Canistopia

By taejung21

63.1K 10.2K 3.7K

Sebuah dunia yang tidak akan pernah dimengerti oleh kaum manusia namun nyata adanya. July/2020 DON'T COPY MY... More

Prolog
Introductions
Canistopia - I
Canistopia - II
Canistopia - III
Canistopia - IV
Canistopia - V
Canistopia - VI
Canistopia - VII
Canistopia - VIII
Canistopia - IX
Canistopia - X
Canistopia - XI
Canistopia - XII
Canistopia - XIII
Canistopia - XIV
Canistopia - XV
Canistopia - XVI
Canistopia - XVII
Canistopia - XVIII
Canistopia - XX
Canistopia - XXI
Canistopia - XXII
Canistopia - XXIII
Canistopia - XXIV
Canistopia - XXV
Canistopia - XXVI

Canistopia - XIX

1.1K 282 12
By taejung21

.

.

Menatap wajah ceria Mike di meja makan membuat Damien menjadi lebih banyak berpikir. Apakah anak itu senang karena malam ini mereka berangkat ke sekolah? Ataukah karena dia menguping pembicaraannya dengan Sean semalam? Yang mana? Barangkali bukan keduanya? Kendati begitu, itu tetap tidak terlihat seperti Mike baginya.

"Kenapa kita harus berangkat ke sekolah pada malam hari, Daves?" tanya Damien mengingat percakapan malam sebelumnya di perpustakaan.

Daves mengangkat pandangannya yang tampak khidmat dari potongan ayam kalkun di piring. "Mm ... karena harus mengurus asrama kita masing-masing."

"Asrama? Kita tidak akan tinggal di kastil ini?" tanya Damien lagi.

"Tentu saja. Kita akan pulang di akhir minggu, dan juga ... saat liburan tiba."

Damien terdiam sejenak, kemudian mengangguk. "Begitu."

"Bagaimana seragammu? Seharusnya itu muat," tanya Sean.

Mike mendengus tak suka. "Kau menyiapkan keperluan sekolah untuknya? Kenapa dia tidak melakukannya sendiri?"

"Kenapa kau kekanakan sekali, Mike?"

Pertanyaan Damien membuat yang bersangkutan membulatkan matanya marah. "Apa maksudmu kekanakan?"

"Berapa usiamu?"

"Untuk apa kau bertanya kalau kau sendiri sudah tahu? Perlukah aku menjawabnya?" sinis Mike.

Damien mengedikkan kedua bahunya. "Apakah seseorang yang sudah lewat 17 tahun sepertimu lazim merengek? Kau sudah besar."

"Lagi pula kami tidak pernah mempermasalahkan usia," balas Fred, namun tidak beralih dari makanannya.

"Maksudmu?"

"Kami tidak akan mati dengan mudah, berapapun usiamu. Kita bukanlah manusia biasa, wolf memiliki usia yang lebih panjang." Fred kemudian kembali mengunyah.

"Lalu bagaimana dengan orang tua ka-"

Ucapan Damien terputus kala Fred melempar pisau dan garpunya dengan kasar. Ia bangkit dari kursi, kemudian pergi tanpa sepatah kata pun membuat semua orang menaruh perhatian padanya.

"Sepertinya kau tidak pernah bisa menutup mulut," sindir Mike.

Damien meremat tangannya kesal kemudian berdiri. "Silahkan lanjutkan makan malam kalian, maaf sudah membuat keributan. Aku akan menyusul Fred."

Mike berdecih kemudian menghabiskan minumannya dalam sekali teguk, sementara Sean menatap Daves yang menghela napas, kemudian beralih seraya berusaha tersenyum. "Mike, setelah ini ... ayo kita ke kamar!"

"Kenapa kau tiba-tiba ingin ke kamarku?" tanya Mike heran.

"Aku akan membantu mempersiapkan keperluan asramamu juga." Sean mengedipkan sebelah matanya, sementara yang muda mencibir malas.

"Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri, Sean."

"Ayolah, aku juga membelikanmu sesuatu," bujuk Sean.

Mike memicingkan mata kemudian merubah ekspresinya menjadi antusias dalam sekejap. "Benarkah? Setuju!"

"Kami sudah selesai. Sampai bertemu lagi nanti!" pamit Sean yang beranjak pergi bersama Mike.

Chris dan Matt saling melirik dalam diam, di sisi lain Daves terlihat melap bibirnya dan masih mengunyah dengan tak minat.

"Tiada hari tanpa keributan," celetuk Chris.

Matt mengangguk setuju. "Ketiganya tidak ada yang mengalah. Ku harap suatu hari nanti mereka bisa lebih dekat. Setidaknya Sean bisa meredakan mereka untuk saat ini."

"Katakan sesuatu, Daves."

Daves menoleh malas. "Apa yang harus aku katakan, Chris? Aku setuju dengan kalian."

"Kau ini lebih tua dari kami, maka-"

"Kau tidak dengar Fred? Kita tidak pernah mempermasalahkan usia."

Matt hampir tersedak dari makanannya, ia menatap miring pada Daves. "Sejak kapan kau tidak peduli usia? Kau selau mengomel dan berkata kalau kau ini lebih tua."

"Aku hanya mengatakan kalimat itu kalau kalian sudah kelewatan! Jadi aku mengingatkan!" omel Daves.

Chris mencibir mendengarnya. "Aku dan kau hanya berbeda satu tahun."

"Lagi pula aku tidak banyak memarahimu. Kau bahkan lebih sering hibernasi di kamar," balas Daves. "Tetapi ku harap kau berubah tahun depan."

"Tahun depan?!"

"Eii, ini sudah akhir tahun. Tidak ingat?"

Sementara mereka berdebat, di lain sisi kastil, Damien terus berusaha mengejar Fred. Ia melewati lorong perpustakaan yang juga tersambung ke arah halaman belakang. Benar saja, Fred ada di teras sana.

"Kenapa kau mengikutiku?" tanya Fred dingin.

"Aku penasaran, kenapa kau sangat marah pa-" Kalimat Damien terhenti kala ia merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Ia yakin, rasa sakit yang dirasakannya saat ini sangat berbeda dengan yang sebelumnya ketika sisi wolf mengambil alih. "Fred-" Damien menahan diri untuk tidak merintih, namun gagal. Tubuhnya terasa panas bagaikan seluruh darah yang mengalir di dalamnya mendidih. Selain itu, ia merasa tulang-tulangnya sangat sakit juga kepalanya begitu pusing. Apakah ini masih termasuk ke dalam fase perubahan seorang newborn?

Fred menatap Damien dalam diam, menyaksikan si newborn yang mulai merosot turun hingga tubuhnya berlutut. Seolah tuli, ia mengabaikan rintihan yang didengarnya. Seolah buta, ia juga mengabaikan seseorang yang kesakitan dihadapannya.

"Fred-"

"Sakit?" sela Fred.

"Tolong ... panggilkan Matt ...," pinta Damien dengan peluh yang mengucur. "atau S-Sean."

"Kenapa aku harus memanggilkan mereka untukmu?"

Tanpa sadar di ujung pilar seseorang sedang memperhatikan keduanya dengan tangan terlipat di dada. "Ah, bersenang-senang di siang hari? Fred?"

Fred sontak berbalik, mencari tahu siapa pemilik suara yang sudah mengganggu kegiatannya barusan.

"K-Kevin?"

Kevin mengangguk kecil, ia berjalan mendekat seraya merubah posisi tangannya yang kini mengait ke belakang. "Sedang apa?"

"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak punya rumah?" kesal Fred.

Di lain sisi, Damien berusaha bernapas dengan susah payah. Ia tidak bisa mencerna sama sekali kenapa rasa sakit yang baru saja ia rasakan menghilang begitu saja seolah-olah ada sihir tak terlihat yang menyembuhkannya.

"Eii ... apakah begitu caramu menyambut tamu?" tanya Kevin. Entah pertanyaan yang keberapa, namun jelas semua ucapannya membuat Fred terlihat marah. "Tenang." Kevin lebih mendekat lagi ke salah satu sisi tubuh Fred. "Aku tidak akan mengatakan apa yang sudah kulihat siang ini pada Sean," bisiknya kemudian tersenyum miring seiring tubuhnya yang menjauh.

Fred menatap Kevin dengan seksama. Berdasarkan pengalaman, orang yang berada di hadapannya ini tidaklah bisa dipercaya. Tentunya sebagai Beta, dia akan melaporkan apapun yang dilihatnya kepada Sean.

"Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu begitu marah?"

"Bisakah kau berhenti mencampuri urusan orang lain?" tanya Fred balik. "Ku rasa kau tidak terlalu diterima di sini kalau bukan karena Sean. Lagi pula berhenti mengekorinya! Sistem Pack kerajaan sudah berakhir! Lalu kau? Sudah tidak dibutuhkan lagi. Oh? Ataukah kau berniat membujuk Sean agar bisa tinggal di kastil ini?"

Kevin menaikkan sebelah alisnya, ia sangat tertarik tiap kali Fred atau pun Chris yang sama-sama pendiam mulai berbicara banyak padanya. Sementara bagi Damien, itu terdengar ... tidak biasa. Sama seperti wajah ceria Mike sebelumnya.

"Ah, Newborn! Kau baik-baik saja?" tanya Kevin dengan wajah iba dibuat-buat. Ia menyadari Damien yang berusaha berdiri dengan susah payah.

Damien mengangguk dengan sedikit meringis. "Apa yang terjadi padaku? Apakah itu biasa bagi seorang newborn sepertiku?"

"Itu-"

"Lebih baik kau pergi, sebelum aku-"

"Kau tidak bisa melakukan apapun padaku, Fred. Kau tahu itu." Kevin tersenyum tipis seraya mengusap bahu lawan bicaranya seolah ada debu di sana. "Kalau begitu, sampai berjumpa lagi di asrama!"

Fred membuang pandangan jauh ke arah halaman yang terik. Ia meremat jari-jarinya kesal namun bibirnya tak berucap apa-apa. Damien memegangi kepalanya berusaha memikirkan apa yang sudah terjadi, namun semuanya sia-sia saja. Sepertinya ia harus menemui Matt, setidaknya dialah yang telah memberikan obat padanya saat di Chamonix.

"Fred. Aku memiliki banyak pertanyaan untukmu. Tetapi sekarang, sepertinya aku harus menemui Matt terlebih dahulu."

Fred hanya melihatnya dari ujung mata. Ia menghela napas setelah memastikan bahwa dirinya hanya sendirian sekarang. Seekor burung mengepak dari ranting pepohonan, mengalihkan atensinya dari pemandangan langit. Di lepaslah sandalnya, kemudian berlari menjauh dari kastil dengan wujud wolf-nya. Bulu-bulu keemasan tampak bergerak mengikuti arah angin. Cakar belakangnya melakukan pengereman mendadak hingga tak lama ia melompat tinggi.

Hap!

Burung itu sudah berada di moncongnya. Fred mengoyaknya penuh nafsu, namun tak lama bisa dirasakan sesuatu yang tidak enak menyerang indera pengecapnya sekarang. Sudah lama sekali ia tidak memakan daging mentah semenjak Daves memasak sendiri atau pun memerintahkan para pekerja dapur untuk memasak masakan yang enak-enak. Yah, sepatutnya ia tidak perlu begitu marah pada Damien. Karena mungkin ... dirinya juga sudah hampir beradaptasi dengan cara hidup manusia.

Burung itu sekarat, lambat-laun bergerak dengan lemas tak berdaya dan akhirnya mati. Tunggu! Ia tidak pantas memaklumi perkataan Damien! Anak itu bahkan tidak mengerti di bagian mana dia menyinggung perasaannya!

Fred menggeram kemudian menggaruk tanah di sembarang tempat, kemudian memasukkan si bangkai burung yang malang ke dalamnya. Setelah mengubur dengan benar, ia berbalik arah menuju kastil, namun tak disangka seseorang dari arah teras sudah memperhatikan apa yang telah dilakukannya barusan.

"Apa yang kau lakukan di sini, Chris?" tanya Fred malas. Ia berniat masuk ke kastil, tapi tentu saja dia yang rumornya 'manusia serigala setengah vampir' itu tidak akan membiarkannya lewat begitu saja.

"Kita ini tidak jauh berbeda, Fred. Kalau kau ingin beradu siapa yang lebih unggul, maka beradulah dengan gunung es di Albaterra."

"Maksudmu?" Fred mengernyit.

"Ayolah, tidak perlu aku menjelaskan dengan rinci. Semua orang juga mengenal sifat dinginmu, terlebih pada anak itu." Chris memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, sementara bibirnya tersenyum tipis. "Oh, atau kau memang setengah Albaterra?"

"Bagaimana denganmu? Berkaca saja, Chris." Fred mendengus. "Bahkan rumormu sudah diketahui oleh banyak murid."

"Penggosip gila," ketus Chris.

"Anak itu tidak tahu diri. Sejak awal aku tidak ingin mengenalnya lebih jauh, jadi aku berharap dia tidak perlu bertanya-tanya siapa aku, dan bagaimana jalan cerita hidupku. Namun, makin hari rasanya makin kurang ajar."

Chris menoleh heran. "Dia tinggal satu wilayah dengan Pack keluargamu. Kau tidak bisa menyembunyikan segala hal tentang dirimu seperti itu, Fred. Kenapa kau begitu membencinya?"

"Kau bertanya padaku?"

Chris menghela napasnya malas. "Sedingin apapun aku dipandangan orang lain, setidaknya aku masih memiliki rasa peduli pada sekitar. Yah, faktanya begitu."

"Apakah semua orang di kastil ini mengetahui dengan rinci bagaimana masa lalumu? Tidak, 'kan? Begitu pula dengan yang lain! Apakah hal itu membuat kita penasaran, dan dengan seenaknya menyinggung di setiap kesempatan untuk berbicara? Tidak!"

"Terkecuali Sean," angguk Chris mengalah.

"Kita tidak bisa menyalahkan kemampuannya. Itu diluar kuasa kita semua." Fred menatap lemah. Pertama kalinya ia begitu pada Chris. "Aku akan masuk."

Fred mengenakan kembali sandalnya. Setelah pamit, ia segera melangkah masuk ke dalam. Sepertinya akan lebih baik berdiam diri di kamar dan memeriksa barang bawaannya untuk nanti malam.

"Fred?" Seseorang dari belakang memanggilnya bahkan sebelum ia menyentuh knop pintu.

"Astaga, siapa lagi yang-" Fred membulatkan matanya terkejut setelah membalikkan badan. "Sean. K-kau di sini?"

"Begitulah, aku baru saja membantu Mike membereskan perlatannya. Bagaimana denganmu? Kau sudah membereskannya?"

"Aku ... ya, akan melakukannya sekarang."

"Bagus! Biar aku yang membantumu!" pekik Sean senang. "Oh, hampir lupa! Ini!"

Fred menatap sebuah kotak beludru hitam dengan pita perak yang diberikan Sean padanya. Entah harus merespon apa, karena ia cukup lama terdiam.

"A-apa ini?"

"Aku membelikanmu satu set glass dip pen yang terbaru beserta tintanya. Ah, karena ini terbuat dari kaca, jadi kau harus lebih berhati-hati menggunakannya dibandingkan dengan pena bulumu yang lama. Aku juga membelikan Mike dengan warna yang berbeda. Dia berkata bahwa penanya tidak akan sering-sering digunakan karena terlalu bagus. Lucu sekali!"

"Terimakasih, Sean. Kenapa kau harus membelikanku barang yang mahal seperti ini?" tanya Fred menatap kotak yang kini sudah berpindah ke tangannya.

"Tidak juga. Ini- errr ... tunggu. Kenapa tanganmu kotor?" Sean mengusap jari-jari Fred memastikan, kemudian menatap wajahnya dengan seksama. "Lalu kenapa ... ada darah di bibirmu?"

"Aku ..., aku-"

Sean membulatkan matanya terkejut. "Eh, apa? 'Damien'?"

.

.

.

.

.

.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 116K 89
Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Thalia mengalami kecelakaa...
156K 19K 49
Setelah setahun menjalani pengobatan di Singapura, Helena masih tetap belum bisa berjalan. Hatinya sedih apalagi orang tuanya jarang datang menemani...
2M 175K 37
Kalisa sungguh tidak mengerti, seingatnya dia sedang merebahkan tubuhnya usai asam lambung menyerang. Namun ketika di pagi hari dia membuka mata, buk...
1.9M 98.9K 74
Ini gila, benar-benar gila. Bagaimana mungkin jiwa seseorang yang tertidur setelah dipaksa mencari pasangan tiba-tiba sudah pindah ke raga orang lain...