BAGIAN 10

5K 447 11
                                    

Benar saja, sampai pagi aku tetap terjaga karena kejadian yang kualami semalam.

"Rey, bangun!" Ucapku sambil menggoyangkan badan Raya yang masih pulas di atas ranjang.

"Napo seh? Isek isuk iki," (ngapain sih? Masih pagi ini,) jawab Raya tanpa membuka kedua matanya.

"Biasanya jam berapa pekerja kebun kopi berangkat?" Tanyaku sambil terus menggoyangkan badan Raya agar tetap terjaga.

"Jam 7 punjul 30" (jam 7 lebih 30)

Setelah mendengar jawaban Raya, segera aku bergegas keluar kamar kemudian menuju suatu tempat untuk menemui seseorang yang kuanggap tahu apa yang sedang terjadi.

Setelah terlebih dahulu mengeluarkan motorku dari dalam warung, dengan segera kupacu menuju kantor perkebunan kopi. Saat itu hari masih benar-benar pagi, suasana desa masih nampak basah oleh embun semalam.

Banyak pasang mata sedang memperhatikan diriku yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi di jalan desa. Sengaja tak kuhiraukan tatapan sinis mereka, karena saata itu urusanku lebih penting ketimbang memperdulikan pandangan banyak orang yang terlihat tidak suka.

***

Sebuah bangunan besar dengan gaya kuno sudah berada di hadapanku saat itu, bangunan yang lebih tepatnya mirip sebuah benteng tersebut tidak memperbolehkan orang lain masuk dengan sembarangan, apapun alasannya.

Saat aku bertanya pada kedua satpam yang berjaga di luar pintu tentang Mas Maman, salah seorang satpam itu menjawab jika jam kerja belum waktunya, hal itu membuat diriku sedikit bernafas lega. Berarti Mas Maman belum memasuki perkebunan tempatnya bekerja.

Setelah lama menunggu, akhirnya saat yang kunantikan tiba. Kulihat mas Maman yang sedang mengendarai motor bututnya mulai mendekat ke arah gerbang kantor perkebunan kopi.

Sengaja kuhentikan perjalanan Mas Maman yang hendak memasuki pintu gerbang dengan ukuran yang sangat besar saat itu, dengan cara langsung menghadang dengan motorku.

Mas Maman terlihat membuang muka ke arah samping, seolah ia tak menginginkan kehadiran diriku saat itu, persis seperti apa yang di lakukan pak De Awing kemarin.

"Mas Maman, aku harus tahu semuanya. Dan aku yakin Mas Maman tahu." Kataku memohon.

"Maaf Ri, aku harus bekerja." Jawab Mas Maman, kembali melanjutkan laju motornya.

"Mas! Aku harus tahu, tidak bisakah mas memberikan sedikit cerita tentang semua yang terjadi? Dan haruskah keluargaku juga ikut terlibat dalam masalah ini?" Kataku sambil kembali menghadang laju motornya yang hendak memasuki gerbang.

Sementara banyak pasang mata dari para pekerja perkebunan yang memperhatikan kami berdua saat itu, dan aku masih kukuh menahan mas Maman agar tidak memasuki gerbang sebelum ia bercerita mengenai sumpah paten obor yang di lakukan pak De Kus.

"Sepurane Ri, Mas ora eruh opo-opo." (Maaf Ri, aku tidak tahu apa-apa.) Kata-kata yang keluar dari mulut Mas Maman saat itu seperti sedang menyembunyikan suatu kebenaran yang kucari.

"Tapi Mas ...," Ucapanku tertahan karena saat itu suara klakson mobil begitu nyaring di belakang kami.

Tiiinn ....

Sedan warna hitam gelap sudah berada di belakang kami tanpa kusadari. Posisiku yang menahan Mas Maman juga menghalangi sedan hitam yang akan memasuki gerbang kantor.

Kemudian kaca samping kemudi terbuka secara perlahan, sosok gadis yang sangat familiar namun, aku lupa kapan aku dan gadis tersebut bertemu. Yang kutahu hanyalah kami berdua pernah bertemu, tetapi tidak tahu kapan pastinya.

MEMEDON MANTENWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu