar kan, seberapa parahnya kelakuanmu?"

Aku langsung menyembunyikan tanganku begitu Damar ingin menyentuhnya. "Aku udah sering bilang ke kamu kan, Mar? Kalau ada masalah selama pacaran denganku, ya cerita. Kalau kamu merasa kesulitan di dalam hubungan ini, bilang ke aku supaya kita bisa cari solusinya bareng-bareng, tapi aku rasa masalahnya nggak ada di dalam hubungan ini, kan? Semua masalahnya bermulai di kamu. Berpusat di kamu. Karena, setelah aku pikir berulang kali, aku nggak tahu dan nggak bisa menemukan di mana letak kesalahanku."

Damar bergeming dengan tatapan mata yang kosong. Penyesalan terlihat jelas di raut wajahnya. Namun, di detik ini, aku sudah tidak memiliki belas kasihan lagi. Aku sudah tidak memiliki alasan lain untuk memeluknya dan mengatakan semua ini akan baik-baik saja. Aku harus menyelamatkan diriku sendiri sebelum hubungan kami semakin berubah menjadi lebih buruk dan semakin tidak sehat.

"Udah ya, Mar," pintaku pelan, lelah. "Kita putus aja."

Aku mendorong tubuh Damar menjauh seraya berjalan cepat memasuki lobi apartemenku. Dengan tubuh yang bergetar dan isakan tangis yang lolos dari bibir meski sudah setengah mati kutahan, aku memasuki lift dan menempelkan access card agar lift ini bisa membawaku menuju lantai dimana unitku berada. Aku memejamkan mata, berusaha menahan sakit baik di hatiku maupun di tubuhku.

Kakiku sudah tidak mampu menopang tubuhku lagi ketika lift berdenting. Seraya bertumpu pada dinding, aku menyeret kakiku menuju unit apartemenku dan membuka pintunya. Tubuhku langsung luruh di lantai dengan punggung yang bersandar pada pintu apartemenku yang sudah tertutup. Dengan tangisan yang semakin kencang dan air mata yang tampaknya tidak akan berhenti mengalir dalam waktu yang cepat, aku memeluk kedua kakiku, menaruh kepalaku di atas lutut. Menangisi hubunganku dengan Damar yang harus berakhir setelah batin dan fisikku terluka. Menangisi kekalahanku karena tidak mampu mempertahankan dan memperbaiki hubunganku. Menangisi kepercayaan yang pernah kutaruh pada hubungan ini karena pernah berharap lebih pada hubunganku dengan Damar. Menangisi diriku sendiri karena untuk kesekian kalinya, kisah cintaku tidak berakhir bahagia.


*


Aku menghela napas ketika membaca pesan masuk dari Damar. Sejak aku meminta putus, setiap harinya dia masih mengirimiku pesan. Pesan yang kurang lebih isinya sama. Dia mengaku salah atas perbuatannya, meminta maaf kepadaku diikuti dengan janji bahwa dia akan memperlakukanku jauh lebih baik, dan meminta kesempatan terakhir untuk menebus kesalahannya. Namun, keputusanku sudah bulat. Sudah tidak bisa diganggu gugat. Aku tidak ingin jatuh ke lubang yang sama.

Damar mungkin tidak sadar kalau aku sudah memberikannya kesempatan lebih banyak daripada yang dia minta. Meski aku meragukan perasaanku kepadanya beberapa bulan terakhir, aku masih bertahan dengan harapan dia akan berubah. Kembali menjadi sosok Damar yang kukenal. Dia tidak tahu bahwa selama lima bulan terakhir, aku berusaha bersabar dengan sikapnya yang semakin tidak masuk akal, tapi setelah perlakuan kasarnya kepadaku, aku sadar tidak ada lagi yang bisa diselamatkan di dalam hubungan ini selain diriku sendiri.

"Luna." Suara Hanifa membuyarkan lamunanku. "Dokumen yang kita butuhin udah diminta ke klien?"

Aku mengangguk cepat. "Kemarin udah gue minta, mereka bilang mau ngasih hari ini. Belum dikirim, ya?"

"Belum," sahut Hanifa seraya memijat pangkal hidungnya. "Respons mereka lama banget, ya. Manajernya juga susah banget dihubungi padahal online terus."

"Dokumennya urgent banget?"

"Lumayan. Gue bisa diomelin Mas Jero kalau belum nerima dokumen itu sampai besok."

"Gue follow up lagi sekarang," ucapku. Aku melihat jam tanganku. "Tapi, udah mau jam lima. Gue agak nggak yakin mereka mau ngobrak-ngabrik file mereka buat nyari dokumen yang kita minta."

Hanifa mendecakkan lidah, kesal. "Nggak apa-apa, deh." Dia bersuara setelah berpikir sejenak. "Lo minta aja sekarang. Seenggaknya kalau nanti ditanya Mas Jero, kita bisa kasih bukti kalau kita udah follow up ke mereka."

"Okay. I'm sending the email right now," timpalku seraya menulis isi email untuk menagih dokumen-dokumen yang kami minta untuk kelancaran pembuatan KA-ANDAL. Usai menekan tombol kirim di bagian kanan atas, aku berkata, "Sent."

"Thank you, Lun." Hanifa menyahut tanpa melihat ke arahku. Matanya fokus tertuju pada layar laptopnya yang berisi kerangka kasar KA-ANDAL. "Hari ini nggak perlu lembur dulu soalnya belum ada yang bisa dikerjain. Langsung balik aja nanti."

Aku mengiyakan perkataannya sebelum kembali mengurus pekerjaan yang tertunda. Namun, ponsel yang bergetar halus membuatku mengalihkan perhatian untuk kedua kalinya. Merasa terganggu dengan pesan berantainya, aku memutuskan untuk mematikan notifikasi ponselku. Dengan begini, aku bisa bekerja dengan tenang.

Mataku kembali berfokus pada dokumen yang terbuka di laptopku. Aku mengisi tabel-tabel pada dampak lingkungan yang dikelola, sumber dampak, indikator keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup, bentuk pengelolaan lingkungan hidup, dan analisis lain yang dibutuhkan untuk Addendum II RKL untuk salah satu perusahaan petrokimia. Saat ini, yang kupunya hanyalah pekerjaan untuk mengalihkan pikiranku dari patah hati dan permasalahan yang kuhadapi beberapa hari terakhir. 

Continue Reading

You'll Also Like

573K 86.9K 49
Tentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa...
685K 66.2K 37
Pemenang Watty Awards 2019 kategori New Adult (Seri Pertama dari Coffee Series) "Dunia bukanlah sebuah permainan. Karena sekali kamu gagal, kamu tida...
1.6K 494 42
Juara 1 Kategori Favorite Author pada ajang Author Got Talent 2022🥇 Bercerita tentang seorang gadis SMA bernama Murisa Saraswati. Dia adalah anak br...
Memorable By anakbungsu

General Fiction

605 88 12
Nadia, cewek penuh semangat dan kebahagiaan. Yang seperti tidak pernah memiliki lelah, menyukai ketua BEM paling kece dikampusnya, yakni Reno. Yang m...