BAB 3

4 2 0
                                    

            Ada beberapa alasan kenapa aku malas sekali untuk berada di rumah. Pertama, karena wanita itu terus-terusan berusaha berbicara padaku, kedua karena teman-teman prianya yang sering sekali datang ke rumah—sekadar singgah untuk meminum teh, atau bahkan menginap.

Tak perlu heran, wanita itu bahkan tidak peduli dengan perkataan para tetangga yang menganggap dirinya wanita yang tidak memiliki perasaan, karena ia melakukan itu sejak kepergian Papa, bahkan sehari setelahnya sudah melakukan hal-hal hina itu.

Aku membencinya, tentu saja. Jangan salahkan aku jika aku membencinya karena sikapnya yang membuatku benar-benar muak. Ia tidak pernah terlihat kehilangan Papa sedikitpun saat Papa pergi, wajahnya datar, bahkan untuk sekadar menangis saja ia tak mau.

Dan hal ketiga kenapa aku tidak betah berada di rumah karena banyak kenangan yang masih singgah di rumah. Kenanganku bersama Papa yang selalu menghabiskan waktu bersama di rumah tanpa kehadiran wanita yang melahirkanku.

Aku benci memiliki kenangan, tapi tidak bisa menyangkal kalau kenangan itu akan hadir di setiap kehidupan manusia. Entah itu kenangan buruk atau kenangan manis, kalian yang membencinya pun hanya bisa menerima tanpa bisa menghapus kenangan itu.

Kecuali kalau kalian amnesia, itu pun sedikit kemungkinan kalian masih bisa mengingatnya walau samar-samar.

"Kenya!"

Aku tersentak saat merasakan tepukkan pelan di dahi. Aku mendongak, mendapati Nara yang melotot terhadapku.

"Apaan sih?"

Nara berdecak. "Udah gue bilang jangan kebanyakan bengong, masih aja bengong terus. Nggak takut kesambet lo, hah?"

"Setan juga takut kali ngerasukin gue, orang gue aja kelakuannya udah kayak setan," jawabku asal.

"Astaghfirullah, Kenya!"

"Dih, nyebut."

"Gimana gue nggak nyebut mulu kalau kelakuan lo aja kayak gini?"

"Terus?"

Nara diam. Aku hanya bisa mengulum bibir agar tidak tertawa karena melihat ekspresi kesalnya yang lucu.

Sungguh, membuat Nara kesal itu adalah salah satu hobi dalam hidupku semenjak aku berteman dengannya. Nara yang kesal tapi tidak bisa mengatakan apapun karena aku yang sudah terlalu susah untuk dinasehati.

"Ayo gue anter pulang," ucap Nara sembari meraih tasnya yang berada di kursi tempat kami beristirahat sejenak setelah menyelesaikn hukumanku untuk membersihkan toilet tadi.

Sudah menjadi kebiasaan kami yang akan meninggalkan sekolah saat keadaan mulai sepi.

"Lo kalau mau pulang duluan aja. Gue mau mampir sebentar ke toko buku, mau lihat-lihat novel apa aja yang baru keluar."

Nara mengangkat satu alis, memandangku curiga. "Tumben banget lo mau ke toko buku pulang sekolah gini?"

"Biasanya juga pulang sekolah kalau mau ke toko buku."

"Nggak, biasanya lo balik ke rumah dulu untuk ganti baju, baru minta anterin gue ke toko buku."

Kenapa sih, untuk buat Nara percaya sama kebohonganku susah sekali? Nara ini nggak pernah bisa aku bohongin. Bukannya kalau dia gampang dibohongin aku jadi bisa sering-sering berbohong ya, tapi aku benar-benar tidak ingin Nara tahu kalau aku lagi malas untuk kembali ke rumah atau berada di rumah belakangan ini.

Kenya SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang