rabu, 8 oktober.

407 62 9
                                    

Malam begitu samar ketika jatuh cinta terasa begitu nyata. Dalam benak Biru, selamanya detik akan milik Terang. Dalam benak Terang, waktu yang mereka rengkuh dan miliki, seberapa fana dan mustahilnya itu, sekarang abadi. Hanya ada Biru untuk Terang dan Terang untuk Biru. Waktu melambat dan beku, mungkin karena dingin yang bertiup mengelilingi kedua raga muda mereka yang terbalut jaket tebal. Keduanya punya Biru. Ada di mobilnya. Selalu ada di sana. Di bawah sana, kelip lampu terasa samar sekaligus silau. Ada banyak hal yang Biru mau bicarakan pada terang. Tapi mungkin.. bicara akan merusak suasana.. tapi mungkin.. tidak bicara juga akan merusak suasana.

Semuanya terlalu sempurna. Biru takut bahkan gerak sedikit saja akan merusak semua yang sedang beku sekarang ini.

"Biru," panggil Terang. Ah, ternyata Terang yang pertama memecah sunyi.. dan tebak Biru salah: suasana yang terbangun tetap tidak pecah. Rasanya tetap nyaman dan menyenangkan. "waktu kamu dulu awal baik sama saya, saya bingung. Kalau diingat sekarang.. rasanya masih aneh.. kenapa juga kamu begitu baik sama saya?"

Lampu memudar, yang tersisa hanya kelip dari mata terang: semesta Biru.

"saya bertaruh sama diri saya sendiri, kalau memang seandainya ini jebakan, maka saya mengizinkan diri saya. Dengan sadar. Karena pada satu hari ketika saya melihat kamu.. saya sadar.."

Suara terang tertahan di tenggorakannya. Mungkin akan terlalu melebihkan jika diucapakan.

Biru tersenyum. Bukan tulus. Tapi bukan juga menghina. Dia hanya terjebak dalam ria yang dia ciptakan. Rasanya senang. Apapun yang belum sempurna Terang ucapkan barusan: semuanya menyenangkan.

Hari ini, di antara beban yang sebenarnya enggak bisa Biru ceritakan pada Terang, bukan karena enggak mau.. tapi kalau dia mulai.. semuanya terlalu berat dan yang bisa Biru rasa cuma terlalu pusing, Biru mengajak Terang pergi. menculik. Setelah membicarakan dengan temannya semalam, Biru memutuskan untuk menceritakan terang apa yang terjadi. Biru enggak tau kenapa dia merasa begini.. tapi ada satu bagian dari dirinya yang yakin: Terang butuh tau. Jadilah dia membawa Terang pergi ketika pulang sekolah. Mereka berputar putar keliling kota, makan, dan banyak hal lainnya. Biru bahkan mengajak Terang nonton. Bukan karena dia mau nonton. Kepalanya begitu penuh. Memikirkan masalah itu saja membuatnya tidak yakin. Matahari sudah terbenam tapi Biru masih belum membuka mulut.

Ibunya, kakaknya, adiknya.. semua berputar di kepalanya. Tapi begitu melihat Terang... menatap ke lampu jalanan dari lantai atas gedung lahan parkir ini.. yang tersisa hanya tenang. Dan Biru suka itu. Biru lebih suka senyap dalam kepalanya daripada peperangan yang dia sempat kira enggak akan pernah senyap itu.

"rasanya senang sekali.. kamu.. di sini.. kemarin saya kawatir banget sama kamu, tau?" tanya Terang. Kelip matanya masih sama.

"Terang, rame banget.." potong Biru.

"lampunya?"

"isi kepala gue. Berisiiik banget."

Terang menatap biru, berusaha memahami apa yang hendak dikatakan. Tapi Terang tidak bertanya lebih jauh. Dia mengizinkan Biru bercerita sebatas yang ia mau. Dia tidak mau nyaman di antara mereka pecah karena rasa penasaran.

"gue lari dari semuanya. Karena semuanya begitu besar.. gue enggak sanggup." Biru menelan ludahnya, "tapi sekarang ya Terang, semua takut ini enggak penting. Lo bikin semuanya diem." Biru meraih tangan terang dan mengenggamnya, "dan gue suka semua ini. Gue suka semua keributan di kepala gue akhirnya berenti."

Rasanya nyaman. Nyaman luar biasa. "gue suka banget sama senyap ini. Gue suka semua nyaman yang lo kasih ke gue. Ke semua perasaan yang muncul ketika kita bareng. Semua yang gak bisa dikasih temen gue. Semua yang gue gak bisa jelasin." Kalimat Biru begitu panjang. Dia tidak yakin semuanya kedengaran masuk akal. Tapi dia tau, Terang paham.

Terang tau apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dia tidak yakin dia siap.

"Terang," panggil Biru sambil terus mengenggam tangan Terang. "mau jadian gak?"

Biru mengumpat dalam hati. Kenapa dia kayak mau ngajak makan? "mau yosinoya gak?" tapi ini hal serius. Tapi biru bingung dia mau bilang apa. Dia enggak pernah sebingung ini.. dan biru cuma mau pertanyaan itu tersampaikan tanpa ada peluang disalahartikan oleh terang.

"hah.." meski sudah menduga, Terang masih terkejut juga.

"gue gak maksa ya Rang.." Biru buru buru mengingatkan. "ini ngajak aja."

Ini ngajak aja.. haduh Biru.. kemampuan berbahasamu benar benar rendah.

Mendengarnya, Terang tertawa. Ragunya masih di sana. Khawatirnya masih pekat. Dia masih mempertanyakan dirinya: apakah dia akan mampu menjalani ini semua? Berbanding terbalik dengan Biru, kepala Terang penuh. Rasanya gugup sampai Terang curiga tawanya barusan bergetar.

"kalau gak mau jawab sekarang enggak papa." Tambah Biru lagi.

Terang tersenyum. Selalu menyenangkan di sekitar Biru rasanya familiar. Menyenangkan. Gugup yang Terang suka.

"pulang yuk, udah jam delapan." Tapi Biru tetap tidak melepas tangannya.

"ya udah," jawab Terang. Dia tersenyum. Ramai sekali. Kepalanya mau meledak dan jantungnya mau melompat.

"ya udah ayo pulang." Ajak Biru lagi. Tangannya masih belum melepas tangan Terang.

"ya udah ayo jadian."

Malam itu, di dalam kepala mereka: ribuan kembang api meledak.

9 desember 2020. 11:27 pm.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Percakapan Biru TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang