BAB 1

45 8 6
                                    

            Hidup itu banyak pilihannya.

Kamu mau jadi apa, mau bersikap seperti apa, mau memiliki kepribadian bagaimana, semua kamu yang menentukan. Orang lain nggak akan bisa ikut campur dalam hal bagaimana kamu memilih jalan hidupmu. Yang orang lain bisa hanya mengomentari apa yang kamu lakukan, bagaimana kepribadianmu, dan bagaimana cara kamu menjalani hidup.

Biasa, netijen kan ribet.

Jadi, sebenarnya, gampang kok kalau kamu mau hidup tenang dengan pilihan jalan hidupmu bagaimana tanpa harus memusingkan omongan-omongan orang lain yang gemar mengomentari hidup seseorang. Nggak peduli dengan perkataan orang lain adalah salah satu cara.

Yah, mungkin beberapa dari kalian ada yang susah untuk nggak peduli dengan perkataan orang lain. Tapi untuk aku, itu mudah sekali dilakukan.

Aku nggak pernah mau memedulikan perkataan orang lain, pendapat orang lain tentang diriku bagaimana. Aku menjalankan hidupku dengan caraku. Mungkin mereka memandang aku sebagai sosok cewek yang memiliki kepribadian buruk, terlalu cuek, atau segala macam cara mereka menyebutnya.

Dan aku nggak pernah peduli akan hal itu.

Seperti saat ini misalnya. Aku tahu banyak orang yang memandangku sebagai sosok anak cewek yang nakal. Di sela-sela jemariku, terselip sebatang rokok yang baru saja aku nyalakan. Beberapa orang yang lalu lalang memandangku rendah, beberapa dari mereka bahkan tidak peduli dengan apa yang aku lakukan.

"Kenya!"

Aku melirik pada Nara yang duduk di sampingku.

Sedikit informasi, di sekolah hanya Nara saja yang mau berteman denganku tanpa memandang bagaimana kepribadianku. Yah, bisa dibilang, Nara adalah 'true friend' lah. Cuma dia yang nggak pernah mempermasalahkan bagaimana kepribadianku, bagaimana sikapku yang tidak pernah peduli dengan omongan orang lain.

Dan hanya Nara yang mampu menasehati aku tanpa henti walau pada akhirnya aku nggak pernah mendengarkan apa yang dia bicarakan.

Ngomong-ngomong, walaupun namanya Nara, dia ini cowok ya. Jangan berandai-andai anak cewek di sekolahku mau berteman dengan aku. Mereka saja memandangku sebagai sosok yang menyeramkan, bagaimana bisa mereka berani untuk dekat-dekat denganku.

"Apa sih?" aku mendengus, merotasi mataku yang membuat Nara langsung mendelik kesal.

"Lo tuh, ya! Udah gue bilangin kalau mau ngerokok jangan di tempat umum kayak gini. Iya, sekarang emang hari libur dan kita nggak pakai seragam, nggak masalah. Cuma tetap aja nggak enak dipandangnya." Nara menghela napas panjang setelah berbicara tanpa jeda.

"Udah?"

"Anjing!"

Aku terpingkal saat mendengar Nara menyumpah serapah. Hal seperti ini sudah biasa kami lakukan. Nara yang selalu peduli denganku dan aku yang nggak pernah mau dengar semua omongannya dia—selalu menyangkal apa yang dia katakan. Lalu, berakhir dengan Nara yang menyumpah serapah tanpa henti.

"Ketawa terus! Keselek asap mampus lo!" Nara memasang wajah kesalnya karena aku masih terus tertawa.

Aku menarik napas panjang untuk meredakan tawaku. Setelah itu, menghisap dalam rokok yang masih menyala dan menghembuskan asapnya keluar dari sela-sela bibirku secara perlahan.

"Udahlah, nggak usah dipeduliin. Mau gue ngerokok dimana juga terserah dong selagi nggak ada larangan untuk merokok," kataku membalas perkataan Nara tadi.

Kenya SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang