Bab 6

431 24 1
                                    

~∆~

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

~∆~

"Kalian adalah penjahat!" Aku meronta.

"Hei, kamu ini adalah seseorang yang sangat jelek, tau. Aku pikir, akan lebih lengkap jika rambut putihmu ini juga jelek sama seperti wajahmu." Jennie mencengkeram daguku, membiarkan kuku panjang dan tajamnya menusuk ke dalam kulit beningku. "Kamu pantas mendapatkan predikat orang terjelek, dan kau juga pantas untuk dibully, tau."

"Hei, dia menangis lagi."

Seluruh orang di kelas tertawa.

"Bukankah dia pemecah rekor orang paling jelek di dunia ini?" tanya Nana.

"Lihatlah, bagaimana jika kita kasih daun pohon saja, ya?" tanya Shin-Hye. "Mumpung lem super itu masih belum kering, lho, pasti dia tambah jelek," ucapnya sambil tersenyum dengan keji.

Aku menangis, tidak mampu berkata.

"Ah, benar juga, ya, sekarang ayo cari sampah dan daun pohon yang sudah berjatuhan di tanah," ungkap Jennie. "Mari, kita rias si jelek yang buruk ini."

Seluruh orang di kelas menatap diriku dengan pandangan kelu. Kaki mereka perlahan-lahan bergerak, berlalu untuk berlalang mendapatkan sampah dan daun pohon yang diperlukan. Mereka terlihat begitu semangat, berbahagia hanya untuk membuat diriku sakit hati.

Mereka bersorak, bersuka-cita.

Aku menyentuh daun dan juga sampah yang sudah menempel di rambutku. Rasanya kasar, tidak bisa aku lepaskan. Biasanya, aku merasa senang ketika menjadi pusat perhatian. Namun, kali ini yang bisa aku rasakan hanya sakit dan rasa nyeri yang menusuk jantung.

Saat pulang ke rumah, aku langsung berlari ke dalam kamar dan menangis tersedu. Kutatap rambut putihku yang indah, kini tampak kotor dan tidak bagus, seperti wajahku yang jelek. Aku sengaja memanjangkannya, namun sekarang rambutku hancur. Seperti sanubari yang pecah berkeping-keping.

Aku bertanya pada Tuhan.

Mengapa aku harus terlahir jelek?

Mengapa mereka adalah orang jahat?

Mengapa aku bertemu dengan mereka?

Mungkin, aku bodoh karena selama ini menanggap pembullyan adalah sebuah perhatian. Namun, sekarang aku sudah bisa membedakannya. Menyandingkan kebodohanku di dalam sakitnya sukma.

Sekarang, aku tersadar dari lamunan. Aku beranjak, meninggalkan gedung perpustakaan. Mataku menangkap Jennie dan juga teman-temannya yang sedang merundung seseorang. Namun, aku menjauh. Aku tak akan dirundung selama aku bisa menjauh dari mereka.

True Beauty ManWhere stories live. Discover now