BAGIAN 4

6.1K 529 14
                                    

Gerimis belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti.

Vino yang menggendong diriku saat itu, terus berjalan tanpa banyak percakapan di antara kami berdua. Hal itu membuatku merasa canggung, kemudian setelah berbelok ke arah kanan dari pertigaan.

Kami melihat keranda mayat yang di pikul oleh beberapa orang, rombongan kecil itu terlihat tergesa-gesa. Vino menghentikan langkahnya, guna memberikan jalan kepada rombongan pengantar jenazah yang lewat saat itu.

Tengkukku terasa hangat saat melihat ke arah rombongan kecil itu. Vino yang mengetahui aku sudah gusar saat itu berkata, "jangan maksa lihat kalo nggak kuat bisa kena sawan lagi!"

Mendengar perkataan Vino kedua mataku langsung tertutup rapat, jemari kedua tanganku mencengkram erat bahu Vino saat itu.

Saat rombongan pengantar jenazah itu berlalu, Vino kembali melanjutkan perjalanannya untuk mengantarku menuju rumah pak De Kus.

Pak De Awing yang pertama kali melihat Vino mengendong diriku saat itu langsung bergegas menghampiri. "Opo'o Riri?" (Kenapa Riri?) Tanya pak De dengan raut wajah cemas.

"Meh melbu kebon kopi!" (Hampir masuk perkebunan kopi!) Jawab Vino.

Kemudian Vino menjelaskan pada pak De jika saat itu aku berjalan linglung menuju perkebunan kopi. Beruntung saat itu Vino dan mas Deva lebih dahulu mencegah saat hendak memasuki perkebunan kopi.

Kedatangan Vino yang menggendongku saat itu langsung menjadi sorotan banyak orang di rumah pak De Kus. Mas Maman langsung menyuruh Vino memasuki rumah dan menurunkan diriku di salah satu kamar milik Mbak Fika.

Wajah wanita tua yang penuh rasa kekhawatiran segera memasuki kamar di mana diriku berada saat itu. Si Mbok datang dengan membawa cawan berisi sedikit air hangat, aku masih memperhatikan si Mbok yang sudah berlinang air mata ketika mengetahui apa yang terjadi padaku dari cerita Vino.

Bu De Lis juga nampak panik saat memasuki kamar, ia duduk di tepi ranjang setelah kembali menutup pintu. Bu De mulai memijat jemari kakiku secara perlahan, kemudian si Mbok sambil sesekali menyeka air matanya menaruh kain yang sudah di basahi dengan air hangat terlebih dahulu di atas keningku.

"Sabar Mak," ucap Bu De sambil mengelus punggung si Mbok saat itu.

Aku sendiri merasa aneh, padahal dengan jelas aku bisa melihat dan mendengar perbincangan bude bersama si Mbok di dalam kamar. Tetapi mereka berdua mengira seolah-olah aku sedang tertidur saat itu.

Baru kusadari jika saat itu tubuhku tidak bisa di gerakkan, mulutku terkatup rapat tanpa bisa kubuka.

Dingin!

Suhu udara di dalam kamar semakin turun, sampai sekarang pun aku masih bertanya-tanya sendiri tentang yang terjadi padaku saat itu. Mulutku ingin berteriak memanggil si Mbok saat itu, bahkan saat bude beranjak keluar kamar yang bisa kulakukan hanya menatap punggungnya saja.

Nafas semakin memburu, rasa ketakutan dalam diriku muncul saat firasatku mengatakan jika aku sudah meninggal. Tangisku pecah namun, si Mbok tidak menyadarinya.

Tidak ada cara yang bisa kulakukan saat itu, dada terasa amat sesak seiring naik turunnya nafas. Si Mbok mulai mengusap bulir bening yang keluar dari kedua mataku saat itu.

Jelas sekali kulihat si Mbok duduk di lantai samping ranjang, kemudian membuka kitab suci Alquran. Suara merdunya membuat diriku tenang dalam sekejap saat itu.

Juga, kulihat mas Maman keluar masuk kamar, setelah ia menaruh barang-barang seperti, kendi, tempat susur, keranjang berisi bermacam-macam bunga. Dan kulihat ada seikat padi yang di taruh di kusen jendela, saat itu aku tidak mengerti apa yang akan mereka lakukan dengan membawa masuk benda-benda aneh yang tak kukenal tersebut.

MEMEDON MANTENWhere stories live. Discover now