Part 01

21 1 0
                                    



"Hallo ...."

[Hmm ... hallo. Mimpi buruk lagi?]

"Iya. A-aku minta maaf, Ai."

[Maaf. Maaf terus yang kamu bilang. Van, ka-kamu sebenarnya kenapa, sih? Ini sudah ketiga kalinya kamu mimpi buruk. Ada apa, sih?]

"A-aku juga nggak tahu. Akhir-akhir ini aku sering mimpi." Aku menghela napas, berusaha membuang sesak yang tiba-tiba memenuhi dadaku.

[Kita harus ketemu, Van]

"Hah? Ketemu?" tanyaku terperanjat.

[Iya. Kenapa? Kok kaget gitu? Kamu nggak mau ketemu aku lagi?]

"Bukan begitu, a-aku Cuma nggak mau ada salah paham sama suami kamu, Ai."

[Trus apa bedanya kamu hubungi aku setiap kamu mimpi buruk seperti ini. Kamu tahu ini jam berapa?]

Refleks mataku mengarah ke jam dinding di kamar. Pukul 2. 15! Dini hari aku menelepon istri orang! Mataku terpejam dengan gigi mengatup kuat. Astaga ....

"Astagfirulloh ... maaf, Ai. Maaf. A-aku cuma ...."

[Its, OK. Suamiku juga nggak di rumah. Kamu beruntung. Setiap kamu mimpi buruk dan telpon aku, posisi suamiku sedang dinas ke luar kota. Aku nggak tahu apa jadinya kalau pas dia ada di rumah]

"Sekali lagi maafkan aku." Nada bicaraku penuh sesal.

[Oke]

Sambungan telepon terputus. Apa jadinya seandainya ada suami Ai. Pasti laki-laki itu akan marah besar mantan istrinya menelepon pagi buta. Mungkin malam ketiga ini aku masih bernasib baik. Semoga ramalan itu bohong adanya.

Suara tartil mulai terdengar. Fajar sedang menyapa bumi. Menghalau malam untuk berlalu untuk digantikan pagi. Lantunannya mengetarkan hati. Menggerakkan sendi-sendi untuk melangkah dan meraih keberkahan di hari ini.

Aku pernah membaca artikel, bahwa keberkahan pagi hari dapat membangun komitmen kuat dalam diri dan menggugah rasa semangat untuk melakukan aktivitas seharian. Pada pagi hari terutama sebelum matahari terbit, adalah waktu para malaikat diutus oleh Allah untuk menyebarkan rezeki kepada umat manusia di dunia.

***

Aku menapaki beberapa anak tangga menuju ruang praktek. Hari ini jadwalku di RS Baharumi Medika. Hampir setahun aku bekerja di rumah sakit ini sebagai dokter bedah.

"Pagi, Dok. Maaf sepertinya Dokter kurang tidur semalam?" sapa Marina perawat yang bertugas di ruanganku.

Aku melempar senyum tipis tanpa memedulikan omongannya.

"Berapa pasien, Sus?"

"Lima, Dok. Emm, Dokter yakin nggak mau cuci muka dulu gitu?" tanya Marina lagi.

"Untuk apa? Saya sudah mandi tadi."

"Dokter ngaca aja sendiri," ucap Marina sambil merapikan map-map status pasien hari ini.

Aku menelan kejengkelanku terhadap sikap Marina pagi ini. Namun demikian, aku berjalan ke arah wastafel dan bercermin di sana. Tidak ada perbedaan di raut wajahku.

"Itu namanya muka bantal, Dok. Dokter kurang tidur, ya? Begadang?"

"Enggak." Aku kembali ke meja kerja dan mulai membuka map paling atas. Membaca dengan teliti catatan status pasien.

"Udah sarapan, Dok?" tanya Marina lagi. "Mau saya pesankan kopi?"

"Suster, terima kasih. Saya tidak minum kopi. Emm, Suster mau bantu saya?"

Secepat kilat Marina mengangguk dan menghampiri meja kerjaku. Wajahnya tersenyum semringah.

"Panggil pasien masuk." Kalimatku tenang. Aku terpaksa melakukannya. Marina, suster yang kerap membantuku praktek dikenal cukup agresif.

Dia melenyapkan senyumnya seketika. Kemudian berlalu dan memanggil pasien nomor urut satu.

#2

#onedayonepart

#liezerswritingproject

TarotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang