BAGIAN 20

5K 444 21
                                    

"Ojo di reken! Ndang goleki taline Murti," (jangan di gubris! Cepat cari saja tali pocong milik Murti,)  seru Egi menyuruh kami untuk fokus pada tujuan awal datang ke tempat itu.

Kami bertiga mulai mencari tali bagian tengah pocong milik Mbak Murti. Setiap jengkal tanah yang kami lewati tak luput oleh jemahan kedua tangan, meski dalam hati ingin fokus pada pencarian kami. Namun, sosok hantu pengantin yang menyerupai mbak Murti masih berdiri di tempat yang sama seperti yang kulihat tadi.

Sorot mata dingin berwarna pudar yang terus-menerus mengawasi kami seolah-olah memberikan rasa ketakutan berlebih saat itu.

Belum lama kami mencari seutas tali kafan, telingaku mendengar suara "ohook ...," Sebelum kami bertiga saling berpandangan heran dengan apa yang terjadi pada Egi, rasa panik bercampur khawatir dengan keadaan Egi yang memuntahkan darah dari mulutnya, terpaksa menghentikan pencarian untuk sejenak.

"Ohookk ..., Hoeeek ...!"

Kembali suara dahak keras di iringi darah kental yang terus menerus keluar dari mulut Egi. Raya menjerit keras saat menyadari sesuatu telah menyerang Egi tanpa kami sadari, di saat bersamaan aku yang tercegang melihat Egi terus menerus mengeluarkan darah melihat suatu keanehan.

Sosok hantu pengantin mbak Murti tersenyum menyeringai sebentar kemudian menghilang. Tiba-tiba badan Raya terpelanting keras ke arahku, seperti sesuatu yang tak kasat mata melemparkan badan Raya.

Buuukk ....!

Tubuhku tak cukup kuat untuk menahan badan Raya yang terlempar ke arahku, setelah itu aku dan Raya jatuh tersungkur beberapa langkah ke belakang. Kembali suatu keanehan terjadi, setelah tubuh kami berdua menyentuh tanah. Tanah tersebut langsung longsor membuat sebuah liang yang mirip dengan liang kuburan, bahkan ukuran dan diameternya pun sama persis.

Senter yang tadi ku pegang ikut jatuh ke dalam lubang bersama kami, "HIYAAAAAA ....," teriakan keras dari mulut kami berdua bergema ke luar lubang. Saat senter menyentuh tanah dengan cahaya khas warna kuningnya mengarah langsung pada seonggok mayat pemilik liang lahat itu.

Badan kami saling gemetaran tak karuan, tubuh terasa lemas seketika itu juga. Kami berdua saling berpelukan sambil memejamkan mata tak ingin melihat lebih lama lagi bangkai pocong yang sudah membusuk menampakkan tulang-belulang dengan sebagian dagingnya sudah terkelupas.

Sedangkan di atas Egi masih merasakan kesakitan pada tubuh bagian dadanya. Meski darah sudah berangsur berhenti rasa panas di dadanya tak kunjung hilang. Dan Lena mulai terlihat aneh, karena bertepatan dengan keluarnya darah dari mulut Egi. Lena hanya menundukkan kepala dan terus berdiam diri.

suara cekikikan mulai keluar dari bibir Lena yang tadi terkatup rapat. Dinding liang lahat yang kesemuanya dari tanah tiba-tiba bergetar pelan, saat itu aku menjerit keras meminta pertolongan pada yang mahakuasa. Kupasrahkan segala urusan dunia yang tak mungkin bisa terselesaikan oleh kami.

Rasa ketakutan semakin menjadi, saat beberapa tanah mulai berangsur turun memenuhi lubang kubur tempat aku dan Raya terperangkap dalam satu lubang. "Haruskah kami berdua meninggal dengan cara terkubur hidup-hidup bersama pemilik liang lahat ini ya Allah,"

Segala macam doa sudah kubaca bahkan wajah sudah basah oleh air mata yang tiada habisnya terus keluar. Keringat dingin terasa menetes pelan, Raya semakin memelukku dengan erat. Rasa ketakutannya lebih besar dari apa yang kurasakan saat itu.

"Bocah cilik koyok kowe teko merene mung golek ciloko!" (Anak kecil sepertimu datang kemari hanya mencari malapetaka!) Seru suara sosok mahluk yang mendiami badan Lena saat itu.

Tatapan mata bengis memandang ke arahku serasa merontokkan keberanian dalam diriku. "Opo seng wes di tandur menungso, sejatine tanduran iku bakalan di unduh!" (Apa yang sudah di tanam oleh manusia, sejatinya apa yang ia tanam itu lah yang akan di panennya kelak!) Suaranya terdengar menggema di tengah malam sepi dan sunyi itu.

MEMEDON MANTENOnde histórias criam vida. Descubra agora