[S1] The Beginning Of Our Des...

נכתב על ידי SUN1396

64.3K 6K 1.3K

[OPEN PRE-ORDER TANGGAL 1-7 SETIAP BULANNYA ] Dia tidak mengerti mengapa kehidupannya berbeda. Ada luka yang... עוד

Prolog
1. Jeon Wonwoo
2. Kim Mingyu
3. Teman ?
4. Kau tidak akan mengerti
5. Tak terduga
6. Batas kesabaran
7. Sandaran
8. Kejujuran
9. Keputusan
10. Lee Jihoon Pt.1
11. Lee Jihoon Pt.2
12. Perpisahan yang sesungguhnya
13. Karena aku rumahmu
14. Keinginan yang sederhana
15. Pertemuan kembali
16. Sang pengecut
17. Tak lagi sama
18. Kebohongan
19. Ungkapan tak biasa
21. Bayi beruang kesayangan
22. Kebaikan berujung kehancuran
23. Maaf yang tak tersampaikan
24. Kesepakatan
25. Benarkah itu kau ?
26. Penuh harap
27. Undangan makan malam
28. Menusuk dari belakang
29. Membunuhku dengan perlahan
30. Sebuah pengakuan
31. Antara dua pilihan
32. Beban baru
33. Sampai kapan ?
34. Dibutakan oleh cinta
35. Selembar kertas
36. Aku kembali...
37. Hilangnya harga diri seseorang
38. Amarah yang menggebu
39. Kembali berkorban
43. Mulut dapat berbohong, sedangkan hati...
45. Dejavu
47. Pemilik mata rubah yang kami rindukan
48. Untukmu ibu
49. Ijinkan aku berada disampingmu
Epilog
📢 Pengumuman
📢 Info
🎉 It's PO Day

42. Tak akan menyesal

1K 141 54
נכתב על ידי SUN1396

Happy Reading

.

.

.

Hari-hari telah berlalu dengan cepat. Wonwoo yang telah kembali ke rumahnya mulai mencoba menerima perlakuan sang ibu yang belum terbiasa. Ia tidak menyangka jika ibu yang dulu sangat membencinya ini berubah dengan sangat drastis. Ibunya memberikan apa yang diinginkannya semenjak dulu, yaitu kasih sayang yang tiada tara. Ya. Keinginan yang cukup sederhana bukan ? Namun perjuangannya yang cukup panjang untuk mendapatkan apa yang diinginkannya itu.

Jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, Wonwoo baru saja selesai mandi dan menyiapkan diri untuk berangkat sekolah. Sekolah yang juga banyak berubah untuknya. Teman-teman yang dulu selalu membullynya dan menatapnya jijik, sekarang mereka tak pernah tertinggal menyapa dirinya ketika ia melewati koridor. Senang ? Tentu saja. Tapi rasa senang itu tak benar-benar membuat Wonwoo seratus persen senang dan bahagia. Perasaan itu hanyalah kebohongan belaka.

Mereka memberikan perhatian terhadapnya rasanya sangat sia-sia. Sudah ia jelaskan jika apa yang mereka lakukan sekarang ini telah membuatnya terjatuh semakin dalam. Entah harus bagaimana lagi ia menata hidupnya yang sudah hancur berkeping ini. Mengapa mereka harus memberikan semua ini ketika dirinya telah diambang batas kesabaran ? Tidakkah kesalahan mereka sangat besar terhadapnya ? Dan ya. Kata maaf tidak ada artinya untuk Wonwoo. Mereka semua terlambat menyadari kesalahannya.

Seandainya mereka tak membuatnya terluka berkali-kali lipat, mungkin saat ini ia akan sangat senang menerima permintaan maaf dan sikap hangat mereka terhadapnya. Sekarang, Wonwoo tak bisa menerima semua itu. Hatinya telah mati. Yang ingin Wonwoo lakukan adalah pergi menjauh dari kehidupan mereka. Ia sudah mendapatkan apa yang sejak dulu inginkan, jadi ini saatnya ia untuk pergi bukan ?

"Sayang kau sudah siap ?" suara itu menyadarkan Wonwoo yang baru saja selesai mengenakan almamaternya.

Wonwoo menatap kearah pintu dan disana seorang wanita cantik yang tak lain adalah sang ibu tersenyum hangat kepadanya. Tak lupa juga membawa nampan yang dimana diatasnya terdapat sepotong roti berselai cokelat dan segelas susu hangat. Memang bukanlah makanan yang pas disaat ujian tengah berlangsung, tapi ia yang memintanya. Hari ini adalah hari terakhir ujian sekolah. Dimana selama beberapa hari ini Wonwoo jarang keluar kamar dan selalu belajar, membuat sang ibu khawatir dibuatnya. Tak jarang para maid mengantarkan makanan kepadanya.

Wonwoo mengulas senyum tipis saat sang ibu jalan kearahnya dan meletakkan nampan tersebut diatas meja belajar yang tak jauh dari pintu kamar. Nyonya Kim mengelus puncak kepala Wonwoo dan membenarkan dasi yang sedikit miring tersebut, "Hari ini adalah hari terakhirmu, kan ? Jangan paksakan dirimu jika kau memang tak sanggup mengerjakannya. Apapun hasilnya, eomma tidak akan mempedulikannya." ucap Nyonya Kim merasa sedih ketika kemarin Mingyu mengabarinya jika selama ujian berlangsung Wonwoo kembali mimisan dan itu membuat beberapa anak terkejut dibuatnya.

"Tidak eomma. Aku hanya ingin menjadi anak yang membanggakan dirimu. Hanya ini yang dapat aku berikan kepadamu."

"__bagaimana jika malam nanti kita pergi jalan-jalan berdua ? Bukankah kita tidak pernah seperti itu ? Dan eomma akan menjemputmu ke sekolah." tambah Nyonya Kim tanpa melihat bahwa Wonwoo tidak merasa senang akan perkataannya itu. Entahlah. Rasanya Wonwoo tak bisa menghabiskan waktu bersama sang ibu sampai malam nanti.

Wonwoo meraih tangan sang ibu. Ia menggenggam jemari lembut sang ibu dengan pelan, "Aku tidak ingin pergi kemanapun, eomma. Bisakah eomma tidak menjemputku ? Aku harus pergi ke suatu tempat dulu dan mungkin akan memakan waktu cukup lama."

"Kemana ? Eomma akan tetap menjemputmu. Jikapun lama, eomma akan menunggumu." lagi dan lagi Nyonya Kim tak sadar dengan perkataan Wonwoo yang tanpa sadar telah tertuju ke suatu yang tak diharapkan.

Tak ingin berdebat lagi. Wonwoo mendudukkan tubuhnya dikursi meja belajar dan mulai menikmati sarapan paginya. Sarapannya kali ini rasanya sangat hambar dan Wonwoo tak merasakan rasa dari makanan yang dibawakan oleh ibunya ini. Apa ia sakit ? Mengapa indera pengecapnya tak berfungsi dengan baik ? Tidak ingin membuat sang ibu khawatir, Wonwoo tetap menyantap sarapannya tak peduli dengan rasanya yang hambar.

Nyonya Kim tak hentinya menatap kearah Wonwoo yang tengah menyantap sarapannya. Ada rasa senang melihat sang anak yang telah memaafkannya dan menerima perlakuan baiknya. Kehadiran Wonwoo memang memberikan pengaruh besar dalam hidupnya. Kehadiran sang anak memang membuatnya cukup bahagia, meskipun tanpa seorang suami. Mengapa ia baru menyadari sekarang setelah apa yang diperbuatnya kepada sang anak ?

Beberapa menit berlalu, Wonwoo kembali bangkit dari duduknya setelah menyelesaikan sarapannya. Nyonya Kim yang semenjak tadi berada disamping sang anak cukup terkejut melihat sarapan yang ia bawa tak dihabiskan olehnya, "Mengapa tidak kau habiskan ? Lihat masih tersisa sangat banyak." ujarnya dengan nada khawatir. Nyonya Kim memang sering kali memperlihatkan sikap khawatirnya kepada Wonwoo.

Alih-alih menjawab pertanyaan sang ibu. Wonwoo justru memilih memeluk wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini. Seorang wanita tangguh yang membesarkan anaknya tanpa seorang pendamping di sisinya. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah tak muda ini dan sangat Wonwoo hormati, "Aku sudah kenyang, eomma." balasnya.

Nyonya Kim membalas pelukan Wonwoo. Apa yang Wonwoo lakukan ini tak seperti biasanya. Wonwoo tak pernah bermanja padanya sedikitpun, "Kau mulai manja pada eomma hem ?"

Wonwoo tak membalas ucapan sang ibu. Ia semakin erat memeluk tubuh sang ibu dengan wangi yang khas ini. Remaja bermata rubah itu tak akan melupakan wangi khas sang ibu dan pelukan hangat ini. Ia berjanji. Bibir yang jarang mengucapkan kalimat itu tertarik membentuk sebuah senyuman. Senyum yang memperlihatkan jika dirinya begitu bahagia dilahirkan ke dunia ini dari rahim wanita cantik yang tengah dipeluknya.

"Eomma terima kasih sudah melahirkanku."


Mingyu menepuk pelan bahu Wonwoo ketika saudaranya itu baru saja mendudukkan tubuhnya dikursi yang sudah ditentukan oleh pihak sekolah. Wonwoo menatap kearah Mingyu yang ternyata tengah menatapnya, "Jangan paksakan dirimu jika kau sakit. Mereka akan memakluminya, Wonwoo-ya." ucap Mingyu selembut mungkit.

"Tak apa. Aku baik-baik saja." balasnya dengan senyuman yang mungkin sedikit berbeda dari biasanya. Untuk pertama kalinya setelah masalah itu selesai, Wonwoo tersenyum kepada Mingyu. Entah Mingyu sadar atau tidak, tapi ini pertanda buruk untuk remaja jangkung tersebut.

Dan Mingyu ? Anak itu langsung kembali ke mejanya setelah mendengar bel berbunyi. Tak berselang lama salah satu pengawas datang dengan membawa tumpukan soal yang akan mereka kerjakan. Wonwoo menatap pungguh lebar Mingyu dan ia cukup bersyukur dapat mengenal saudaranya itu. Mungkin jika ia tidak bertemu dengannya, sudah ia pastikan tidak akan pernah bertemu dengan sang ayah. Ia akan terus hidup dalam bayang-bayang kekejaman sang ibu.

Tidak ingin berpikiran yang macam-macam, Wonwoo mencoba mengalihkannya dengan kertas soal yang akan ia kerjakan. Ia harus tetap fokus mengerjakan soal itu dan harus mendapatkan nilai yang bisa membanggakan sang ibu. Masih ingat dibenaknya ketika sang ibu mengatakan tidak mempedulikan dengan hasil yang akan Wonwoo terima. Tapi tidak ada salahnya kan jika ia berjuang untuk menbanggakannya ? Apalagi selama ini ia tidak pernah melihat ibunya yang terlihat bangga akan pendapatkan yang didapatkannya.

Ujian hari terakhir telah berlangsung. Ketika dipertengahan darah kembali keluar dihidung bangir Wonwoo, membuat remaja bermata rubah itu dengan sigap mengambil beberapa lembar tisu yang ia letakkan diatas meja. Tentu saja sebagai persiapan untuk tidak seperti hari kemarin yang kalang kabut mencari sesuatu yang dapat menahan mimisannya. Apa yang dilaukannya ini memang telah mendapat ijin dari pengawas jika ia menyimpan tisu di atas mejanya. Tentunya dengan bantuan beberapa teman yang membantunya dan menjelaskannya kepada sang pengawas.

Meskipun Wonwoo terlihat tenang ketika darah itu tak berhenti mengalir dihidung bangirnya. Diam-diam teman sekelasnya menatap kearah Wonwoo dengan perasaan khawatir. Ini bukanlah pertama kalinya Wonwoo mimisan. Mereka cukup sering melihatnya dan bodohnya tak ada yang bisa dilakuannya selain melihat sang teman. Sekarangpun mereka masih tetap sama. Terus memperhatikan Wonwoo dan tak bisa fokus mengerjakan soal ujian. Tak apa jika satu kelas ini mereka mendapatkan nilai paling rendah, toh nilai tinggipun tak akan ada gunanya jika tidak melihat perjuangan sang teman.

"Tolong jangan paksakan dirimu, Wonwoo-ya." jerit batin Mingyu. Mingyu tidak bodoh. Ia memang melihat beberapa temannya menatap kearah belakang yang tak lain kearah tempat duduk Wonwoo. Dan bukan hanya itu saja, telinganya yang berfungsi sangat baik dapat mendengar suara tisu yang tertarik. Tidak salah lagi jika pelakunya adalah Wonwoo.

Wonwoo seolah tak peduli dengan tatapan yang diberikan teman-temannya kepadanya. Anak itu mencoba untuk fokus mengerjakan soal ujian dengan tangan kiri yang menyeka hidung bangirnya, ketika darah itu tak hentinya terus mengalir. Tak hanya itu saja, sekarang Wonwoo merasa kepalanya sedikit berdenyut sakit. Sudah cukup lama Wonwoo mengalami mimisan yang seperti ini. Mimisannya bermula setelah kepergian Jihoon---sahabatnya. Ia hanya mengira jika mimisannya itu akibat stress yang di alaminya. Sampai detik inipun Wonwoo tidak ingin mengetahui soal kesehatannya. Jikapun ia memiliki penyakit, biarlah waktu berjalan dengan semestinya.

Berjam-jam mereka mengerjakan soal ujian dengan berjalan baik, meskipun fokus mereka terhenti ketika melihat Wonwoo yang mimisan. Satu persatu mereka memberikan soal beserta lembar jawaban kepada sang pengawas. Tak ada yang berani berkata membahas apa yang terjadi kepada Wonwoo. Raut cemas dan khawatir masih terlihat jelas diwajah mereka. Siapa yang tidak khawatir melihat teman sekelasmu dengan wajah yang begitu pucat ?

Meskipun mereka tak bertanya langsung soal perasaan Wonwoo saat ini. Namun, tatapan mereka seolah dapat dimengerti oleh Wonwoo. Tidak. Wonwoo tidak ingin melihat wajah khawatir mereka. Tentu saja ia tidak senang. Dalam kamus hidupnya ia tidak ingin dikasihani oleh siapapun dan tentunya ia tidak ingin terlihat lemah. Tak ingin berlama-lama didalam kelas, Wonwoo langsung bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan cepat ke suatu tempat.

Tak membutuhkan waktu lama, Wonwoo telah sampai ditempat favoritnya yang tak lain adalah atap sekolah. Hanya ini tempat yang dapat membuat Wonwoo merasa senang. Kedua mata rubah itu tak bersinar, justru terlihat sangat terluka. Luka yang ia dapatkan dari banyak orang. Wonwoo memang tak bisa memperbaiki dirinya yang begitu rapuh ini dan tak ada pilihan lain selain menyerah. Ia tidak akan menyesali perbuatannya kali ini.

Wonwoo melihat kebawah bangunan yang cukup tinggi ini. Ingatannya kembali ke beberapa bulan kebelakang dimana ia menyaksikan jika sang sahabat terjatuh dari ketinggian yang sama seperti dirinya berpijak. Haruskah ia melakukannya sekarang ? Apalagi ia selalu bertemu dengan Jihoon dan kehidupan sahabatnya itu jauh lebih baik dibandingkan hidup didunia ini. Lagipula Jihoon sudah berjanji akan menjemputnya, kan ? Jadi hari ini ia akan menagih janji tersebut.

Hati dan pikiran Wonwoo seolah tertutupi oleh luka, hingga ia tidak dapat lagi berpikir jernih. Bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan itu kembali mengisi kepalanya, bersamaan dengan tubuhnya yang bereaksi. Tubuh itu mulai bergetar hebat dan yang Wonwoo rasakan hanyalah rasa takut. Rasa takut yang tidak dapat dirasakan oleh orang lain. Tanpa sadar Wonwoo mulai naik keatas tembok pembatas dengan kedua kaki yang tidak berdiri baik.

"WONWOO-YA TOLONG JANGAN LAKUKAN ITU. AKU MOHON." teriak seseorang.

Wonwoo tersenyum dengan kedatangan seseorang itu yang mulai mencoba menahan dirinya untuk tidak menjatuhkan diri, "Kau Soonyoung, kan ? Orang yang dengan tega menuduhku membunuh Jihoon ?"

Soonyoung menggeleng dengan air mata yang telah membasahi kedua pipinya. Ia menangis dengan perasaan bersalah kepada sang sahabat. Mengapa Wonwoo harus seperti ini padanya ? Tidakkah sahabatnya itu melihat dirinya yang mulai berubah dan tak lagi egois seperti dulu. Ia ingin kembali menjalin persahabatan dengannya seperti waktu itu, tapi mengapa ? Haruskah dengan cara seperti ini Wonwoo membalasnya ? Haruskah dengan cara yang seperti Jihoon ? Tidak. Soonyoung tidak ingin Wonwoo melakukan hal sama seperti yang dilakukan oleh Jihoon.

"___aku sudah cukup lelah dengan semua ini. Aku sudah memaafkanmu, Soonyoung-ah. Aku akan pergi ketempat yang sangat jauh dan bertemu Jihoon. Dan aku akan benar-benar memaafkanmu jika aku berjanji padaku. Kau harus menjaga ibuku, Soonyoung-ah."

Soonyoung kembali menggeleng, "Aku tidak mau. Kau yang harus menjaga ibumu bukan aku. Kau adalah anaknya, Wonwoo-ya. Aku mohon jangan melakukan hal yang sama seperti Jihoon. Hukum aku, Wonwoo-ya. Tapi jangan dengan cara seperti ini." lagi dan lagi air mata itu tak dapat dibendungnya.

"Aku tidak akan menyesali perbuatanku, Soonyoung-ah. Sekarang aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan dari dulu. Kasih sayang yang eomma berikan padaku sudah cukup membuatku senang. Ijinkan aku pergi, ya ? Aku ingin bahagia dengan caraku sendiri."

"Kumohon___"

"Terima kasih sudah menjadi sahabatku, Kwon Soonyoung."

#05012021

Jual cabe yu yu dibeli 😂

המשך קריאה

You'll Also Like

91.3K 9.1K 37
FIKSI
415K 30.7K 40
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
2K 138 11
Aku mencintaimu, hyung Tak bisakah kau membalasnya? [Soojun || Soogyu || Beomtae] Kalau anda bingung, kita sama 🌸 short story 1 🌸 1 chapter = 300-5...
810K 59.3K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...