Bab 1: Gara-gara Kurma Muda

4.4K 165 0
                                    

"Aku pulang!" seru Mas Hans dari luar bersamaan dengan denyit suara pintu rumah yang terbuka. Aku tersenyum mendengar suaranya yang renyah diantara gemericik hujan yang menerpa atap dapurku.  Kumatikan kompor dan bergegas menemuinya segera mungkin. 

"Waalaikumsalam. " kataku seraya tersenyum ke arahnya sembari berjalan dan membersihkan kedua tanganku di celemek yang kukenakan.

"Lupa! Assalammualaikum!" serunya senang. Aku mengangguk memahaminya dengan pengertian yang memakluminya. Ia membuka kedua lengannya dan aku membuka celemek yang kukenakan lalu menghambur ke pelukannya yang hangat itu.

Basah. Itulah yang kurasakan saat aku berada di pelukannya.  Hujan diluar sedang nakal dan membasahi tubuh suamiku. Detik berikutnya setelah aku mencium punggung tangannya ia bersin dua kali.  Mas Hans suka hujan,  begitupun aku. Kami bertemu saat hujan sedang mencumbu bumi penuh rindu hingga makhluk di bumi dibuat cemburu dengan dibuatnya menggigil kedinginan.

"Masak apa,  Ma?" tanyanya manja padaku seraya mengelus-elus perutnya yang tengah lapar.

"Sayur sop... Tapi sayang..."

"Sayang kenapa?" tanyanya

"Kematangan."

"Untunglah kematangan,  di luar sangat dingin,  gigiku ngilu dan rasanya akan sangat susah mengunyah yang keras-keras.  Kalau kematangan kan aku bisa mengunyahnya santai trus langsung telan deh... " katanya dengan senyum yang mengembang.

Mas Hans selalu begitu,  dia tak pernah mencela atau kecewa dengan apapun yang aku lakukan. Dengan apapun yang aku buat untuknya.  Ia menerimanya dengan suka cita dan selalu menyukainya.

"Dapat dari mana kurma muda? Bukankah stok masih ada di kulkas?" tanyanya saat melihat kurma muda ada di atas meja makan. Aku tersenyum kecil seraya menaruh mangkuk berisi sop ayam di atas meja makan.

"Dari Bu Rima,  beliau pulang umroh trus bawain aku oleh-oleh Kurma Muda... " kataku senang.

"Jadi ini asli dari Makkah?" tanya suamiku lagi dan aku mengangguk pasti dengan senyum yang mengembang senang.  "Yakin?" tanyanya seraya menatapku penuh curiga.

"Dari mana lagi? Kan beliau dari Mekkah... " ujarku seraya menyiduk nasi di atas piring untuknya. Alisnya masih berkerut seraya menjinjing dua buah kurma muda di hadapannya. Aku menatapnya datar.  Ketika ia memutar kurma muda di tangannya itu barulah kutahu maksud dari kecurigaannya kepada Bu Rima.

"Sepertinya beliau lupa mencopot label toko di buah ini. " katanya seraya menyerahkan kurma muda itu padaku dan menerima nasi di piring dari tanganku.  Suara kunyahan suamiku masih terdengar namun tak ada kalimat-kalimat lain tentang sosok tetangga kami satu itu. Tak seperti biasanya,  mungkin saja ia bosan membicarakan Bu Rima dengan segala kesombongan dan keangkuhannya di kompleks ini.  "Dia beli kurma mudanya sama di tempat kamu beli ya sayang, Bedanya dia datang sendiri dan kamu beli online. Curigaku dia umrohnya bukan ke Makkah tapi ke Bandung." katanya. Sepertinya aku salah menilai suamiku barusan. Kupikir ia tak akan berkomentar soal Bu Rima nyatanya ia malah menduga Bu Rima tak berangkat umroh.

"Biarlah, toh ia tetap ingat kita dan memberikan kita oleh-oleh." ujarku bersabar. Sedikit terbesit kejadian tak menyenangkan tadi sore di rumah bu Riska.

"Kapan ini diberikannya kepadamu?" tanyanya selidik.

"Tadi sore." jawabku lesu. Aku benar-benar tak ingin membahas soal ini tapi suamiku rasa-rasanya tak puas dengan jawabanku.

"Dianter ke sini?" tanyanya lagi.  Aku menggeleng lemas.  Aku berjalan ke arah meja makan di seberangnya dan mengambil nasi serta sayur sop yang kematangan lalu menyantapnya perlahan.

"Arisan PKK di rumah bu Riska." kataku.

"Oh... " jawabnya santai.  Kalau sudah begini aku tahu bahwa suamiku tak akan memperpanjang percakapan kami. Ya karena jika aku tak selesai dengan masalah hatiku yang tak enak sekarang ini,  nantinya akan berujung pertengkaran.  Sudah cukup kena imbasnya masakanku dan aku tak ingin suamiku juga ikut terluka nantinya.

Ingatanku melayang ke arisan PKK tadi sore.  Aku sudah sangat sengaja datang terlambat ke arisan itu.  Malas rasanya jika harus mendengar ocehan tetangga-tetanggaku. Tak cukup satu orang saja yang mengkritik kondisi rumah tanggaku. Ketika satu orang sudah membuka sebuah percakapan tentangku,  maka yang lainnya akan ikut berkomentar,  menasehati bahkan menyindir secara halus.  Jika aku membalas perlakuan mereka,  ucapan mereka akan semakin pedas.  Ujung-ujungnya aku akan tersudut kembali,  tak punya senjata lagi untuk melawan ucapan mereka.

Rumah bu Riska terlihat menyeramkan bagiku. Suara renyahan tawa dari tetangga-tetanggaku terdengar mengerikan. Aku menelan ludah ketika ketahuan ingin berbalik pulang oleh bu Ratih. Ia spontan memanggilku dan membuatku terpaku di tempat.  Mau tak mau aku menoleh perlahan dan tersenyum garing ke arah ibu-ibu PKK yang terlihat lebih seram dari hantu.

"Mau ke mana bu Marissa?" tanya Bu Ratih seraya berdiri dari tempatnya duduk. Usianya yang tak lagi muda membuatnya susah berdiri dari posisinya,  apalagi badannya dua kali lipat berat badanku yang 45 kg. Beberapa mata ikut memandang ke arahku.

"Saya lupa matikan kran air bu,  mau pulang sebentar... "

"Ada pembantunya,  kan?  Belum jam pulang pembantunya,  kan?" timpal bu Neli.  Aku meringis mendengar kalimatnya barusan. "Telepon saja, beres toh." imbuhnya yang disertai anggukan kepala ibu-ibu PKK lainnya. Mau tak mau aku berpura-pura melakukan panggilan whats up kepada asisten rumah tanggaku itu. Mengatakan padanya kalau aku lupa mematikan kran air dan memintanya mematikannya untukku.

"Gimana? Sudah dimatikan kran airnya?" tanya bu Neli dan aku mengangguk.

"Bu Marissa kelihatan gemuk, ya?" tanya bu Riska padaku. Perasaanku mulai tak enak dengan kalimat sapaan barusan.  Bahkan kalimat itu menyapku saat aku baru saja hendak duduk di samping bu Rima.

"Ini aku bawa oleh-oleh dari Makkah.  Kurma madu khusus bu Marissa..." kata Bu Rima.

"Perhatian sekali sih Bu..." puji Bu Neli senang. "Siapa tahu manjur jadi adik bayi ya Bu Risa... " imbuhnya lagi.  Aku hanya mengangguk pelan sembari mengucapkan terima kasih kepada Bu Rima.

"Ya namanya orang kan harus usaha,  ikhtiar juga biar jadi...  Masak tiga tahun nikah belum juga dikasih momongan? Kurang ikhtiarnya kayaknya." timpal bu Retno seraya mencatat siapa saja yang sudah membayar arisan.

"Anakkan rejeki bu... " kata Bu Riska pelan.

"Tapi kan harus diusahakan.  Kalau gak diusahakan ya mana dikasih." Mendengar komentar nyinyir dari bu Retno mataku terasa panas sekali padahal bukan hanya sekali ini saja kalimat-kalimat  seperti itu terlontar untukku. Sudah sangat banyak kalimat-kalimat seperti itu.  Semula aku menangis sejadi-jadinya tapi kini lambat laun aku kebal, cuma luka di hatiku entah mengapa masih terasa sakit saat mendengarnya.

"Saya sedang berusaha, bu... " kataku.

"Baguslah.  Percuma kan suami kerja mapan tapi gak ada penerusnya." katanya lagi.  Mataku semakin panas mendengarnya.  "Eh?  Jangan-jangan kamu kena karma,  sapa tahu kamu istri simpanan suamimu yang sering ke luar kota itu." imbuhnya lagi. Tak tahan dengan kalimatnya barusan aku berdiri dari tempatku duduk.  Jika aku saja yang dihina tak masalah,  tapi kini ia sudah membawa-bawa suamiku dan aku tak terima dengan kalimatnya barusan.

"Setidaknya ketika saya belum dikaruniai anak, saya tak pernah merepotkan orang tua saya sama sekali. Begitupun dengan mertua saya.  Mereka hidup berkecukupan bahkan lebih-lebih dengan dana yang saya kirim.  Saya tidak seperti anda yang masih suka meminta-minta kepada orang tua, hingga menjual semua aset orang tua anda demi memenuhi gaya hidup anda." seruku kesal.  Kulihat ia menatapku kesal berapi-api. Detik berikutnya ia berjalan panjang-panjang ke arahku.  Dan aku siap jika harus bertengkar sekarang dengannya.

MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang