Chapter 6

32.2K 2.1K 109
                                    

halooo maaf baru posting, lagi mandek ide nya hehe. cuma ingetin, cerita ini short chapter. jadi jangan bilang kepedekan ya karena emang sengaja dipendekan.

Sudah seminggu Ares tinggal di rumah keluarga Mala. Ia tetap memberi Mala perhatian, meskipun perhatian itu hanyalah sebatas perhatian seorang kakak pada adik. Jelas sudah karena dia masih benar-benar mengharapkan Wulan. terkadang, jika sedang berkumpul bersama keluarga, Ares akan melirik Wulan. mengabaikan Mala yang duduk disampingnya.

Sementara Wulan terus berusaha menjauh dari Ares. dia tahu Ares terus membuntutinya dengan pandangan, membuatnya jengah dan hampir sulit mengontrol diri agar tetap tenang dihadapan keluarganya. Terkhusus Mala.

Sampai disuatu siang, Wulan tidak bisa lagi menghindari Ares. pria itu kini berdiri dihadapannya dengan tatapan lurus. Ada kemarahan disana, namun juga ada kerinduan yang meluap-luap. Ares melangkah pelan mendekati Wulan. refleks ia mundur.

“Kenapa kamu mundur?” lirih Ares, menatap sendu Wulan yang kini membuang muka. “Aku Cuma mau ambil minum.” Wulan tetap mengalihkan pandangannya kearah lain. Dirasakannya ujung pundaknya bersentuhan dengan pundak Ares. ia berdesir. Kedua telinganya terpasang tajam mendengar aktivitas yang dilakukan Ares.

Ares menatap siluet tubuh Wulan dari samping, lalu tersenyum getir. “Kamu benar-benar nggak mau liat aku ya?”

“Itu lo tahu.”

Jawaban bernada datar, cendrung dingin membut Ares meletakkan gelas yang dipegangnya dengan hentakan. Wulan terkejut. ia menoleh dan refleks mundur beberapa langkah melihat Ares tiba-tiba sudah berdiri dihadapannya. jantung Wulan berdebar kencang. Kembali berada dalam jarak sedekat ini dengan Ares.

Ingin memeluk, tapi Ares bukan miliknya.

Dia sudah mengikhlaskan Ares untuk Mala. tapi, benarkah dia sudah ikhlas?

“Wulan.”

Wulan memejamkan matanya mendengar Ares menyebut namanya selirih angin, namun efeknya menggetarkan hati. kedua tangannya yang terjuntai disamping paha meremas kuat rok kerja yang dikenakannya.

“Aku nggak sanggup Lan,” lanjut Ares lagi, menyesakkan dada Wulan. nada bicara Ares terdengar putus asa. “Aku nggak sanggup jalani ini semua. aku masih cinta kamu.”

“Cukup Res,” desis Wulan mulai terisak. “Cukup. Aku nggak mau denger apapun. Udah.” Wulan menutup kedua telinganya sambil geleng-geleng kepala. Dia tidak mau lagi mendengar apapun ungkapan cinta dari Ares.

Saat Wulan hendak pergi, Ares menarik lengan Wulan hingga mereka kembali berhadapan. Namun Wulan enggan menatap Ares, dia memilih mengarahkan pandangannya kearah kulkas.

Tangan Ares terjulur, menyentuh pipi Wulan membuatnya berjengkit kaget. Wulan memandang Ares. “Res?” bisiknya ketika Ares mengusap pipinya perlahan. Begitu lembut, membuatnya lupa status terlarang mereka. Membuatnya lupa jika bisa saja ada orang yang memergokinya berduaan dengan Ares dengan posisi seperti ini.

“Aku sayang kamu, Lan.” Ares menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah Wulan. wulan tanpa sadar memejamkan matanya. Menanti apa yang sebenarnya dia inginkan juga.

“KAK ARESS?! KAKAK DIMANA??”

Jeritan Mala mengejutkan mereka. Wulan membuka matanya lebar-lebar, lalu mendorong Ares menjauh. Rasa bersalah seketika merayap dalam dirinya. Wulan menatap Ares menyesal. “Sorry, tadi gue—“

“KAK ARESS?”

Suara Mala kembali terdengar. Keduanya panik ketika samar-samar suara kursi roda terdengar. Wulan menatap sisi lemari yang kosong, kemudian bergegas bersembunyi disana. Meringkuk agar Mala tidak melihatnya.

Tepat saat itu, Mala muncul. Gadis itu tersenyum melihat Ares berdiri dibalik meja sambil minum. “Kenapa La?” sekuat tenaga dia berusaha bersikap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Ares meletakkan gelas diatas bak cuci kemudian mendekati Mala. sekilas dia melirik Wulan yang enggan menatapnya.

“Mau minta tolong ambilin sesuatu. Mala nggak nyampe.” katanya masih tersenyum.

“Ibu mana?”

“Ibu ke supermarket, belum pulang.”

“Ooh ya udah. Yuk.” Ares mendorong kursi roda Mala menuju kamar. Tanpa menoleh lagi kearah persembunyian Wulan.

Ditempatnya, Wulan menarik napas lega. Kepalan tangannya menepuk pelan dada kirinya. Seolah mengenyahkan rasa perih disana. Menarik napas dalam-dalam, Wulan keluar dari persembunyiannya dan kembali ke kamar.

                                                                                                ***

Suasana makan malam dalam keluarga Dharmawan terasa hangat dan ceria. Namun tidak bagi Wulan. wanita itu hanya menatap kosong setiap memandang interaksi Mala dan Ares. meskipun fisik Mala tidak sempurna, adiknya itu tetap melayani Ares dengan baik.

“Res, Ayah dengar kamu sudah beli rumah ya?”

Ares tampak terkejut dengan pertanyaan Ayah mertuanya itu, namun secepatnya ia tersenyum. “Iya Yah.”

“Mala nggak tahu kakak beli rumah.” Mala menatap Ares lekat.

“Rumah itu udah lama aku beli, La. Supaya kalo aku udah nikah, gak repot nyari-nyari rumah. Dan sebenarnya, itu hadiah pernikahan kita.” Ares melirik Wulan penuh arti, namun wanita itu menundukkan kepalanya.

Rumah itu sengaja dibeli Ares, untuk hadiah pernikahan Wulan dengan Ares kelak. Ares memang sudah merencanakan itu sejak mereka pacaran. bahkan untuk desainnya pun, Ares benar-benar mencari yang sesuai keinginan Wulan. Namun sayangnya, takdir berkata lain. Ares malah menikah dengan Mala. dan otomatis, rumah itu menjadi hadiah pernikahan Mala dengan Ares.

“Ooh romantis sekali,” kata Ibu menggoda. “Trus kapan pindahnya Res?”

Ares diam sejenak, lalu kembali melirik Wulan sekilas. “Hm sebenarnya, saat ini aku mutusin untuk tetap disini sampe kondisi Mala membaik. Lagi pula kalo kami pindah, kasian Mala sendirian nanti kalo aku kerja. Paling nggak, disini masih ada Ibu yang nemenin Mala.” Ares berharap Ibu dan Ayah setuju dengan alasannya. Namun sebenarnya, alasan lain adalah karena dia belum bisa berjauhan dengan Wulan. hanya di rumah inilah, Ares bisa menatap Wulan.

“Oohh ya nggak apa-apa. Ayah malah setuju itu. untuk saat ini, memang bagusnya kalian tetap disini. Supaya Mala lebih mudah dirawat.”

“Tapi Mala nggak keberatan sendirian nantinya,” sela Mala tiba-tiba menatap Ares tersenyum. “Mala udah bisa kok, nggak repotin orang lain.” Sengaja Mala menekan kata ‘repotin’, agar Ares tahu dia tidak masalah jika pindah. Bahkan ia berharap secepatnya, agar fokus Ares tidak lagi pada Wulan.

“Mala, bener apa kata Ares sama Ayah. Saat ini memang ada baiknya kamu tetap disini. Jadi Ibu lebih mudah rawat kamu trus nemenin terapi,” kata Ibu lembut. Mala diam. Jika sudah Ibu yang bicara, Mala hanya bisa menurut.

Mala melirik Ares lalu tersenyum miris melihat pria disampingnya itu tersenyum senang mendengar pembelaan Ibu. Begitu bahagianya kak Ares karena masih bisa bertemu kak Wulan. gantian kini Mala melirik Wulan. berbeda dengan Ares yang tersenyum, ekspresi Wulan terlihat datar. Namun Mala sudah lama mengenal Wulan dengan baik. Sedikitnya, dari sorot mata Wulan, Mala dapat melihat binar bahagia dimata kakaknya itu.

Unperfect Wedding [Dua Hati]Onde histórias criam vida. Descubra agora